Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING II

BLOK TROPICAL MEDICINE

Tutor : dr. Susiana Candrawati, Sp.KO

Kelompok 5

G1A010049 Anggita Setiadi N R

G1A010050 Danny Amanati A

G1A010051 Shofa Shabrina Henandar

G1A010052 Albertus Aditya Budiyanto

G1A010053 Rhininta Adistyarani.

G1a010054 Nurvita Pranasari

G1A010056 Febrilia Mutiara Sari

G1A010057 Indrajati Laksana

G1A010058 Rahmat Vanadi N

G1A009081 Rahma Dewi A

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2013

INFO 1

An. Bobolaki-laki usia 7 tahun datang ke poli klinik dengan keluhan demam.
Keluhan tersebut dirasakan sejak 7 hari yang lalu. Demam timbul
perlahan,demam meningkat pada sore hingga malam hari dan menurun saat pagi
hari. Demam tidak disertai menggigil dan tidak ada kejang. Anak sudah dibawa
kedokter 4 hari yang lalu dan diberi obat penurun panas dan puyer (tetapi tidak tau
obat apa saja yang didalam puyer tersebut), setelah minum obat panasnya turun
kemudian 1 jam berikutnya kembali demam lagi. Selain demam, anak juga
mengeluhkan perut terasa sakit, mual dan muntah yang berisi makanan. Nafsu
makan menurun. BAK (+) N, namun sudah 2 hari ini anak tidak BAB. Anak tidak
pernah mengeluhkan sakit yang sama sebelumnya. Anak terbiasa jajan makanan di
pinggir jalan.

I. Klarifikasi Istilah
a. Demam
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-
hari yang berhubungan dengan peningkatan titikl patokan di hipotalamus.
Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2oC. Derajat suhu yang dapat
dikatakan demam adalah rectal temperature 38,0oC atau oral temperature
37,5OC (IDAI, 2012).
Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia.
Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu .41,5OC yang dapat
terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada
pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (IDAI, 2012).

Adapun tipe demam sebagai berikut :


1 Demam Septik. Suhu badan naik ke tingkat tinggi sekali pada malam hari,
lalu suhu turun (masih) di atas normal pada pagi hari pada pagi hari.
Sering terdapat menggigil, berkeringat
2 Demam Hektik. Suhu badan naik ke tingkat tinggi sekali pada malam
hari, lalu suhu turun sampai normal pada pagi hari pada pagi hari.
3 Demam Remiten. Suhu badan dapat turun setiap hari namun tidak pernah
sampai suhu badan normal, namun selisih tak pernah sampai >2 C, tidak
sebesar penurunan pada demam septik.
4 Demam Intermiten. Suhu badan dapat turun beberapa jam dalam 1 hari.
Bila demam terjadi tiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua
hari bebas diantara dua serangan demam disebut kuartana.
5 Demam Kontinyu. Variasi suhu badan yang meningkat sepanjang hari
dan tidak berbeda lebih dari 1 C. Jika sampai pada tingkat yang lebih
tinggi disebut hiperpireksi.
6 Demam Siklik. Demam ditandai dengan kenaikan suhu selama beberapa
hari, kemudian diikuti periode bebas demam selama beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

Tabel Tabel 1.1. suhu normal menurut metode pengukuran (IDAI, 2012)

Metode pengukuran Suhu normal

Rectal 36,6 38 oC
Membrane timpani 35,8 38 oC
Oral 35,5 37,5 oC
Aksila 34,7 37,3 oC

Pola demam :
Demam saddleback / pelana (bifasik)
Ciri demam ini adalah penderita mengalami demam tinggi
beberapa hari disusul oleh penurunan suhu, kurang lebih satu hari,
lalu muncul demam tinggi lagi. Demam tipe ini terdapat pada
beberapa penyakit seperti dengue, yellow fever, Colorado tick
fever, Rit valley fever, dan infeksi virus contohnya influenza,
poliomyelitis (IDAI, 2012).
II. Batasan Masalah
a. Identitas pasien
Nama : An Bobo
Usia : 7 tahun
Jenis kelamin : laki-laki

b. RPS
KU : demam
Onset : 7 hari yang lalu
Kuantitas : terus menerus, meningkat pada sore hingga malam
hari dan menurun pada pagi hari
Progresifitas : perlahan

Gejala penyerta : tidak ada menggigil, tidak ada kejang, perut sakit,
mual, muntah, nafsu makan menurun, konstipasi
selama 2 hari

c. RPD : tidak ada riwayat sakit yang sama


d. RPK :-
e. RPSos : jajan dipinggir jalan

III. Anaisis Masalah


1. Anamnesis tambahan
2. Bagaimana mekanisme demam ?
3. Bagaimana mekanisme demam meningkat pada sore hingga malam
hari dan menurun pada pagi hari ?

Jawaban :

1 Anamnesis :
a. PHBS (Cuci tangan dan kebersihan makan sebelum dimasak)

2 Mekanisme demam
Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit,
makrofag, dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal
sebagai pirogen endogen IL-1(interleukin 1), TNF (Tumor Necrosis
Factor ), IL-6 (interleukin 6), dan INF (interferon) yang bekerja pada
pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan termostat.
Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan
di suhu normal. Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik
patokan menjadi 38,9 C, hipotalamus merasa bahwa suhu normal
prademam sebesar 37 C terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-
mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh (Sherwood,
2001).
Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan
suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang
diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang. Ransangan endogen seperti
eksotoksin dan endotoksin menginduksi leukosit untuk mengeluarkan
pirogen endogen, dan yang poten diantaranya adalah IL-1 dan TNF,
selain IL-6 dan IFN. Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem saraf
pusat tingkat OVLT (Organum Vasculosum Laminae Terminalis) yang
dikelilingi oleh bagian medial dan lateral nukleus preoptik, hipotalamus
anterior, dan septum palusolum. Sebagai respon terhadap sitokin tersebut
maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2
melalui metabolisme asam arakidonat jalur COX-2 (cyclooxygenase 2),
dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam (Nelwan
dalam Sudoyo, 2006).

Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non


prostaglandin melalui sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh
produk lokal MIP-1 (machrophage inflammatory protein-1) ini tidak dapat
dihambat oleh antipiretik (Sherwood, 2001).
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas,
sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat
mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong
suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai respon
terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan
disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi (Sherwood, 2001).

3 Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak
mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini
merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dalam praktek
pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Variasi diurnal biasanya
terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi. Suhu tubuh
normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi diurnal). Suhu
terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 06.00 dan tertinggi pada
awal malam hari pukul 16.00 18.00. Kurva demam remiten biasanya
juga mengikuti pola diurnal ini (El-Radhi et al., 2009; Fisher dan Boyce,
2005).

Gambar 1.2. Demam remiten

INFO 2
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak lemah
Kesadaran : compos mentis, GCS : E4V5M6
Vital Sign : TD : 110/70 MM Hg, Nadi : 84 x/menit, RR :
20x/menit, Suhu : 38,50C
BB : 20 kg , TB : 100 cm
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Mulut : lidah kotor (+), tepi hiperemis (+), lidah tremor (+)
Tenggorokan : faring hiperemis
Thorax : Cor dan pulmo dbn
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) menurun
Perkusi : Timpani
Palpasi : Hepar teraba 1 jari BACD tepi tajam, konsistensi
kenyal, permukaan rata. Lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), ptekiae (-/-)
Dari info 1 dan 2, kami memiliki beberapa DD :
1. Demam thypoid
2. Hepatitis A
3. DF
4. Gastroenteritis
5. Influenza
Perbedaan pemeriksaan fisik antara beberapa DD :

Demam thypoid Hepatitis A Dengue fever Gastroentritis Influenza


Kenaikan suhu tubuh Pembesaran Bercak merah Riwayat diare faringitis
hepar dikulit (+)
Gangguan kesadaran Liver span Demam tinggi Bising usus Sekret hidung
meningkat
Bibir kering dan Nyeri Nyeri anggota batuk
pecah hipokondriak badan
a
Dekstra
hepatosplenomegali Demam Kenaikan suhu Pembesaran
kelenjar servikal
Bradikardi relatif Sklera ikterik Nyeri kepala
hebat
Lemah/lesu Nyeri di belakang
bola mata
Nyeri tekan menggigil
abdomen

Dari beberapa pemeriksaan fisik diatas, hanya 2 diantara 5 DD yang mendekati,


yaitu demam thypoid dan DF. Adapun perbedaan pemeriksaan penunjang antara
kedua penyakit yaitu:

1. Demam thypoid
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar
hemoglobin, trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia,
leukopenia, leukosit normal, hingga leukositosis. (Isselbacher, 1999)
Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi.
Pemeriksaan kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada
minggu pertama penyakit. Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien
yang tidak diobati antibiotik. Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji
serologi Widal dan deteksi antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum.
(Isselbacher, 1999)
Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen
O yang berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella
Salmonella typhi. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila
ditemukan titer O aglutinin sekali periksa mencapai 1/200 atau terdapat
kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Apabila hasil tes widal menunjukkan
hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis
demam tifoid (Isselbacher, 1999).

2. DF
Pada pemeriksaan darah ditemukan keukopenia selama periode pra-
demam dan demam, neutrofilia relative dan limfopenia, kemudian
neutropenia relative dan limfositosis pada periode puncak penyakit. Eosinofil
menurun pada permulaan dan puncak sakit, hitung jenis neutrofil bergeser
kekiri selama demam. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1
minggu (IDAI, 2012).
Pemeriksaan laboratorium :
a. Trombositopeni (< 100.000 /ul)
b. Terdapat minimal satu tanda kebocoran plasma sebagai berikut

1. Hemokonsentrasi (kenaikan Ht > 20% dibandingkan


standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin).
2. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengannilai hematokrit sebelumnya.

INFO 3
Pemeriksaan Penunjang:
Lab darah:
Hb : 13,7 g/dl
Ht : 40 %
Leukosit : 3.000/l
HJL : 0/1/3/22/70/5

INFO 4
Serologi widal :
Salmonella Thypi O 1/320
Salmonella Thypi H 1/640
Salmonella Parathypi AO : (-)
Salmonella Parathypi AH : (-)
Salmonella Parathypi BO : (-)
Salmonella Parathypi BH : (-)

IgM anti-Salmonella thypi : (+)


IgG anti-Salmonella thypi : (+)

Dari perbedaan pemeriksaan penunjang kedua DD, maka di dapatkan


demam thypoid sebagai diagnosis kerja karena dari penegakan diagnosis yang
lebih mengarah kepada penyakit Demam Thypoid

INFO 5
Diagnosis : Demam Tifoid

IV. Sasaran Belajar

1 Definisi demam thypoid ?


Demam thypoid : infeksi akut pada saluran pencernaan yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid mengakibatkan 3
kelainan pokok, yaitu : demam berkepanjangan, gangguan sistem
pencernaan dan gangguan kesadaran (Widoyono, 2011).
Demam lebih dari tujuh hari merupakan gejala yang paling menonjol.
Demam ini bisa diikuti oleh gejala tidak khas lainnya, seperti anoreksia
atau batuk. Gangguan saluran pencernaan yang sering terjadi adalah
konstipasi dan obstipasi (sembelit), meskipun diare bisa juga terjadi.
Gejala lain pada saluran pencernaan adalah mual, muntah atau perasaan
tidak enak di perut. Pada kondisi yang parah, demam tifoid bisa disertai
dengan gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringan,
apatis, somnolen hingga koma (Widoyono, 2011).

2 Epidemiologi demam thypoid ?


Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di Dunia, sangat sulit
ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun
2009, memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.
Insidens rate demam tifoid di Asia Selatan dan Tenggara termasuk China
pada tahun 2010 rata-rata 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens
rate demam tifoid tertinggi di Papua New Guinea sekitar 1.208 per
100.000 penduduk per tahun. Insidens rate di Indonesia masih tinggi yaitu
358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk
perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000-1.500.000
penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan
CFR sebesar 10% (Nainggolan, R, 2011).
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun
2008, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak
pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116
dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan
jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh
DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (Depkes RI,
2009).

Pada saat ini demam tifoid harus mendapat perhatian yang serius
karena permasalahannya yang makin kompleks sehingga menyulitkan
upaya pengobatan dan pencegahan (MenKes RI, 2006). Permasalahan
tersebut adalah : (MenKes RI, 2006).

a. Gejala-gejala klinik bervariasi dari sangat ringan sampai sangat berat


dengan komplikasi yang berbahaya.
b. Komorbid atau koinfeksi dengan penyakit lain.
c. Resistensi yang meningkat terhadap obat-obat yang lazim dipakai.
d. Meningkatnya kasus-kasus karier atau relaps.
Sampai saat ini, sangat sulit dibuat vaksin yang efektif, terutama untuk
masyarakat kita yang tinggal didaerah-daerah yang bersifat endemik
(MenKes RI).
3 Etiologi demam thypoid ?

1. 96 % disebabkan oleh salmonella typhi, basil gram negative yang


bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekuran-
kurangnya 3 macam antigen, yaitu :

a. Antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipolisakarida)

b. Antigen (flagella)

c. Antigen VI dan protein membran hialin


2. Salmonella paratyphi A

3. Salmonella paratyphi B

4. Salmonella paratyphi C

5. Feces dan urin yang terkontaminasi dari penderita typus


Kuman salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan
suhu 37oC dan mati pada suhu 54,4oC (Simanjuntak, C. H, 2009).

4 Tanda dan gejala demam thypoid ?

Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari


status kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit,
penderita demam tifoid selalu menderita demam dan banyak yang
melaporkan bahwa demam terasa lebih tinggi saat sore atau malam hari
dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang menyebut karakteristik demam
pada penyakit ini dengan istilah step ladder temperature chart, yang
ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari, mencapai titik
tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan
selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat
fokus infeksi. (Isselbacher, 1999) (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008)

Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise,


pusing, batuk, nyeri tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia,
hingga delirium dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat
ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian tengah dan
kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi
abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular
berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose spot
(Behrman, 2000).
Rose spot merupakan suatu ruam makropapular yang berwarna merah
dengan ukuran 1- 5 mm, sering ditemukan pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas, dan punggung. Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan akan
bertahan selama 2- 3 hari (IDAI, 2012).

5 Penegakan diagnosis demam typoid ?

Diagnosis demam tifoid didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium.

1 Anamnesis

Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan
sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Diantara
manifestasi klinis yang sering muncul adalah

a. Demam
Demam yang terjadi pada demam tifoid berupa febris intermitten.
Selama seminggu pertama suhu tubuh akan berangsur-ansur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Pada minggu kedua demam
akan terus berlanjut dan minggu ketiga suhu tubuh akan berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga
b. Gangguan saluran pencernaan
Pada umumnya penderita akan sering mengeluh nyeri perut
terutama regio epigastrik disertai nausea, mual, dan muntah. Pada
awal sakit sering terjadi meteorismus, diare, atau konstipasi.
c. Nyeri kepala
d. Pusing
e. Nyeri otot
f. Batuk
g. Epistaksis
h. Nyeri ulu hati
i. Nyeri lambung

2 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran penderita umumnya
menurun ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran
seperti berkabut (tifoid). Bradikardi relatif, yaitu peningkatan suhu tubuh
yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi, juga dapat ditemukan.
Suhu tubuh meningkat berupa febris intermitten. Bibir kering dan kadang-
kadang pecah, lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan
tepi lidah kemerahan dan tremor. Hati dan limpa dapat mengalami
pembesaran (hepatomegali, splenomegali) dan perabaan hati kenyal. Nyeri
tekan juga didapatkan pada palpasi abdomen.
3 Pemeriksaan penunjang
Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi
(Chambers, 2006).

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis


demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah
tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3)
uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler (Tumberkala,
2005).

6 Patogenesis demam thypoid ?


Bakteri Salmonella Typhy atau Salmonella paratyphy masuk ke dalam
tubuh manusia melalui makanan. Sebagian mati di lambung karena asam
lambung, dan sebagian lagi masuk ke dalam usus, di dalam usus dan
bermigrasi ke lamina propria, bakteri difagosit oleh makrofag, namoun
bakteri masih tetap hidup di dalamnya. Setelah itu, bakteri keluar dari
makrofag dan masuk ke sirkulasi darah lalu menyerang beberapa organ
retikuloendotelial terutama hepar dan limpa. Proses tersebut dinamakan
infeksi bakteremia 1, namun tanpa gejala. Setelah itu, bakteri masuk lagi
ke sirkulasi darah lalu menyerang beberapa organ hingga menyebabkan
gejala sistemik, inilah infeki bakteremia 2. (Sudoyo, 2009)

7 Patofisiologi demam thypoid ?


Dalam masa bakteremia, kuman mengeluarkan endotoksin yang
susunan kimianya sama dengan somatik antigen (lipopolisakarida), yang
semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari
demam tifoid. Pada penelitian lanjut ternyata endotoksin hanya
mempunyai peranan membantu proses keradangan lokal di mana kuman
ini berkembang (Rampengan dan Laurentz, 1997).
Demam tifoid disebabkan karena Salmonella dan endotoksinnya yang
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang. Zat pirogen yang beredar dalam darah mempengaruhi
pusat termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala
demam (Rampengan dan Laurentz, 1997).
Terjadinya manifestasi klinis disebabkan makrofag pada penderita
menghasilkan substansi aktif yang disebut monokines, selanjutnya
monokines ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang
system imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, panas
(Rampengan dan Laurentz, 1997).
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan
oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, dan limfosit yang sudah
beredegenerasi yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel-sel ini beragregasi
maka terbentuklah nodul, nodul ini sering didapatkan dalam usus halus,
jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ
yang terinfeksi (Rampengan dan Laurentz, 1997).
Kelainan utama terjadi di ileum terminalis dan plak peyer yang
hiperplasi (minggu pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi
(minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa adanya jaringan parut. Sifat ulkus
berbentuk lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus yang dapat
menimbulkan perdarahan bahkan perforasi. Gambaran tersebut tidak
didapatkan pada kasus tifoid pada bayi maupun tifoid kongenital
(Rampengan dan Laurentz, 1997).

8. Penatalaksanaan
a. Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat,
penderita harus istirahat total.
b. Nutrisi
1. Cairan. Penderita harus mendapat cairan yang cukup. Baik
dari oral maupun parenteral
2. Diet.
Makanan tidak berserat dan mudah dicerna dan diet bubur saring
pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi
usus. Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang
lebih padat dengan kalori cukup
3. Transfusi darah
Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus
c. Terapi
1) Antipiretik
Parasetamol
2) Antiemetik
Ondesantron atau domperidon.
3) Robonransia / vitamin
4) Antibiotik
a) Lini pertama
Kloramfenikol masih menjadi pilihan utama untuk
pengobatan demam tifoid. Dosisnya adalah 100
mg/kgBB/hari dibagi menjadi 4 kali pemberian selama 10
14 hari atau sampai 5 7 hari setelah demam turun
(IDAI, 2012).
Ampisilin atau amoxicillin. Dosis anak 100 mg/KgBB/hari
selama 10 hari.
Trimetropim-sulfametoksazol. Dapat digunakan secara oral
atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP
ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa.
b) Lini kedua
Seftriakson. Dosis anak 80 mg/KgBB/hari dosis tunggal
selama 5 hari.
Cefixim. Dosis anak 15-20 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis
selama 10 hari.
Quinolone.
d. kortikosteroid
Diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaan.
Deksametason 1-3 mg/kgbb/hari iv, dibagi 3 dosis hingga kesadaran
membaik
e. Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus

INFO 6
IVFD RL 20 tpm
Inj. Kloramphenicol 4x250 mg i.v
Inj. Ondansetron 2 mg drip 1x1 pagi
Paracetamol 3-4 x 250 mg p.o jika demam
Diet rendah serat

9. Komplikasi
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
d. Pancreatitis
2. Komplikasi ekstra-intestinal
a. Komplikasi kardiovaskular
Gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis

b. Komplikasi darah
Anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis
c. Komplikasi paru
Pneumonia, empiema, pleuritis
d. Komplikasi hepatobilier
Hepatitis, kolesistitis
e. Komplikasi ginjal
Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
f. Komplikasi tulang
Esteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik
Delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma,
sindrom otak akut, meningitis, psikosis, mania akut,
hipomania, meningismus, mioklonus generalisata,
Parkinson rigidity/transient parkinsonism, skizofrenia
sitotoksik, ensefalomielitis, polyneuritis perifer, dan
sindrom Guillain-Barre (Sudoyo, 2009).

10. Prognosis

Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, gizi, derajat


kekebalan penderita, cepat dan tepatnya pengobatan serta komplikasi yang
ada (Rampengan dan Laurentz, 1997).
DAFTAR PUSTAKA

Andri Sanityoso. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam Edisi 5 Jilid 3. Jakarta:
Interna Publishing

Chambers, H.F., 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current


Medical Diagnosis and Treatment (45th ed), 1425-1426.
El-Radhi, A.S., Carroll, J., Klein, N., Abbas, A. 2009. Clinical manual of fever in
children. Edisi ke-9. Berlin: Springer-Verlag.

Fisher, R.G., Boyce, T.G. 2005 Fever and shock syndrome. Moffets Pediatric
infectious diseases: A problem-oriented approach. Edisi ke-4. New York:
Lippincott William & Wilkins
IDAI, 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta : FK UI

Rampengan, T.H., Laurentz, I.R. 1997. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak.
Jakarta: EGC.

R.H.H. Nelwan. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam Edisi 5 Jilid 3. Jakarta:
Interna Publishing

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta:
EGC

Sudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing
Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi
Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur.
Malang : IDAI Jawa Timur, 2005, hal.37-50.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya Edisi kedua. Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai