Anda di halaman 1dari 9

Mengungkap Watak Para Tokoh dan Kritik Sosial dalam Naskah Drama Komedi

“Pinangan” Karya Anton Chekov Saduran Suyatna Anirun

Disusun Oleh:
Nama : Akhmad Wahyudin
NIM : 1201620007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Jl. R.Mangun Muka Raya, RT.11/RW.14, Rawamangun, Kec. Pulo Gadung, Kota Jakarta
Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13220

2022
Mengungkap Watak Para Tokoh dan Kritik Sosial dalam Naskah Drama Komedi
“Pinangan” Karya Anton Chekov Saduran Suyatna Anirun

Akhmad Wahyudin – 1201620007

PBSI/UNJ

Drama merupakan salah satu jenis karya sastra yang terdapat konflik kehidupan manusia.
Seperti yang dikatakan oleh Ferdinan Brunetiere dan Balthazar Verhagen (Nuryanto 2017:4)
mengatakan bahwa drama kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus
melahirkan kehendak manusia dengan action dan prilaku. Drama dikelompokan sebagai karya
sastra karena media yang digunakan untuk menyamapaikan gagasanya adalah bahasa. Namun
drama berbeda dengan karya sastra lainya, karena dalam drama terdapat dua unsur yang
terdapat di dalamnya yaitu naskah dan pertunjukanya. Namun dalam artikel kali ini penulis
hanya ingin berfokus pada unsur naskah pada drama.

drama sendiri terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu jenis tragedi, komedi, tragikomedi,
melodrama, dan farce. Selain itu penulis drama juga berasal dari latar belakang yang berbeda-
beda. Ada penulis-penulis yang memang berasal dari penulis naskah drama, namun ada juga
penulis yang dahulunya merupakan penulis novel dan penyair puisi. Salah satu penulis drama
yang paling terkenal adalah Anton Chekov. Beliau merupakan penulis berkebangsaan Rusia
yang terkenal karena cerpen-cerpen dan dramanya. Salah satu karya yang paling terkenal
adalah naskah drama yang berjudul “The Proposal” yang disadur Suyatna Anirun dengan judul
“Pinangan”.

Naskah drama “Pinangan” atau The Proposal menceritakan kisah seorang pemuda bernama
Agus Tubagus. Ia adalah seorang perjaka tua yang berpenyakitan. Ia datang mengunjungi
tetangganya yang bernama Rukmana Kholil dengan maksud untuk melamar putrinya yang
bernama Ratna Kholil. Namun setelah terjadi pertemuan antara Agus dan Ratna, keduanya
malah bertengkar mengenai hak kepemilikan tanah lapangan Sarigading. Pertikaian itu tak
kunjung selesai dan akhirnya Ratna meminta ayahnya mengusir Agus Tubagus dari rumahnya.

Namun setelah Ratna tahu tujuan sebenarnya Agus datang yaitu untuk melamar dirinya, Ratna
langsung menyuruh ayahnya untuk memanggil Agus yang telah mereka usir untuk datang
kembali. Keduanya pun kembali bertemu. Dalam pertemuan kedua masih juga terjadi
pertengkaran, bukan mengenai hak kepemilikan tanah, melainkan mengenai anjing siapa yang
terbaik diantara anjing mereka berdua. Dengan tak ada habisnya mereka saling
mempertahankan prinsip, sampai akhirnya Rukmana Kholil tetap merestui pinangan Agus
Tubagus sebagai calon suami dari putrinya tersebut.

Drama ini termasuk dalam jenis drama komedi. Komedi sendiri adalah drama ringan yang
sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog kocak dan adegan unik yang bersifat
menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Lelucon bukan tujuan utama dalam
drama komedi, tetapi drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan
kelucuan atau tawa. Kelucuan pun bukan tujuan utamanya, maka nilai dramatik dari komedi
masih tetap terpelihara. Nilai dramatik tidak dikorbankan untuk kepentingan mencari kelucuan.
Hal ini berbeda dengan dagelan yang terkadang mengorbankan nilai dramatik dari lakon demi
kepentingan mencari kelucuan.

Dalam artikel ini penulis akan mengungkap sifat tiga tokoh utama dalam naskah drama
“Pinangan” dan juga kritik sosial yang terdapat di dalamnya.

Sifat Para Tokoh dalam Naskah Drama “Pinangan”

Dalam naskah drama “Pinangan” karya Anton Chekov ini terdiri dari tiga tokoh, yaitu Agus
Tubagus, Ratna Kholil, dan Rukhmana Kholil. Ketiga tokoh dalam naskah drama ini bersifat
netral, terkadang baik, terkadang bisa menjadi pemarah sesuai dengan perkembangan alur
ceritanya. Maka dari itu penulis akan mencoba menganalisis satu persatu tokoh tiga tokoh
tersebut.

Tokoh yang pertama yaitu Agus Tubagus, ia digambarkan sebagai pemuda lajang yang
berpenyakitan. Ia memiliki penyakit jantung yang selalu kumat, ia juga kesulitan dalam
mengungkapkan perasaanya untuk meminang putri Rukhmana Kholil karena dia selalu
gemetar dan cara barbicaranya terbata-bata. Namun ia juga bisa bersifat pemarah dan ngotot
ketika ia berselisih dengan Rukhmana Kholil dan Ratna tentang kepemilikan lapangan Sari
Gading. Berikut kutipan dialog Agus Tubagus yang membuktikan karakter dan sifatnya:

“Terima kasih, Pak Rukmana ... Maaf ... Pak Rukmana Kholil yang baik, aku begitu gugup.
Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku tidak
patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak”

“Aku kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh ujian penghabisan, tapi sebaiknya
memutuskan sesuatu sekarang juga. Kalau orang berpikir terlalu lama, aku ragu untuk
membicarakannya. Menunggu kekasih yang cinta sehidup-semati akhirnya dia tak kawin-
kawin ... Brrr ... Aku kedinginan, Ratna Rukmana gadis yang baik. Pandai memimpin rumah
tangga, tidak jelek, terpelajar, tamatan SKP ... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah
begitu pening. Aku gugup. (MINUM) Chh ... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur
tiga puluh tahun. Boleh dikatakan umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan
tidak tegang. Karena aku punya penyakit jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu terburu-
buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu berkerinyut-kerinyut. Kalau aku baru
saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku sakit, aku bangun, meloncat
seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi tidur lagi. Tapi kalau aku hampir
mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini berulang sampai dua puluh kali. (RATNA
MASUK)”

Dari kedua kutipan dialog tersebut dapat disimpulkan betapa gugupnya Agus Tubagus dan juga
kegelisahan dia untuk meminang Ratna. Pada dialog kedua juga menggambarkan bahwa Agus
merupakan seorang pria lajang yang berpenyakitan.

“Tentu saja bisa! (TEGAS BERTERIAK NGOTOT)”

“Kalau aku tidak sakit napas, nona. Kalau kepalaku tidak berdenyut-denyut, aku tidak akan
berteriak-teriak seperti ini. (BERTERIAK) Lapangan “Sari Gading“ milikku”

Dalam dua dialog tersebut digambarkan bahwa Agus adalah seorang yang pemarah namun
kadang juga kembali netral dan bersikap biasa. Setelah berselisih dengan Ratna soal
kepemilikan lapangan Sari Gading, Agus melupakan niat awalnya yang ingin meminang ratna
dan ia pun memutuskan pergi dari rumah Rukhmana Kholil.

Tokoh yang kedua dalam naskah Drama “Pinangan” yaitu Ratna Kholil. Ia digambarkan
sebagai sosok wanita yang selalu marah-marah dan berseteru panas dengan Agus Tubagus
tanpa mengetahui tujuan baik Agus untuk meminang dirinya. Namun dia juga digambarkan
sebagai wanita yang pemaaf dan tidak segan untuk meminta maaf. Berikut kutipan dialog Ratna
Kholil yang menguatkan watak dan sifat dirinya:

“Maaf, saya memotong. Kau katakan Lapangan “Sari Gading“ apa benar itu milikmu?”

“Milik kami ... ! Biarpun kau akan bertengkar selama dua hari dan memakai lima belas jas,
Lapangan “Sari Gading“ itu tetap milik kami. Aku tidak menghendaki kepunyaanmu. Tetap
aku tidak menghendaki kehilangan kepunyaanku. Sekarang kau boleh katakan apa kau suka!”

“Melamar aku? ... Melamar? ... (JATUH KE KURSI) ... Bawa dia kembali ... Oh, bawa dia
kembali lagi”
“Kami minta maaf, Agus. (DENGAN MANISNYA) Kami terlalu terburu-buru, Agus Tubagus
Jayasasmita, sekarang aku ingat Lapangan “ Sari Gading “ adalah milikmu. Sungguh-
sungguh ...”

Dalam bebapa dialog di atas tergambar bahwa Ratna Kholil memiliki sifat pemarah, keras
kepala, namun ia juga memiliki sifat pemaaf dan tidak malu untuk meminta maaf.

Tokoh terakhir dalam drama ini adalah Rukhmana Kholil, ia digambarkan sebagai sosok yang
memiliki sifat sedikit pemarah, namun ia juga memiliki sifat iba dan perhatian kepada Agus
dan Ratna, terkadang ia juga menjadi penengah dalam perseteruan antara Ratna dan Agus
Tubagus. Berikut kutipan dialog Rukhmana Kholil yang menguatkan wataknya:

“Aku bebas memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa mengucapkan namammu:
“Juragan Muda“! Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku sudah dua
kali umurmu, Juragan Muda. Dan kuminta supaya kau bicara tanpa berteriakteriak, dan
seterusnya ...”

“(MASUK LAGI) Dia akan segera datang, katanya. Oh ... alangkah sulitnya menjadi ayah
seorang gadis yang sudah besar dan sudah kepingin kawin. Akan kupotong leherku, kami hina
orang itu, mempermainkannya, mengusir dia, karena salahmu ... karena kau”

“Siapa mati? (MELIHAT AGUS) Dia benar-benar telah mati, ya Tuhan! Dokter!
(MELETAKKAN AIR DI BIBIR AGUS) Minum ... Ia tidak mau minum. Jadi dia mati, dan
seterusnya ... Mengapa aku tidak menembak diriku? Beri aku pistol! ... Pisau! (AGUS
BERGERAK-GERAK) kukira ia hidup...Minumlah,Agus ..”

“Wahhhh, inilah permulaan hidup bahagia seopasang suami-istri! Mari kita berpesta”.

Kritik Sosial dalam Naskah Drama “Pinangan”

Kritik sosial dibagi menjadi dua, yakni “pengecaman” dan “Pengupasan”. Kritik dapat
didefinisikan sebagai kecaman atau tanggapan yanhg terkadang disertai uraian dan
pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya dan pendapat. Dalam naskah drama
“Pinangan” yang disadur Suyatna Anirun ini banyak sekali mengandung kritik sosial. Seperti
kritik sosial dalam bermasyarakat, kritik terhadap kekuasaan, kritik terhadap hak asasi manusia
(HAM), dan kritik tentang perebutan harta.

Seperti yang disebutkan di awal, bahwa naskah drama “Pinangan” termasuk naskah berjenis
drama komedi yang terdiri dari satu babak. Naskah ini banyak dikaitan dengan keadaan yang
ada di masyarakat Indonesia. Misalnya saja tokoh Agus Tubagus yang penuh dengan basa-basi,
yang awalnya berniat ingin meminang Ratna Kholil namun malah membahas masalah tanah
Sari Gading yang menjadi sengketa diantara keluarganya sehingga menimbulkan perseteruan.
Berikut kutipanya:

“Terima kasih, Pak Rukmana ... Maaf ... Pak Rukmana Kholil yang baik, aku begitu gugup.
Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku tidak
patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak”

“Segera ... segera. Soalnya adalah: Aku datang untuk melamar putri Bapak”

“Baik. Akan kusingkat saja. Ratna Rukmana yang manis, bahwa sejak kecil aku mengenal kau
dan keluargamu, almarhum bibiku dari suaminya, dari mana aku, seperti kau ketahui, diwarisi
tanah dan rumah, selalu menaruh hormat dan menjunjung tinggi ayah dan ibumu. Dan
keluarga Jayasasmita, ayahku, dan keluarga Raden Rukmana, ayahmu, selalu rukun dan boleh
dikatakan sangat intim. Terlebih-lebih lagi seperti kau ketahui, tanahku berdampingan dengan
tanahmu, barangkali kau masih ingat Lapangan “Sari Gading”-ku yang dibatasi oleh pohon-
pohon ...”

Kemudian kritik sosial yang kedua, terlihat cara dua keluarga yang saling bertetangga, yaitu
Agus Tubagus dan Ratna Kholil yang saling memamerkan masing-masing dengan cara
memperdebatkan sengketa tanah. Seperti dalam dialog kedua tokoh berikut:

Ratna : Jangan keliru. Lapangan ‘Sari Gading’ adalah milik kami. Bukan milikmu.

Agus : Tidak. Itu adalah milikku, Ratna Rukmana yang manis.

Ratna : Aneh aku baru mendengar sekarang betapa mungkin tanah itu tiba-tiba menjadi
milikmu.

Agus : Tiba-tiba jadi milikku? Ah, Nona … Aku sedang berbicara tentang Lapangan ‘Sari
Gading’ yang terbentang antara Anyer dan Jakarta.

Ratna : Aku tahu, tapi itu adalah milik kami.

Agus : Tidak, Ratna Rukmana yang terhormat. Kau keliru. Itu adalah milik kami.

Dari kutipan dialohg tersebut, terlihat jelas tokoh Agus dan Ratna memperdebatkan masalah
tanah lapangan Sari Gading dan saling mengklaim bahwa tanah tetrsebut adalah milik mereka.
Padahal yang sebenarnya tanah tersebut adalah tanah sengketa.
Kritik sosial yang ketiga dalam naskah drama ini, yaitu menyinggung tentang kritik terhadap
kekuasaan pembesar kepada bawahan. Hal ini terlihat pada sosok Ratna dalam dialog berikut:

“Bohong! Akan kubuktikan. Hari ini akan kusuruh buruh-buruh kami memotong rumput di
lapangan itu.”

“Ayah, suruhlah segera buruh-buruh itu memotong rumput di lapangan itu segera.”

Kritik sosial keempat, yaitu terjadi perdebatan antara Agus Tubagus dan Ratna Kholil tentang
anjing peliharaan mana yang paling pandai dan kuat yang mencerminkan symbol status dan
harga diri sang pemilik. Hal ini terlihat pada kutipan dialog berikut:

Ratna : Ayah hanya membayar lima ratus rupiah untuk si Kliwon, dan si Kliwon jauh lebih
cerdik daripada si Belang.

Agus : Si Kliwon lebih cerdik dari si Belang? (TERTAWA) Mana bisa si Kliwon lebih
cerdik dari si Belang?

Ratna : Ya, tentu saja. Si Kliwon masih muda sebetlnya … Tetapi kalau dilihat sifat-
sifatnya dan cerdiknya, Raden Jayasasmita tidak mempunyai satu ekor-pun yang
menyamai dan yang bisa mengalahkannya.

Agus : Maaf, Ratna Rukmana. Tapi kau lupa bahwa si Kliwon berkumis pendek. Dan, ooo
… Anjing yang berkumis pendek itu kurang pandai menggigit.

Ratna : (MULAI MARAH) Kumis pendek! Huh, baru sekali ini aku mendengar tentang hal
itu.

Agus : Aku tahu, kumisnya yang atas lebih pendek daripada kumis bawahnya.

Ratna : Sudah kau ukur?

Agus : Oh ya, anjingmu itu tentu cukup baik untuk mencium bau binatang kalau sedang
berburu, tapi dia tidak pandai menggigit.

Ratna : Tetapi pada anjing peliharaanmu itu keturunannya tidak dapat dilihat dan lagi ia
sudah tua dan jelek seperti kuda yang hampir mati.

Agus : Oh… Ia sudah tua, memang. Tapi aku tidak mau menukarnya dengan sepuluh ekor
anjing seperti si Kliwon itu tidak perlu ditanya lagi, setiap pemburu mempunyai
berpuluh-puluh anjing, seperti si Kliwon itu. Dan lima ratus rupiah harga yang
cukup tinggi untuk dia.
Ratna : Tampaknya hari ini ada setan yang berbantahan dalam dirimu, Agus Tubagus.
Pertama, kau tadi mengakui bahwa Lapangan “Sari Gading“ adalah milikmu. Lalu
sekarang kau mengatakan si Belang anjingmu lebih cerdik dari si Kliwon. Aku tidak
suka pada lelaki yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku.
Kau pasti tahu bahwa anjing kami seratus kali lebih bagus dan berharga daripada
anjingmu yang bodoh, lalu mengapa kau mengatakan yang sebaliknya?

Secara garis besar dalam naskah drama “Pinangan” karya Anton Chekov ini menyinggung atau
mengkritik tentang perebutan harta dan hak milik, kritik tentang status sosial di masyarakat,
kritik terhadap kekuasaan pembesar kepada bawahan, kritik terhadap kesombongan akan harta
yang dimiliki, dan kritik tentang harga diri. Kritik-kritik dalam naskah drama Pinangan ini
memang terjadi pada realitas kehidupan masyarakat.
Sumber Bacaan:

Anirun, Suyatna. 2006. Pinangan, Drama Komedi Satu Babak Karya Anton Chekov Sanduran
Suyatna Anirun. Teater PPPG Kesenian Yogyakarta.

Nuryanto, Tato. 2017. Apresiasi Drama. Depok: Rajawali Pers.

Putri, Nabila Atika Dkk. 2020. Ruang Lingkup Drama. Cirebon. Guepedia.

Setiawati, Erna. “Analisis Drama dan Teater Pinangan Karya Anton Chekov Saduran Jim Lim
Suyatna Anirun” (http://www.tulismenulis.com/analisis-drama-dan-teater-pinangan-
karya-anton-chekov-saduran-jim-lim-suyatna-anirun/) diakses tanggal 9 Maret 2022
pukul 21.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai