Anda di halaman 1dari 7

KOTAK AJAIB

Seperti merapal kesalahan di waktu yang sama

Di musim hujan kali ini

Ada yang dielu-elukan

Pamflet-pamflet konyol

Bertebaran di tengah kota

Yang korupsi, dibukakan pintu

Diberi ruang untuk sekadar mengangkat tangan

Sambil menebar senyum dari luka yang dibuatnya

Sementara di lain tempat

Ada yang mengukir nama kota tanpa mencuri apapun

Di pundaknya, kota kelahiran menjadi amanah

Dengan biji-biji hadiah yang ditebar tanpa spanduk dan pamflet mengerikan

Kotaku sungguh kotak ajaib penuh kejutan

Lain lagi di masa lampau

Seorang seniman dipenjara empat belas tahun tanpa pengadilan

Kebebasannya tenggelam

Segala apa berubah menjadi pangan

Dedaunan

Bonggol pisang

Tikus
Sampai tanah dilahapnya bak bubur yang mengenyangkan

Apa yang dinanti, apa yang menjadi harapannya selama itu?

Sedang di tengah-tengah kotanya hanya ada kotak ajaib.

Kramatwatu, Januari 2016


ANAK SILEM

Di lenggang dermaga

anak anak Silem

menyelam hingga ke dasar

menghitung koin

membaca harapan dan kematian

di dinding kapal; antara baling baling

dan kedalaman mata ibu dalam ingatan.

Merak, 2016
Perjalanan Menuju Hening

: yang mencintai dedak kopi

Aku tenggelamkan seribu cemas pada jantung

Di pagi hari selepas kau meminum kopi

Saat matahari setengah membayang dalam diri

Saat langkah getir menapaki ladang bambu di ujung desa

Saat aku tak lagi bersuara dalam riang dan megah kota

Diam-diam aku menenggelamkan akarserupa ingatan tentang perjumpaan

Di mana kedua kita hanya saling menghardik cuaca

Menghakimi jutaan pasang tangan yang melerai

Menjauhi ribuan kata yang sempat menampar gedung-gedung di tengah kota

Meninggalkan seruan-seruan lantang di gigir rawa

Aku, yang mestinya kau doakan dalam cemas dan gemetar rahasia

Memapah dan mengikat ujung rantai bola mata

Tapi semua bagai sia yang hanyut

Mengalir hingga ke hulu kepala yang basah dan membentuk genangan tak terarah

Aku kini serupa dinding tanpa penyanggah

Sedikit dihentak saja akan luruh segala gemuruh dalam dada

Di keheningan lain aku ingin berjalan

Menemui alirku yang dulu bermuara


Di batas-batas retas kota pecinta dedak kopi

Kramatwatu, penghujung 2015

DELAPAN RATUS LIMA PULUH DEPA DI DERMAGA KARANGANTU


1/

Di tepi laut kota yang panjangnya empat ratus depa

Sejarah peradaban terbentang sejauh mata memandang

Ada kapal-kapal karam di pelabuhan besar yang tertinggal

Ada ikan-ikan berenang memunggungi selat dan teluk sultan

2/

Kau tahu, di pelabuhan tertinggal itu ada pongah Asia yang terlempar

Bersama juga kisah Daendels yang menghitung jarak cemas di punggung laut

Sementara anak keong masih terus merambati dinding kecil di kota itu

Mencari nama yang sempat berkibar di tahun-tahun lampau di tangan para pahlawan

O, haluan gigir kota yang sunyi senyap mengendap cerita

Adakah yang bisa dibenahi untuk anak cucuku kelak?

3/

Rupanya, sejarah lautan dan para pedagang tak lagi diurusi

Kisahnya hanya tinggal wacana yang tak pernah selesai di tahun kita

Sederet harapan menyeruak dalam ruangan beraroma bunga lili

Sampai hari dikatakan bunting, tak juga lahir yang dikandung kata

Semua tampak tak lagi punya cerita

Lautan di delapan ratus lima puluh depa serupa gendang tak tertabuh

Banten, 15 Desember 2015


*) Mauliediyaa Yassin, lahir di Serang, 3 Oktober 1990. Bukan penenggak Scopolamine.
Kontak E-mail: maulidiyaayassin@yahoo.co.id Kontak HP: 0896-0222-2459.

Anda mungkin juga menyukai