Anda di halaman 1dari 6

MENGIDENTIFIKASI MANAGEMEN KORBAN BENCANA MASSAL DI RS

1.
2.
3. Initial Assessment adalah langkah2 yang dipakai untuk menilai hal2 yang mengancam nyawa
pasien pada kasus trauma serta bagaimana untuk menangainya dengan benar & cepat.

Wahai teman sejawatku, mari kita pahami tahapan-tahapan dalam pengelolaan penderita trauma.

Persiapan.

Pada tahap persiapan dibagi menjadi 2 keadaan yaitu: Fase pertama adalah tahap pra-rumah
sakit. Sedangkan fase yang kedua adalah fase rumah sakit.

Dalam setiap tahap tentu berbeda persiapannya.

Tahap pra-rumah sakit.

Dalam persiapan pra-rumah sakit petugas diarahkan untuk dapat menstabilisaai, fiksasi, &
transportasi dengan benar serta mampu berkoordinasi dengan dokter maupun perawat di RS yang
dituju.

Tahap rumah sakit.

Dalam tahap ini, dimana dilakukan persiapan untuk menerima pasien sehingga dapat dilakukan
tindakan & sesusitasi dslam waktu yang cepat. Serta data2 dalam tahap pra-rumah sakit juga
dibutuhkan diantaranya waktu kejadian, mekanisme kejadian, serta riwayat pasien.

Primary Survey.

Perhatikan !! Sebelum melakukan tindakan ke pasien terlebih dulu pakai APD (Alat proteksi diri)
karena kita harus tanamkan prinsip 3A yaitu Aman diri, aman lingkungan, & aman pasien.

Setelah memakai APD lalukan cek respon pasien dengan cara memanggil nama, menepuk bahu,
rangsang nyeri. Agar kita dapat mengetahui sejauh mana respon pasien terhadap rangsang suara
& rangsang nyeri, bahkan pasien tidak respon sama sekali.
A = Alert (sadar).

Pasien dapat dikatakan sadar apabila pasien mampu berorientasi terhadap tempat, waktu, &
orang. Penderita benar2 mengetahui apa yang terjadi disekitarnya, dimana ia berada, waktu itu,
bahkan siapa anda. Hal ini digambarkan sebagai Alert (sadar).

V = Verbal (Respon terhadap suara).

Pasien ini dalam keadaan disorientasi tetapi masih bisa diajak bicara.

Bayangkan ketika ada pasien tidak bergerak maupun membuka mata, lalu anda berkata "selamat
pagi, nama bapak siapa?". Ketika itu juga pasien akan membuka mata / hanya berkata
"Huuuhh??!".

P = Pain (Respon terhadap rangsang nyeri).

Dalam keadaan ini, pasien hanya berespon terhadap rangsang nyeri.

Ketika anda menekan ujung kaki/kuku pasien, pasien akan merespon dengan menjauh/menarik
jarinya dari cubitan anda.

U = Unresponsive/Tidak Sadar.

Pasien tidak memberikan respon apa2, baik diberi rangsang suara maupun rangsang nyeri.

4.Airway Management
a.Macam-macam Gangguan Jalan Nafas
1. Trauma maksilofasial
Trauma pada wajah membutuhkan mekanisme pengelolaan airway yang agresif. Contih
mekanisme penyebab cedera ini adalah penumpang/pngemudi kendaraan yang tidak
menggunakan sabuk pengaman dan kemudian terlempar mengenai kaca depan dan dashboard.
Trauma pada daerah tengah wajah dapat menyebabkan fraktur-dislokasi dengan gangguan
padanasofaring dan orofaring. Fraktur pada wajah mungkin menyebabkan sekresi yang
meningkat dan gigi yang tercabut, yang menambah masalah-masalah dapat mempertahankan
masalahdalam mempertahankan airway yang terbuka patien fraktur rahang bawah, terutama
fraktur korpus bilateral, dapat menyebabkabn hilangnya tumpuan normal dan sumbatan airway
akan terjadi apabila penderita berada dalam posisi berbaribg mungkin merupakan indikasi bahwa
ia mungkin merupakan indikasi bahwa ia mengalami kesulitan menjaga airway atau mengatasi
sekresi
2. Trauma leher
Luka tembus leher dapat menyebabka kerusakan vaskuler dengan perdarahan yang berat. Ini
dapat mengkibatkan perubahan posissi dan sumbatan ini tidak memungkinkan intubasi
endotrakheal ini tidak memungkinkan intubasi endotorakal maka akan di perlukan suatu
pemasangan airway dengan cara pembedahan secara urgen. Perdarahan dari kerusakan vaskuler
yang berdekatan dapat banyak dan mungkin memerlukan pembedahan untuk mengatasi.
Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat menyebabkan kerusakan pada laring atau trakhea
yang kemudian meyebabkan sumbatan airway atau perdarahan hebat pada sistem
trakheobronkial sehingga sebegra memerlukan airway definitif.
Cedera leher dapat menyebabkan sumbatan sirway parsial karena kerusakan laring dan trakea
atau penekanan pada air way akibat perdarahan ke dalam jaringan lunak di leher . mula-mula
penderita dengan cedera airway yang serius seperti ini mungkin masih dapat mempertahankan
airway akibat perdarahan ke dalam jaringan lunak di leher. Mula-mula penderita dengan cedera
airway yang serius seperti ini mungkin masih dapat mempertahankan airway dan ventilasinya,
namun bila dicurigai bahaya terhadap airway, suatu ada, pipa endotorakal harus dipasang secara
hati-hati. Apabila penderita mengalami obstruksi airway, yang dapat terjasi secara mendadak dan
surgical airway secara dini biasanya diperlukan.
3. Trauma laringeal
Meskipun fraktur laring merupakan cedera yang jarang terjadi, tetapi hal ini daat menyebabkan
sumbatan airway akut. Fraktur laring ditandai dengan adanya trisas :
a. Suara parau
b. Emfisema subkutan
c. Teraba fraktur
Apabila airway penderita tersumbat total atau penderita berada dalam keadaan gawat 9disstress)
nafas berat, diperlukan usaha intubasi, intubsi dengan tuntutan endoskop flexibel mungkin
menolong pada situasi ini, tetapi hanya kalau dapat dilakukan dengan segera. Apabila intubasi
tidak berhasil, diperlukan trakheostomi darurat dan kemudian diikuti dengan pembenahan
dengan pembedahan. Namun trakheostomi apabila dilakukan pada keadaan darurat, dapat
menyebabkabn perdarahan yang bnyak dan mungkin membutuhkan waktu yang lama.
Krikotiroidotomi surgical meskipun bukan merupakan pilihan cara yang dapat menyelamatkan
penderita.
Trauma jalan pada laring atau trakhea mudah dikenali dan memerlukan perhatian segera.
Terpotingnya total trakhea atau subatan terpotongnya total trakhea atau sumbatan airway oleh
darah atau jaringan lunak dapat menimbulkan bahaya airway akut yang memerlukan bahaya
airway akut yang memerlukan koreksi segera. Cedera-cedera seperti ini sering diikuti cedera-
cedera esofagus, artei karotis, atau vena jugularis juga kerusakan luas jaringan sekitarnya karena
efek ledakan.
Adanya suara nafas tambahan menunjukkan suatu sumbaytan airway parsial yang mendadak
dapat berubah menjadi total. Tidal adanya pernafasan menunjukkan bahwa sumbatan total telah
terjadi. Pabila tingkat kesadaran menurun, deteksi sumbatan airway menjdi. Apabila tingkat
kesadaran menurun, deteksi sumbatan airway menjadi lebih sulit adanya dispnea mungkin hanya
satu-satunya bukti adanya sumbatan airway atau cedera trakheobronkhial.
b. Tanda Obyektif Terjadi Obstruksi Jalan Nafas
1. Lihat (look) apakah penderita mengakami agitasi atau tampak bodoh. Agitasi memberi
kesan adanya hipoksia, dan tampak bodohmemberi kesan adanya hiperkarbia. Sianosis
menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan
melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot nafas
tambahan yang, apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway
2. Dengar (liaten) adanya suara abnormal. Pernafasan yang berbunyu (suara nafas
tambahan) adalah pernafasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring) berkumur(gargling)
dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring
atau laring. Suara parau (hoarseness dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring. Penderita
yang melawa dan kata-kata kasar (gaduh dan gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak
boleh dianggap karena keracunan/ mabuk
3. Raba (feel) lokasi trakhea dan dengan cepat tentukan apakah trakhea berada di tengah.

d.Teknik Mempertahankan Jalan Napas


Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan
tepat. Pulse oxymeter penting digunakan. Bila ditemukan masalah atau dicurigai adanya
masalah, tindakan-tindakan sebaiknya dimulai secepatnya untuk memperbaiki oksigenasi dan
mengurangi resiko bahaya pernafasan lebih lanjut. Ini berupa teknik-teknik mempertahankan
airway, tindakan-tindakan airway definitif (termasuk surgical airway), dengan cara-cara untuk
memberikan tambahan ventilasi. Karena semua tindakan-tindakan ini mungkin mengakibatkan
pergerakan pada leher, maka perlindungan terhadap servikal (servical spine) harus dilakukan
pada semua penderita ,bila terutama diketahui adanya cedera servikal yang tidak stabil atau
penderita belum sempat dilakukan evaluasi lengkap serta beresiko. Servikal harus dilindungi
sampai kemungkinan cedera spinal telah disingkirkan dengan penilaian klinis dan pemeriksaan
foto ronsen yang sesuai.
Penderita yang memakai helm dan membutuhkan tindakan terhadap jalan nafasnya, kepala dan
leher harus dijaga dalam posisi netral, sampai helm dapat dilepaskan. Ini adalah prosedur yang
harus dilakukan 2 orang. Satu orang melakukan imobilisasi segaris in line dari arah
leher,sedangkan petugas satu lagi menarik kedua sisi helm ke arah lateral,sambil menarik helm
ke arah kranial. Kemudian imobilisasi segaris di ambil alih dari petugas yang berada di kepala,
dan keudian dilakukan proteksi servikal. Bila diketahui ada cedera servikal,maka membuka helm
memakai alat pemotong gips akan mengurangi pergerakan leher.
Pemberian oksigen harus dilakukan sebelum dan segera setelah pengelolaan jalan nafas. Alat
suction yang kaku(rigid) harus senantiasa tersedia. Penderita dengan fraktur tulang wajah
mungkin disertai fraktur lamina kribrosa dan pemakaian kateter suction yang unak, mungkin
akan menyebabkannya masuk ke dalam rongga tengkorak.
A. Teknik-teknik mempertahankan airway
Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh kebelakang
dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan. Airway selanjutnya
dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal atau nasofaringeal. Tindakan-tindakan yang
digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal.
Prosedur -prosedur ini harus dilakukan immobilisasi segaris.
1. Chin lift
Jari-jemari salah satu tangan diletakkan di bawah rahang, yang kemudian secara hati- hati
diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan
menekan bibir bawah utuk membuka mulut. Ibu jari juga dapat diletakkan di belakang gigi seri
bawah dan secara bersamaan, dagu dengan hati- hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperektensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak
membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas tulang leher atau mengubah patah
tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
2. Jaw thrust
Maneuver mendorong rahang di lakukan dengan cara memegang sudut rahang bawah kiri dan
kanan, dan mendorong rahang bawah kedepan. Bila cara ini dilakukan sambil memegang masker
dari alat bag-valve, dapat dicapai kerapatan yang baik dan ventilasi yang adekuat.
3. Airway orofaringeal
Airway oral disisipkan kedalam mulut dibalik lidah. Teknik yang dipilih adalah dengan
menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan airway tersebut kebelakang.
Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke belakang yang justru akan membuntu airway.
Teknik lain adalah dengan menyisipkan airway oral secara terbalik, sehingga bagian yang cekung
mengarah ke kranial sampai didaerah pallatum molle. Pada titik ini alat diputar 180, bagian
cekung mengarah ke kaudal , alt diselipkan ketempatnya di atas lidah. Cara ini tidak boleh
dilakukan pada anak-anak,karena rotasi alat ini dapat mencederai mulut dan faring.
4. Airway nasofaringeal
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan dilewatkan dengan hati-hati
ke orofaring posterior. Pada penderita yang masih memberikan respon airway nasofaringeal lebih
disukai dibandingkan airway orofaringeal karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah. Alat tersebut sebaiknya di lumasi baik-baik,kemudian
disisipkan ke lubang hidung yang tampak tidak tertutup. Bila hambatan dirasakan selama
pemasangan airway,hentikan dan coba melalui lubang hidung satunya. Bila ujung dari pipa
nasofaring bisa tampak di orofaring posterior , alat ini dapat menjadi sarana yang aman untuk
pemasangan pipa nasogastrik pada penderita dengan patah tulang wajah.
5. Multimen esophageal airway device
Alat ini dipakai oleh paramedik di para Rumah sakit sebagai alternatif untuk pemasangan airway
definitif. Satu cabang akan berhubungan dengan esofagus,satu cabang lainnya akan berhubungan
dengan jalan nafas. Petugas yang memasang alat ini sudah terlatih untuk menentukan cabang
yang mana akan berhubungan dengan esofagus akan ditutup,dan cabang yang mana akan
berhubungan dengan trakea, dan yang mana dengan esofagus. Cabang yang berhubungan dengan
esofagus akan ditutup , dan cabang yang berhubungan dengan trakhea akan dilakukan ventilasi.
Pemakaian detektor CO2 akan meningkatkan akurasi pemasangan alat ini. Bila penderita
terpasang alat ini, maka setelah penilaian penderita, alat ini harus dibuka dan diganti dengan
airway definitif.
6. Laryngeal mask airway (LMA)
LMA bukan airway definitif. Pemasangan alat ini cukup sulit dan memerlukan latihan yang
cukup. Peran alat ini dalam resusitasi penderita belum jelas. Bila penderita terpasang alat ini,
maka setelah penilaian penderita, harus dipertimbangkan untuk membuka dan diganti dengan
airway definitif, atau membiarkan alat ini di tempatnya.

Anda mungkin juga menyukai