Anda di halaman 1dari 7

PEMBAHASAN

Ny. Tn masuk rumah sakit pertama kali dengan keluhan bermacam macam. Pasien
mengeluh nyeri perut sejak kemarin. Nyeri perut tiba-tiba dan dirasakan di seluruh area. Panas
sejak 5 hari yang lalu, naik turun. Batuk sejak 1 hari SMRS. Ngongsrong sejak 10 hari SMRS
bila berjalan jauh, berkurang dengan istirahat. Tidur dengan 1-2 bantal. Kaki bengkak sejak 3
bulan yang lalu. BAK lancar, BAB sulit sejak 3 hari yang lalu. Ny. Tn juga memiliki riwayat
hipertensi. Diagnosa awal menyatakan bahwa beliau sakit CKD disertai hyperkalemia dan
asidosis metabolic. Ny. Tn belum pernah mempunyai riwayat pengobatan apapun. Kondisi klinik
pasien pada saat datang antara lain RR yang tinggi (32 kali), nadi yang mencapai 100
kali/menit, dan tekanan darah tinggi. Berdasarkan keluhannya juga pasien mengalami
ngongsrong sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Dilihat dari data klinik tersebut juga
keluhan pasien , pasien mendapatkan O2 2-4 liter/menit terkait data RR yang tinggi juga keluhan
ngongsrong . Terapi lain yang diperoleh pada saat MRS adalah infus D 10%, injeksi ranitidine
secara IV 2 x 50mg, Ceftriaxon IV 1 gram x 2, Clonidin PO 0,15 mg x 2 , Captopril PO 25 mg
x3, Furosemida PO (1-0-0) 40 mg x1 , Omeprazol PO 20 mg x1, Ketoprofen sup 100 mg K/P,
Ca glukonas IV 1 ampul, Actrapid subcutan 4 U, D 40% IV 25cc.
Management CKD adalah diantaranya adalah monitoring nadi dan tekanan darah, transfusi
atau pemberian larutan koloid untuk pasien shock (pucat, hidung dingin, Tekanan sistolik < 100
mmHg) dan Hb < 10 g/dL, serta terapi oksigen dan dilakukan endoskopi . Pada saat awal MRS,
Ny. R mendapatkan O2 terkait dengan data RR yang tinggi. Sesuai dengan manajemen penyakit
ginjal kronik dan dengan melihat data klinik yaitu nadi yang mencapai 100 x/menit serta data lab
pasien, Hb = 9,8 g/dl dan Hct = 28,8% pasien mendapatkan transfusi PRC atau infus koloid
untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang secara cepat serta mencegah terjadiny shock.
Selain terapi O2 dan resuritasi cairan, pasien juga mendapat oral omeprazole dan injeksi
ranitidine. Hal ini dikarenakan setiap pasien inap dirumah sakit sering mengalami stress ulser
sehingga penggunaan beberapa obat lambung digunakan sebagai preventif. Namun selain itu
untuk mengatasi gejala pasien nyeri perut tiba-tiba dan dirasakan di seluruh area. Hal ini
kemungkinan mengalami gangguan lambung. Maka pasien diberikan obat Ranitidin secara
injeksi dalam dosis 50mg sebanyak 2xsehari, untuk mencegah tukak lambung dan
gastrointestinal (dilihat dari keluhan pasien nyeri). Ranitidin adalah antagonis resptor H2 secara
selektif dan reversibel. Menghambat sekresi asam lambung dan mengatasi gejala akut tukak
duodenum. Injeksi ranitidin digunakan untuk menghindari gangguan pada sistem pencernaan
terjadinya tukak lambung dan usus duodenum karena pasien mengalami lemah sehingga tidak
terdapat asupan makanan yang masuk didalam tubuh. Tanggal 15/4 ranitidin dihentikan dan
digantikan obat metoclopramide. Selain itu pasien juga diberikan omeprazole bekerja dengan
cara menghambat sekresi asam lambung melalui penghambatan H+/K+ ATPase proton pump
sehingga kerusakan mukosa lambung terkait PUD (peptic ulcer disease) dan SMRD (stress
mucosal related disease) tidak semakin parah dengan disekresinya asam lambung (Mehta, 2008;
Spruill and Wade, 2008). Dosis yang diberikan yaitu oral 20mg sekali sehari . Pemberian
omeprazole dosis tinggi ternyata juga terbukti dapat mengurangi resiko terjadinya rebleeding
pada pasien peptic ulcer dengan resiko tinggi, salah satunya yang mengalami perdarahan aktif ,
namun omeprazol tidak berpengaruh terhadap penurunan mortalitas. Tanggal 16/4 pemberian
omeprazol dihentikan, namun untuk pemberian metoclopramide injeksi tetap dilakukan.

Injeksi metoklopramid mulai diberikan mulai tanggal 15/4, untuk mengatasi keluhan yang
dirasakan pasien. Dosis obat yang diberikan sebesar 10 mg x 3 secara injeksi. Metoclopramid
merupakan antiemetik antagonis dopamin. Bekerja dengan cara menstimulasi motilitas saluran
cerna bagian atas sehingga mempercepat pengosongan lambung dan transit intestinal serta
meningkatkan resting tone spinkter esophageal bawah (Tatro, 2003). Ny. Tn juga mendapatkan
terapi antasida pada tanggal 17/4, terkait dengan data klinik pada tanggal 13/4 lalu pasien
mengalami keluhan perut sebah, selain itu pasien juga pernah mengalami keluhan nyeri perut dan
sulit BAB. Antasida sendiri memiliki indikasi mengatasi gangguan pencernaan. Tanggal 19/4
pasien mengalami mual. Keluhan mual pada pasien terkait dengan PUD ataupun SMRD yang
berkaitan dengan kelebihan sekresi asam lambung sehingga sampai mengakibatkan kerusakan
mukosa lambung.
Tekanan darah pasien Ny. Tn saat masuk rumah sakit menurut data klinik sangatlah tinggi.
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140
mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,2005). Tanggal 7/4
menunjukkan data klinik pasien mencapai (tekanan darah) 200/110 (normal 120/80). Melihat
dari riwayat penyakitnya pasien juga mempunyai riwayat penyakit hipertensi, tetapi belom
mengalami riwayat pengobatan apapun. Obat yang diberikan kombinasi 3 jenis obat yaitu
clonidin peroral 0,15 mg x 2 ,Captopril peroral 25 mg x 2, dan furosemida injeksi 40 mg x 1 (1-
0-0). Pasien mempunyai diagnosa penyakit CKD diperkuat dengan hasil laboratorium nilai BUN
tinggi (7/4) 172,6 (normal 10-50) ,dan ada beberapa data laboratorium lainnya yang mendukung.
. Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu penyakit renal tahap akhir. CKD merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit yang menyebabkan uremia
atau retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah (Smeltzer dan Bare, 2001). Individu yang
menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada
menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang
divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat
bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma
[peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat
menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis
sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan (Wijayakusuma,2000 ).
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kepiler
ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional
ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan
rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik
koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik
(Corwin, 2000). Selain data laboratorium, CKD juga dapat memyebabkan asidosis metabolik
dan hiperkalemia. Data laboratorium (7/4) menunjukkan hasil base excess adalah -15,9 ( normal
(-2) (+2) ). Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami asidosis metabolik. Asidosis
Metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai dengan rendahnya kadar
bikarbonat dalam darah. Bila peningkatan keasaman melampaui sistem penyangga pH, darah
akan benar-benar menjadi asam. Seiring dengan menurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih
dalam dan lebih cepat sebagai usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah
dengan cara menurunkan jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga berusaha
mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara mengeluarkan lebih banyak asam dalam air
kemih. Tetapi kedua mekanisme tersebut bisa terlampaui jika tubuh terus menerus menghasilkan
terlalu banyak asam, sehingga terjadi asidosis berat dan berakhir dengan keadaan koma.

Pola pengobatan antihipertensi pada pasien hemodialisis : Berdasarkan hasil penelitian


penggunaan obat antihipertensi pada pasien hemodialisis di bangsal rawat inap RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta . Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
menggunakan kombinasi 3, obat antihipertensi yaitu ACEI (Angiotensio Converting Enzyme
Inhibitor) CCB (Calcium Canal Bloker), dan diuretik untuk menurunkan tekanan darah pasien
sampai < 130/80 mmHg. Penatalaksanaan hipertensi pada pasien dialisis terbagi dalam
pengaturan status cairan dan penggunaan obat antihipertensi. National Kidney Foundation-
KDOQI (2005) merekomendasikan untuk hipertensi tingkat II (TD > 160/100 mmHg)
menggunakan obat ACEI atau ARB dan CCB, dan 7th Report of The Joint National Committee
on Hypertension Evaluation and Treatment (2008) menyarankan pasien hipertensi dengan
penyakit gagal ginjal sebagai faktor penyulit menggunakan loop diuretik untuk mengurangi
volume cairan. Pasien gagal ginjal dengan hemodialisis membutuh tiga agen atau lebih untuk
mencapai target tekanan darah kurang dari 130/80 mmHg.
Obat golongan ACEI (captopril) hanya diberikan selama 2 hari saja. Captopril, anti
hipertensi golongan ACE-I nhibitor yang bekerja menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II (vasokonstriktor potensial dan stimulus sekresi aldosteron). ACE-Inhibitor
dihentikan pada tanggal 9/4 dikarekan efek sampingnya yang dapat meningkatkan kadar serum
kalium pada pasien CKD. Selanjutnya terapi hanya menggunakan kombinasi antara clonidine
dan furosemide. Clonidin merupakan obat antihipertensi golongan antagonis 2-pusat yang
menurunkan tekanan darah dengan cara menstimulasi reseptor 2 adrenergik di otak, yang
mengurangi aliran simpatetik dari pusat vasomotor dan meningkatkan tonus vagal. Stimulasi
reseptor 2 presinaptik secara perifer menyebabkan penurunan tonus simpatetik. Oleh karena itu,
dapat terjadi penurunan denyut jantung, curah jantung, resistensi perifer total, aktivitas renin dan
reseptor baroreseptor. Furosemida merupakan salah satu obat antihipertensi golongan diuretic.
Golongan ini digunakan untuk kombinasi karena menyesuaikan keluhan Ny. Tn dimana Kaki
bengkak sejak 3 bulan yang lalu. Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa
darah yang kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki
dan jaringan lain sering disebut edma.Cairan didalam paru paru menyebabkan sesak
Universitas Sumatera Utara napas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau
sering dikatakan edema (Amir, 2002). Furosemida merupakan diuretika Loop yang mempunyai
aktivitas kuat, dapat menurunkan tekanan darah dengan menurunkan reabsorpsi NaCl dan
meningkatkan sekresi NaCl . Diuretika Loop untuk hipertensi cukupan dan berat biasanya
dikombinasikan dengan obat antihipertensi golongan antagonis 2-pusat, seperti Clonidin.
Captopril dihentikan, namun tanggal (10/4) kombinasi ditambahkan dengan obat antihipertensi
golongan CCB yaitu amlodipine. Hal ini dikarenakan tekanan darah Ny Tn 3 hari terakhir
mengalami penurunan yang diharapkan, namun pada tanggal (10/4) tekanan darah naik menjadi
tinggi kembali sekitar 190/100. Dosis peroral yang akan diberikan adalah 50 mg x 2 . Amlodipin
merupakan obat antihipertensi golongan CCB (Ca Channel Blocker) memiliki mekanisme kerja
merelaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap
tegangan (voltage sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel.
Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi
tekanan darah. Penggunaan amlodipin digunakan bergantian dengan diltiazem karena memilki
efek yang sama. Tanggal (15/4) jenis ini dihentikan namun digantikan dengan obat dari golongan
yang sama yaitu diltiazem. Dosis yang diberikan secara PO 30 mg x 3. Diltiazem merupakan
obat antihipertensi golongan CCB (Ca Channel Blocker) memiliki mekanisme kerja merelaksasi
jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan
(voltage sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi
otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah.
Penggunaan diltiazem digunakan bergantian dengan amlodipin karena memilki efek yang sama.
Tekanan darah pasien harus selalu dikontrol. Penggunaan kombinasi obat membuat perubahan
yang baik untuk tekanan darahnya. Tekanan darah turun, bahkan bisa mencapai mendekati
normal. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi ketiga obat tepat. Tekanan darah Ny. Tn tanggal
(20/4) mencapai 130/90.

Tanggal (7/4) data laboratorium menunjukkan bahwa kadar leukosit yang tinggi 18.10 3
(normal 3.200-10.000). Peningkatan kadar leukosit menunjukkan bahwa pasien telah mengalami
infeksi. Melihat dari diagnosa pasien yang mengalami CKD, dimana penyakit jenis ini bisa
disebabkan karena infeksi. Data ini juga didukung dengan data laboratorium yang lainnya. Data
kadar LED yang tinggi pada tanggal (9/4) 120 (kadar normal 10). Peningkatan LED juga
menunjukkan bahwa terjadi infeksi. Menanggapi hal itu, pasien mendapatkan terapi antibiotika
Ceftriaxon. Dosis injeksi 1 gram x 2. Ceftriaxon merupakan antibiotik golongan sefalosforin
yang mempunyai spektrum luas dengan waktu paruhnya 8 jam. Efektif terhadap kuman gram
positif dan gram negatif dan tahan terhadap enzim beta laktamase yang dihasilkan oleh bakteri.
Adanya peningkatan pada nilai leukositdan nilai LED (laju endap darah) menandakan
terjadinya infeksi.
Tanggal (8/4) data laboratorium menunjukkan bahwa kadar asam urat dalam darah pasien
sangatlah tinggi mencapai 11,6 (normal 2,3-6,6 mg/dl) . Menanggapi hasil data laboratorium
tersebut, maka pasien diberikan terapi obat antigout yaitu Allopurinol mulai tanggal (9/4). Dosis
peroral 100 mg x 1 (2tab). Allopurinol berrguna untuk mengobati penyakit pirai karena
menurunkan kadar asam urat. Pengobatan jangka panjang dapat mengurangi frekuensi serangan.
Obat ini berguna terutama untuk mengobati penyakit pirai kronik dengan insufisiensi ginjal dan
batu urat dalam ginjal, tetapi dosis awal harus dikurangi (FKUI, 2011). Kadar asam urat yang
sangat tinggi dapat menyebabkan artritis gout. Arthritis Gout Adalah suatu proses inflamasi
(pembengkakan yang terjadi karena deposisi, deposit/timbunan kristal asam urat pada jaringan
sekitar sendi atau tofi. Menanggapi inflamasi yang mungkin terjadi maka pasien mendapatkan
terapi antiinflamasi yaitu ketoprofen. Dosis supp 100 mg K/P. Ketoprofen merrupakan derivat
asam propionat yang memiliki efektivitas seperti ibuprofen denga sifat anti inflamasi sedang
(FKUI, 2011) Ketoprofen juga tidak melalui peroral sehingga tidak mengalami first pass effect
sehingga efektivitasnya lebih baik di bandingkan melewati peroral.

Tanggal (7/4) diperoleh hasil data laboratorium yang lain, hasil kadar K (kalium) yang
tinggi. Diagnosa awal juga menyatakan bahwa pasien mengalami hyperkalemia. Maka pasien
mendapatka terapi Ca Glukonas secara injeksi sebanyak 1 ampul. Kadar kalium cukup tinggi 6,8
(normal 3,6-4,8 mEq/L). Ca glukonas dapat digunakan sebagai untuk kekurangan kalsium dan
juga alergi dan keracunan oleh kalium, karena pasien terdiagnosis hiperkalemia. Pemberian Ca
glukonas secara IV harus secara pelan, karena pada pemberian secar cepat dapat mengakibatkan
penurunan kalium secara drastis dan vasodilatasi pembuluh darah, penurunan TD, bradikardi dan
aritmia jantung. Kadar kalium harus selalu dikontrol. Mengingat fungsi kalium yang sangat
penting yaitu untuk kontraksi otot jantung dan transduksi listrik otot syaraf. Jika terjadi
hypokalemia juga dapat menyebabkan syok.

Ny. Tn juga menderita hipoglikemia, hal ini didukung data laboratorium pada tanggal
(7/4) gula darah sewaktu pasien sangatlah rendah : 84. Kadar normal sebesar 200 mg/dl. Maka
mulai tanggal (7/4) pasien diberikan D 40% secara IV 25cc. Dextrose 40% dapat digunakan
meningkatkan glukosa darah pasien, karena pasien terindikasi hipoglikemia. Namun pasien juga
diberikan Actrapid secara subcutan sebanyak 4U . Actrapid merupakan insulin kerja singkat yang
bekerja dengan cara menurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi pengambilan glukosa
perifer dan menghambat produksi glukosa hepatic. Bekerja maksimal 1-3 jam dengan lama kerja
8 jam. Actrapid digunakan bersama dengan D40%, sehingga mengontrol glukosa darah supaya
tidak terjadi hiperglikemia. Kadar gula darah harus tetap dikontrol.

Tanggal (17/4) pasien diberikan parasetamol. Mengingat pasien mengalami keluhan


sebelumnya Panas sejak 5 hari yang lalu, naik turun. Data klinik menunjukkan pada tanggal
(14/4) dan (17/4) pasien mengalami pusing kepala . Parasetamol derivat dari para amino fenol
merupakan metabolit fenasetin yang memiliki efek antipiretik yang dihasilkan oleh gugus
aminobenzen. Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan-sedang. Parasetamol hampr tidak mengiritasi lambung (FKUI, 2011).

Tanggal 20/4 kondisi pasien sudah cukup baik sehingga dokter memperbolehkan pasien
untuk KRS. Obat yang diberikan pada saat pasien KRS adalah obat-obat yang bersifat causative
yaitu furosemide, serta obat yang bersifat simptomatik yaitu parasetamol, omeprazole dan
antasida. Namun pasien diharapkan cek up setelah kurang lebih 3 hari setelah minum obat
jalannya, agar dapat memantau kondisi dari penyakitnya, dan untuk memonitoring atau
mengontrol.

Anda mungkin juga menyukai