Anda di halaman 1dari 16

Prospek Investasi Sektor Energi 2016

http://koran.bisnis.com/read/20151217/251/502708/prospek-investasi-sektor-energi-2016

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global disertai dengan menurunnya harga energi berdampak
terhadap menurunnya iklim investasi disektor energi. Selama kurun 2015-2016 pertumbuhan
ekonomi global diproyeksikan melambat.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global disertai dengan menurunnya harga energi berdampak
terhadap menurunnya iklim investasi disektor energi. Selama kurun 2015-2016 pertumbuhan
ekonomi global diproyeksikan melambat.

Dana Moneter Internasional (IMF) telah dua kali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi
dunia pada tahun ini. IMF meramalkan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini hanya akan
tumbuh 3,1 persen dan menjadi 3,6 persen pada tahun depan.

Perkembangan ekonomi dunia ini menunjukkan bahwa tahun 2015 dan tahun depan masih akan
berada di persimpangan, karena beberapa faktor global yakni: Pertama, transformasi ekonomi
Tiongkok dari yang tadinya berbasis ekspor dan manufaktur kini beralih fokus lebih besar pada
konsumsi dan jasa. Kedua, penurunan harga komoditas.

Ketiga atau yang terakhir adalah rencana kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS), yang
bisa berdampak secara global dan menambah ketidakpastian ekonomi dunia.

Sejumlah negara emerging dan developing utama seperti China, India, Rusia, dan Brasil yang
dalam beberapa tahun terakhir menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, diproyeksikan tahun
depan masih mengalami perlambatan. Menurut IMF perlambatan ekonomi China akan berlanjut
pada tahun depan dengan pertumbuhan ekonomi pada 2015 dan 2016 hanya akan tumbuh 6,8%
dan 6,3%.

Koreksi pertumbuhan juga dilakukan IMF untuk perekonomian India menjadi 7,3% pada tahun
ini dan 7,5% pada tahun depan. Untuk Asean 5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan
Vietnam), IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Asean 5 menjadi 4,6% pada 2015
dan menjadi 4,9% pada 2016.

Sesungguhnya tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi global sudah terefleksikan dalam


harga komoditas energi yang cenderung menurun sejak kuartal III 2014. Sampai Desember 2015,
harga minyak telah turun lebih dari 60%. Sementara itu harga gas telah menurun tidak kurang
dari 52%.
Tahun 2015 juga ditandai dengan masa paceklik bisnis minyak yang membuat kinerja
perusahaan migas ikut jatuh. Harga minyak Indonesia sudah turun lebih dari 50% sepanjang
semester pertama tahun ini dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Kondisi ini
menyebabkan kontraktor kontrak kerjasama migas (KKKS) memotong biaya investasinya tahun
ini dari US$23,6 miliar menjadi US$20,2 miliar. Kegiatan ikutan lainnya seperti pengeboran juga
ikut terpangkas.

Bagaimana dengan respon perusahaan migas? Tentu saja mereka serempak memotong ongkos
produksi dan mengurangi atau menunda investasi mereka. Rata rata perusahaan migas memotong
belanja modal hingga 20%.

Kecenderungan penurunan harga energi berdampak terhadap penurunan peringkat investasi


sektor tersebut. Sejumlah lembaga rating memberikan peringkat yang lebih rendah kepada sektor
energi dibandingkan sektor yang lainnya.

Akibatnya, biaya investasi perusahaan energi, terutama yang bersumber dari utang, menjadi lebih
mahal. Dalam perkembangannya, kecenderungan penurunan investasi sektor energi juga terjadi
di Indonesia.

Kementerian Energi dan sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi investasi sektor energi
selama sebelas bulan mencapai US$20,87 miliar atau sekitar 45% dari target US$45,59 miliar.
Dari total realisasi ini sektor minyak dan gas bumi menyumbang US$9,6 miliar, kemudian sektor
energi baru terbarukan dan konservasi energi dengan investasi US$1,17 miliar.

Lalu, sektor ketenagalistrikan sebesar US$6,8 miliar dan sektor batu bara capaian investasinya
sebesar US$3,3 miliar. Mencermati perkembangan beberapa indikator yang ada, prospek
investasi sektor energi Indonesia untuk kurun 2015-2016 belum akan kembali pada tren normal.
Dari sisi eksternal, Badan Energi Internasional (IEA) juga menyebutkan bahwa investasi di
industri ini mengalami penurunan tajam saat ini. Dalam outlook energi dunia yang dirilis IEA,
investasi di bidang perminyakan akan menurun 20% tahun ini. Tren tersebut diperkirakan akan
berlanjut pada 2016, menyusul adanya perkirakan bahwa harga minyak tidak mungkin kembali
mencapai angka US$80 per barel sebelum akhir dekade ini.

Sejumlah proyek pemerintah di sektor energi seperti proyek pembangkit listrik 35.000 MW,
pengembangan jaringan gas untuk sektor transportasi dan rumah tangga, dan pembangunan
kilang pada satu sisi akan mendorong prospek investasi sektor energi dan tambang yang berbasis
energi menjadi relatif lebih baik.

Akan tetapi pada sisi lain, potensi tersebut akan sulit dikonversi jika sejumlah hambatan investasi
yang selama ini dikeluhkan oleh investor tidak segera direspons atau diselesaikan oleh
pemerintah.
IKLIM INVESTASI

Ada tiga faktor yang berpengaruh pada iklim investasi, yakni menaikkan produksi minyak dan
meningkatkan kegiatan eksplorasi serta tantangan di bidang hukum dan regulasi. Sejak puncak
produksi minyak kedua di 1995 dengan produksi rata-rata 1,6 juta barel per hari, produksi
minyak Indonesia terus mengalami penurunan.

Dari identifikasi yang dilakukan, permasalahan utama yang dihadapi pelaku usaha sebagian
besar adalah masalah nonteknis seperti masalah harmonisasi regulasi, perizinan, dan pembebasan
lahan.

Sebagian besar domain penyelesaian masalah tersebut berada di tangan pemerintah dan
pemerintah daerah, bukan pelaku usaha. Karena itu, jika pemerintah tidak akomodatif terhadap
keluhan dan kebutuhan pelaku usaha, prospek investasi sektor tambang dan energi Indonesia
kemungkinan akan semakin menurun.

Pada situasi perlambatan ekonomi global, sebagian besar negara diproyeksikan berlomba
memberikan berbagai kemudahan untuk menarik investasi masuk ke negara mereka. Dalam hal
ini, hal yang sama seharusnya dilakukan oleh Pemerintah RI.

Sektor energi menjadi faktor penting sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, karena itu perlu
dikembangkan. Upaya peningkatan investasi di bidang migas hendaknya menjadi titik sentral
dalam menjaga keberlanjutan produksi migas untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan
tingkat pengembalian investor.

Investasi migas merupakan investasi padat modal, padat teknologi dan berjangka panjang,
sehingga diperlukan kesungguhan dalam penerapan semua ketentuan sesuai kontrak yang di
sepakati. Dari sisi fiskal, kontrak kerjasama dapat dibuat sedemikian rupa sehingga lebih
menarik bagi investor, mengingat kendala semakin sulitnya mencari sumber-sumber migas baru,
terutama di daerah frontier dan laut dalam dan juga kegiatan pengembangan baru yang
memerlukan teknologi tinggi dan biaya investasi yang besar.

Pembentukan dana energi juga sangat penting untuk di realisasikan guna membangun ketahanan
energi nasional pada 2016. Dana tersebut, nantinya dapat digunakan untuk eksplorasi,
membangun energi terbarukan, riset, pendidikan SDM dan lainlainnya.

Pembentukan dana energi ini juga untuk mengejar ketertinggalan pembangunan energi
terbarukan. Hal ini dirasa penting karena pemerintah bersungguh-sungguh menempatkan energi
baru-terbarukan sebagai kekuatan sumber energi nasional dan menargetkan penggunaan sebesar
23% pada 2025.

Sumber: Bisnis Indonesia


Menengok Prospek Pasar Batu Bara 2016
12 Januari 2016 | 13:02
http://www.tambang.co.id/menengok-prospek-pasar-batu-bara-2016-9415/

Jakarta-TAMBANG. Seperti biasa setiap awal tahun, sebagian orang mulai memprediksi tentang
apa yang akan terjadi di sepanjang tahun baru. Tidak ketinggalan pelaku usaha tambang batu
bara. Diharapkan tahun 2016 ini akan lebih baik dari dua tahun terakhir secara khusus dari tahun
2015. Namun sepertinya harapan itu belum akan menjadi kenyataan karena sektor batu bara
masih akan menghadapi beberapa tantangan di tahun 2016.

Sejauh ini belum terlihat faktor yang bisa membantu pasar batu bara untuk pulih. Di tengah
permintaan yang masih rendah, pasar diperkirakan tetap mengalami kelebihan pasokan. Di
tempat lain kondisi ekonomi yang belum ada tanda-tanda bakal membaik serta anjloknya harga
minyak dunia harga si emas hitam ini berada di zona merah seperti tahun 2015.

Belum lagi kesadaran global untuk mengurangi emisi karbon akan berpengaruh pada permintaan
batu bara di masa mendatang. Pertemuan COP Paris pada akhir tahun 2015 mendorong negara-
negara peserta untuk mengurangi suhu global di bawah 2C. Salah satunya dengan menekan
konsumsi energi berbasis fosil. Salah satunya batu bara selain minyak dan gas.

Energi merupakan salah satu penyumbang emisi karbon selain kendaraan bermotor. Oleh
karenanya menekan pemanfaatan energi berbasis fosil menjadi pilihan. Di tempat lain sumber
energi baru dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan digalakan.

Semangat ini sudah terlihat di beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika khusus Amerika
Serikat. Saat ini di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat pembangkit listrik berbasis batu
bara banyak yang ditutup.

Bank of America Corp dalam Laporannya pada 18 Desember silam melaporkan bahwa saat ini,
dunia masih memiliki cadangan batubara sebesar 890 miliar ton. Jumlah tersebut bisa digunakan
hingga 65 tahun ke depan. Dan jika para petinggi negara di dunia sepakat melaksanakan hasil
pertemuan di Paris maka sekitar 50% cadangan batubara dunia tersebut tidak akan pernah digali.
Wajar saja karena mengurangi pemanfaatan batubara sebagai sumber energi dinilai sebagai cara
termudah menurunkan emisi karbon yang berefek pada perubahan iklim global.

Dalam nada yang hampir sama International Energy Agency (IEA) melaporkan, permintaan
batubara sudah berhenti tumbuh sejak tahun 2014. Dan hal ini merupakan yang pertama kali
terjadi sejak 1990.

Bagaimana Dengan Cina dan India

Dua negara inilah yang selama ini menjadi pasar terbesar dari pasar batu bara dunia. Namun ada
perkembangan terkini yang juga terjadi di dua negara tersebut. Cina dalam beberapa tahun
terakhir sudah mulai mengurangi konsumsi batu bara khusus untuk pembangkit listrik.

Padahal selama ini kurang lebih 64% kebutuhan energi dipasok oleh batu bara dan di tahun 2016
ini Cina bakal mengurangi 2% pasokan energi dari batu bara. Bahkan kecendrungan ini
sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak 2014. Sebagai substitusi, Pemerintah Cina terus
menambah porsi pembangkit listrik dari tenaga angin dan matahari.

Di Cina yang selama ini terpapar oleh polusi yang luar biasa, muncul kesadaran baru bahwa
mengurangi pembakaran batubara berarti mengurangi emisi pemanasan global. Sebuah studi
yang diterbitkan tahun lalu menjelaskan bahwa sekitar 1,6 juta orang China meninggal setiap
tahun karena polusi udara. Itu setara dengan 17% dari semua kematian di Cina. Oleh karenanya
Cina mulai mengurangi konsumsi batu baranya.

Ini terlihat dari data yang menyebutkan bahwa pasokan batubara ke negara Tirai Bambu sampai
Agustus 2015 turun sebesar 11% menjadi 2.016 juta ton. Impor batubara turun pun sebesar 35%
di periode ini atau kira-kira 56 juta ton dan produksi domestik China turun 194 juta ton
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Di negara yang dikenal sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar batu bara dunia ini telah
ada kebijakan untuk tidak mengeluarkan izin baru pertambangan batu bara. Kebijakan ini akan
berlaku dalam 3 tahun mendatang. Alasan selain karena kebutuhan energi yang turun karena
pelemahan ekonomi. Juga Cina sedang bergulat dengan polusi yang mengkhawatirkan sehingga
merasa perlu mengembangkan sumber energi lainmya.

Ketika Cina mulai turun konsumsi batu baranya India kemudian diharapkan untuk menggantikan
peran Cina. Namun ternyata memang tidak demikian yang terjadi. Meskipun pembangkit listrik
tenaga uap meningkat, permintaan impor untuk sampai dengan akhir tahun diperkirakan tetap
lemah dibandingkan dengan tahun lalu.

Dengan rata-rata stok baru bara yang masih tinggi di stockpile yakni rata-rata 12 sampai 22 hari
untuk pembangkit listrik. Angka yang masih tergolong tinggi. Sehingga diperkirakan negara ini
masih akan mengurangi stok dan mebatasi pertumbuhan permintaan batubara impor.
Belum lagi di India ada kebijakan dari Perdana Menteri yang baru untuk mengoptimalkan
potensi baru bara dalam negeri. Sudah ada kebijakan bahwa pihak swasta boleh masuk dan
menggarap tambang batu bara. Dengan demikian diperkirakan produksi batu bara nasional India
akan meningkatt dan berpengaruh pada impor.

Ada kebijakan di India yang membuka kesempatan pihak swasta untuk mengelola tambang.
Selama ini hanya pemerintah yang boleh mengelola tambang batu bara. Dan Perdana Menteri
yang sekarang pun menginginkan produksi batu bara dalam negeri ditingkatkan,terang Ketua
Kebijakan Publik IAGI Singgih Widagdo.

Dampak lainnya sekarang ini banyak perusahaan tambang batu bara India yang mulai
mengurangi investasi di tambang-tambang luar negeri. Bahkan ada yang menjual asset tambang
luar negerinya dan mulai menggarap tambang yang ada di India.

Oleh karenanya menurut Singgih untuk jangka pendek di tahun 2016 tidak ada yang berubah.
Mungkin butuh beberapa tahun ke depan bagi sektor tambang batu bara untuk berubah. Dengan
kondisi ekonomi yang melemah, impor melemah kita belum bisa berharap banyak harga batu
bara akan pulih signifikan tahun ini,kata Singgih.

Apalagi Cina mulai mengurangi impor batu bara sehingga diperkirakan tahun depan ekspor batu
bara Indonesia ke Cina turun 20 juta ton. Sementara India menurut Singgih juga belum terlihat
akan terjadi peningkatan permintaan batu bara. Sehingga masih akan cenderung flat untuk tahun
depan. Mungkin baru akan kembali pulih dalam 3 sampai 5 tahun mendatang.

Sehingga menurutnya produsen batu bara Indonesia belum bisa berharap banyak pada dua pasar
batu bara yang menjadi langganan Indonesia. Mungkin ada peningkatan dari Korea Selatan
namun itu tidak significant,tegas Singgih.

Dalam nada yang hampir sama disampaikan General Manager Eksplorasi PT Bhakti Coal
Resources, Waskito Tanuwijoyo. Tahun depan kondisinya tidak berbeda jauh dengan saat ini.
Karena permintaan batu bara dunia pun masih rendah, salah satunya karena Cina dan India yang
mulai mengurangi pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik,kata Waskito.

Salah satu bukti permintaan batu bara dunia yang terus menurun terlihat dari produksi batu bara
nasional yang tahun 2015 lebih kecil dari target. Tahun lalu produksi batu bara nasional turun
karena permintaan batu bara dunia yang melemah. Perusahaan tambang memutuskan untuk
memangkas produksinya karena permintaan dunia melemah. Apalagi porsi ekspor batu bara
Indonesia masih cukup besar yakni lebih dari 75%,kata Waskito.

Dengan kondisi yang demikian perusahaan tambang batu bara kini hanya bertumpu pada pasar
domestik. Salah satunya dari proyek listrik 35 ribu MW. Namun menurutnya butuh waktu kurang
lebih 3 sampai 4 tahun untuk bisa berjalan. Jika sudah ada beberapa pembangkit beroperasi
maka akan ada peningkatan konsumsi dalam negeri.Sehingga porsi pasar domestic akan
meningkat,katanya.
Hal lain yang dilakukan adalah efisiensi di hampir semua lini termasuk memilih menambang di
lokasi yang ekonomis dan juga mengurangi SR. Namun jika itu yang dilakukan maka perusahaan
akan kehilangan sebagian potensi batu bara.

Terkait dengan kebijakan mengurangi emisi karbon, Waskito menilai sampai sekarang
Pemerintah masih menghadapi dilemma. Di satu sisi ingin mengurangi emisi, di tempat lain
negara juga butuh pasokan energi dalam jumlah besar. Energi menjadi elemen penting dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Dan batu bara sejauh ini masih menjadi sumber energi yang murah. Sementara jika ingin
mengembangkan energi baru dan terbarukan, butuh investasi yang cukup besar. Akan sulit
dengan kondisi ekonomi seperti sekarang ini.

Dan sejauh ini Pemerintah masih memilih batu bara sebagai sumber energi yang terlihat dari
porsi PLTU yang cukup besar dalam program 35 ribu MW,kata Waskito.

Sebagian perusahaan tambang pun telah melakukan diversifikasi usaha dengan membangun
PLTU. Ini salah satu cara untuk menciptakan pasar bagi produksi batu baranya serta
meningkatkan nilai tambah. Dengan membangun pembangkit listrik sendiri, perusahaan
setidaknya menjami pasar batu baranya puluhan tahun mendatang,kata Waskito.

Oleh karena itu seperti banyak pemerhati tambang mengaku masih optimis bahwa batu bara
masih tetap dibutuhkan sebagai sumber energi. Indonesia butuh listrik dan PLTU masih menjadi
pilihan karena bisa membangun dalam kapasitas yang lebih besar dan juga cadangan batu bara
Indonesia juga cukup besar,tandas Waskito.

Untuk mengurangi dampak pada lingkungan pembangunan pembangkit listrik bisa menggunakan
teknologi baru yang lebih ramah lingkungan seperti carbon capture. Tetapi itu hanya
mengurangi dan bukan menghilangkan,tegas Waskito.

Sementara Singgih Widagdo memetakan hanya ada beberapa tambang yang bakal bertahan.
Perusahaan dengan cadangan besar dan kalori tinggi akan bertahan, perusahaan memengah
dengan kalori tinggi juga akan bertahan. Perusahaan besar dengan kalori rendah akan bertahan
namun disertai upaya efisiensi yang ketat. Tetapi perusahaan kecil dengan kalori rendah sudah
pasti ditutup,jelas Singgih.

Dan menurut Singgih inilah moment yang tepat bagi perusahaan untuk kembali menata
pertambangan. Sekarang saat yang tepat untuk kembali menata pertambangan nasional khusus
batu bara. Sekarang sudah ada tambang yang ditutup tanpa disuruh. Pemerintah bisa
memanfaatkan saat ini untuk menata pertambangan batu bara nasional,katanya.

Tidak hanya itu, kondisi saat ini menurut Singgih menjadi saat yang tepat untuk menata
pertambangan batu bara nasional. Sekarang ini beberapa perusahaan tambang pemegang IUP
menutup tambangnya tanpa disuruh karena tidak menguntungkan.
Selain itu Pemerintah menurut Singgih hendaknya konsisten untuk melihat batu bara tidak lagi
sebagai komoditi tetapi sebagai sumber energi. Apalagi sekarang sedang ada revisi UU Minerba
yang bisa menjadi titik awal untuk mengubah cara pandang terhadap batu bara tidak lagi sebagai
komoditi tetapi sebagai sumber energi.

Untuk itu ada beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan bahwa batu bara merupakan salah
satu komoditi yang mengandung karbon selain migas, kebijakan pengelolaan energi harus dilihat
untuk jangka menengah antara 5 sampai 10 tahun dan batu bara harus dipandang sebagai sumber
energi,kata Singgih.

Sementara terkait dampak kesepakatan Paris untuk mengurangi konsumsi energi berbasi fosil,
Singgih menilai untuk konteks Indonesia masih sulit dilakukan apalagi hingga mencapai angka
29%. Bahkan mau ditingkatkan kalau ada bantuan dana dari luar negeri. Indonesia masih
membutuhkan energi yang sangat besar salah satunya lewat program 35 GW.

Hal yang bisa dilakukan adalah disetiap pembangkit berbasis batu bara dipasang Fluidized Gas
Desluphurization (FGD). Salah satu tujuannya agar batu bara yang terserap hanya dengan
batasan sulfur maksimal 0,35 (daf) atau 0,25 (ar),katanya.

Kepala Riset PT NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada mengatakan untuk komoditi
tambang ke depan masih cenderung melemah. Salah satunya karena permintaan terhadap
komoditi tambang masih belum cukup signifikan. Bahkan dalam kondisi sekarang ketika ada
musim dingin tidak membantu menaikan harga,katany Reza. Ini karena permintaan yang belum
meningkat.

Ditambah lagi dengan harnya minyak mentah juga masih turun. Kita tidak tahu sampai seberapa
besar penurunannya akan berimbas pada batu bara,terang Reza.

Untuk diketahui, produksi batubara tahun 2015 diperkirakan hanya mencapai sekitar 335 juta
ton. Dari jumlah tersebut 70% untuk pasar ekspor. Di tahun 2016 Pemerintah menetapkan target
419 juta ton. Namun jika belum ada perbaikan harga, angka tersebut bakal tidak tercapai. Harga
Batubara Acuan (HBA) untuk periode Desember 2015 sebesar US$ 53,51 per ton. Sementara
sepanjang 2015, rata-rata HBA sebesar US$60,13 per ton. Bandingkan dengan tahun 2014, rata-
rata HBA tercatat sebesar US$ 72,62 per ton.
Investasi Sektor Pertambangan dan Energi

Edisi 28-09-2015

http://www.koran-sindo.com/news.php?r=2&n=6&date=2015-09-28

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang disertai dengan menurunnya harga


energi berdampak terhadap menurunnya iklim investasi. Selama kurun 2015- 2016
pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat.

Sejumlah negara emerging dan developing utama seperti China, India, Rusia, dan
Brasil yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi mesin pertumbuhan ekonomi
dunia, diproyeksikan mengalami perlambatan yang lebih dalam. Pertumbuhan
perekonomian global diproyeksikan akan lebih banyak bertumpu pada negara
OECD, khususnya Amerika Serikat.

Tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi global sudah terefleksikan dalam


harga komoditas energi yang cenderung menurun sejak kuartal ketiga 2014.
Sampai dengan September 2015, harga minyak telah mengalami penurunan lebih
dari 60%. Sementara harga gas telah menurun tidak kurang dari 52%. Pada kurun
waktu yang sama, harga batu bara juga tercatat mengalami penurunan sekitar
45%.

Harga komoditas tambang nonenergi pada periode yang sama berada pada tren
yang juga menurun. Kinerja sektor pengguna komoditas tambang (energi dan
nonenergi), yang cenderung menurun berdampak tidak hanya pada harganya,
tetapi juga pada prospek investasi sektor tambang dan energi.

Purchasing Manager Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur,


nonmanufaktur, dan sektor jasa di sejumlah negara OECD, emerging , dan
developing tercatat cenderung menurun. Hal tersebut berdampak terhadap
permintaan komoditas hasil tambang dan energi yang juga menurun.
Kecenderungan penurunan harga komoditas tambang dan energi berdampak
terhadap peringkat investasi sektor tersebut menurun.
Sejumlah lembaga rating memberikan peringkat yang lebih rendah kepada sektor
tambang dan energi dibandingkan sektor yang lainnya. Akibatnya, biaya investasi
perusahaan tambang dan energi, terutama yang bersumber dari utang, menjadi
lebih mahal. Dalam perkembangannya, kecenderungan penurunan investasi sektor
tambang dan energi juga terjadi di Indonesia.

Sampai dengan kuartal kedua 2015, investasi langsung di sektor pertambangan dan
energi Indonesia sejumlah negara dari kawasan Amerika dan Eropa tercatat
mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan meliputi investasi yang
dilakukan di sektor pertambangan minyak dan gas dan pertambangan mineral dan
batu bara.

Mencermati perkembangan beberapa indikator yang ada, saya memproyeksikan


prospek investasi sektor pertambangan dan energi Indonesia untuk kurun 2015-
2016 belum akan kembali pada tren normal. Prospek investasi sektor energi dan
pertambangan yang berbasis energi kemungkinan akan relatif lebih baik
dibandingkan pertambangan nonenergi.

Sejumlah proyek pemerintah di sektor energi seperti proyek pembangkit listrik


35.000 MW, pengembangan jaringan gas untuk sektor transportasi dan rumah
tangga, dan pembangunan kilang akan mendorong prospek investasi sektor energi
dan tambang yang berbasis energi menjadi relatif lebih baik.

Akan tetapi, potensi tersebut akan sulit dikonversi jika sejumlah hambatan investasi
yang selama ini dikeluhkan oleh investor tidak segera direspons atau diselesaikan
oleh pemerintah. Dari identifikasi yang dilakukan, permasalahan utama yang
dihadapi pelaku usaha sebagian besar adalah masalah nonteknis seperti masalah
harmonisasi regulasi, perizinan, dan pembebasan lahan.

Sebagian besar domain penyelesaian masalah tersebut berada di tangan


pemerintah dan pemerintah daerah, bukan pelaku usaha. Karena itu, jika
pemerintah tidak akomodatif terhadap keluhan dan kebutuhan pelaku usaha,
prospek investasi sektor tambang dan energi Indonesia kemungkinan akan semakin
menurun.

Pada situasi perlambatan ekonomi global, sebagian besar negara diproyeksikan


berlomba memberikan berbagai kemudahan untuk menarik investasi masuk ke
negara mereka. Dalam hal ini, saya berpandangan itu pula yang seharusnya
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Karena itu, peninjauan kembali terhadap sejumlah kebijakan yang selama dinilai
menjadi disinsentif investasi sektor pertambangan dan energi seperti kewajiban
penggunaan Letter of Credit (LC), kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan
pembatasan kuota ekspor perlu dilakukan oleh pemerintah.
Moodys Cermati Sektor Komoditas & Energi

Selasa, 31/05/2016 05:40 WIB

http://koran.bisnis.com/read/20160531/430/552824/moodys-cermati-
sektor-komoditas-energi

JAKARTA Lembaga riset internasional, Moody's Investors Service, mencermati potensi


naiknya risiko kredit perbankan di Asia Pasifik yang berkaitan langsung dengan sektor-sektor
komoditas, pertambangan, dan energi.

Dalam paparannya yang dirilis di Singapura, Senin (30/5), Moodys melihat kualitas pinjaman
cenderung memburuk dengan asumsi harga energi dan komoditas masih akan tetap rendah dalam
waktu lama.

Eugene Tarzimanov, Vice President and Senior Credit Officer Moody's, mengatakan sektor
energi dan komoditas paling berisiko, termasuk subsektor industri logam dan pertambangan,
sektor minyak dan gas, termasuk jasa, lepas pantai, pelayaran, serta produksi kapal.

"Secara umum, kami tidak berharap terjadi peringkat negatif bagi perbankan terkait dengan
paparan komoditas. Sebab, perbankan di Asia Pasifik memiliki penyangga keuangan yang baik,
paparan komoditas di tingkat moderat, dan peringkat yang sudah memperhitungkan pelemahan
kualitas aset," kata Tarzimanov dalam riset yang terbit pada Senin (30/5).

Laporan tersebut menyatakan berdasarkan ekspektasi Moody's, harga komoditas akan tetap
rendah dalam waktu yang lama, pendapatan perusahaan akan berimbas negatif.
Apabila kondisi itu terus berlangsung, banyak perusahaan komoditas tidak sanggup membayar
utangnya ke perbankan. Akhirnya, perbankan tertekan dan kesulitan untuk memulihkan kualitas
aset dan profitnya.

Menurut Moody's, tekanan pada kualitas kredit yang berkaitan dengan komoditas tersebut dapat
mengakibatkan perbankan di Singapura, Korea, dan Mongolia menyandang peringkat
negatifdalam 12 hingga 18 bulan mendatang.

Prediksi ini tercermin dalam prospek negatif Moody's terhadap banyak bank di tiga negara
tersebut. Untuk kredit dari industri minyak dan gas serta industri yang berkaitan dengannya,
seperti pelayaran, kapal, dan pembangunan rig, perbankan di Singapura dan Korea lebih mudah
terpapar dibandingkan dengan perbankan lain di Asia Pasifik.

Di Singapura dan Korea, tingkat paparan kredit mencapai sekitar 5% terhadap total pinjaman.
Sementara itu, untuk sektor logam dan pertambangan, perbankan yang paling terkena paparan
yakni bank di Mongolia (10% dari total pinjaman), India (7%, termasuk baja), Indonesia (sekitar
5%), dan China (sekitar 4%).

Menurut Moody's, beberapa bank di Asia Pasifik menunjukkan masalah kredit yang besar dari
industri logam dan pertambangan global. Dua sektor ini tertekan selama bertahun-tahun.

Menurut data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan tingkat NPL di sektor pertambangan dan
transportasi sampai kuartal I/2016 menunjukkan kenaikan terbesar kedua dan ketiga setelah
sektor perdagangan besar dan eceran.

Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) sektor pertambangan naik sebesar 56
bps menjadi 4,61% dibandingkan dengan akhir tahun lalu, sedangkan NPL sektor transportasi
naik 55 bps menjadi 4,39% dibandingkan dengan akhir tahun lalu.

TUMBUH MELAMBAT

Tingkat pertumbuhan kredit sektor pertambangan sepanjang tiga bulan pertama tahun ini pun
mencatatkan perlambatan. Untuk pertumbuhan kredit investasi hanya tumbuh 16,57% menjadi
Rp54,57 triliun dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu.

Persentase itu pun lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal I/2015 yang
sebesar 19,74%. Lalu, pertumbuhan kredit modal kerja justru minus sebesar 30,19% menjadi
Rp59,65 triliun dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu yang senilai Rp77,66 triliun.

Sementara itu, di tengah harga komoditas yang masih tertekan, sektor energi yang terdiri dari
gas, listrik, dan air justru mencatatkan tren positif sepanjang tahun berjalan ini.
Dari segi pertumbuhan kredit investasi naik dua digit sebesar 15,79% menjadi Rp82,84 triliun
dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu. Persentase itu lebih tinggi ketimbang kuartal
I/2015 yang hanya tumbuh 7,43%.

Sebelumnya, Eric Sugandi, Direktur Riset Kenta Institute, mengatakan sektor energi seperti gas
dan listrik memang mempunyai prospek jangka panjang sehingga potensi tekanan harga
komoditas yang sifatnya cenderung jangka pendek tidak terlalu masalah.

Di tengah itu, kebutuhan dana pengembangan sektor energi membutuhkan biaya besar, jadi
sektor energi tetap prospektif, ujarnya.

Awal tahun ini, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Group Risiko Perekonomian dan Sistem
Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Moch. Doddy Ariefianto menuturkan
pertambangan dan komoditas belum mengalami perbaikan pada tahun ini seiring dengan
turunnya harga minyak dunia.

"Dua sektor itu masih enggak jadi idola karena harga minyak jeblok lagi. Bank-bank masih
waspadai sektor tambang sama perkebunan komoditas," katanya.

Laporan Analisis Stabilitas dan Sistem Perbankan Triwulan IV/2015 memberi gambaran bahawa
pertumbuhan kredit untuk sektor pertambangan terus mengalami penurunan seiring dengan
turunnya harga komoditas dan batu bara di pasar global.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Maret 2016 total kredit sektor
pertambangan dan penggalian nilainya Rp120,77 triliun. Sementara itu, kredit di sektor listrik,
gas, dan air nilainya sebesar Rp98,63 triliun.

Nilai kredit di kedua sektor itu berkontribusi sekitar 5% dari total penyaluran dana bank yang
mencapai Rp4.029,92 triliun hingga Maret tahun ini.

Migas, Minerba, dan Outlook 2016


Senin, 14 Desember 2015, 12:00 WIB
http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/15/12/14/nzc0k72-migas-minerba-dan-
outlook-2016

Dalam dua bulan menjelang berakhirnya tahun 2015 ini, isu di seputar sektor energi dan sumber
daya alam (ESDM) banyak mewarnai dinamika perekonomian kita. Terakhir, kita dihebohkan
dengan polemik seputar masa depan keberlanjutan Freeport di Papua pascaberakhirnya kontrak
Freeport pada 2021.

Terlepas dari polemik seputar kontrak Freeport tersebut, harus diakui bahwa sektor ESDM
memang memainkan peran penting bagi perekonomian Indonesia. Jatuh bangunnya sektor ini
turun menentukan jatuh bangunnya perekonomian Indonesia.

Selama 2015 ini, pertumbuhan sektor ESDM tidak terlalu menggembirakan. Penyebabnya adalah
rendahnya harga-harga komoditas energi (migas dan batu bara), mineral, dan logam yang
disebabkan karena melemahnya permintaan (demand) atas berbagai komoditas tersebut. Kondisi
ini menyebabkan pertumbuhan sektor ESDM terpuruk alias negatif. Pada kuartal III-2015, sektor
pertambangan tumbuh negatif 5,6 persen (year on year/yoy). Pertumbuhan negatif pada kuartal
III-2015 ini melanjutkan kinerja yang sama pada semester pertama 2015 yang juga tumbuh
negatif 3,6 persen (yoy).

Seiring dengan jatuhnya kinerja sektor ESDM ini, daerah-daerah yang memiliki ketergantungan
pada komoditas tersebut juga mengalami kinerja pertumbuhan yang negatif. Pada kuartal III-
2015, seiring dengan jatuhnya harga minyak, daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas)
seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur juga mengalami pertumbuhan negatif. Sementara itu,
seiring dengan jatuhnya harga-harga dan juga lesunya aktivitas pertambangan mineral yang
disebabkan regulasi larangan ekspor mineral, ekonomi Papua juga mengalami pertumbuhan
ekonomi yang negatif.

Melemahnya kinerja pertumbuhan di sektor ESDM ini pada akhirnya turut menyebabkan
pelemahan kinerja di sektor lainnya. Di sektor perbankan, misalnya, juga terjadi pemburukan
kualitas kredit yang dikucurkan ke sektor pertambangan. Hal ini terlihat dari tingginya angka
kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) kredit di sektor pertambangan pada kuartal III-
2015. Kalimantan, Papua, dan Maluku mengalami peningkatan NPL tertinggi. Tingginya NPL
Kalimantan disebabkan oleh ketergantungan terhadap sektor pertambangan. Sementara, di Papua
dan Maluku peningkatan NPL disebabkan oleh sektor perdagangan yang juga terimbas oleh
lesunya sektor pertambangan.

Perkiraan saya, pada kuartal IV 2015 ini, kinerja sektor ESDM akan sama, yaitu masih
melanjutkan pertumbuhan yang negatif. Indikasinya sudah terlihat, seperti ditunjukkan oleh
semakin turunnya harga-harga komoditas energi (migas dan batu bara) dan juga harga mineral
dan logam dalam dua bulan terakhir.

Berdasarkan data Bank Dunia, pada November 2015, indeks harga energi (terhadap harga tahun
2010) tinggal 55,17 atau tinggal separuhnya. Sementara itu, harga mineral dan logam masing-
masing tinggal 63,81 dan 57,85. Ekspor migas selama Januari-Oktober 2015 juga menurun 38,76
persen (yoy). Beruntung, impor migas mengalami penurunan lebih tinggi, yaitu sebesar 42,08
persen sehingga secara neto defisit migas bisa ditekan tinggal 5,4 miliar dolar Amerika Serikat.
Pertanyaannya, akankah kinerja sektor ESDM pada tahun 2016 nanti akan membaik?

Kita mencatat hampir seluruh outlook menempatkan ekonomi Indonesia 2016 lebih baik
dibanding 2015. Perkiraan ini didasarkan pada perkiraan bahwa perekonomian global pada 2016
akan sedikit lebih baik dibanding 2015. Dengan kata lain, terdapat peluang ekonomi kita
mengalami pembalikan positif (rebound). Dan peluang rebound ini juga dimiliki oleh sektor
ESDM. Perkiraan saya, kinerja ESDM di 2016, akan sedikit lebih baik dibanding 2015.
Namun demikian, terdapat beberapa risiko yang juga masih menghantui ekonomi kita. Pertama,
dari sisi eksternal, ekonomi global memang membaik. Sayangnya, perbaikan ekonomi global ini
tidak disebabkan oleh faktor Cina. Pada 2016, IMF memproyeksikan Cina hanya tumbuh 6,3
persen, jauh di bawah 2014 sebesar 7,3 persen dan 2015 sebesar 6,8 persen (proyeksi). Padahal,
Cina adalah negara terbesar tujuan ekspor kita, terutama ekspor komoditas kita.

Kedua, risiko berlanjutnya penurunan harga komoditas. Penurunan harga komoditas diperkirakan
masih berlanjut pada 2016 sejalan dengan berakhirnya super-cycle harga komoditas.
Perkembangan ini tentu harus dicermati karena dapat semakin menurunkan ekspor Indonesia dan
menghambat pemulihan ekonomi apabila kita tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan
pada ekspor berbasis sumber daya alam.

Di luar faktor eksternal tersebut, beberapa faktor yang bersumber dari internal juga akan turut
menahan laju pemulihan kinerja sektor ESDM. Salah satunya adalah bersumber dari faktor
regulasi.

Pada Januari 2016, pelonggaran ekspor mineral yang diberikan pemerintah pada perusahaan
pertambangan mineral dan logam tertentu akan berakhir. Dan bila pemerintah tidak lagi
memperpanjang izin ekspor mineral karena persyaratan membangun smelter belum kunjung
dipenuhi, dapat diperkirakan bahwa daerah-daerah yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap
sektor pertambangan akan terimbas oleh terhentinya aktivitas pertambangan di daerahnya
tersebut. Kondisi ini, pada akhirnya, akan meneruskan pertumbuhan negatif sektor
pertambangan. Setidaknya, pada kuartal I 2016, pertumbuhan sektor ESDM masih akan
melanjutkan tren negatif atau pertumbuhan positif tetapi cenderung tipis.

Mengingat pentingnya kedudukan sektor ESDM ini, maka menjadi penting untuk segera
ditemukan solusi bagi percepatan kinerja sektor ini. Percepatan kegiatan hilirisasi di sektor
pertambangan mineral dan logam penting, karena ini menyangkut konsistensi kita terkait dengan
pelaksanaan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) kita.
Kegiatan hilirisasi juga penting untuk menciptakan nilai tambah bagi hasil pertambangan
minerba kita. Oleh karena itu, berbagai hambatan terkait dengan proyek hilirisasi ini perlu segera
dicarikan jalan keluar.

Kegiatan investasi di sektor migas, baik hulu maupun hilir, juga perlu dorongan. Pemerintah
telah mengeluarkan sejumlah insentif di bidang perpajakan untuk mendorong kegiatan investasi
di sektor hilir migas, termasuk bagi pembangunan kilang baru. Namun, sektor hulu migas juga
perlu memperoleh dorongan yang sama. Kegiatan hulu migas saat ini sedang lesu, baik dari sisi
produksi apalagi kegiatan eksplorasi. Kegiatan eksplorasi membutuhkan investasi besar. Tanpa
ada insentif khusus, terutama di saat harga minyak masih sangat rendah, kegiatan eksplorasi
menjadi tidak menarik.

Indonesia memiliki potensi cadangan migas yang besar yang belum dieksploitasi, terutama di
kawasan lepas pantai (offshore). Namun, kurangnya dukungan infrastruktur, kegiatan eksploitasi
(dan eksplorasi) di offshore menjadi kurang menarik. Di Malaysia, untuk mendorong kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi di offshore, diberlakukan insentif fiskal yang berbeda dengan yang
kegiatan di darat (onshore). Hal inilah yang turut mendorong perkembangan yang pesat pada
kegiatan hulu migas di Malaysia.

Tampaknya, memang masih banyak hal yang perlu dikejar untuk memulihkan kinerja sektor
ESDM. Jatuhnya harga komoditas memang menjadi tantangan. Namun, juga sekaligus menjadi
momentum untuk fokus pada percepatan kegiatan investasi di sektor ESDM. Dan saya
berpendapat bahwa fokus pada sasaran sektoral adalah kuncinya.

Oleh Sunarsip

Anda mungkin juga menyukai