Pada dasarnya, setiap tempat mempunyai aura spesifik. Aura tersebut muncul
berdasarkan persepsi manusia baik secara individual maupun secara kolektif. Aura tersebut
nantinya mampu membuat sebuah ikatan dengan manusia yang menggunakannya yang
disebut dengan place attachment. Sebuat tempat berhubungan dengan lingkungan sekitarnya
dimana manusia terikat secara kebudayaan dan emosional. Misalnya sebuah tempat cekung
yang gelap akan menimbulkan kesan meyeramkan, berbeda dengan dataran luas yang disinari
cahaya terang. Kesan yang kurang baik atau kurang nyaman akan suatu tempat disebut
dengan topophobia, sedangkan kesan yang baik atau nyaman akan suatu tempat disebut
dengan topophilia. Kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan ruang dan arsitektur.
Ketika tiba dan sampai di pelataran Taman Hutan Raya Juanda, pohon-pohon yang
rindang dan aliran udara yang sejuk membawa pengunjung yang dating merasa sejuk, tenang,
dan melepaskan segala kepenatannya sepanjang perjalanan menuju Taman Hutan Raya
Juanda. Pohon-pohon pinus yang ada terkesan menyambut pengunjung yang datang. Bau
hutan yang khas mulai tercium dan membawa para pengunjung merasa lebih dekat dengan
alam dan terikat dengan lingkungan sekitarnya. Berbeda halnya dengan Goa Jepang yang
juga terdapat di Taman Hutan Raya Juanda. Ketika memasuki goa tersebut, kesan yang terasa
adalah dingin, gelap, menyeramkan, dan ada keinginan untuk tidak berlama-lama di
dalamnya.
Selain kaitannya dengan tempat, place attachment juga erat kaitannya dengan
pemeran sosial yang berbeda juga hubungan sosial yang terjalin diantara pemeran-pemeran
tersebut. Dalam hal ini, place attachment mengarah pada social relationship yang tejalin
antarmanusia. Seseorang akan merasa lebih terikat dengan lingkungannya ketika ia bukan
hanya menyenangi tempatnya secara fisik, tetapi juga harus memperhatikan kondisi
emosionalnya. Seseorang akan merasa nyaman dan terikat dengan lingkungannya ketika
hubungan dengan manusia lainnya baik dan berjalan dengan harmonis. Misalnya adalah
ketika saya pindah ke Bandung dari Jakarta untuk melanjutkan studi. Merupakan suatu hal
yang baru bagi saya untuk tinggal di luar kota sendirian, jauh dari keluarga. Ketika hal itu
terjadi, ada ketakutan dalam diri saya untuk tidak betah tinggal di kos-kosan yang saya
tempati sekarang. Untungnya, di kos-kosan saya ada teman saya yang sebelumnya memang
berada pada satu SMA yang sama. Saya merasa bahwa kehadiran teman dan hubungan sosial
yang terjalin di dalamnya membuat saya lebih cepat kerasan menempati kamar baru saya.
Lingkungan yang nyaman membuat saya tidak homesick pada awal-awal kepindahan saya ke
Bandung.