Anda di halaman 1dari 3

SANDAL SEROJA

Pada langkahku yang semakin cepat, aku meninggalkan sisa ketakutan di lapang
dada. Semakin jauh aku dari kejaran orang-orang yang ingin menikamku.
Menghabisiku. Tidak lagi kudengar orang-orang meneriaki namaku. Tidak lagi aku
rasakan gesekan perdu di kakiku yang, oh! Kakiku terluka! Berdarah. Merah segar
mengalir. Merahnya seperti warna mata Kelon saat menutup mulutku beberapa jam
yang lalu. Warna merah itu masih berkelebat dalam ketakutan yang menyergap.
Masih mengikuti dalam pelarianku menuju hutan dan keluar pada luas laut yang
entah akan membawaku ke mana. Merah darah itu. Merahnya mengalir mengenai
jari-jari kakiku dan terus menetes, seperti jejak yang sengaja ditinggalkan. Aku
semakin panik. Bagaimana jika Kelon dan orang-orang berhasil menemukanku?

Tidak ada yang kutemui di dalam hutan selain daun-daun serta rumput liar yang
menjulang ditunggani belalang nakal. Terbang ke sana, hinggap ke sini. Membuatku
berkali-kali geli tersentuh sayap kotornya. Aku mencari-cari tisu bekas untuk
membersihkan lukaku. Tapi tak berhasil. Aku gunakan daun-daun selebar telapak
tangan, juga pelepahnya untuk menghentikan darah segar yang mengalir semakin
deras. Kakiku luka entah terkena apa. Curigaku pada perdu-perdu yang tumbuh
sembarang di gigir sungai tadilah biang keladinya. Karena rasa takut yang besar,
aku membiarkan kakiku menginjak apa saja, tersentuh apa saja, tergesek apa saja
yang menghalangi langkahku. Aku tidak memikirkan bagaimana rasa nyeri
menyerang tubuhku bagian bawah. Aku berlari. Meninggalkan Kelon yang terluka
lebih parah dari lukaku. Meninggalkan kerumunan orang yang meneriakiku sedari
tadi. Aku berlari semakin kencang. Menuju hutan dan menyelamatkan hidupku. Oh,
bukan. Menyelamatkan Kelon, dan membiarkanku diterkam binatang buas.

Aku ingat. Kelon pernah bercerita tentang babi hutan dan monyet putih bermata
bengis yang masih berkeliaran di dalam hutan. Katanya, babi itu suka menyerang
manusia. Dengan giginya yang tajam dan dengusannya yang kuat, babi itu bisa
melumpuhkan manusia yang bertubuh lemah. Kawannya, Surakadi, pernah terluka
karena gigitan babi hutan beberapa bulan yang lalu. Ketika itu, mereka sedang
berburu burung. Namun sayang, burung belum didapat, salah satu dari mereka
sudah diserang babi hutan. Matanya berkilat-kilat menyeringai ke semua
pandangan. Lidahnya menjulur-julur, seperti dilanda rasa lapar yang teramat sangat.
Tiba-tiba babi hutan itu melompat dan mencabik lengan Surakadi dengan giginya.
Belum sempat menghindar, Surakadi ambruk ke tanah dan darah mengalir dari
lengannya yang menggendong senapan angin. Kelon dan dua kawan lainnya
mencoba mengusir babi hutan itu sebisanya. Namun justru mereka juga hampir
diserang. Beruntung, mereka masih bisa selamat. Dan babi hutan itu meninggalkan
mereka dengan keadaan yang menegangkan.

Cerita Kelon itu tidak sedikit pun membuatku takut dan mengubah arah pelarianku
berbalik menuju desa. Aku justru semakin kencang berlari ke dalam hutan. Setelah
darah kubersihkan. Aku memilih meninggalkan sandalku sampai di jarak yang entah
berapa jauh sudah aku berlari. Aku meninggalkan sandal pemberian Kelon. Aku
membiarkannya di dalam hutan bersama bercak darah yang masih segar menempel
di ke dulu jepitnya. Sengaja aku tinggalkan. Sebab sandal itu bisa meninggalkan
jejak dan membuat orang-orang akan

***

Seroja berlari dengan kecepatan penuh dalam dirinya. Selendang hijaunya berkibar
sepanjang teriakan orang-orang yang bernafsu ingin menghabisi dirinya. Sementara
aku yang sudah berlumuran darah, dibiarkan begitu saja di halaman rumah pak
Carik. Aku tidak berdaya mengejarnya. Tapi pikiranku sudah menghalangi niat
Seroja. Aku tahu ujung hutan itu lautan lepas yang barangkali saja, babi hutan dan
sekawanannya masih banyak berkeliaran. Monyet putih bermata bengas juga masih
asyik berpindah-pindah tempat dari pohon satu ke pohon lainnya. Lantas berlarian di
pasir pantai yang masih begitu muda, perawan, seperti juga Seroja.

**

"Aku menemukannya! Aku menemukannya!" Dalam kegelisahan, aku mendengar


Aidil berteriak-teriak semakin dekat suaranya. "Seroja? Bagaimana keadaannya,
Dil?" Tanyaku sedikit gemetar. "Aku tak tahu. Aku hanya menemukan sepasang
sandal milik Seroja. Ini darahnya masih segar. Aku yakin, ia sengaja meninggalkan
sandalnya agar kita kehilangan jejak. Di dekat sandal ini juga, banyak pelepah daun
berserakan dan darah menempel di situ. Seroja sempat membersihkannya. Dan
meninggalkan sandalnya. Mungkin juga untukmu, Kelon." Senyumnya getir. Apa
maksud Aidil pada kalimat terakhirnya itu? Sialan!

Anda mungkin juga menyukai