Anda di halaman 1dari 3

MENTAL DAPUR; KRITIK CERDAS DI TENGAH-TENGAH KRISISNYA

KEPERCAYAAN SOSIAL

*)Review pertunjukan teater

Banten, agaknya memiliki ruang kosong yang kapan saja bisa dipenuhi dengan waktu yang
singkat, dengan tawa yang lahir dari sebuah pertunjukan. Bukan bicara tentang berpetak-
petak sawah yang membentang di pedesaannya. Bukan bicara tentang perumahan aduhai
dengan patung kuda yang gagah mengangkat kedua kakinya di gerbang komplek. Bukan pula
bicara soal mall-mall besar yang kini menjadi pusat hiburan di Banten. Tapi, ini soal tawa
yang pecah di tengah-tengah krisis kepercayaan terhadap banyak hal, politik sosial salah
satunya.

Malam tadi (Sabtu, 5/03/2016) dalam acara milad Rumah Dunia yang ke-14, audience
disuguhi pertunjukan menarik yang disutradarai oleh Peri Sandi Huizche, teaterawan asal
kota Bandung yang kini menetap di Serang-Banten. Pertunjukan itu dimainkan oleh para
relawan Rumah Dunia yang sehari-harinya adalah seorang yang menulis puisi, esai,
wartawan, yang jauh dari dunia peran. Tetapi justru, dari arahan sang sutradara, para relawan
Rumah Dunia menyulap dirinya menjadi pemain teater yang menghibur dan sedikit
melupakan bahwa saat ini banyak kepercayaan yang hilang dari segala sudut kota, khususnya
di Banten.

Lakon Mental Dapur menjadi representatif dari masalah-masalah yang kini bermunculan di
Banten. Barangkali, Mental Dapur juga merupakan keresahan sang sutradara yang melihat
Banten sebagai provinsi yang agak carut-marut kini keadaannya. Dari dunia politik, begitu
banyak hal yang menggelitik untuk dikritisi. Begitu juga dari segi prinsip sosial
masyarakatnya yang mudah sekali goyah, mudah sekali berubah. Hal-hal demikian
ditelanjangi sedemikian rupa dalam dialog-dialog para pemainnya, juga dalam lirik lagu yang
dinyanyikan seluruh pemain di setiap jelang babak pertunjukan. Ini yang menarik dari
pertunjukan malam tadi. Peri Sandi Huizche, sang sutradara, tak kehabisan ide untuk
menumpahkan segala keresahannya dalam kemasan pertunjukan yang bergenre drama
komedi tersebut.
Mental Dapur, dibagi menjadi tiga babak. Dalam setiap babaknya melibatkan bawang,
main cupang, dan daging. Ketiga fragmen tersebut menjadi kesatuan utuh yang
menggamblangkan keadaan sosial masyarakat yang semakin tak terkendali, penuh tipu dan
prinsip hidup yang berubah-ubah. Dalam adegan lakon malam tadi, yang masih melekat
adalah ketika salah satu pemainnya melontarkan kalimat yang membuka kembali ingatan
masyarakat Banten tentang peristiwa bulan-bulan lalu. Tentang kepulangan seorang pejabat
dari hotel prodeo. Tersandung kasus korupsi, tidak menjadikan ia dilupakan banyak
masyarakatnya, tetapi justru dielu-elukan dan disambut dengan sangat meriah. Dari lakon
Mental Dapur, dialog sindiran untuk itu terlahir. Tentang enaknya dipenjara, tentang antusias
warga yang menyambut sang pejabat serupa pahlawan dan tetiba dianggap sebagai bapak
pendidikan di salah satu kota di Banten. Dan hal-hal lalu yang barangkali juga memukul
keprihatinan banyak orang.

Selain itu, melekat juga dialog dua tokoh yang akhirnya disatukan dalam pernikahan.
Percakapan keduanyamenjelang akhir pertunjukan, menyentil kehidupan sosial dan
ekonomi kalangan menengah ke bawah. Menyoal tentang kepasrahan hidup yang harus
dibenahi segala kebutuhannya. Sang suami, prinsip hidupnya mulai goyah. Ia menerka-nerka
akan menghadapi hidup yang sulit jika tidak turut hanyut dalam dunia politik yang saling
tikam, saling tipu itu. Sementara sang isteri, hanya ingin hidup sederhana asal senang.
Kemudian pilihan lain terlontar dari sang suami. Ia, meminta isterinya untuk menjadi TKW
yang bisa mengalirkan uang untuk menghidupi keluarganya, bahkan ia rela jika sang isteri
harus menjual tubuhnya. Namun sang isteri tetap menolak. Teguh pada pendiriannya, bahwa
hidup di negerinya sendiri (walaupun negeri yang ditempati semakin jauh dari kata sejahtera,
semakin absurd dan lahir manusia-manusia keji untuk memenuhi urusan perut mereka),
menjadi kebahagiaan yang tiada tara. Terlebih jika ia tetap hidup bersama suami dan anak-
anaknya, meski dalam keadaan susah. Adegan di akhir pertunjukan itu menggelintirkan kritik
sosial yang sangat Ngena. Naif rasanya, ketika kebutuhan hidup sehari-hari tidak bisa
dipenuhi, tetapi hanya berdiam diri yang bisa dilakukan. Tentulah, hal-hal Gila semacam
itu sering kali terlempar dari otak masing-masing pelakunya.

Mental Dapur, pada akhirnya menjadi kritikan yang cerdas di tengah-tengah krisisnya
kepercayaan masyarakat, bahkan terhadap dunianya sendiri. Tema besar yang diangkat dalam
pertunjukan tersebut, nyatanya mampu memberikan kebahagiaan untuk para audience yang
menikmati sampai akhir pertunjukan. Tawa dan gerak tubuh yang turut menghentak kampung
Ciloang menjadi tanda, bahwa meski kepercayaan tergerus, kebahagiaan mesti terus terlahir,
walau di ruang sederhana bernama: pertunjukan teater. Tambahan acara dalam rangkaian
milad Rumah Dunia ke-14 malam itu adalah Battle Stand Up Comedy Endang Rukmana dan
Dedi Setiawan, yang juga pernah besar di Rumah Dunia.

*)Mauliediyaa Yassin, lahir di Serang, 3 Oktober 1990. Bergiat di Kubah Budaya-Serang.


Senang jalan-jalan dan menulis cerita.

Anda mungkin juga menyukai