Anda di halaman 1dari 48

1

Marilah kita bersatu padu maupun lahir dan bathin, bergiatlah kita
berusahalah kita dengan sungguh-sungguh jangan berpecah belah untuk
mempertahankan Tanah Air kita Indonesia supaya jangan dijajah oleh penjajah lainnya.
Didalam kita mempertahankan Tanah Air Kita itu, kita harus membangun berupa ialah
perkebunan dan lain-lain artinya yang dibangun ialah sebagai berikut : Satu tanaman
Mingguan, Dua tanaman Bulanan, Tiga tanaman Tahunan, maksudnya tanaman-
tanaman itu ialah Rotan, Aren, Buah-buahan, Karet dan Iain-lain, dan disamping kita
melaksanakan pembangunan tersebut, harus memeliharakan Kekayaan Alam yang ada
diatas bumi Allah ialah Tanah kita ini merupakan Semambu, Damar, Getah, Ketiau. Lilin
Wangi, Sarang Burung, Intan, Berlian, Emas dan sebagainya ...

Sultan Pan Pasir,


dibuat pada tanggal 3 April 1900
Ttd.
(Sulaiman Sultan Pan Pasir)

I. PENDAHULUAN

1.1. AGROFORESTRI DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN


Untuk memenuhi kebutuhannya serta mempertahankan dan mendukung kelangsungan hidup, manusia
harus menggunakan sumberdaya dalam lingkungannya, termasuk sumberdaya lahan dan air. Pengelolaan
sumberdaya lahan erat sekali hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya air, baik ditinjau dari segi
penggunaan, penempatan maupun dari segi pengawetannya. Oleh karena itu pengelolaan yang baik dari
kedua sumberdaya tersebut mutlak diperlukan agar pemanfaatan ganda dapat dipertahankan dan
dikembangkan secara optimum, seimbang dan berkesinambungan (sustainable). Pengelolaan sumberdaya
alam pada hakekatnya adalah usaha manusia untuk mendayagunakan dan mengubah ekosistem
sumberdaya alam agar manusia memperoleh manfaat maksimum dengan mengusahakan kontinuitas
produksinya (Soerianegara, 1977).
Proses pengalokasian sumberdaya alam dalam ruang dan waktu untuk memenuhi kebutuhan dan
kehidupan manusia secara berkelanjutan dapat dilakukan dengan jalan pembangunan. Pembangunan
adalah mengubah lingkungan. Bagaimanapun, kelestarian secara fisik tidak mungkin bisa terus
dipertahankan; yang bisa dan perlu dipertahankan bahkan harus ditingkatkan adalah kelestarian
manfaat dari lingkungan bersangkutan.
2

Pertanian berkelanjutan adalah praktek pertanian yang menggunakan prinsip-prinsip ekologi, studi
tentang hubungan antara organisme dan lingkungan mereka. Pertanian berkelanjutan merupakan sistem
terintegrasi praktek produksi tanaman dan hewan yang memiliki situs aplikasi spesifik yang akan
berlangsung selama jangka waktu panjang.
Sistem penggunaan lahan berkelanjutan dapat dilakukan melalui praktek-praktek agroforestri.
Agroforestri merupakan suatu pendekatan pertanian menggunakan manfaat dari penggabungan pohon dan
tanaman dan / atau ternak. Oleh karena itu, pengetahuan tentang pemilihan kombinasi spesies dan
manajemen yang baik dari pohon dan tanaman, dibutuhkan untuk memaksimalkan efek produksi dan
efek positif dari pohon dan untuk meminimalkan efek negatif pada tanaman kompetitif.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat
mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Dalam sistem agroforestri terdapat peluang yang
cukup besar dan sangat terbuka untuk melakukan pendekatan yang memadukan sasaran keberlanjutan
untuk jangka panjang dengan keuntungan produktivitas dalam jangka pendek dan menengah.

1.2. A G RO FO R E S TR I : I LM U B A R U , T E KN I K L A M A
Penanaman berbagai jenis pohon dengan atau tanpa tanaman semusim (setahun) pada sebidang lahan
yang sama sudah sejak lama dilakukan petani (termasuk peladang) di Indonesia. Contohnya bisa dilihat
pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek seperti ini semakin meluas dilakukan
khususnya di daerah pinggiran hutan karena ketersediaan lahan yang semakin terbatas.
Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian menimbulkan banyak masalah, misalnya penurunan
kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan.
Secara global, masalahnya semakin berat sejalan dengan meningkatnya luas hutan yang dikonversi
menjadi lahan usaha lain. Peristiwa ini dipicu oleh upaya pemenuhan kebutuhan yang terus meningkat
antara lain pangan dan pemukiman -- yang diakibatkan oleh peningkatan populasi penduduk.
Di tengah perkembangan itu lahirlah agroforestri, suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang
pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Ilmu agroforestri
mencoba mengenali dan mengembangkan sistem-sistem agroforestri yang telah dipraktekkan oleh petani
sejak berabad-abad yang lalu. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan produksi dalam hal
pemanfaatan ruang (lahan) dan waktu melalui penanaman bermacam-macam jenis. Agroforestri adalah
salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang
timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut, dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan.

Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian. Petani atau masyarakat
adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada
masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari
waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis. Di dalam agroforestry,
terkandung pengertian adanya pengusahaan ganda antara pengusahaan komoditi hasil pertanian seperti :
pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan komoditi hasil hutan di atas suatu wilayah/areal yang
diusahakan.

Dalam bidang kehutanan untuk memproduksi hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan lainnya
memerlukan waktu yang cukup lama, padahal kebutuhan manusia berupa bahan pangan tidak dapat
ditunda. Lebih-lebih pada daerah yang berpenduduk padat di mana lahan semakin sempit. Pada tanah-
tanah kehutanan tersebut dituntut bisa tersedia tambahan penghasilan bagi penduduk sekitar hutan.
Dalam sistem agroforestri, pohon atau semak sengaja digunakan dalam sistem pertanian, atau hasil hutan
non-kayu dibudidayakan dalam pengaturan hutan. Pengetahuan, pemilihan hati-hati jenis dan manajemen
3

yang baik dari pohon dan tanaman, dibutuhkan untuk mengoptimalkan produksi dan efek positif dan
untuk meminimalkan efek kompetitif yang negatif dalam sistem.
Agroforestri adalah nama baru untuk satu set praktek-praktek lama. Dari segi keilmuan, agroforestri
merupakan perpaduan atau modifikasi antara ilmu pertanian dan ilmu kehutanan dalam
memanfaatkan sumber daya alam, hutan, tanah dan air secara optimal dan lestari.
Pada tahun 1977, didirikan suatu badan yang menangani agroforestry dengan nama International Council
for Research in Agroforestry (ICRAF).

II. PENGERTIAN, KONSEP, DAN


SEJARAH AGROFORESTRI

2.1. P E N GE RTI A N DAN K O N S E P A G RO FO R E S TRY


Agroforestry berasal dari kata "agro" atau pertanian dan dari kata forest atau hutan. Produk pertanian
bermacam-macam antara lain berupa pangan, obat-obatan, buah-buahan, produk peternakan, produk
perikanan (ikan, udang, kepiting), lebah madu dan lain-lain. Sedangkan forest atau hutan merupakan
kesatuan ekosistem berisikan sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan. Dengan demikian
pengertian agroforestry mencakup penggunaan lahan untuk menghasilkan satu atau beberapa produk
pertanian dan produk dari hutan yang diusahakan secara berkelanjutan.
Sampai dengan saat ini belum ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang definisi/ pengertian
agroforestri. Hampir setiap ahli mengusulkan definisi yang berbeda satu dari yang lain. Beberapa
pengertian dimaksud antara lain :
Agroforestri adalah
sistem penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui
pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau
bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti
berkesinambungan (P.K.R. Nair)
. . . . .nama kolektif untuk sistem dan praktek penggunaan lahan di mana tanaman keras berkayu sengaja
diintegrasikan dengan tanaman dan / atau hewan pada unit pengelolaan lahan yang sama (World Agroforestry
Centre).
sistem pengelolaan lahan berkelanjutan dan mampu meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan,
merupakan kombinasi produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman tahunan) dengan tanaman hutan dan/atau
hewan (ternak), baik secara bersama atau bergiliran, dilaksanakan pada satu bidang lahan dengan menerapkan
teknik pengelolaan praktis yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat (K.F.S. King dan M.T. Chandler)
. penanaman pepohonan secara bersamaan atau berurutan dengan tanaman pertanian dan/atau peternakan,
baik dalam lingkup keluarga kecil ataupun perusahaan besar. Agroforestri tidak sama dengan hutan
kemasyarakatan (community forestry), akan tetapi seringkali tepat untuk pelaksanaan proyekproyek hutan
kemasyarakatan" (L. Roche).
Beberapa definisi agroforestri yang digunakan oleh ICRAF adalah (Huxley, 1999) :
.. sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan
lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada
4

komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara
tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
.. sistem pengunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu (kadang-
kadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan, untuk memperoleh berbagai
produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar komponen tanaman.
.. sistem pengeloloaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan
pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat
meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan.
Secara sederhana, ICRAF mengemukakan pengertian agroforestry sebagai penanaman pepohonan pada
lahan-lahan pertanian. Di beberapa daerah, definisi sempit agroforestri secara sederhana, mungkin:
Pohon dalam pertanian. Oleh karena itu, agroforestri, kehutanan pertanian (farm forestry ) dan
kehutanan keluarga (family forestry) dapat secara luas dipahami sebagai komitmen petani, sendiri atau
dalam kelompok, menuju pembentukan dan pengelolaan hutan di tanah mereka. Apabila banyak pemilik
lahan yang terlibat, maka hasilnya adalah keragaman aktivitas yang mencerminkan keragaman aspirasi
dan kepentingan dalam masyarakat.
Selanjutnya Lundgren dan Raintree (1982) mengajukan ringkasan banyak definisi agroforestri dengan
rumusan sebagai berikut:
Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara
terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu,
palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada
waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai
komponen yang ada.
Dari beberapa definisi yang telah dikutip tersebut, agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-
praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur :
Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia.
Penerapan teknologi.
Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan.
Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu.
Ada interaksi ekologi, sosial, ekonomi.

Kata dan konsep mencapai tingkat akseptabilitas internasional yang fair dalam istilah tataguna lahan
dalam waktu agak singkat, tetapi bukan tanpa kesulitan. Pada awalnya, tidak diragukan lagi, banyak
ambiguitas dan kebingungan, sehubungan ada pertanyaan tentang " apa agroforestri ?" Bahkan orang-
orang yang seharusnya berpengalaman dan berpengetahuan tentang agroforestri di akhir 1970-an dan
awal 1980-an tidak mampu untuk secara jelas mendefinisikan agroforestri. Mungkin sebagai manifestasi
dari kurangnya presisi dari sebagian besar tulisan-tulisan tentang agroforestri selama periode ini yang
setidaknya di dalamnya terdapat satu definisi, dan sering ada beberapa penafsiran imajinatif dan menarik,
mengenai agroforestri.

Dalam meringkas berbagai definisi yang diajukan banyak penulis, Bjorn Lundgren dari ICRAF
menyatakan bahwa :

Sering terjadi pencampuran definisi, tujuan dan potensi agroforestri. Hal ini, misalnya, agak gegabah untuk
mendefinisikan agroforestry sebagai bentuk keberhasilan penggunaan lahan yang mencapai peningkatan
produksi dan stabilitas ekologi. Tujuannya mungkin memang untuk itu, dan dalam pengaturan ekologis dan
5

sosial ekonomi banyak pendekatan agroforestri memiliki potensi lebih tinggi untuk mencapainya
dibanding kebanyakan pendekatan lain dalam penggunaan lahan. Tapi, dengan pilihan yang salah dari
kombinasi spesies, praktek manajemen, dan kurangnya motivasi masyarakat dan pemahaman, agroforestri
mungkin bisa gagal dan hanya seperti bentuk penggunaan lahan lain yang mungkin gagal, dan masih akan
sebagai agroforestri sebatas dalam artian kata .

Jadi kata kunci keberhasilan agroforestri : kombinasi yang benar dari species serta praktek manajemen yang
baik. Pemahaman dan motivasi masyarakat.

Dalam sebuah definisi ilmiah yang ketat, agroforestri harus menekankan dua karakteristik umum untuk
semua bentuk agroforestri dan memisahkan mereka dari bentuk-bentuk penggunaan lahan yang lain,
yaitu:

Pertumbuhan tanaman keras berkayu sengaja pada unit lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan

/ atau hewan, baik dalam beberapa bentuk campuran spasial, atau urutan;

Harus ada interaksi yang nyata (positif dan / atau negatif) antara kayu dan komponen non kayu dalam sistem, baik
secara ekologis dan / atau secara ekonomi.

Ketika mempromosikan agroforestri, harus menekankan potensinya untuk mencapai tujuan-tujuan


tertentu, tidak hanya dengan membuat pernyataan teoritis dan kualitatif tentang manfaat pohon, tetapi
juga, dan yang lebih penting, dengan memberikan informasi kuantitatif (Lundgren, 1982).

Ide-ide ini kemudian disempurnakan melalui diskusi "in house" di ICRAF, dan definisi agroforestri yang
disarankan adalah sebagai berikut :

Agroforestri merupakan nama kolektif untuk system dan teknologi penggunaan lahan, di mana
tanaman keras berkayu (pohon, semak, palem, bambu, dll) sengaja digunakan pada unit-unit
manajemen lahan yang sama seperti tanaman pertanian dan / atau hewan, dalam beberapa bentuk
pengaturan spasial atau urutan temporal. Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi secara ekologis
dan secara ekonomi antara komponen-komponen yang berbeda (Lundgren dan Raintree, 1982).

Definisi ini berarti bahwa :

agroforestri biasanya melibatkan dua atau lebih spesies tanaman (atau tanaman dan hewan), setidaknya salah

satunya merupakan tanaman keras berkayu;

sistem agroforestri selalu memiliki dua atau lebih output;


6

siklus dari sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun;

bahkan sistem agroforestri yang paling sederhana pun, adalah lebih kompleks, secara ekologis

(struktural dan fungsional) dan secara ekonomi, daripada sistem monocropping.

Definisi ini, meskipun tidak "sempurna" dalam banyak hal, tapi banyak digunakan dalam publikasi
ICRAF dan dengan demikian mencapai penerimaan luas. Sementara itu, gelombang antusiasme untuk
mendefinisikan agroforestri telah mereda. Konsep, prinsip, dan keterbatasan agroforestri telah
diartikulasikan dalam beberapa publikasi dari ICRAF dan organisasi lainnya. Jadi, agroforestri tidak lagi
merupakan istilah "baru" : Hal ini secara luas diterima sebagai suatu pendekatan penggunaan lahan yang
melibatkan campuran yang disengaja antara pohon dengan tanaman dan / atau hewan.

Namun, pertanyaan "apa agroforestri" kadang tetap muncul juga dalam berbagai diskusi, dan istilah
agroforestri tetap merupakan masalah. Para peserta diskusi akhirnya menyadari, pada kenyataan, bahkan
disiplin-disiplin penggunaan lahan yang telah lama established seperti pertanian dan kehutanan pun,
tidak memiliki secara komplit definisi yang memuaskan. Yang lebih penting adalah bahwa suatu definisi
yang diterima secara universal, belum merupakan prasyarat untuk pengembangan disiplin-disiplin
tersebut.

Pengembangan agroforestri bisa berjalan tanpa harus menunggu lahirnya definisi komplit yang
memuaskan dan bisa diterima oleh semua fihak (yang mungkin memang tidak akan bisa lahir). Manusia
sering terjebak menghabiskan waktu dan energi hanya untuk suatu definisi; dan lupa hal yang substantif,
yaitu apa dan harus diapakan isinya, bagaimana mengembangkan program agroforestri.

Saat ini ada konsensus pendapat bahwa agroforestri dipraktekkan untuk berbagai tujuan. Ia mewakili
sebuah interface antara pertanian dan kehutanan dan meliputi praktek pemanfaatan lahan
campuran. Praktek ini telah dikembangkan terutama dalam menanggapi kebutuhan khusus dan kondisi
negara-negara berkembang tropis yang belum memuaskan ditangani oleh kemajuan di bidang pertanian
atau kehutanan konvensional. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan praktek-praktek mulai dari bentuk
budidaya perladangan berpindah yang sederhana sampai ke system intercropping pagar tanaman yang
kompleks, termasuk kepadatan bervariasi dari tegakan pohon mulai dari yang tersebar secara luas di
tempat-tempat tertentu, sampai dengan kepadatan tinggi kebun pekarangan bertingkat di daerah tropis
lembab, dan sistem di mana pohon-pohon memainkan peran jasa dominan (misalnya, penahan angin)
sampai pada di mana mereka menyediakan produk komersial utama (misalnya, intercropping dengan
tanaman perkebunan). Deskripsi rinci dari berbagai sistem seperti itu di daerah tropis sekarang tersedia.
Perlu ditekankan kembali bahwa salah satu konsep umum bagi semua sistem agroforestri yang beragam :
Tujuan tumbuh/ berkembang atau retensi pohon dengan tanaman dan / atau hewan dalam
berinteraksi kombinasi disengaja untuk beberapa produk atau manfaat dari unit manajemen yang
sama. Ini adalah esensi dari agroforestri.

2.2. I S TI L A H A G RO F O RE S TR I L A I N
Ada beberapa definisi agroforestri yang berkembang di masyarakat, misalnya :
7

Perhutanan Sosial (Social-Forestry)


Perhutanan sosial (social forestry) adalah upaya/kebijakan kehutanan yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Produk utama dari perhutanan sosial
berupa kayu dan non-kayu. Oleh karena itu dalam prakteknya dapat berupa pembangunan hutan tanaman
(man-made forest) atau penanaman pohon-pohon pada lahan milik masyarakat yang dimanfaatkan bagi
industri besar.
Kegiatan perhutanan sosial, kadang-kadang menerapkan agroforestri, yaitu apabila penanaman pohon-
pohon harus dilaksanakan bersama-sama dengan komponen pertanian dan/atau peternakan. Walaupun
demikian perhutanan sosial adalah tetap merupakan kegiatan kehutanan, karena pada intinya kehadiran
komponen pertanian sebagai kombinasi tidak mutlak harus dilakukan. Istilah social-forestry sebenarnya
dipopulerkan di India pada tahun 70-an dan dalam kegiatannya FAO memberikan istilah "Forestry for
Rural Community Development".
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Social Forestry)
Praktek lama agroforestri di lahan hutan dikenal dengan istilah tumpangsari yang dilakukan pada awal
pembangunan hutan tanaman yang umumnya berlangsung selama dua tahun pertama. Dalam sistem ini
petani diijinkan untuk menanam tanaman palawija di antara baris tanaman pohon dengan syarat mereka
harus ikut memelihara tanaman pokok tersebut selama masa periode tumpangsari (Kartasubrata, 1978).
Pada awal dicanangkannya di abad 19, tujuannya adalah menghemat biaya tanam dengan memanfaatkan
kondisi masyarakat yang lapar lahan, miskin dan kurang kesempatan kerja. Namun demikian lambat laun
semangat ini berubah menjadi tendensi untuk ikut menyejahterakan rakyat dengan program Prosperity
Approach pada tahun 70-an, Perhutanan Sosial, dan terakhir berkembang dalam bentuk PHBM
(Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Dalam penerapannya di lapangan, kebijakan-kebijakan yang
berbau Social Forestry selalu akan berakhir pada keputusan menggunakan pola agroforestri dari yang
sederhana (tumpangsari) sampai yang kompleks misalnya campuran tegakan pinus, kopi, dan tanaman
bawah (empon-empon) berharga lainnya.
Hutan Kemasyarakatan (Community-Forestry) dan Hutan Rakyat (Farm-Forestry)
Kedua istilah ini merupakan bagian dari perhutanan sosial (social-forestry). Hutan kemasyarakatan
(community forestry) adalah hutan yang perencanaan, pembangunan, pengelolaan, dan pemungutan hasil
hutan serta pemasarannya dilakukan sendiri oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Pelaksanaannya dapat pula dilakukan oleh pihak kehutanan yang membantu masyarakat dengan
mengutamakan keuntungan bagi seluruh masyarakat, bukan untuk individu.
Hutan rakyat (farm-forestry) adalah hutan di mana petani/pemilik lahan menanam pepohonan di lahannya
sendiri. Mereka biasanya telah mengikuti pendidikan, latihan dan penyuluhan kehutanan ataupun
memperoleh bantuan untuk kegiatan kehutanan.
Bentuk agroforestri mungkin dipilih dan diterapkan pada kedua kegiatan tersebut bila pepohonan
ditanam bersama dengan tanaman pertanian. Dengan demikian hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat
tidak selalu identik dengan agroforestri, karena agroforestri adalah pemanfaatan lahan terpadu tanpa
batasan kepemilikan lahan.
Hutan Serba-Guna (Multiple Use Forestry)
Hutan serba-guna adalah praktek kehutanan yang mempunyai dua atau lebih tujuan pengelolaan, meliputi
produksi, jasa atau keuntungan lainnya. Dalam penerapan dan pelaksanaannya bisa menyertakan tanaman
pertanian atau kegiatan peternakan. Walaupun demikian hutan serba guna tetap merupakan kehutanan
(dalam arti penekanannya pada aspek pohon, hasil hutan dan lahan hutan), dan bukan merupakan bentuk
pemanfaatan lahan terpadu sebagaimana agroforestri yang secara terencana diarahkan pada
pengkombinasian kehutanan dan pertanian untuk mencapai beberapa tujuan yang terkait dengan degradasi
lingkungan serta problema masyarakat di pedesaan.
8

Forest Farming
Istilah Forest farming sebenarnya mirip dengan multiple use forestry, yang digunakan untuk upaya
peningkatan produksi lahan hutan, yaitu tidak melulu produk kayu, tetapi juga mencakup berbagai bahan
pangan dan hijauan. Praktek ini juga sering disebut Dreidimensionale Forstwirtschaft" atau kehutanan
dengan tiga dimensi. Di Amerika, istilah forest farming digunakan untuk menyatakan upaya
pembangunan hutan tanaman oleh petani-petani kecil.
Ecofarming
Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya
keharmonisan dengan lingkungannya. Dalam hal tertentu dalam ecofarming bisa saja memasukkan
komponen pepohonan atau tumbuhan berkayu lainnya sehingga dapat disebut agroforestri. Dalam eco-
farming tidak selalu dijumpai unsur kehutanan dalam kombinasinya, sehingga dalam hal ini ecofarming
merupakan kegiatan pertanian.

2.2. S E J AR A H P E R K EM B A N G A N A G RO FO RE ST RI
2.1.1. Umum
Walaupun manusia seringkali dicap sebagai perusak lingkungan atau perusak hutan, tetapi campur tangan
manusia seringkali mampu mengubah areal yang tidak produktif menjadi produktif walaupun dengan
jalan merubah komunitas yang dalam kondisi seimbang atau klimaks menjadi sub-klimaks. Menurut
Bruenig (1986), klimaks sebenarnya adalah tahap akhir dari perkembangan kelompok vegetasi, baik
melalui suksesi primer atau sekunder, pada kondisi lingkungan yang ada. Klimaks hanyalah produk
ekologi bukan tahap optimal untuk produktivitas maksimal, sehingga produktivitas maksimal justru
seringkali dicapai pada tahap sub-klimaks. Dalam kondisi seimbang, pertumbuhan senantiasa dinetralisir
dengan kematian. Pada hutan hujan tropis, kondisi klimaks di bawah temperatur yang cukup tinggi
mengakibatkan sebagian besar dari hasil fotosintesa (sekitar 80%) diuapkan kembali.
Komunitas klimaks seringkali dicirikan dengan tingkat diversitas atau indeks diversitas yang tinggi.
Setiap bentuk pertanian merupakan usaha mengubah ekosistem tertentu untuk menaikkan arus energi ke
manusia (Geertz, 1983). Pada kebanyakan masyarakat tradisional, usaha tersebut seringkali dilakukan
tanpa mengubah (secara total) indeks diversitas komunitas aslinya. Keseluruhan pola komposisi
komunitas biotis yang ada dipertahankan dan hanya mengubah bagian-bagian tertentu saja, yaitu dengan
memasukkan jenis-jenis yang disukai atau dibutuhkan.
Pemikiran tentang pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan
merupakan hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam system pertanian sejak pertama kali
aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak dikembangkan. Dengan demikian hal baru menyangkut
agroforestri hanyalah istilahnya.

2.1.2. Fase agroforestri klasik


Sekitar tahun 7000 SM terjadi perubahan budaya manusia dalam mempertahankan eksistensinya dari pola
hidup berburu (hunting) dan mengumpulkan makanan (food gathering) ke cara bercocok tanam dan
beternak (plants and animals domestication). Sebagai bagian dari proses ini mereka menebang pohon,
membakar seresah dan selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini lahirlah sistem pertanian tebas
(tebang) bakar yang merupakan awal dari agroforestri (MacDicken dan Vergara, 1990; Swaminathan,
1987).
Budidaya pohon dan tanaman pertanian dalam kombinasi intim satu sama lain merupakan praktek yang
telah lama digunakan petani di seluruh dunia.
9

Menelusuri sejarah agroforestri, King (1987) menyatakan bahwa hingga Abad Pertengahan, adalah
kebiasaan umum di Eropa untuk membersihkan hutan yang terdegradasi, menebas dan membakarnya, lalu
pada areal yang telah dibersihkan menanam tanaman pangan, dan menanam pohon-pohonan, sebelum,
bersamaan, atau setelah penanaman tanaman pertanian. "Sistem pertanian" ini tidak lagi populer di Eropa,
namun secara luas dipraktekkan di Finlandia sampai akhir abad 19, dan dipraktekkan di beberapa daerah
di Jerman sampai akhir 1920-an.

Di wilayah Amerika tropis banyak kelompok masyarakat memiliki areal dalam kondisi hutan simulasi
untuk mendapatkan efek menguntungkan dari ekosistem hutan. Di Amerika Tengah telah menjadi praktek
tradisional untuk waktu yang lama bagi petani untuk menanam rata-rata dua lusin spesies tanaman di plot
yang tidak lebih besar dari sepersepuluh hektar. Seorang petani akan menanam kelapa atau pepaya
dengan lapisan yang lebih rendah berisi pisang atau jeruk, lapisan semak kopi atau kakao, berbagai
tanaman musiman seperti misalnya jagung, dan akhirnya tanaman penutup tanah. Seperti campuran intim
berbagai tanaman, masing-masing dengan struktur yang berbeda, meniru konfigurasi berlapis hutan tropis
campuran (Wilken, 1977).

Di Asia, Sistem HanunOo di Filipina mempraktekan tipe yang kompleks dan sedikit lebih canggih dari
perladangan berpindah (shifting cultivation). Dalam pembukaan hutan untuk penggunaan pertanian,
mereka sengaja meninggalkan pohon-pohon tertentu, yang pada akhir musim penanaman padi,
kanopinya akan memberikan naungan bagi tanah dari penyinaran matahari berlebihan. Pohon merupakan
bagian tak terpisahkan dari sistem pertanian HanunOo baik yang ditanam maupun yang sengaja
ditinggalkan pada waktu pembukaan hutan awalnya; untuk menyediakan makanan, obat-obatan,
kayu konstruksi, dan kosmetik (Conklin, 1957). Sistem pertanian serupa juga umum di
banyak bagian lain dari dataran rendah tropis lembab Asia.
Di Afrika, keadaannya sedikit berbeda. Di bagian selatan Nigeria, ubi jalar, jagung, labu, dan
kacang-kacangan biasanya tumbuh bersama di bawah naungan pohon yang tersebar (Forde,
1937). Di bagain barat Nigeria, telah lama dipraktekkan sistem intensif pencampuran herba,
semak, dan tanaman pohon. Sistem ini diklaim merupakan cara menghemat energi manusia
dengan pemanfaatan penuh ruang terbatas dari hutan lebat. Juga disebutkan bahwa sistem
ini adalah cara murah untuk memelihara kesuburan tanah, serta menanggulangi erosi dan
pencucian hara (Ojo, 1966).

Banyak contoh praktek penggunaan lahan tradisional yang melibatkan produksi gabungan dari
jenis pohon dan jenis tanaman pertanian pada lahan yang sama di banyak bagian dunia. Ini
adalah beberapa contoh dari apa yang sekarang dikenal sebagai agroforestri. Pohon adalah
bagian integral dari sistem pertanian, mereka sengaja dipertahankan pada lahan pertanian untuk
mendukung pertanian. Tujuan utama dari praktek-praktek tersebut bukan pohon produksi, tetapi
produksi pangan.

Perladangan bukanlah satu-satunya sistem agroforestri klasik yang dikenal. Menurut Wiersum (1982;
1987) praktek agroforestri, baik yang tradisional maupun yang secara ilmiah dikembangkan saat ini
dimulai dari system berkebun (gardening) yang banyak dijumpai di daerah Asia Tropis, misalnya sistem
kebun hutan dan kebun pekarangan (forest and home gardens) masyarakat asli di Kalimantan Timur
(Sardjono, 1990). Praktek berkebun semacam itu kemungkinan besar dimulai dari tanaman yang tumbuh
spontan dari biji-biji yang dibuang di lahan-lahan pertanian sekitar tempat tinggal atau
mempertahankan/memelihara pohon-pohon dan permudaan yang sudah ada. Baru pada perkembangan
selanjutnya dilakukan budidaya penanaman. Tradisi pemeliharaan pepohonan dalam bentuk kebun pada
10

areal perladangan, pekarangan dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional itu
dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup dalam hutan.

2.1.3. Pra-agroforestri modern


Pada akhir abad kesembilan belas, membangun perkebunan hutan (pepohonan sengaja ditanam - man-
made forest) atau pertanian telah menjadi tujuan penting untuk praktek agroforestri. Agroforestri
dipraktekkan sebagai sistem pengelolaan lahan. Pada awalnya, perubahan penekanan tidak disengaja.
Pada tahun 1806, Pan U Hie, seorang Karen di Burma (Myanmar), membangun perkebunan/ hutan jati
(Tectona grandis) dengan menggunakan metode yang ia sebut "taungya" (Taung = bukit; ya = budidaya).
Sir Dietrich Brandis, Gubernur (Inggris) mengatakan : Hal ini, apabila orang-orang dapat diajak untuk
melakukannya, kemungkinan akan menjadi cara yang paling efisien dalam penanaman jati" (Blanford,
1958). Praktek ini menjadi popular dan semakin luas, diperkenalkan ke Afrika Selatan sejak 1887
(Hailey, 1957), diadopsi di wilayah koloni Chittagong dan Benggala India pada 1890 (Raghavan, 1960).
Filosofi penting dari sistem taungya adalah membangun hutan tanaman sedapat mungkin menggunakan
pekerja menganggur atau tak bertanah yang tersedia, supaya lebih murah. Sebagai imbalan untuk
melakukan tugas kehutanan, para buruh diijinkan mengolah tanah di antara barisan bibit pohon (tanaman
pokok) untuk menanam tanaman pertanian (tanaman pangan semusim), selama jangka waktu tertentu
(umumnya 2 tahun selama tanaman pokok belum terlalu berkembang tajuknya).
Di Indonesia, system ini lama dipraktekan sejak jaman Belanda, dikenal dengan nama tumpangsari.
Tumpangsari telah menjadi cara yang murah dalam penanaman hutan jati. Penjabaran selanjutnya dari
sistem taungya tentu saja berbeda di masing-masing negara atau dari satu daerah ke daerah lainnva.
Banyak ahli yang berpendapat bahwa sistem taungya adalah cikal bakal agroforestri modern.
Dalam perkembangan sistem taungya selama lebih dari seratus tahun sejak diperkenalkan (periode 1856
hingga pertengahan 1970-an), hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada perhatian terhadap
komponen pertanian, petani ataupun produk-produknya. Pada saat itu sistem taungya memang dirancang
dan dilakukan melulu untuk kehutanan saja. Kesuksesan sistem taungya dikatakan karena adanya
masyarakat yang lapar lahan (akibat dari keterbatasan penguasaan lahan dibandingkan dengan jumlah
penduduk yang sangat tinggi), pengangguran dan kemiskinan (King, 1987). Dengan kata lain,
keikutsertaan masyarakat dalam sistem taungya pada waktu itu lebih banyak disebabkan keadaan atau
keterpaksaan, bukan keuntungan yang dapat diperolehnya.
Pada waktu itu jarang sekali disinggung oleh para ahli tentang aspek positif konservasi tanah dari
pelaksanan sistem taungya. Tujuan taungya hanyalah pembangunan hutan (dengan pemikiran bahwa
keberadaan hutan dapat melindungi produktivitas tanah) dan mengeluarkan petani secepatnya dari hutan.
Sedangkan problema pengaruh manusia terhadap erosi tanah tidak pernah terlintas dalam pemikiran
rimbawan pada waktu itu (King, 1987).

2.1.4. Agroforestri modern


Sejak awal tahun 70-an ada pendapat akan pentingnya peran pepohonan dalam mengatasi berbagai
problema petani kecil dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, khususnya kebutuhan bahan pangan. Tujuan
peningkatan produksi pangan melalui program "Revolusi Hijau" yang dilaksanakan pada waktu itu
memang dapat dicapai. Akan tetapi sebagian besar petani tidak punya cukup modal untuk dapat
berpartisipasi dalam program tersebut, karena besarnya biaya untuk irigasi, pemupukan, pestisida dan
bahkan untuk penyediaan lahannya sendiri. Selain itu status kepemilikan lahan sebagian petani masih
belum pasti.
Sementara itu permasalahan penciutan kawasan hutan akibat peningkatan jumlah penduduk dan sebab-
sebab lainnya juga menuntut diperolehnya jawaban yang tepat. Tema Kongres Kehutanan Sedunia V
(WFC V -World Forestry Congress V) di Seattle, AS tahun 1960 : Multiple Use of Forest Land, atau
yang diterjemahkan sebagai : Hutan Serbaguna, telah menyadarkan orang-orang kehutanan, bahwa
11

kenapa kualitas tegakan hutan merosot. Ternyata fungsi hutan bukanlah sekedar menghasilkan kayu
(production), tetapi jauh lebih luas dan kompleks. Hutan juga berfungsi memberikan jasa perlindungan
(Protection), memberikan jasa rekreasi (recreation), menunjang pengembangan industri ternak (forage),
dan sebagai habitat kehidupan liar (wildlife). Perkenalan dengan masalah sosial dalam pengelolaan hutan
di Jawa, melahirkan beberapa kelas perusahaan non kayu, seperti kelas perusahaan minyak kayu putih,
kelas perusahaan pinus untuk gondorukem dan terpentin, murbei untuk persuteraan alam, kesambi untuk
produksi lak, dll.
Bentuk pengelolaan hutan yang menyesuaikan diri dengan kondisi fisik wilayah serta tuntutan sosial
ekonomi masyarakat, adalah pengelolaan sumberdaya hutan (Forest Resources Management). Konsep
Timber Management yang bersifat monokultur dan daur tunggal, harus ditinggalkan karena sudah tidak
sesuai, hanya akan menghambat upaya mencapai produktivitas maksimum. Konsep tersebut tidak
fleksibel serta tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi mikro. Yang dianggap cocok adalah
konsep Management Regimes, polikultur, daur ganda, di mana satuan regim adalah petak (Hasanu
Simon, 2001).
Bank Dunia (World Bank) telah terdorong untuk menggalakkan Program-Program Perhutanan Sosial
(social forestry), yang dalam pelaksanaannya dirancang khusus untuk peningkatan produksi pangan dan
konservasi lingkungan tanpa mengabaikan kepentingan pihak kehutanan untuk tetap dapat memproduksi
dan memanfaatkan kayu. Program bantuan Bank Dunia tersebut sebagai jawaban dari kegagalan program
PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) yang diselenggarakan Perum Pehutani. Pertengahan
tahun 70-an juga ditandai dengan perubahan kebijakan Organisasi Pangan dan Pertanian se-Dunia (FAO),
yaitu dengan penetapan Direktur Jenderal Kehutanan dalam struktur organisasinya. Program-program
"Kehutanan untuk Pembangunan, Masyarakat Pedesaan" (Forestry for Fural Development) digalakkan
melalui sejumlah seminar atau lokakarya.
Puncak dari perubahan kebijakan FAO adalah pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 (WFC- World
Forestry Congress VIII) tahun 1978 di Jakarta, di mana tema pokok yang dipilih adalah "Forests for
People atau "Hutan untuk Kesejahteraan Masyarakat" dan penetapan kelompok diskusi khusus "Forestry
for Rural Communities" (Kehutanan untuk Masyarakat Pedesaan).
Tumbuhnya agroforestri modern tidak lepas dari studi yang dibiayai oleh Pusat Penelitian Pembangunan
International (International Development Reseacrh Centre) Canada (Bene et al., 1977). Dalam hasil studi
dengan judul "Trees, Food and People: Land Management in the Tropics" (Hutan, Bahan Pangan dan
Masyarakat: Pengelolaan Lahan di Wilayah Tropis) telah direkomendasikan pentingnya penelitian-
penelitian Agroforestri. Pada tahun 1977 dibentuk Badan International yang menangani penelitian dalam
bidang agroforestri bernama ICRAF singkatan dari International Council for Research in Agroforestry
(yang pada mulanya berpusat di Royal Tropical Institute, Amsterdam, sebelum dipindahkan ke Nairobi
1978), dan pada tahun 1990 berubah menjadi International Centre for Research in Agroforestri. Akhirnya
pada awal bulan Agustus tahun 2002, namanya berubah menjadi World Agroforestry Centre, ICRAF.
Kantor pusat ICRAF ini terletak di Nairobi (Kenya), dan kegiatannya dilakukan di Afrika, Amerika Latin
dan Asia Tenggara.
Hasil pemikiran dan kajian oleh berbagai pihak tersebut melahirkan konsep-konsep dan pendekatan baru
agroforestri. Pendekatan dan pandangan terhadap agroforestri mulai berubah, khususnya para ilmuwan
dan ahli dari bidang kehutanan maupun pertanian.
Berbagai kebijakan yang berbau Social Forestry selalu akan berakhir pada keputusan menggunakan pola
agroforestri dari yang sederhana (tumpangsari) sampai yang kompleks, tetapi tidak selalu identik dengan
agroforestri, karena agroforestri adalah pemanfaatan lahan terpadu tanpa batasan kepemilikan lahan.
Ada hal yang menarik, menurut (Thaman, 1988), agroforestri klasik atau tradisional sifatnya lebih
polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan agroforestri modern.
Agroforestri modern hanya melihat kombinasi antara tanaman keras atau pohon komersial dengan
12

tanaman sela terpilih. Dalam agroforestri modern, tidak terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi
dari pohon yang bermanfaat atau juga satwa liar yang menjadi bagian terpadu dari system tradisional.

III. SASARAN, MANFAAT DAN KEUNGGULAN


AGROFORESTRI
3.1. S A SAR A N DAN M A N FAAT A G RO F O RE ST R I
Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat kepada
manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan
berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri diharapkan
dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna
menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain
oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran
lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal
oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.
Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestri diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga ataupun
sumber daya sendiri (internal) dibandingkan sumber-sumber dari luar. Di samping itu agroforestri
diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan.
Untuk daerah tropis, beberapa masalah (ekonomi dan ekologi) berikut menjadi mandat agroforestri dalam
pemecahannya (von Maydell, 1986) :
a. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan:
- Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran,
dan proses-proses dalam agroindustri.
- Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen.
- Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.
b. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah (catatan: yang terakhir ini terutama di daerah
pegunungan atau berhawa dingin)
c. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun
pertanian:
- Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan
ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat, dll.) atau yang mungkin dijual
untuk memperoleh pendapatan tunai.
- Diversifikasi produk.
d. Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di
mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
- Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik.
- Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga yang tradisional, pemukiman,
pengaturan pemilikan lahan.
- Memelihara nilai-nilai budaya.
13

e. Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat:
- Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan.
- Perlindungan keanekaragaman hayati.
- Perbaikan tanah melalui fungsi pompa pohon dan perdu, mulsa dan perdu.
- Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence).
- Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat
mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting
terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung
DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan
keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri dalam mepertahankan fungsi DAS dan
pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO 2 yang telah ada di atmosfer oleh
tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah
satu contoh dari Sistem Pertanian Sehat (Hairiah dan Utami, 2002).
Fungsi agroforestri ditinjau dari aspek biofisik dan lingkungan pada skala bentang lahan (Lansekap)

Salah satu fungsi agroforestri pada level bentang lahan (skala meso) yang sudah terbukti di berbagai tempat adalah
kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya
terhadap kesesuaian lahan. Beberapa dampak positif sistem agroforestri pada skala meso ini antara lain:
(a) memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah,
(b) mempertahankan fungsi hidrologi kawasan,
(c) mempertahankan cadangan karbon,
(d) mengurangi emisi gas rumah kaca,
(e) mempertahankan keanekaragaman hayati.

Peranan agroforestri terhadap sifat fisik tanah


Lapisan tanah atas adalah bagian yang paling cepat dan mudah terpengaruh oleh berbagai perubahan dan
perlakuan. Kegiatan selama berlangsungnya proses alih-guna lahan segera mempengaruhi kondisi
permukaan tanah. Penebangan hutan atau pepohonan mengakibatkan permukaan tanah menjadi terbuka,
sehingga terkena sinar matahari dan pukulan air hujan secara langsung. Dampak berbagai kegiatan
adalah menurunnya porositas tanah, ruangan pori berkurang (terutama ruang pori yang berukuran besar).
Berkurangnya ruangan pori makro mengakibatkan penurunan infiltrasi (laju masuknya air ke dalam
tanah), penurunan kapasitas menahan air dan kemampuan tanah untuk melewatkan air (daya hantar air).
Sistem agroforestri pada umumnya dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas sebagaimana
pada sistem hutan. Sistem agroforestri mampu mempertahankan sifat-sifat fisik tanah melalui:
Menghasilkan seresah sehingga bisa menambahkan bahan organik tanah
Meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran
Mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam lapisan perakaran

Sifat-sifat fisik tanah (lapisan atas) yang paling penting dan dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan
berbagai jenis tanaman dan pepohonan adalah struktur dan porositas tanah, kemampuan menahan air dan
laju infiltrasi.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas yang diperlukan untuk
menunjang pertumbuhan tanaman, melalui:
Adanya tajuk tanaman dan pepohonan yang relatif rapat sepanjang tahun menyebabkan sebagian
besar air hujan yang jatuh tidak langsung ke permukaan tanah.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan kandungan bahan organik tanah di lapisan atas
melalui pelapukan seresah dan pemangkasan tajuk pepohonan. Kondisi demikian dapat
14

memperbaiki struktur dan porositas tanah serta lebih lanjut dapat meningkatkan laju infiltrasi dan
kapasitas menahan air.
Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan penutupan tajuk pepohonan menyebabkan
kondisi di permukaan tanah dan lapisan tanah lebih lembab, temperatur dan intensitas cahaya
lebih rendah. Kondisi iklim mikro yang demikian ini akan sangat membantu aktivitas organisme
tanah sehingga sifat fisik tanah menjadi lebih baik.

Peranan agroforestri dalam mengurangi gas rumah kaca dan mempertahankan cadangan karbon
Upaya meningkatkan cadangan C di alam secara vegetatif (misalnya dengan memperbanyak penanaman
pepohonan) merupakan pelayanan terhadap lingkungan yang diharapkan dapat mengurangi dampak
rumah kaca. Dalam pertumbuhannya, tanaman menyelenggarakan proses fotosintesis yang memerlukan
sinar matahari, CO2 dari udara, air dan hara dari dalam tanah.
Dengan demikian keberadaan tanaman dapat mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, dan hasilnya
berupa karbohidrat diakumulasi dalam biomasa tanaman. Tinggi rendahnya serapan CO2 di atmosfer
bervariasi, tergantung pada jenis tanaman penyusun dan umur lahan. Menurut Collins et al. (1999)
salah satu indikator keberhasilan usaha pengelolaan tanah adalah tetap terjaganya cadangan C sehingga
keseimbangan lingkungan dan biodiversitas dapat terjaga pula. Guna memahami isu lingkungan gas
rumah kaca ini, diperlukan beberapa pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan gas rumah kaca,
siklus C dalam skala global dan cadangan C yang ada di alam.
Cadangan Carbon (C-stock) adalah jumlah C yang disimpan dalam komponen biomasa dan nekromasa
baik di atas permukaan tanah dan di dalam tanah (Bahan organik tanah, akar tanaman dan
mikroorganisma) per satuan luasan lahan. Satuannya adalah Mg ha-1 (mega gram per ha = ton per ha).
Biomasa yaitu masa (kg ha-1) bagian vegetasi yang masih hidup yang meliputi masa dari tajuk pohon,
tanaman semusim dan tumbuhan bawah atau gulma.
Nekromasa yaitu masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak, atau telah
tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum
terdekomposisi atau terdekomposisi sebagian.
Bahan Organik tanah (BOT) adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah
terdekomposisi sebagian atau keseluruhan dan telah menyatu dengan tanah. Dalam praktek biasanya BOT
dipisahkan
polikultur seperti yang dijumpai di hutan mempunyai keragaman tanaman yang tinggi sehingga masukan
seresahnya juga sangat bervariasi kualitasnya. Pada sistem hutan ini masukan seresah terjadi terus
menerus dan bervariasi kualitasnya, sehingga "masa tinggalnya" di atas permukaan tanah juga cenderung
lebih lama. Pada sistem pertanian monokultur masukan seresah hanya satu macam saja. Bila seresah
tersebut berkualitas tinggi (Nisbah C:N, Lignin:N, Poliphenol:N rendah) misalnya pada tanaman
leguminosa, maka seresah ini akan cepat mengalami dekomposisi dan mineralisasi sehingga jumlah yang
tertinggal sebagai komponen organik sangat rendah. Dengan demikian perolehan cadangan C dari lapisan
organik menjdi rendah pula.
Pada sistem hutan alami, pengangkutan biomasa keluar plot hampir tidak terjadi. Sedang pada sistem
pertanian, hamper selalu ada pengangkutan biomasa keluar petak bersama hasil panen. Keadaan ini
diperparah dengan tidak adanya usaha pengembalian sisa panen, dengan demikian cadangan C dalam
tanah akan berkurang dengan cepat.
Salah satu tawaran untuk meningkatkan cadangan C terutama pada tanah-tanah terdegradasi adalah
melalui usaha Agroforestri. Bila ditinjau dari cadangan C, sistem agroforestri ini lebih menguntungkan
daripada sistem pertanian berbasis tanaman semusim. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan yang
15

memiliki biomasa tinggi dan masukan seresah yang bermacam-macam kualitasnya dan terjadi secara
terus menerus.

Fungsi agroforestri itu dapat diharapkan karena adanya komposisi dan susunan spesies tanaman dan pepohonan
yang ada dalam satu bidang lahan.

Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai
komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau interaksi antara
komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya.

FUNGSI DAN PERAN AGROFORESTRI


Widianto, Kurniatun Hairiah, Didik Suharjito dan Mustofa Agung Sardjono

3.2. K E U N G G U L A N A G R OF O RE S TR I
Agroforestri mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya.
Keunggulan-keunggulan tersebut yaitu dalam hal sebagai berikut.
1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran
dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja
keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun.
Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman
akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem
agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan
demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan
dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya
tunggal (monokultur).
3. Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari
ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam
arti tidak memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi
daripada sistem monokultur
4. Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal
mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin
stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.
16

IV. AGROFORESTRI SEBAGAI SISTEM


PENGGUNAAN LAHAN

4.1. A G R OF O RE S TR I S E B A G I S I S TEM
Berbicara mengenai agroforestri, berarti berbicara mengenai sistem. Sistem terdiri dari beberapa
komponen dalam susunan tertentu (struktur), yang satu sama lain saling berpengaruh atau melaksanakan
fungsinya. Satu system membentuk satu kesatuan yang berbeda dengan lingkungannya dan di antara
keduanya ada hubungan timbal balik. Di samping itu satu sistem memiliki sifat-sifat tertentu yang juga
dapat berubah antara lain dalam kaitan dengan struktur dan fungsinya.
Agroforestri terdiri dari komponen-komponen kehutanan, pertanian dan/atau peternakan, tetapi
agroforestri sebagai suatu sistem mencakup komponen -komponen penyusun yang jauh lebih rumit.
Agroforestri merupakan suatu sistem buatan (man-made) dan merupakan aplikasi praktis dari interaksi
manusia dengan sumber daya alam di sekitarnya.
Agroforestri pada prinsipnya dikembangkan untuk memecahkan permasalahan pemanfaatan lahan dan
pengembangan pedesaan; serta memanfaatkan potensi-potensi dan peluang-peluang yang ada untuk
kesejahteraan manusia dengan dukungan kelestarian sumber daya beserta lingkungannya. Oleh karena itu
manusia selalu merupakan komponen yang terpenting dari suatu sistem agroforestri. Dalam melakukan
pengelolaan lahan, manusia melakukan interaksi dengan komponen-komponen agroforestri lainnya.
Komponen tersebut adalah:
1. Lingkungan abiotis: air, tanah, iklim, topografi, dan mineral.
2. Lingkungan biotis: tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll) serta tumbuhan tidak berkayu (tanaman
tahunan, tanaman keras, tanaman musiman dll), binatang (ternak, burung, ikan, serangga dll), dan
mikroorganisme.
3. Lingkungan budaya: teknologi dan informasi, alokasi sumber-sumber daya, infrastruktur dan pemukiman,
permintaan dan penawaran, dan disparitas penguasaan/pemilikan lahan.
Komponen-komponen ABC (Abiotic, Biotic dan Culture) tersebut di atas tersusun dalam sistem
agroforestri melalui berbagai cara. Beberapa komponen biotis hadir secara alami, yang mungkin sebagian
masih bertahan atau tertinggal dari kegiatan penggunaan lahan sebelumnya. Komponen yang lain
memang secara khusus atau sengaja ditempatkan/ditanam oleh manusia sebagai pengelola lahan. Berbagai
komponen dalam satu sistem akan bereaksi atau menunjukkan respon berbeda dengan respon masing-
masing pada kondisi terisolasi. Karena adanya interaksi antar komponen tersebut, sistem pada dasarnya
berbeda dengan total penambahan secara sederhana dari beberapa komponen. Jadi hutan lebih dari
sekedar kumpulan pohon, demikian pula agroforestri bukan sekedar upaya campur-mencampur kehutanan
dengan pertanian dan/atau peternakan (von Maydell, 1988).
Konsepsi agroforestri mencakup :
Bentuk (model) pengelolaan.
Unsur ekonomi (hasil yang lebih menguntungkan).
Unsur waktu (daur pendek/panjang serempak dan atau berurutan).
Pelaksanaannya dapat dilakukan di lahan milik dan atau di dalam kawasan hutan negara.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Untuk menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Karakteristik tipikal sistem agroforestry :
17

Agroforestry terdiri dari 2 atau lebih jenis tanaman (dan atau hewan) dan paling sedikit salah satu berupa
tanaman berkayu tahunan (woody perennial).
Sistem agroforestry memiliki dua atau lebih output.
Sistem agroforestry yang paling sederhana pun secara ekonomi lebih kompleks daripada sistem
monocropping.
Sistem-sistem agroforestry mencakup selang variasi yang cukup luas dan dapat diklasifikasikan
berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut (Nair, 1989) :

Dasar struktural : Menyangkut komposisi komponen-komponen seperti sistem-


sistem agrisilvikultur, silvopastur, dan agrosilvopastur.
Dasar fungsional : Menyangkut fungsi utama atau peranan dari sistem terutama
komponen kayu-kayuan.
Dasar sosial eko nomi : Menyangkut tingkat masukan dalam pengelolaan (masukan
rendah, masukan tinggi) atau intensitas dan skala pengelolaan,
atau tujuan-tujuan usaha (subsistence, komersial, intermedier).
Dasar ekologi : Menyangkut kondisi lingkungan dan kecocokan ekologi dan
sistem

Suatu sistem agroforestry, produknya selalu beraneka ragam dan saling bergantung satu sama lainnya.
Sekurang-kurangnya satu komponen merupakan tanaman keras berkayu, sehingga siklusnya selalu lebih
dari satu tahun. Sistem agroforestry juga bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi-kondisi
ekologi dan sosial-ekonomi setempat.
Berdasarkan struktur dan komposisi jenis-jenis tanaman dan fungsinya agroforestry ada yang berbentuk
sederhana, ada pula yang lebih rumit atau kompleks. Sistem agroforestry sederhana misalnya campuran
penanaman antara tanaman berumur panjang dengan tanaman berumur pendek (misalnya jagung, kacang
tanah, padi, dll.) Contoh lain adalah penanaman tanaman pangan dengan tanaman semak seperti tanaman
kopi dengan tanaman glirisidae.
Sistem agroforestry kompleks dicirikan dengan :
Struktur vegetasi kompleks (tajuk pohon berlapis-lapis);
Jumlah komponen tanaman cukup banyak (ada pohon tinggi, pohon sedang, semak, liana dan tanaman
rendah lainnya);
Secara ekologi memiliki fungsi seperti hutan, contoh kebun pekarangan, hutan damar mata kucing.

4.2. ASPEK-ASPEK AGROFORESTRY


Agroforestry dalam bentuk dan wujudnya sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu aspek ekologi,
aspek sosial-budaya, dan aspek ekonomi.
Aspek ekologi yang berpengaruh antara lain tingkat kesuburan tanah, curah hujan, topografi, altitude, dan
lainnya tergantung pada potensi alam yang ada.
Aspek sosial-budaya dipengaruhi tingkat kepadatan penduduk, luas pemilikan lahan, tingkat pendidikan,
kebiasaan bertani, agama dan kepercayaan dll.
Sedangkan aspek ekonomi tergantung pada harga suatu komoditi, pemasaran/asesibilitas pasar dan
keadaan infra struktur lainnya.
18

Dengan demikian bentuk-bentuk agroforestri sangat tergantung pada karakteristik suatu wilayah,
tergantung pada kondisi aspek-aspek di atas. Di Indonesia bentuk-bentuk agroforestry mungkin berbeda-
beda seperti yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTT, Bali, Irian Jaya, dll tergantung pada
kondisi aspek sosial, ekonomi dan ekologi daerah bersangkutan.
Selain itu, masih banyak lagi masalah-masalah yang berhubungan dengan kelembagaan. Keadaan ini
menunjukkan bahwa sifat keilmuan dari sistem agroforestri adalah multidisplin termasuk antara lain
disiplin-disiplin agronomi, ilmu sosial, kehutanan dan ekonomi.
Mengingat bahwa konsep agroforestry memberikan harapan baru dalam sistem pengelolaan lahan, maka
di beberapa negara, konsep ini berangsur-angsur mulai dikembangkan, terutama di negara-negara sedang
berkembang.

V. BENTUK DAN JENIS JENIS AGROFORESTRI

4.1. B E N TU K - B E N TU K A G R OF O RE S TR I
Pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan,
di mana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem
penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi
khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa
kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut :

Agrisilvikultur : Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan,


perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian.
Agropastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen
peternakan
Silvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan
Agrosilvopastura : Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan
peternakan/hewan

Agrisilvikultur : Bentuk agroforestry tradisional merupakan campuran dari kegiatan kehutanan dan
pertanian pangan, misalnya : Sistem tumpangsari di hutan jati di P.Jawa. Sistem ini semula dilaksanakan
untuk mengurangi biaya penanaman dari pihak pengelola hutan, tetapi dalam perkembangannya kegiatan
tersebut diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan di sekitar hutan.

Silvopasture atau ada yang menyebut hutan ternak, adalah bentuk agroforestry yang merupakan campuran
kegiatan kehutanan dan peternakan. Model ini cocok untuk dikembangkan di daerah yang penduduknya
menggiatkan usaha peternakan, di mana padang penggembalaan menjadi masalah. Di dalam kawasan
hutan, ditanami rumput makanan ternak.
Silvofishery atau Hutan Tambak, merupakan campuran kegiatan kehutanan di daerah pantai (hutan
mangrove) dengan kegiatan perikanan. Di dalam hutan bakau (mangrove), para petani ikan dapat
memelihara ikan atau udang atau kepiting dan sekaligus membantu upaya merehabilitasi hutannya.
Contoh : Tumpang sari Tambak Hutan Payau di Cilacap, Jawa Tengah.
19

Farm forestry atau Hutan Kebun, adalah agroforestry yang kegiatannya merupakan campuran kegiatan
pertanian dan kehutanan di daerah pemukiman (kebun, pekarangan) di mana tanaman kehutanan bukan
merupakan tanaman utamanya.
Contoh : Talun (Tegalan dan Kebun) di Jawa Barat. Pohon-pohonan yang ditanam dari jenis yang cepat
tumbuh dan cepat menghasilkan (quick yielding species).
Dari keempat kombinasi tersebut, yang termasuk dalam agroforestri adalah Agrisilvikutur, Silvopastura
dan Agrosilvopastura. Sementara agropastura tidak dimasukkan sebagai agroforestri, karena komponen
kehutanan atau pepohonan tidak dijumpai dalam kombinasi.
dikategorikan sebagai agroforestri. Beberapa contoh yang menggambarkan sistem lebih spesifik yaitu:
Silvofishery = kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.
Apiculture = budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan .

Ruang Lingkup Sistem Pemanfaatan Lahan secara Agroforestri

4.2. J E N I S - JE N I S A G R OF O RE S TR I
Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti
sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon (1997),
agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem
agroforestri kompleks.

4.2.1. Sistem agroforestri sederhana


Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara
tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar
mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya
berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi (kelapa, karet,
cengkeh, kopi, kakao, nangka, melinjo, petai, jati, mahoni) atau bernilai ekonomi rendah (dadap, lamtoro,
kaliandra). Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan (padi gogo, jagung, kedelai,
kacang-kacangan, ubikayu), sayuran, rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dijumpai di Jawa adalah tumpangsari (Bratamihardja,
1991) atau taungya yang dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani.
Petani diberi ijin menanam tanaman pangan di antara pohon-pohon jati muda dan hasilnya untuk petani,
sedangkan semua pohon jati tetap menjadi milik Perhutani.
20

Bila pohon telah dewasa, terjadi naungan dari pohon, sehingga tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman
semusim. Jenis pohon yang ditanam adalah yang menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja,
sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati
monokultur. Sistem sederhana tersebut sering menjadi penciri umum pada pertanian komersial (Siregar,
1990).
Dalam perkembangannya, sistem agroforestri sederhana ini juga merupakan campuran dari beberapa jenis
pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Contoh: Kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap
(Erythrina) atau kelorwono/gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh
tumpangsari lain yang umum dijumpai di daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan
pinus.

Sistem agroforestri sederhana, kopi dan pisang ditanam oleh petani


di antara pohon pinus milik Perum Perhutani (Gambar kiri).
Gliricidia dan pisang ditanam sebagai naungan pohon kopi (Gambar kanan)
(Foto: Meine van Noordwijk).

Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang
kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan
penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam
secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai Sumatera.
Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk padat.
Perpaduan tersebut misalnya pohon-pohon mangga ditanam di pematang-pematang sawah di Karedok,
Sumedang; pohon-pohon randu ditanam pada pematang-pematang sawah di daerah Pandaan, Pasuruan;
kelapa atau siwalan ditanam dengan tembakau di Sumenep, Madura; pohon-pohon manggis di pematang
sawah di Nepal.

Pohon manggis di pematang sawah (Nepal)

Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan
ubikayu di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium).
21

Contoh kasus Penanaman Sengon di Jawa


Budidaya menanam kayu sengon (Paraserianthes falcataria) di lahan penduduk di Jawa berkembang
pesat sejalan dengan berkembang pasarnya. Awalnya kayu sengon ditanam di lahan hutan secara murni,
tetapi tidak berlanjut karena serangan hama penggerek batang (Xyloborud detruents). Ternyata tanaman
sengon milik masyarakat di dataran tinggi yang ditanam bercampur dengan jenis lainnya tidak mengalami
hal yang sama, setelah itu sengon menjadi jenis populer di luar lahan kehutanan. Penyebaran sengon ini
dipercepat lagi dengan adanya program penghijauan. Di daerah kapur selatan dan daerah kering lainnya,
jati (Tectona grandis) menjadi primadona masyarakat untuk ditanam di talun mereka di samping jenis
mahoni (Swietnia macrophylla), Sonokeling (Dalbergia latifolia), dan Akasia (Acacia auriculiformis).
Umumnya pohon tersebut ditanam bercampur dengan jenis pepohonan lainnya dan membentuk agroforest
atau lebih dikenal sebagai hutan rakyat.
Tumpangsari Pinus dan Kopi di Ngantang, Malang
Pada tahun 1974 Perum Perhutani menawarkan kepada petani program tumpangsari dan setiap petani
yang mengikuti program ini berhak mengelola tanah seluas 0.5 ha.
Setiap petani memperoleh bibit mahoni atau pinus untuk ditanam. Mahoni dan pinus merupakan pohon
penghasil kayu (timber) yang merupakan sumber keuntungan bagi Perhutani. Lahan dibuka dari hutan
primer, kemudian ditanami jagung atau ubikayu di antara pohon-pohon pinus yang baru ditanam. Sistem
ini terus berlangsung sampai tanaman pinus berumur 5 tahun. Karena pertumbuhan mahoni kurang baik,
Perhutani menawarkan kepada masyarakat untuk menanam kopi di antara tanaman pinus, asalkan
keamanan dan perawatan pohon pinus tetap terjaga. Tawaran ini disambut baik oleh petani setempat
karena harga biji kopi cukup menarik. Bibit kopi yang ditanam adalah swadaya petani setempat. Selain
kopi, petani juga menanam pisang sebagai naungan kopi. Hasil buah pisang dikirim ke Pulau Bali sebagai
bahan dasar pembuat keripik pisang. Hasil penjualan pisang ini sepenuhnya milik petani. Sedangkan hasil
penjualan biji kopi dibagi antara petani dan Perhutani, 2/3 hasil untuk petani dan 1/3 untuk Perhutani.
Penyadapan getah pinus dilakukan bila pinus telah berumur sekitar 20 tahun, penyadapan dilakukan oleh
petani dan hasil sadapan dibeli Perhutani seharga Rp 1.000,- per kg (harga pada Januari 2002). Hasil kayu
(timber) tetap menjadi milik Perhutani. Contoh kasus ini memberikan ilustrasi bahwa keberhasilan
program konservasi alam ini sangat ditentukan oleh keterlibatan dan terjaminnya kesejahteraan
masyarakat setempat.

4.2.2. Sistem Agroforestri kompleks: hutan dan kebun


Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis
pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang
lahan dan dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Di dalam system
ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman
musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak.
Penciri utama dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya
yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu
sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest (ICRAF, 1996).
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks ini dibedakan menjadi dua,
yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan
agroforest, yang biasanya disebut hutan yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta, 2000).
Contohnya hutan damar di daerah Krui, Lampung Barat atau hutan karet di Jambi.

Terbentuknya agroforestri kompleks


Pekarangan
22

Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia
selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan, yang diawali
dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman
semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan,
pepaya, pisang) ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase
ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola
kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon
buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat terbatas karena
banyaknya naungan.
Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan
talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.

Perkembangan sistem kebun talun (de Foresta et al., 2000).

Agroforest
Agroforest biasanya dibentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak belukar yang diawali dengan
penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pembukaan lahan biasanya dilakukan pada musim
kemarau. Pada awal musim penghujan, lahan ditanami padi gogo yang disisipi tanaman semusim lainnya
(jagung, cabe) untuk satu-dua kali panen. Setelah dua kali panen tanaman semusim, intensifikasi
penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet, damar atau tanaman keras
lainnya. Pada periode awal ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman semusim dengan
pepohonan.
Pada saat pohon sudah dewasa, petani masih bebas memadukan bermacam-macam tanaman tahunan lain
yang bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya, misalnya penyisipan pohon durian atau duku. Tanaman
semusim sudah tidak ada lagi. Tumbuhan asli asal hutan yang bermanfaat bagi petani tetap dibiarkan
kembali tumbuh secara alami, dan dipelihara di antara tanaman utama, misalnya pulai, kayu laban,
kemenyan dan sebagainya. Pemaduan terus berlangsung pada keseluruhan masa keberadaan agroforest.
Tebang pilih akan dilakukan bila tanaman pokok mulai terganggu atau bila pohon terlalu tua sehingga
tidak produktif lagi.
Ditinjau dari letaknya, agroforest biasanya berada di pinggiran hutan (forest margin) atau berada di
tengah-tengah antara sistem pertanian dan hutan.
Dibandingkan sistem agroforestri sederhana, struktur dan penampilan fisik agroforest yang mirip dengan
hutan alam merupakan suatu keunggulan dari sudut pandang pelestarian lingkungan. Pada kedua sistem
23

agroforestri tersebut, sumber daya air dan tanah dilindungi dan dimanfaatkan. Kelebihan agroforest
terletak pada pelestarian sebagian besar keanekaragaman flora dan fauna asal hutan alam (Bompard,
1985; Michon, 1987; Seibert, 1988; Michon, 1990).

7. Aneka praktek agroforest di Indonesia


Indonesia memiliki dua ratus juta penduduk dari berbagai kelompok etnis
tersebar di ribuan pulau sehingga muncul aneka ragam pilihan sistem usaha
tani. Selain itu, hubungan penduduk dengan dunia luar, diwakili oleh para
pedagang Cina, Arab dan Eropa, telah berkembang sejak lama (Dunn, 1975)
sehingga permintaan pasarpun juga beraneka ragam. Semua unsur ini menjadi
pendorong proses pembangunan bermacam-macam agroforest.
Sekarang ini sistem agroforest sepertinya hanya diterapkan oleh petani-petani
kecil. Usaha-usaha agroforest kebanyakan bisa ditemukan di sekitar
pemukiman penduduk. Sekeliling rumah merupakan tempat yang cocok untuk
melindungi dan membudidayakan tumbuhan hutan, karena memudahkan
pengawasannya. Kebun-kebun pekarangan (home-garden) memadukan
berbagai sumber daya tanaman asal hutan dengan jenis-jenis tanaman eksotik
yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti buah-buahan, sayuran dan
tanaman untuk penyedia bumbu dapur (Bhs. Jawa: empon-empon), tanaman
obat, serta jenis tanaman yang diyakini memiliki kegunaan gaib. Contohnya,
menurut kepercayaan di Jawa ranting pohon kelor (Moringa pterygosperma
Gaerttn.) dapat digunakan untuk menghilangkan kekebalan seorang yang ber-
ilmu. Ranting bambu kuning dapat digunakan untuk mengusir ular dan
sebagainya.
Seperti telah disebutkan di atas, kebun pekarangan di Jawa memadukan
tanaman bermanfaat asal hutan dengan tanaman khas pertanian. Semakin
banyak campur tangan manusia membuat kebun itu menjadi semakin artifisial
(sistem buatan yang tidak alami). Kekhasan vegetasi hutan seringkali masih
bisa ditemukan, misalnya dapat dijumpai berbagai jenis tumbuhan bawah
seperti berbagai macam pakis (fern), atau epifit (misalnya anggrek liar).
Kekayaan jenisnya bervariasi, beberapa pekarangan yang tidak terlalu banyak
campur tangan pemiliknya memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi, yang
dapat mencapai lebih dari 50 jenis tanaman pada lahan seluas 400 m2 (Karyono,
20
1979; Michon, 1985). Bila diperhatikan dari struktur kanopi tajuknya,
kebunkebun
itu memiliki lapisan/strata tajuk bertingkat (multi-strata) mirip dengan
yang dijumpai di hutan. Kemiripan kanopi hutan dengan agroforest sulit
dibedakan melalui teknik foto udara.
Tingkat lapisan tajuk vegetasi agroforest dapat dibedakan menjadi 3 sampai 5
tingkat, mulai dari lapisan semak (sayuran, cabai, umbi-umbian), perdu
(pisang, pepaya, tanaman hias) hingga lapisan pohon tinggi (sampai lebih 35 m,
misalnya damar, durian, duku). Proses reproduksi sistem yang menyerupai
hutan ini lebih banyak mengikuti kaidah alam daripada teknik-teknik budidaya
perkebunan. Sebagai contoh, kasus terbentuknya damar agroforest di Krui.
Gambar 7. Tahapan terbentuknya Kebun Pekarangan di Jawa (De Foresta et al.,
2000)
24

21
Kolom 5. Contoh Kasus Kebun Damar di Krui, Lampung Barat
(de Foresta et al., 2000).
Tanaman yang dominan di agroforest di Pesisir Krui adalah Shorea javanica
(jenis Dipterocarpaceae, kelompok meranti). Tanaman ini merupakan pohon
besar yang berasal dari hutan setempat, yang menghasilkan getah damar mata
kucing bening yang diekspor untuk kebutuhan industri cat . Hingga awal abad
XX, pengumpulan getah damar di hutan alam merupakan kegiatan ekonomi
utama petani, sementara agroforest yang telah dibangun hanya merupakan
semacam sabuk hijau pohon buah-buahan di sekeliling desa dengan luas yang
terbatas. Berkurangnya pohon damar di hutan alam, telah mendorong petani
melakukan pembudidayaan Shorea javanica di kebun-kebun. Keberhasilan
budidaya itu telah mendorong terjadinya transformasi mendasar agroforest
tradisional secara besar-besaran, yang diikuti perluasan areal agroforest (Michon,
1985).

Budidaya damar ini sangat berbeda dengan silvikultur monokultur. Bersama


damar, tumbuh pula berbagai jenis pohon buah-buahan, pohon kayu-kayuan,
jenis-jenis palem, bambu, dan sebagainya yang sengaja ditanam dan dirawat di
kebun. Selain itu terdapat pula sejumlah tumbuhan liar yang berasal dari hutan
primer ataupun dari hutan sekunder. Aneka jenis kombinasi yang khas ini
menghasilkan berbagai struktur dan fungsi.
Bagian kanopi dengan puncak ketinggian sekitar 40 m didominasi oleh pohon
dammar dan pohon durian. Di bawahnya, terdapat beberapa kelompok pohon
buah-buahan seperti duku, manggis, dan rambutan yang memadati ruang pada
ketinggian 10 sampai 20 meter. Di antara keduanya, pada ketinggian 20 sampai
25 meter terdapat kelompok lapisan tengah, seperti jenis-jenis Eugenia (jambu-
jambuan), Garcinia (manggis-manggisan), dan Parkia (petai-petaian) yang dapat
mecapai ketinggian 35 meter. Lapisan terbawah ditumbuhi rerumputan dan
semak liar.

Masalah praktis yang sering dijumpai di lapangan (misalnya tidak menentunya


penyediaan bibit, menurunnya daya tahan bibit, sulitnya infeksi mikoriza pada
akar
tanaman muda, dsb) dapat di atasi sendiri oleh petani setempat. Petani lebih
memilih
kebun bibit (seed bank) daripada memiliki gudang benih (seedling bank).
Penanaman
bibit dari permudaan alam langsung di kebun memberikan kesempatan terjadinya
infeksi mikoriza yang lebih besar, dan memudahkan permudaan alam untuk
beradaptasi dengan lingkungannya.
Bagaimana proses terbentuknya kebun damar?
Perkembangan terbentuknya kebun damar disajikan secara skematis pada
Gambar 5.
Pada stadia awal, lahan masih berupa hutan alam baik primer maupun sekunder,
atau
padang alang-alang yang ditebang dan dibakar. Padi gogo ditanam secara
tumpangsari dengan tanaman komersial lainya misalnya kopi, lada dan pohon-
pohon
25

pelindung lainnya seperti dadap dan gamal. Pengusahaan tanaman semusim


hanya
berlangsung 2-3 tahun saja. Bibit pohon yang diperoleh dari kebun petani sendiri
(misalnya damar dan pohon buah-buahan) ditanam di antara tanaman pangan.
Pepohonan ini nantinya akan menjadi komponen utama dari sistem agroforest.
Bila pohon damar mulai memproduksi resin (setelah berumur 20-25 tahun), petak
lahan
disiangi namun tumbuhan bawah yang berguna dibiarkan tetap hidup. Dengan
demikian kebun damar telah melalui beberapa stadia yaitu: tanaman semusim,
tanaman komersial, fase non-produktif dan agroforest yang produktif
sepenuhnya.
Setelah tanaman semusim dipanen terakhir kalinya, kopi dan lada dibiarkan
tumbuh
selama kurang lebih 8-15 tahun. Permudaan alam lainnya akan tumbuh kembali
sehingga akan diperoleh kebun campuran. Pada periode ini kompetisi intensif
(antara
tanaman semusim dengan pepohonan atau tanaman bawah lainnya) kemungkinan
besar akan terjadi. Penanaman tanaman semi-perenial (seperti lada, kopi)
merupakan
usaha petani dalam meningkatkan pendapatannya sehingga sering menjadi
kompetitor
terbesar bagi pepohonan. Dengan demikian pembentukan agroforest mengalami
sedikit penundaan waktu.

Keuntungan dari sistem agroforest


Fungsi ekonomi agroforest di Pesisir Krui terutama adalah produksi damar. Delapan
puluh persen pendapatan sebagian besar desa di Pesisir Krui dihasilkan dari kebun-
kebun damar. Selain itu kebun damar juga memasok buah-buahan, sayuran, rempah-
rempah, gula, kayu bakar, kulit kayu, daun, bambu, dan kayu bangunan. Dengan
aneka produk yang dihasilkan, kebun damar telah menggantikan fungsi hutan dalam
ekonomi pedesaan. Karenanya, agroforest mengurangi kegiatan pengumpulan hasil
hutan dari hutan-hutan alam di sekitarnya. Petani membuka hutan hanya untuk
kebutuhan produksi makanan pokok, yakni membuka ladang padi: namun seringkali
alasan sebenarnya adalah untuk membangun kebun damar yang baru.
Sebagai hutan buatan yang dikelola dengan cermat, agroforest dapat memproduksi
selain kayu juga kebutuhan sehari-hari lainnya. Dengan berkembangnya agroforest,
peran hutan alam sebagai sumber bahan nabati semakin lama semakin menghilang.

7.1 Mengapa agroforest perlu mendapat perhatian?


Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas
diberi perhatian dalam rangka pembangunan pertanian dan kehutanan,
khususnya untuk daerah-daerah rawan secara ekologis (kurang subur, terlalu
curam, terlalu berbatu). Lahan tersebut tidak cocok untuk pertanian dan
seharusnya tertutup rapat seperti hutan. Di daerah-daerah tersebut hanya
tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara berkelanjutan, sedangkan
untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya dimungkinkan
dengan investasi yang sangat besar (penyediaan pupuk dan pembangunan fisik
pengendali erosi). Manfaat penerapan sistem agroforest ditinjau dari beberapa
pihak atau sudut pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4)
26

kehutanan.

Sudut pandang pertanian


Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepatguna, sesuai
dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman
semusim, menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem
monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar
yang tidak sesuai untuk kondisi petani.
Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman
komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang
lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami
kegagalan pada tingkat petani.
Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama
agroforest bukan sebagai penghasil bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil
pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis
menjadi andalan pemasukan modal di Sumatera. Bahkan, agroforest seringkali menjadi
satu-satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang
50% hingga 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsung
maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan
pemasaran hasilnya.

Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu
dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja
(subsisten). Oleh karena itu, bentuk dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil
biasanya diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan.
Pendekatan terpadu untuk
mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada masih sangat kurang, karena
umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar
pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan
untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti
kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.
Sudut pandang petani
Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada
keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja.
Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain
yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani.
Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest
umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang
dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain.
Selain itu, agroforest juga dapat membantu
menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti
buah-buahan, cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditaskomoditas lain seperti kayu bahan
bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan
dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa
daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka
keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di
daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali.
Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan
kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya
akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan.
Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis
tanaman atau risiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi
kemerosotan harga satu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja,
27

hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak


menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan
produktif dan spesies yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan
selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu
spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.
Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami
beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-
tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur
seperti pembangunan jalan baru. Hal seperti ini
telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari
hutan alam menjadi langka.

Kolom 6. Contoh kasus perubahan hutan penghasil kayu


menjadi non-kayu
Penanaman Pinus Merkusii di Jawa yang juga dimulai dengan tujuan penghasil kayu
glondongan untuk industri kertas, tetapi akhirnya berubah haluan menjadi tujuan
penghasil getah bahan baku industri gondorukem. Ternyata usaha ini lebih
menguntungkan dari segi ekonomi (bagi rakyat sekitar hutan) maupun perlindungan
lingkungan karena tanpa penebangan. Dibandingkan dengan hutan penghasil kayu,
hutan penghasil getah pinus ini selalu menyertakan masyarakat dalam
pengelolaannya. Petani pesanggem tanaman pinus memperoleh manfaat produk
tanaman pertaniannya selagi pinus masih muda, dan secara otomatis mendapat hak
menyadap ketika pinus sudah bisa disadap. Secara tidak tertulis petani penanam
adalah pemilik tegakan tersebut dan petani tersebut berhak pula untuk
menyewakan, mengontrakkan bahkan memindahtangankan hak atas tegakannya bila
mereka menginginkanya. Di beberapa tempat, petani bahkan secara ilegal (karena
tanpa ijin resmi kehutanan), berprakarsa mengkombinasikannya dengan tanaman
kopi.
Itulah sebabnya hutan pinus penghasil getah relatif lebih aman dibanding dengan
penghasil kayu.

Struktur agroforest dan pelestarian sumber daya hutan: konservasi in-situ


dan eks-situ
Agroforest memainkan peran penting dalam pelestarian sumber daya hutan
baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya yang khas. Agroforest
menciptakan kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro,
dan di dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu bertahan
hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora semakin besar, jika di dekat kebun
terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber (bibit) tanaman. Bahkan
ketika hutan alam sudah hampir lenyap sekalipun, warisan hutan masih
mampu terus berkembang dalam kelompok besar: misalnya kebun campuran
di Maninjau melindungi berbagai tanaman khas hutan lama di dataran rendah,
padahal hutan lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak mampu
menyelamatkan tanaman-tanaman tersebut.
Di pihak lain, agroforest merupakan struktur pertanian yang dibentuk dan
dirawat. Tanaman bermanfaat yang umum dijumpai di hutan alam
menghadapi ancaman langsung karena daya tarik manfaatnya. Dewasa ini
sumber daya hutan dikuras tanpa kendali. Hal ini tidak terjadi dengan
agroforest. Bagi petani, agroforest merupakan kebun bukan hutan. Agroforest
merupakan warisan sekaligus modal produksi. Sumber dayanya, baik yang
tidak maupun yang sengaja ditanam, dimanfaatkan dengan selalu mengingat
kelangsungan dan kelestarian kebun. Pohon di hutan dianggap tidak ada yang
memiliki. Sebaliknya, pohon di kebun ada pemiliknya, sehingga pohon
tersebut mendapat perlindungan yang lebih efektif daripada yang terdapat di
hutan negara. Sumber daya (komponen pohon) hutan di dalam agroforest
28

dengan demikian turut berperan dalam mengurangi tekanan terhadap sumber


daya alam. Secara tidak langsung agroforest turut melindungi hutan alam.
Aneka kebun campuran di pedesaan di Jawa mempunyai peranan penting bagi
pelestarian kultivar pohon (tradisional) buah-buahan dan tanaman pangan.
Karena kendala ekonomi dan keterbatasan ketersediaan lahan, maka kebun
tersebut tidak dapat berfungsi sebagai tempat berlindung jenis tanaman yang
tidak bernilai ekonomi bagi petani. Di Sumatera dan Kalimantan, agroforest
masih mampu menawarkan pemecahan masalah pelestarian tanaman hutan
alam dan sekaligus dapat diterima pula dari sudut ekonomi (Michon dan de
Foresta (1995). Adanya perubahan sosial ekonomi dapat mempengaruhi sifat
dan susunan kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang terancam
kepunahan. Pada gilirannya sumber daya tersebut akan punah dan usaha
penyelamatannya belum terbayangkan. Apakah seluruh sumber daya genetik
yang ada dalam agroforest dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau
bank benih?
Upaya-upaya keberhasilan perlindungan alam
Untuk meningkatkan keberhasilan perlindungan terhadap sumber daya alam,
maka petani harus dilibatkan pada setiap usaha pelestarian alam, misalnya
dengan memberikan pengakuan terhadap agroforest yang sudah ada dan
melaksanakan budidaya agroforest di pinggiran kawasan taman-taman
nasional. Upaya melestarikan alam harus sekaligus dapat memenuhi
kebutuhan penduduk setempat. Gagasan ini bukan khayalan, karena secara
tradisional telah dirintis oleh petani agroforest. Pada akhirnya agroforest di
daerah tropis merupakan lahan berharga bagi eksplorasi genetik dan etno
29
botani. Pengetahuan petani pengelola agroforest seyogyanya tidak lagi
diremehkan oleh para pengelola hutan.
7.2 Kelemahan dan Tantangan Agroforest
Kelemahan
Kesulitan visual
Keberagaman bentuk, kemiripan dengan vegetasi hutan alam, dan kesulitan
membedakannya dalam penginderaan jauh (remote sensing) menjadikan
bentang lahan agroforest sulit dikenali. Kebanyakan agroforest dalam peta-peta
resmi diklasifikasikan sebagai hutan sekunder, hutan rusak, atau belukar, oleh
karena itu biasanya disatukan ke dalam kelompok lahan yang menjadi target
rehabilitasi lahan dan hutan.

Dalam kenyataannya di lapangan, seringkali agroforest sukar dibedakan dari


hutan rakyat, walaupun intensitas pemeliharaan yang dilakukan pada
agroforest nampaknya lebih nyata daripada pemeliharaan hutan rakyat.
Kesulitan mengukur produktivitas
Ahli ekonomi pertanian terbiasa dengan perhatian hanya kepada jenis tanaman
dan pola penanaman yang teratur rapi. Biasanya mereka enggan memberi
perhatian terhadap nilai pepohonan dan tanaman non-komersial (apalagi nilai
yang sifatnya sulit terukur/intangible, seperti konservasi dan jasa lingkungan
lainnya). Mereka juga biasanya tidak memiliki latar belakang yang cukup
untuk mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herbal/semak.
Rimbawan terbiasa dengan memperlakukan pohon dalam satuan tegakan
sedangkan dalam agroforestri diperlukan penanganan pohon secara individual.
Keahlian memperlakukan pohon secara indivual adalah kelebihan seorang
agroforester yang tidak dimiliki oleh rimbawan. Sebagai contoh keahlian
menebang sebuah pohon di antara pohon-pohon lainnya tanpa banyak
merusak tetangganya adalah salah satu ciri dari sistem silvikultur agroforestri
yang berbeda dengan sistem silvikultur kehutanan tradisional.
29

Kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan pohon pada lahan pertanian


Adanya penyisipan pohon di antara tanaman semusim, akan menimbulkan
masalah yang sering merugikan petani karena kurangnya pengetahuan petani
akan adanya interaksi antar tanaman. Tidak sedikit petani yang masih beranggapan,
bahwa menanam pohon pada lahan usaha mereka akan mengurangi produktivitas panen
pertaniannya.

Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pemahaman para penyuluh


lapangan pertanian akan fungsi pohon dalam agroforestri, baik yang berkaitan
dengan total dan keberlanjutan produksi lahan.

Ancaman Keberlanjutan (dikutip dari de Foresta et al., 2000)

Kesulitan merubah pandangan ahli agronomi dan kehutanan


Besarnya jenis dan ketidakteraturan tanaman dalam agroforest membuatnya
cenderung diabaikan. Kebanyakan ahli pertanian dan kehutanan yang sudah
sangat terbiasa dengan keteraturan sistem monokultur dan agroforestri sederhana
menganggap ketidakteraturan dan keberagaman tanaman ini sebagai tanda kemalasan
petani. Kebanyakan ahli agronomi dan kehutanan yang akrab dengan pola pertanian
sederhana dan keaslian hutan alam masih
sulit untuk mengakui bahwa agroforest adalah sistem usaha tani yang produktif.

Agroforest adalah sistem kuno (tidak modern)


Banyak kalangan memandang agroforest sebagai sesuatu yang identik dengan pertanian
primitif yang terbelakang, sama sekali tidak patut dibanggakan. Padahal, agroforest
merupakan wujud konsep petani, proses adaptasi dan inovasi yang terus menerus yang
berkaitan dengan perubahan ekologi, keadaan
sosial ekonomi, dan perkembangan pasar. Sistem agroforest yang ada saat ini merupakan
karya modern dari sejarah panjang adaptasi dan inovasi, uji coba berulang-ulang,
pemaduan spesies baru dan strategi agroforestri baru.
Orang sering membenturkan antara teori ilmiah modern dengan pengetahuan
tradisional yang sudah teruji secara lokal yang dianggap kuno. Bekerja dalam agroforestri
orang akan mendapat kesempatan yang tanpa batas untuk melakukan pendalaman ulang
(refining) teori umumnya, yang pada hakekatnya merupakan hasil generalisasi ilmiah
dengan pengetahuan tradisional yang dijumpainya di lapangan.

Penguasaan lahan
Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi
termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan. Hampir semua
petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan
mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan
hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan
proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini
berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistem pengelolaan yang
sekarang sudah mereka bangun.
Ketiadaan data akurat
Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya
serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan
agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Akibatnya,
belum ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap
agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur
(cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
30

31
Egosektoral

Kondisi ini mengakibatkan pengembangan agroforestri hingga


saat ini lebih banyak berhasil dalam konteks penelitian dan uji-coba pada skala
yang terbatas. Keberhasilan itupun juga belum optimal, karena tidak adanya
dukungan kebijakan yang diperlukan, tidak terkecuali pada fase pasca panen
dan pemasaran dari keseluruhan produk yang dihasilkan.

2.3. Klasifikasi Agroforestri

Bahan Ajaran ini diawali dengan memberikan pengertian tentang


agroforestri,
sejarah perkembangannya dan macam-macamnya serta klasifikasinya
disertai
dengan contoh sederhana (Bahan Ajaran Agroforestri (AF) 1 dan 2).

Secara umum agroforestri berfungsi protektif (yang lebih mengarah


kepada manfaat biofisik) dan produktif (yang lebih mengarah kepada
manfaat ekonomis). Manfaat agroforestri secara biofisik ini dibagi
menjadi dua level yaitu level bentang lahan atau global dan level plot.
Pada level global meliputi fungsi agroforestri dalam konservasi tanah dan
air, cadangan karbon (C stock) di daratan, mempertahankan
keanekaragaman hayati. Untuk skala plot, lebih difokuskan pada peran
pohon dalam mempertahankan kesuburan tanah walaupun tidak semua
pohon dapat memberikan dampak yang menguntungkan. Untuk itu
diperlukan pemahaman yang dalam akan adanya interaksi antara pohon-
tanah - dan tanaman semusim.
31

Di Indonesia agroforestri sering juga ditawarkan sebagai salah satu system


pertanian yang berkelanjutan.
Guna meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengelola
agroforestri, diperlukan paling tidak tiga ketrampilan utama yaitu: (a)
mampu menganalisis permasalahan yang terjadi, (b) merencanakan dan
melaksanakan kegiatan agroforestri, (c) monitoring dan evaluasi kegiatan
agroforestri. Namun prakteknya, dengan hanya memiliki ketiga
ketrampilan tersebut di atas masih belum cukup karena kompleksnya
proses yang terjadi dalam system agroforestri. Sebelum lebih jauh
melakukan inovasi teknologi mahasiswa perlu memahami potensi dan
permasalahan yang dihadapi oleh praktek agroforestri (diagnosis).
Selanjutnya, untuk menyederhanakan interpretasi proses-proses yang
terlibat maka diperlukan alat bantu simulasi model agroforestri, yang
dapat dijumpai di Bahan Ajaran AF 6.

Banyak hasil penelitian diperoleh untuk memecahkan masalah yang


timbul di lapangan, tetapi usaha ini secara teknis seringkali mengalami
kegagalan.
Transfer teknologi dari stasiun penelitian ke lahan petani seringkali hanya
diadopsi sebagian atau bahkan tidak diadopsi sama sekali oleh petani.
Berangkat dari pengalaman pahit tersebut di atas, dewasa ini sedang
berlangsung pergeseran paradigma lebih mengarah ke partisipasi aktif
petani baik dalam penelitian dan pembangunan. Dengan demikian pada
Bahan Ajaran AF 7 diberikan penjelasan pentingnya memasukkan
pengetahuan ekologi local dalam pemahaman dan pengembangan sistem
agroforestri. Selanjutnya dalam Bahan Ajaran AF 8 diberikan

pemahaman akan pentingnya kelembagaan dan kebijakan sebagai


landasan pengembangan agroforestri yang berkelanjutan, dan analisis atas
aspek kelembagaan dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan
agroforestri.
Telah disebutkan di atas bahwa agroforestri adalah praktek lama di
Indonesia, tetapi agroforestri merupakan cabang ilmu pengetahuan baru.
Bagaimana prospek penelitian dan pengembangannya di Indonesia?
Mengingat kompleksnya sistem agroforestri, maka paradigma penelitian
agroforestri berubah dari level plot ke level bentang lahan atau bahkan ke
level global.
32

Bahan Ajaran AF 9, memberikan gambaran tentang macam-macam


penelitian agroforestri yang masih diperlukan dan beberapa
pendekatannya.

Kolom 2. Kebun Kopi Naungan (shade coffee garden)

Pada sistem ini, kopi (bisa juga kakao) ditanam sebagai tanaman pokok, dengan
tanaman penaung misalnya lamtoro (Leucaena sp.), dadap (Erythrina sp.) atau gamal
(Giricidia sp.). Bagi orang kehutanan, sistem ini dianggap sebagai pertanian murni.
Sedangkan bagi orang pertanian, sistem tersebut dianggap sebagai perkebunan
murni. Tetapi bila ditinjau dari sudut pandang agroforestri, sistem tersebut
merupakan salah satu sub sistem/praktek agrisilvikultur. Sistem ini merupakan salah
satu bentuk agroforestri sederhana (De Foresta dan Michon (1997).

Prinsip penting yang harus dipegang adalah: apakah kombinasi suatu bentuk
pemanfaatan lahan tersebut memenuhi ciri-ciri dan tujuan agroforestri, yaitu
meningkatkan kesejahteraan petani dan konservasi alam? Hal tersebut akan berbeda
dengan ciri-ciri dan tujuan kegiatan murni kehutanan/pertanian yang lebih
menekankan pada konservasi alam saja atau peningkatan produksi tanaman saja.

Sekali lagi agroforestri merupakan istilah baru dari berbagai bentuk system pemanfaatan
lahan tradisional/modern yang mengkombinasikan pertanian dan kehutanan, yang tentu
saja sangat dimungkinkan adanya penekanan kepentingan. Hal ini semakin tampak bila
ditinjau lebih jauh mengenai pelaku dan status lahan yang digunakan.

Ada berbagai bentuk sistem atau praktek agroforestri, baik yang bersifat tradisional atau
modern, yang tersebar di wilayah tropis dan sub-tropis. Berbagai contoh tersebut
menunjukkan betapa luasnya rentang agroforestri, sehingga para ahli kehutanan dan
pertanian konvensional sulit untuk menerimanya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa definisi agroforestri dapat meliputi rentang
yang luas dari sistem-sistem pemanfaatan lahan primitif, tradisional maupun modern.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya batasan yang jelas kapan atau bilamana suatu sistem
dapat dikategorikan sebagai agroforestri. Batasan semacam ini diperlukan untuk
menghindari timbulnya pendapat bahwa setiap kombinasi komponen kehutanan,
pertanian dan/atau peternakan selalu dapat diklasifikasikan sebagai suatu sistem
agroforestri.

Kuenzel (1989) menyarankan untuk melihat adanya interaksi yang nyata dari komponen-
komponen penyusunnya. Sebagai contoh sederetan pohon cemara yang ditanam pada
pinggir sawah/ladang yang dimaksudkan melulu untuk produk kayunya, maka sistem
tersebut bukan sistem agroforestri. Namun, bila penanaman pohon tersebut sekaligus juga
dimaksudkan untuk melindungi tanaman pertanian dari terpaan angin (windbreak), maka
sistem itu dapat dikatakan sebagai agroforestri.

Menurut Lundgren (1982), definisi agroforestri seyogyanya menitikberatkan dua karakter


pokok yang umum dipakai pada seluruh bentuk agroforestri yang membedakan dengan
sistem penggunaan lahan lainnya:
33

1. Adanya pengkombinasian yang terencana/disengaja dalam satu bidang lahan antara


tumbuhan berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan/atau ternak/hewan baik secara
bersamaan (pembagian ruang) ataupun bergiliran (bergantian waktu);
2. Ada interaksi ekologis dan/atau ekonomis yang nyata/jelas, baik positif dan/atau
negatif antara komponen-komponen sistem yang berkayu maupun tidak berkayu.

Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree, (1982)
adalah:
1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau
hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.
2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.
3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak
berkayu.
4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak,
kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.
5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung
angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya
keluarga/masyarakat.
6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada
penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan
penggunaan sisa panen.
7. Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi)
maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan system budidaya monokultur.
34

IV. SASARAN DAN MANFAAT AGROFORESTRI

5. S A S A R A N DAN M A N FA AT A G R OF O RE S TR I
Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat kepada
manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan
berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri diharapkan
dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna
menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain
oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran
lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal
oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.
Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestri diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga ataupun
sumber daya sendiri (internal) dibandingkan sumber-sumber dari luar. Di samping itu agroforestri
diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan.
Untuk daerah tropis, beberapa masalah (ekonomi dan ekologi) berikut menjadi mandat agroforestri dalam
pemecahannya (von Maydell, 1986):
a. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan :
- Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran,
dan proses-proses dalam agroindustri.
- Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen.
- Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.
b. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
c. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun
pertanian:
- Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan
ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat, dll.) atau yang mungkin dijual
untuk memperoleh pendapatan tunai.
- Diversifikasi produk.
d. Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di
mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
- Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik.
- Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga yang tradisional, pemukiman,
pengaturan pemilikan lahan.
35

- Memelihara nilai-nilai budaya.


e. Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat:
- Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan.
- Perlindungan keanekaragaman hayati.
- Perbaikan tanah melalui fungsi pompa pohon dan perdu, mulsa dan perdu.
- Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence).
- Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai
komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau interaksi antara
komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya. Dalam kaitan ini ada beberapa keunggulan
agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu dalam hal:
1). Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran
dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja
keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun.
Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman
akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
2). Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem
agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan
demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan
dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya
tunggal (monokultur).
3). Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari
ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam
arti tidak memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi
daripada sistem monokultur
4). Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal
mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin
stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.

7.1 Mengapa agroforest perlu mendapat perhatian?


Kebun-kebun agroforest asli Indonesia memperlihatkan ciri-ciri yang pantas diberi
perhatian dalam rangka pembangunan pertanian dan kehutanan, khususnya untuk daerah-
daerah rawan secara ekologis (kurang subur, terlalu curam, terlalu berbatu). Lahan
tersebut tidak cocok untuk pertanian dan seharusnya tertutup rapat seperti hutan. Di
daerah-daerah tersebut hanya tanaman tahunan saja yang dapat berproduksi secara
berkelanjutan, sedangkan untuk tanaman pangan dan tanaman musiman lain hanya
dimungkinkan dengan investasi yang sangat besar (penyediaan pupuk dan pembangunan
fisik pengendali erosi). Manfaat penerapan sistem agroforest ditinjau dari beberapa
pihak atau sudut pandang: (1) pertanian, (2) petani, (3) peladang, (4)
kehutanan.

Sudut pandang pertanian


Agroforest merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepatguna, sesuai
dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman
semusim, menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem
36

monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar
yang tidak sesuai untuk kondisi petani.
Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman
komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang
lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami
kegagalan pada tingkat petani.
Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama
agroforest bukan sebagai penghasil bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil
pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis
menjadi andalan pemasukan modal di Sumatera. Bahkan, agroforest seringkali menjadi
satu-satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang
50% hingga 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsung
maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan
pemasaran hasilnya.

Sudut pandang petani


Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada
keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja.
Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain
yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani.
Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest
umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang
dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain.
Selain itu, agroforest juga dapat membantu
menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti
buah-buahan, cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditaskomoditas lain seperti kayu bahan
bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan
dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa
daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka
keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di
daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali.
Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan
kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya
akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan.
Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis
tanaman atau risiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi
kemerosotan harga satu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja,
hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak
menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem kebun. Petak kebun tetap utuh dan
produktif dan spesies yang ditelantarkan akan tetap hidup dalam struktur kebun, dan
selalu siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara itu
spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.
Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang mungkin dialami
beberapa spesies. Spesies yang sudah puluhan tahun berada di dalam kebun dapat tiba-
tiba mendapat nilai komersil baru akibat evolusi pasar, atau pembangunan infrastruktur
seperti pembangunan jalan baru. Hal seperti ini
telah terjadi pada buah durian, duku, dan cengkeh serta terakhir kayu ketika kayu dari
hutan alam menjadi langka.

FUNGSI DAN PERAN AGROFORESTRI


Widianto, Kurniatun Hairiah, Didik Suharjito dan Mustofa Agung Sardjono
37

Agroforestri merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan terdiri dari campuran pepohonan, semak
dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam,
maka agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan pertanian,
perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang
menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat
mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting
terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung
DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan
keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri dalam mepertahankan fungsi DAS dan
pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO 2 yang telah ada di atmosfer oleh
tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah
satu contoh dari Sistem Pertanian Sehat (Hairiah dan Utami, 2002).

Fungsi agroforestri ditinjau dari aspek biofisik dan lingkungan


pada
skala bentang lahan (Lansekap)

Salah satu fungsi agroforestri pada level bentang lahan (skala meso) yang sudah terbukti
diberbagai tempat adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian lahan.
Beberapa dampak positif sistem agroforestri pada skala meso ini antara lain:
(a) memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah,
(b) mempertahankan fungsi hidrologi kawasan,
(c) mempertahankan cadangan karbon,
(d) mengurangi emisi gas rumah kaca, dan
(e) mempertahankan keanekaragaman hayati. Fungsi agroforestri itu dapat diharapkan
karena adanya komposisi dan susunan spesies tanaman dan pepohonan yang ada dalam
satu bidang lahan.

Peranan agroforestri terhadap sifat fisik tanah


Lapisan tanah atas adalah bagian yang paling cepat dan mudah terpengaruh oleh berbagai
perubahan dan perlakuan. Kegiatan selama berlangsungnya proses alih-guna lahan segera
mempengaruhi kondisi permukaan tanah.
Penebangan hutan atau pepohonan mengakibatkan permukaan tanah menjadi terbuka,
sehingga terkena sinar matahari dan pukulan air hujan secara langsung. Berbagai macam
gangguan langsung juga menimpa permukaan tanah, seperti menahan beban akibat
menjadi tumpuan lalu lintas kendaraan, binatang dan manusia dalam berbagai kegiatan
seperti menebang dan mengangkut pohon, mengolah tanah, menanam dan seterusnya.
Dampak langsung dari berbagai kegiatan tersebut adalah menurunnya porositas tanah
yang ditandai oleh peningkatan nilai berat isi. Tanah (umumnya lapisan atas) menjadi
mampat karena ruangan pori berkurang (terutama ruang pori yang berukuran besar).
Berkurangnya ruangan pori makro mengakibatkan penurunan infiltrasi (laju masuknya air
ke dalam tanah), penurunan kapasitas menahan air dan kemampuan tanah untuk
melewatkan air (daya hantar air).
Sistem agroforestri pada umumnya dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah
atas sebagaimana pada sistem hutan. Sistem agroforestri mampu mempertahankan sifat-
sifat fisik tanah melalui:

Menghasilkan seresah sehingga bisa menambahkan bahan organik tanah


Meningkatkan kegiatan biologi tanah dan perakaran
38

Mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dalam lapisan perakaran

Sifat-sifat fisik tanah (lapisan atas) yang paling penting dan dibutuhkan untuk menunjang
pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan pepohonan adalah struktur dan porositas tanah,
kemampuan menahan air dan laju infiltrasi.
Lapisan atas tanah merupakan tempat yang mewadahi berbagai proses dan kegiatan
kimia, fisik dan biologi yakni organisme makro dan mikro termasuk perakaran tanaman
dan pepohonan. Untuk menunjang berlangsungnya proses-proses kimia, fisik dan biologi
yang cepat diperlukan air dan udara yang tersedia pada saat yang tepat dan dalam jumlah
yang memadai. Oleh karena itu tanah harus memiliki sifat fisik yang bisa mendukung
terjadinya sirkulasi udara dan air yang baik.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas yang
diperlukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman, melalui:
Adanya tajuk tanaman dan pepohonan yang relatif rapat sepanjang tahun menyebabkan sebagian besar air
hujan yang jatuh tidak langsung ke permukaan tanah sehingga tanah terlindung dari pukulan air yang bisa
memecahkan dan menghancurkan agregat menjadi partikel-partikel yang mudah hanyut oleh aliran air.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan kandungan bahan organic tanah di lapisan atas melalui
pelapukan seresah yang jatuh ke permukaan tanah sepanjang tahun. Pemangkasan tajuk pepohonan secara
berkala yang di tambahkan ke permukaan tanah juga mempertahankan atau menambah kandungan bahan
organik tanah. Kondisi demikian dapat memperbaiki struktur dan porositas tanah serta lebih lanjut dapat
meningkatkan laju infiltrasi dan kapasitas menahan air.
Sistem agroforestri pada umumnya memiliki kanopi yang menutupi sebagian atau seluruh permukaan tanah
dan sebagian akan melapuk secara bertahap. Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan
penutupan tajuk pepohonan menyebabkan kondisi di permukaan tanah dan lapisan tanah lebih lembab,
temperatur dan intensitas cahaya lebih rendah. Kondisi iklim mikro yang sedemikian ini sangat sesuai
untuk perkembangbiakan dan kegiatan organisme. Kegiatan dan perkembangan organisme ini semakin
cepat karena tersedianya bahan organik sebagai sumber energi. Kegiatan organisme makro dan mikro
berpengaruh terhadap beberapa sifat fisik tanah seperti terbentuknya pori makro (biopores) dan pemantapan
agregat. Peningkatan jumlah pori makro dan kemantapan agregat akan meningkatkan kapasitas infiltrasi
dan sifat aerasi tanah.

2.2 Peranan agroforestri terhadap kondisi hidrologi kawasan


Hidrologi berhubungan dengan tata air dan aliran air dalam suatu kawasan, misalnya
hujan, penguapan, sungai, simpanan air tanah, dan sebagainya.
Satuan kawasan yang sering dipergunakan untuk analisis hidrologi adalah DAS atau
daerah aliran sungai (watershed, catchment). DAS merupakan suatu wilayah yang
dibatasi oleh batas ketinggian atau topografi di mana air hujan yang jatuh di dalamnya
mengalir ke sungai-sungai kecil menuju ke sungai lebih besar, hingga ke sungai utama
dan akhirnya bermuara di laut atau danau.
Sebuah DAS merupakan satuan hidrologi dan bisa dibagi menjadi Sub DAS, Sub-Sub
DAS, dan seterusnya sesuai dengan ordo sungai. Dalam sebuah DAS terdapat
keterkaitan dan ketergantungan antara berbagai komponen ekosistem (vegetasi, tanah dan
air) dan antara berbagai bagian dan lokasi (hulu-hilir).
Alih-guna lahan hutan menimbulkankan masalah-masalah yang berkaitan dengan
degradasi lingkungan dan terutama fungsi hidrologi kawasan atau DAS. Penggundulan
hutan seringkali dituduh sebagai penyebab utama timbulnya masalah-masalah hidrologi
seperti perubahan pola hujan, peningkatan limpasan permukaan dan banjir. Seringkali
hubungan tersebut terlalu disederhanakan, sehingga orang beranggapan bahwa untuk
memperbaiki kerusakan hutan dan fungsi hidrologi adalah dengan cara penghutanan
kembali atau penghijauan. Kenyataannya, program penghijauan telah menghabiskan dana
yang besar sekali tanpa bisa memperbaiki kerusakan fungsi hidrologi. Untuk memahami
sebab-akibat dan permasalahan tentang degradasi lahan dan fungsi hidrologi, diperlukan
pengetahuan dan pemahaman yang lengkap tentang siklus hidrologi dan peran hutan
dalam siklus tersebut.
39

a) Peran hutan terhadap fungsi hidrologi kawasan


Hutan bukan hanya kumpulan pepohonan tetapi merupakan suatu ekosistem dengan
berbagai komponen dan fungsi masing-masing: vegetasi (campuran pohon dan tumbuhan
yang tumbuh di bawahnya), kondisi tanah (porositas dan kecepatan infiltrasi), bentang
lahan (dengan perbukitan, lembah dan saluran), dan sebagainya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi hidrologi:
Memelihara dan mempertahankan kualitas air
Mengatur jumlah air dalam kawasan
Menyeimbangkan jumlah air dan sedimentasi dalam kawasan DAS.

Penebangan hutan mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi hidrologi


kawasan, di antaranya:
1. Hasil air dari DAS

2. Volume aliran dan debit banjir


Ada dua macam perubahan volume aliran yaitu yang disebabkan oleh (a) aliran bawah
permukaan dan (b) aliran permukaan. Perubahan debit sungai yang disebabkan aliran
bawah permukaan ditunjukkan dengan
perubahan debit dasar (base flow), yang tampak jelas jika membandingkan antara debit
dasar musim hujan dan musim kemarau.
Perubahan volume aliran atau debit sungai yang disebabkan oleh adanya aliran
permukaan yang terjadi sesaat sangat nyata pada saat atau setelah hujan. Aliran
permukaan terjadi pada saat dan/atau segera
setelah hujan. Perbedaan debit antara sebelum hujan dan setelah hujan disebabkan oleh
adanya aliran permukaan, yang seringkali menunjukkan adanya lonjakan yang nyata atau
luar biasa dan dinamakan debit banjir.
Besarnya aliran banjir (stormflow) dipengaruhi oleh kondisi daerah aliran, khususnya
topografi, tanah dan karakteristik hujan. Pengamatan pada DAS mikro di Guyana
Perancis yang memiliki curah hujan tahunan sekitar 3.500 mm menunjukkan bahwa
jumlah aliran banjir dapat berkisar antara 7,3% sampai 20,0% dari total hujan, tergantung
dari kondisi tanah. Kawasan yang memiliki muka air tanah dangkal (shallow
groundwater) bahkan mencapai 34,4%.

3. Hasil sedimen
Sumber sedimen yang keluar dari daerah aliran sungai (DAS) adalah erosi dari lahan
pertanian, tanah longsor dan erosi tebing sungai. Namun tidak semua bentuk erosi itu
(terutama erosi dari lahan pertanian) keluar dari DAS dalam bentuk sedimen. Ada
beberapa bentuk erosi: erosi percik (splash) adalah proses di mana partikel tanah terlepas
(dari agregat) akibat pukulan butir hujan yang jatuh di permukaan tanah. Partikel yang
lepas ini mungkin terlempar beberapa sentimeter dari tempat asal, mudah sekali diangkut
oleh aliran air di permukaan, yang dikenal sebagai erosi permukaan atau lembar (sheet
erosion). Kedua bentuk erosi ini tidak menonjol pada kondisi di bawah hutan, tetapi
menjadi sangat dominan ketika penutup tanah tidak ada lagi (gundul).
Permukaan tanah dan topografi yang tidak rata mengakibatkan terjadinya penggerusan
oleh aliran air di permukaan yang selanjutnya berakibat terjadinya erosi alur (rill erosion)
yang jika semakin lama berlangsung bisa semakin besar sehingga terjadi erosi parit (gully
erosion). Sumber sedimen lain adalah longsor (landslide atau masswasting) yang
umumnya terjadi pada tanah yang curam dengan curah hujan tinggi.
Ketiga peran hutan tersebut dapat terjadi karena keberadaan vegetasi, kondisi tanah dan
bentang lahan yang dimiliki oleh hutan. Vegetasi hutan yang terdiri dari campuran pohon
dan semak membentuk tajuk berlapis mengakibatkan terjadinya surplus arus air tahunan
menuju ke tanah. Kondisi tanah di bawah
40

hutan mempunyai porositas dan kecepatan infiltrasi yang besar sehingga mendorong
terjadinya aliran air ke lapisan tanah lebih dalam maupun aliran horisontal. Bentang lahan
hutan yang alami memiliki permukaan yang kasar (tidak rata) terdiri dari perbukitan dan
lembah atau cekungan yang dapat berfungsi sebagai tandon air sementara dan tempat
pengendapan, memungkinkan jumlah air yang mengalir ke dalam tanah lebih banyak dan
lebih jernih karena endapannya tersaring. Kadang-kadang bisa dilihat dan
dibandingkan tingkat kekeruhan air sungai yang mengalir pada musim hujan melalui
kawasan tertutup (hutan atau agroforestri) dengan sungai yang melewati kawasan
pertanian. Perbedaan kekeruhan air sungai ini menunjukkan besarnya konsentrasi
sedimen yang terangkut aliran air pada saat itu.

b) Peran agroforestri terhadap fungsi hidrologi kawasan


Agroforestri memiliki beberapa persamaan dengan hutan alam khususnya yang
berkaitan dengan susunan vegetasi, pengaruh terhadap kondisi tanah dan kondisi bentang
lahan. Sejauh mana fungsi hutan yang telah disebutkan dapat diperankan oleh
agroforestri?
Susunan vegetasi
Aspek terpenting dalam komponen vegetasi adalah susunan tajuk dari system agroforestri
yang berlapis-lapis, jenis pohon dan tanaman bawah. Komposisi vegetasi ini terkait
dengan peran dan fungsi terhadap evaporasi dan transpirasi, intersepsi hujan, dan iklim
mikro. Dalam hal ini beberapa sistem agroforestri
memiliki kemiripan dengan hutan.
Kondisi tanah
Aspek terpenting dalam komponen tanah adalah sifat fisik lapisan atas, kemampuan
sistem agroforestri untuk mempertahankan kehidupan dan kegiatan makro-fauna,
menjaga kemantapan dan kontinyuitas ruangan pori serta mendorong daya hantar air atau
laju infiltrasi yang.
Bentang lahan
Aspek terpenting dalam kaitan dengan bentang lahan adalah menjaga kekasaran
permukaan (relief semi-makro) sehingga dalam kawasan masih dipertahankan adanya
cekungan dan saluran yang dapat menahan air sementara. Adanya cekungan-cekungan
alami memberi manfaat ganda:
Meningkatkan kapasitas menahan air sementara di permukaan tanah (surface storage), sehingga air ini
tidak segera hilang mengalir di permukaan tetapi secara berangsur akan masuk ke dalam tanah walaupun
hujan sudah berhenti.
Menyaring sedimen yang terangkut dalam limpasan permukaan dengan jalan mengendapkannya pada saat
air menggenang (sebagai filter) Pemahaman terhadap siklus hidrologi suatu kawasan dan fungsi serta peran
setiap komponen hutan maupun agroforestri mengarahkan kita kepada pengetahuan yang benar akan fungsi
hiduologi hutan dan agroforestri.

2.3 Peranan agroforestri dalam mengurangi gas rumah kaca dan


mempertahankan cadangan karbon
Upaya meningkatkan cadangan C di alam secara vegetatif (misalnya dengan
memperbanyak penanaman pepohonan) merupakan pelayanan terhadap lingkungan yang
diharapkan dapat mengurangi dampak rumah kaca. Dalam pertumbuhannya, tanaman
menyelenggarakan proses fotosintesis yang memerlukan sinar matahari, CO 2 dari udara,
air dan hara dari dalam tanah.
Dengan demikian keberadaan tanaman dapat mengurangi konsentrasi CO 2 di atmosfer,
dan hasilnya berupa karbohidrat diakumulasi dalam biomasa tanaman. Tinggi rendahnya
serapan CO2 di atmosfer bervariasi, tergantung pada jenis tanaman penyusun dan umur
lahan. Menurut Collins et al. (1999)
salah satu indikator keberhasilan usaha pengelolaan tanah adalah tetap terjaganya
cadangan C sehingga keseimbangan lingkungan dan biodiversitas dapat terjaga pula.
Guna memahami isu lingkungan gas rumah kaca ini, diperlukan beberapa pemahaman
41

tentang apa yang dimaksud dengan gas rumah kaca, siklus C dalam skala global dan
cadangan C yang ada di alam.

c) Apa yang dimaksud dengan C-stock?


Cadangan Carbon (C-stock) adalah jumlah C yang disimpan dalam komponen
biomasa dan nekromasa baik di atas permukaan tanah dan di dalam tanah
(Bahan organik tanah, akar tanaman dan mikroorganisma) per satuan luasan
lahan. Satuannya adalah Mg ha-1 (mega gram per ha = ton per ha).
Biomasa yaitu masa (kg ha-1) bagian vegetasi yang masih hidup yang
meliputi masa dari tajuk pohon, tanaman semusim dan tumbuhan
bawah atau gulma.
Nekromasa yaitu masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih
tegak, atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak
atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum
terdekomposisi atau terdekomposisi sebagian.
Bahan Organik tanah (BOT) adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan
dan manusia) yang telah terdekomposisi sebagian atau keseluruhan dan
telah menyatu dengan tanah. Dalam praktek biasanya BOT dipisahkan
dari bahan organik (BO) berdasarkan ukurannya, BOT memiliki ukuran
< 2 mm sedang BO berukuran > 2 mm.
d) Mengapa agroforestri penting untuk cadangan C?

a Hilangnya atau berkurangnya jumlah tegakan pohon per luasan.


Pengukuran cadangan C di beberapa tempat di Indonesia, diketahui bahwa
cadangan C tertinggi terdapat pada biomasa pohon.
b Perbedaan komponen penyusun sistem penggunaan lahan. Berubahnya
komponen penyusun sistem penutupan lahan dari sistem polikultur dan
umumnya berumur panjang cenderung berubah menjadi monokultur dan
berumur pendek. Hal ini terutama berpengaruh melalui masukan
seresahnya baik ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya. Sistem
polikultur seperti yang dijumpai di hutan mempunyai keragaman tanaman
yang tinggi sehingga masukan seresahnya juga sangat bervariasi
kualitasnya. Pada sistem hutan ini masukan seresah terjadi terus menerus
dan bervariasi kualitasnya, sehingga "masa tinggalnya" di atas permukaan
tanah juga cenderung lebih lama. Pada sistem pertanian monokultur
masukan seresah hanya satu macam saja. Bila seresah tersebut berkualitas
tinggi (Nisbah C:N, Lignin:N, Poliphenol:N rendah) misalnya pada
tanaman leguminosa, maka seresah ini akan cepat mengalami dekomposisi
dan mineralisasi sehingga jumlah yang tertinggal sebagai komponen
organik sangat rendah. Dengan demikian perolehan cadangan C dari
lapisan organik menjdi rendah pula.
c Pengelolaan residu panen. Pada sistem hutan alami, pengangkutan biomasa keluar plot
hampir tidak terjadi. Sedang pada sistem pertanian, hamper selalu ada pengangkutan
biomasa keluar petak bersama hasil panen. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya
usaha pengembalian sisa panen, dengan demikian cadangan C dalam tanah akan
berkurang dengan cepat.
Salah satu tawaran untuk meningkatkan cadangan C terutama pada tanah-tanah
terdegradasi adalah melalui usaha Agroforestri.

Bila ditinjau dari cadangan C, sistem agroforestri ini lebih menguntungkan daripada
sistem pertanian berbasis tanaman semusim. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan
yang memiliki biomasa tinggi dan
42

masukan seresah yang bermacam-macam kualitasnya dan terjadi secara terus menerus.
Contoh hasil pengukuran cadangan C pada berbagai system penggunaan lahan dapat
dilihat pada studi kasus di sub bab berikut.
e) Parameter pengukuran cadangan C dalam sistem agroforestri
Bila kita perhatikan proses terbentuknya sistem agroforestri, sistem ini memiliki beberapa
rotasi pola tanam. Oleh karena itu pengukuran potensi agroforestri dalam mengurangi C
dari udara adalah dengan mengukur besarnya cadangan C yang memang benar-benar ada
di daratan (actually present) yang merupakan rata-rata dari satu siklus tanam (lifecycle)
pada system penggunaan lahan. Parameter ini biasa disebut dengan cadangan C rata-
rata per siklus tanam (time-averaged C stock) atau singkatnya disebut Cadangan C per
siklus tanam (Hairiah et al., 2001).

Hutan karet rakyat (Agroforestri berbasis karet) memiliki cadangan C sekitar


sama dengan yang dijumpai di hutan sekunder yaitu sekitar 250 Mg ha -1 ,
hanya saja pada hutan sekunder lebih banyak dijumpai nekromasa yang
didominasi oleh pohon tumbang. Sistem pertanian monokultur ubikayu (umur
sekitar 3-4 bulan) memiliki cadangan C paling rendah yaitu sekitar 4-5 Mg ha-1.
Sedang hutan industri sengon (umur 5 tahun) memberikan cadangan C lebih
tinggi daripada lahan terdegardasi seperti lahan alang-alang atau lahan
ubikayu, hutan industri sengon menghasilkan cadangan C sekitar 12 Mg ha-1.
Untuk evaluasi cadangan C rata-rata per rotasi tanam dari semua sistem
penggunaan lahan yang diuji, hasilnya bervariasi (Tabel 1) tergantung pada
komponen penyusunnya.
Untuk sistem penggunaan lahan agroforestri karet memiliki cadangan C rata
rata per rotasi tanam sekitar 116 Mg ha-1 , sekitar 2-3 kali lipat dibandingkan
dengan lahan pertanian monokultur. Tetapi bila dibandingkan dengan hutan
alami, alih-guna lahan hutan menjadi agroforestri karet, daratan kehilangan C
sekitar 50%. Seandainya keberadaan agroforestri karet adalah untuk perbaikan
lahan terdegradasi seperti sistem ubikayu monokultur yang umumnya
dijumpai pula alang-alang tumbuh di antaranya, maka sistem agroforestri ini
mempunyai potensi yang cukup berarti dalam mengurangi konsentrasi CO2 di
udara.
Jadi peran agroforestri dalam mempertahankan cadangan C di daratan masih
lebih rendah bila dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat
merupakan suatu tawaran yang dapat memberikan besar harapan dalam
meningkatkan cadangan C pada lahan-lahan terdegradasi.
19
Tabel 1. Cadangan C per rotasi tanam dari berbagai sistem penggunaan lahan (Tomich
et.
al., 1998).
Sistem Penggunaan Lahan Umur maximum, tahun Cadangan C per rotasi
tanam, Mg ha-1
Hutan Alami 120 254
Hutan sekunder 60 176
Agroforestri karet 40 116
Perkebunan Karet (monokultur) 25 97
Rotasi padi-bera rerumputan 7 74
Rotasi ubi kayu-alang-alang 3 36

2.4 Fungsi agroforestri dalam mempertahankan keanekaragaman


hayati
Sistem agroforestri seringkali memiliki banyak spesies alami yang tumbuh pada sebidang
lahan yang sama, sehingga ahli agroforestri dapat memberikan kontribusi penting dalam
usaha melestarikan keanekaragaman hayati (biodiversitas).
43

Apakah benar demikian? Untuk itu perlu dijawab 3 pertanyaan


di bawah ini:
a) Apa yang dimaksud dengan keanekaragaman hayati
b) Mengapa keanekaragaman hayati harus dilindungi
c) Mampukah agroforestri mempertahankan keanekaragaman hayati
a) Apa yang dimaksud dengan keanekaragaman hayati?
Keanekaragaman hayati berasal dari kata Biological Diversity disingkat
menjadi Biodiversity yaitu berbagai macam makhluk hidup yang hidup di
bumi ini, termasuk di dalamnya binatang, tumbuhan dan mikrorganisme,
termasuk juga beragam genus dan kompleks ekosistem yang menunjangnya.
Jadi sebenarnya merupakan kumpulan dari tanaman, hewan dan
mikrorganisme yang telah ada di dalam planet kita ini selama ratusan bahkan
ribuan tahun (McNeely and Scherr, 2001). Kata biodiversitas ini menjadi lebih
hangat dibicarakan semenjak ditandatanganinya deklarasi Lingkungan Rio de
Janeiro, Brasil, in 1992 (The declaration Agenda 21 at the Earth Summit). Di sini
sebenarnya Biodiversitas adalah subyek BUKAN sebagai nilai atau ukuran
jumlah.
Telah disepakati bersama bahwa Biodiversitas secara formal didefinisikan
sebagai: "Keanekaragaman antar makhluk hidup dari berbagai sumber
termasuk di antaranya daratan (terrestrial), perairan (marine) dan ekosistem
perairan lainnya; ini termasuk pula keanekaragaman dalam spesies, antar
spesies dan dalam ekosistem.
Gambar 6 menggambarkan secara skematis biodiversitas pada berbagai tingkat
luasan. Total biodiversitas dalam suatu bentang lahan (gamma diversity)
merupakan fungsi dari biodiversitas tingkat lokal atau dalam satu habitat
(alpha diversity) dan pada tingkat spesies itu sendiri (di dalam komposisi spesies
atau umur paruh spesies) pada berbagai habitat atau lokasi (beta diversity).
20

Gambar 6. Skematik
biodiversitas pada
berbagai tingkatan:
bentang lahan (gamma),
lokal (alpha) dan sub
habitat (betha).
Bahan diskusi

f). Apakah agroforestri sama sekali tidak bermanfaat bagi pelestarian


keanekaragaman
hayati
Bila kita simak apa yang telah dikemukakan di atas, seolah-olah keberadaan
Agroforestri pada suatu bentang lahan sia-sia saja. Tetapi bila dibandingkan
dengan sistem pertanian yang intensif, maka kita akan lebih optimistik karena
Agroforestri meningkatkan keanekaragaman hayati. Seandainya tidak ada
agroforestri mungkin telah banyak spesies yang punah! Bentang lahan yang
didominasi oleh pertanian intensif masih membutuhkan keberadaan banyak
spesies alami, terutama yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati
dalam tanah (Hairiah et al., 2002). Selain itu, agroforestri dapat memberikan
kontribusi yang bermanfaat secara ekonomi bagi lahan pertanian, karena
agroforestri dapat menjadi tempat tinggal berguna misalnya polinator, predator
44

bagi hama pertanian. Jadi secara keseluruhan Agroforestri masih tetap


bermanfaat bila dilaksanakan pada tempat dan waktu yang tepat.
Secara keseluruhan, agroforestri hanya memberikan kontribusi yang terbatas dalam
mempertahankan keanekaragaman hayati. Agroforestri sesungguhnya dapat
berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati jika agroforestri berbagi ruang
dengan hutan belantara dalam satu bentang lahan yang sama. Agroforestri masih
tetap bermanfaat bila dilaksanakan pada tempat dan waktu yang tepat.

3. Fungsi dan peran agroforestri dalam aspek sosial-budaya


Tujuan utama pengembangan agroforestri baik secara umum ataupun di Indonesia adalah
dalam rangka menekan degradasi hutan alam dan lingkungan hidup (aspek ekologi), serta
upaya untuk memecahkan problema sosial-ekonomi masyarakat,terutama di wilayah-
wilayah pedesaan (aspek sosial ekonomi).
Pemahaman tersebut di atas dapat dikatakan naif, karena terkesan menempatkan
manusia hanya sebagai obyek dari kegiatan uji coba pihak luar, padahal sebenarnya justru
sebagai elemen penting dari agroforestri. Konsep agroforestri secara keseluruhan
menempatkan manusia (masyarakat) sebagai subyek, yang secara aktif berupaya dengan
daya dan kapasitas yang dimiliki untuk turut memecahkan permasalahan kebutuhan,
menghadapi tantangan, dan memanfaatkan peluang kehidupan. Mengolah lahan beserta
unsur lingkungan hayati dan nir-hayati lainnya dari sekedar elemen alami menjadi
sumber daya yang bernilai, bertujuan menjaga eksistensi dan meningkatkan taraf
kehidupan pribadi, keluarga, dan komunitasnya.

1. Praktek-praktek agroforestri tradisonal merupakan produk pemikiran dan pengalaman


yang telah berjalan lama di masyarakat dan teruji sepanjang peradaban masyarakat
setempat dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya.
2. Produk dan fungsi-fungsi yang dihasilkan oleh komponen penyusun agroforestri
tradisional memiliki manfaat bagi implementasi kegiatan budaya masyarakat yang
bersangkutan.

3.3 Tantangan agroforestri menghadapi perubahan sosial-budaya


masyarakat
Pola-pola agroforestri harus mampu memenuhi tuntutan dinamika sosial-budaya (dan
tentunya termasuk
aspek ekonomi) masyarakat yang demikian pesat berkembang. Perkembangan aspek
sosial-ekonomi dan budaya misalnya peningkatan jumlah populasi manusia, perubahan
pola-pikir, dan sebagainya. Dalam kaitan ini setiap pengembangan agroforestri tradisional
atau teknologi agroforestri baru harus senantiasa mencoba untuk menyesuaikan tidak
hanya dengan lingkungan alam (adaptasi terhadap tempat tumbuh) dan kebutuhan
masyarakat, tetapi juga fenomena sosial-ekonomi dan budaya (sosekbud) yang
berkembang di masyarakat.
a. Peningkatan kepadatan penduduk
Di banyak wilayah pedesaan, terutama yang bersifat sub-urban, terjadi
peningkatan jumlah penduduk, yang mengakibatkan peningkatan kepadatan
penduduk. Kepadatan penduduk membawa konsekuensi peningkatan penggunaan lahan
yang mengakibatkan penyempitan lahan-lahan untuk aktivitas pertanian (arable lands).

b. Urbanisasi di wilayah pedesaan


Fenomena umum yang dapat dijumpai di wilayah-wilayah pedesaan di
Indonesia (terutama di Jawa) adalah tingginya tingkat urbanisasi masyarakat,
baik untuk tujuan pendidikan dan juga alasan ekonomi, ataupun juga arus
45

informasi dan komunikasi yang semakin baik. Arus urbanisasi tersebut


biasanya menyangkut kelompok generasi muda ataupun yang masih dalam
kategori ekonomi aktif.

Pergeseran pola pikir masyarakat


d. Perubahan struktur kekerabatan

Fungsi dan peran agroforestri terhadap aspek sosial-


ekonomi
4.1 Aspek sosial-ekonomi agroforestri pada tingkat kawasan
Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem
pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi
dalam satu sistem (pohon, tanaman dan/atau ternak) membuat sistem ini memiliki
karakteristik yang unik, dalam hal jenis produk, waktu untuk memperoleh produk dan
orientasi penggunaan produk. Karakteristik agroforestri yang sedemikian ini sangat
mempengaruhi fungsi social-ekonomi dari sistem agroforestri.
Jenis produk yang dihasilkan sistem agroforestri sangat beragam, yang bisa dibagi
menjadi dua kelompok (a) produk untuk komersial misalnya bahan pangan, buah-buahan,
hijauan makanan ternak, kayu bangunan, kayu bakar, daun, kulit, getah, dan lain-lain, dan
(b) pelayanan jasa lingkungan, misalnya konservasi sumber daya alam (tanah, air, dan
keanekaragaman hayati).
Pola tanam itu dapat dilakukan dalam suatu unit lahan pada waktu bersamaan (simultan)
atau pada waktu yang berbeda/berurutan (sekuensial), melibatkan beraneka jenis tanaman
tahunan maupun musiman. Pola tanam dalam system agroforestri memungkinkan
terjadinya penyebaran kegiatan sepanjang tahun dan waktu panen yang berbeda-beda,
mulai dari harian, mingguan, musiman, tahunan, atau sewaktu-waktu. Kalender musim
dari beberapa jenis buah-buahan yang sering dijumpai dalam sistem agroforestri.
Dari komponen buah-buahan ini bisa dilihat adanya penyebaran panen produk
agroforestri dari suatu kawasan. Keragaman jenis produk dan waktu panen
memungkinkan penggunaan produk yang sangat beragam pula.

4.2 Agroforestri dan Penyediaan Lapangan Kerja


Pola penyerapan tenaga kerja dan karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan dalam
sistem agroforestri dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah jenis dan
komposisi tanaman (pepohonan dan tanaman semusim), tingkat perkembangan atau
umur.
Sistem agroforestri membutuhkan tenaga kerja yang tersebar merata sepanjang tahun
selama bertahun-tahun. Hal ini mungkin terjadi karena kegiatan berkaitan dengan
berbagai komponen dalam sistem agroforestri yang memerlukan tenaga kerja terjadi pada
waktu yang berbeda-beda dalam satu tahun. Kebutuhan tenaga kerja dalam sistem
pertanian monokultur bersifat musiman: ada periode di mana kebutuhan tenaga sangat
besar (misalnya musim hujan) dan periode di mana tidak ada kegiatan (musim kemarau).
Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan kebutuhan tenaga kerja pada
sistemagroforestri justru lebih rendah dibandingkan sistem pertanian monokultur,baik
tanaman semusim maupun tanaman tahunan.

4.3 Agroforestri dan Jasa Lingkungan


Sistem agroforestri dapat memberikan keuntungan terhadap pemeliharaan lingkungan,
misalnya memelihara kualitas dan kuantitas air bersih, mempertahankan keanekaragaman
hayati, dan menekan emisi karbon. Manfaat tersebut tidak dapat langsung dan segera
dirasakan oleh petani agroforestri sendiri, tetapi justru dinikmati oleh anggota masyarakat
46

di sekitar lokasi maupun di lokasi yang jauh (misalnya di bagian hilir) dan bahkan secara
global. Dengan kata lain, tindakan konservasi lahan yang diterapkan oleh petani
agroforestri tidak banyak mendatangkan keuntungan langsung bagi mereka, bahkan
seringkali petani harus menanggung kerugian dalam jangka pendek.
Oleh sebab itu ada upaya untuk mengusahakan imbalan atau kompensasi bagi petani di
bagian hulu jika mereka menerapkan usaha tani konservasi.

Referensi

Swidden Cultivation in East Kalimantan (UNESCO; Satyawati Hadi, Rachmat


Hidayat, Sutrisno Hadi). Swidden Cultivation in Asia, Volume Three. Bangkok; 1985.

(Tomich
et al., 1998)
http://www.bpdas-pemalijratun.net/index.php?
option=com_content&view=article&id=55:sejarah-perkembangan-
agroforestry&catid=17:agroforestry&Itemid=29

Monday, 17 Oct 2011

BP DAS Pemali Jratun DITJEN BP DAS PS Kementrian Kehutanan

http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/Files/lectureno
te/LN0001-04.PDF

Pengantar Agroforestri

Kurniatun Hairiah, Mustofa Agung Sardjono, Sambas Sabarnurdin


WORLD AGROFORESTRY CENTRE (ICRAF)
2003

http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/Files/lectureno
te/LN0009-04.PDF
47

Prospek Penelitian dan


Pengembangan
Agroforestri di
Indonesia
Sri Rahayu Utami, Bruno Verbist, Meine van Noordwijk, Kurniatun Hairiah
dan Mustofa Agung Sardjono

PROSPEK PENELITIAN DAN


PENGEMBANGAN AGROFORESTRI
DI INDONESIA
Kurniatun Hairiah, Sri Rahayu Utami, Bruno Verbist,
Meine van Noordwijk, Mustofa Agung Sardjono
Maret 2003
Bogor, Indonesia
Kritik
Terbit bulan Maret 2003
copyright World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia
Untuk tujuan kelancaran proses pendidikan, Bahan Ajaran ini bebas untuk difotocopi
sebagian
maupun seluruhnya.
Diterbitkan oleh:
World Agroforestry Centre (ICRAF)
Southeast Asia Regional Office
PO Box 161 Bogor, Indonesia
Tel: +62 251 625415, 625417; Fax: +62 251 625416; email: icraf-indonesia@cgiar.org
http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/Files/lectureno
te/LN0009-04.PDF

Silvofishery = kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.

Apiculture = budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan.
48

Ruang Lingkup Sistem Pemanfaatan Lahan secara Agroforestri

Anda mungkin juga menyukai