Marilah kita bersatu padu maupun lahir dan bathin, bergiatlah kita
berusahalah kita dengan sungguh-sungguh jangan berpecah belah untuk
mempertahankan Tanah Air kita Indonesia supaya jangan dijajah oleh penjajah lainnya.
Didalam kita mempertahankan Tanah Air Kita itu, kita harus membangun berupa ialah
perkebunan dan lain-lain artinya yang dibangun ialah sebagai berikut : Satu tanaman
Mingguan, Dua tanaman Bulanan, Tiga tanaman Tahunan, maksudnya tanaman-
tanaman itu ialah Rotan, Aren, Buah-buahan, Karet dan Iain-lain, dan disamping kita
melaksanakan pembangunan tersebut, harus memeliharakan Kekayaan Alam yang ada
diatas bumi Allah ialah Tanah kita ini merupakan Semambu, Damar, Getah, Ketiau. Lilin
Wangi, Sarang Burung, Intan, Berlian, Emas dan sebagainya ...
I. PENDAHULUAN
Pertanian berkelanjutan adalah praktek pertanian yang menggunakan prinsip-prinsip ekologi, studi
tentang hubungan antara organisme dan lingkungan mereka. Pertanian berkelanjutan merupakan sistem
terintegrasi praktek produksi tanaman dan hewan yang memiliki situs aplikasi spesifik yang akan
berlangsung selama jangka waktu panjang.
Sistem penggunaan lahan berkelanjutan dapat dilakukan melalui praktek-praktek agroforestri.
Agroforestri merupakan suatu pendekatan pertanian menggunakan manfaat dari penggabungan pohon dan
tanaman dan / atau ternak. Oleh karena itu, pengetahuan tentang pemilihan kombinasi spesies dan
manajemen yang baik dari pohon dan tanaman, dibutuhkan untuk memaksimalkan efek produksi dan
efek positif dari pohon dan untuk meminimalkan efek negatif pada tanaman kompetitif.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat
mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Dalam sistem agroforestri terdapat peluang yang
cukup besar dan sangat terbuka untuk melakukan pendekatan yang memadukan sasaran keberlanjutan
untuk jangka panjang dengan keuntungan produktivitas dalam jangka pendek dan menengah.
1.2. A G RO FO R E S TR I : I LM U B A R U , T E KN I K L A M A
Penanaman berbagai jenis pohon dengan atau tanpa tanaman semusim (setahun) pada sebidang lahan
yang sama sudah sejak lama dilakukan petani (termasuk peladang) di Indonesia. Contohnya bisa dilihat
pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek seperti ini semakin meluas dilakukan
khususnya di daerah pinggiran hutan karena ketersediaan lahan yang semakin terbatas.
Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian menimbulkan banyak masalah, misalnya penurunan
kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan.
Secara global, masalahnya semakin berat sejalan dengan meningkatnya luas hutan yang dikonversi
menjadi lahan usaha lain. Peristiwa ini dipicu oleh upaya pemenuhan kebutuhan yang terus meningkat
antara lain pangan dan pemukiman -- yang diakibatkan oleh peningkatan populasi penduduk.
Di tengah perkembangan itu lahirlah agroforestri, suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang
pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Ilmu agroforestri
mencoba mengenali dan mengembangkan sistem-sistem agroforestri yang telah dipraktekkan oleh petani
sejak berabad-abad yang lalu. Agroforestri ditujukan untuk memaksimalkan produksi dalam hal
pemanfaatan ruang (lahan) dan waktu melalui penanaman bermacam-macam jenis. Agroforestri adalah
salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang
timbul akibat adanya alih-guna lahan tersebut, dan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan.
Secara sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian. Petani atau masyarakat
adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada
masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari
waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis. Di dalam agroforestry,
terkandung pengertian adanya pengusahaan ganda antara pengusahaan komoditi hasil pertanian seperti :
pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan komoditi hasil hutan di atas suatu wilayah/areal yang
diusahakan.
Dalam bidang kehutanan untuk memproduksi hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan lainnya
memerlukan waktu yang cukup lama, padahal kebutuhan manusia berupa bahan pangan tidak dapat
ditunda. Lebih-lebih pada daerah yang berpenduduk padat di mana lahan semakin sempit. Pada tanah-
tanah kehutanan tersebut dituntut bisa tersedia tambahan penghasilan bagi penduduk sekitar hutan.
Dalam sistem agroforestri, pohon atau semak sengaja digunakan dalam sistem pertanian, atau hasil hutan
non-kayu dibudidayakan dalam pengaturan hutan. Pengetahuan, pemilihan hati-hati jenis dan manajemen
3
yang baik dari pohon dan tanaman, dibutuhkan untuk mengoptimalkan produksi dan efek positif dan
untuk meminimalkan efek kompetitif yang negatif dalam sistem.
Agroforestri adalah nama baru untuk satu set praktek-praktek lama. Dari segi keilmuan, agroforestri
merupakan perpaduan atau modifikasi antara ilmu pertanian dan ilmu kehutanan dalam
memanfaatkan sumber daya alam, hutan, tanah dan air secara optimal dan lestari.
Pada tahun 1977, didirikan suatu badan yang menangani agroforestry dengan nama International Council
for Research in Agroforestry (ICRAF).
komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara
tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
.. sistem pengunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu (kadang-
kadang dengan hewan) yang tumbuh bersamaan atau bergiliran pada suatu lahan, untuk memperoleh berbagai
produk dan jasa (services) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar komponen tanaman.
.. sistem pengeloloaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan
pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat
meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan.
Secara sederhana, ICRAF mengemukakan pengertian agroforestry sebagai penanaman pepohonan pada
lahan-lahan pertanian. Di beberapa daerah, definisi sempit agroforestri secara sederhana, mungkin:
Pohon dalam pertanian. Oleh karena itu, agroforestri, kehutanan pertanian (farm forestry ) dan
kehutanan keluarga (family forestry) dapat secara luas dipahami sebagai komitmen petani, sendiri atau
dalam kelompok, menuju pembentukan dan pengelolaan hutan di tanah mereka. Apabila banyak pemilik
lahan yang terlibat, maka hasilnya adalah keragaman aktivitas yang mencerminkan keragaman aspirasi
dan kepentingan dalam masyarakat.
Selanjutnya Lundgren dan Raintree (1982) mengajukan ringkasan banyak definisi agroforestri dengan
rumusan sebagai berikut:
Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara
terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu,
palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada
waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai
komponen yang ada.
Dari beberapa definisi yang telah dikutip tersebut, agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-
praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur :
Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia.
Penerapan teknologi.
Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan.
Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu.
Ada interaksi ekologi, sosial, ekonomi.
Kata dan konsep mencapai tingkat akseptabilitas internasional yang fair dalam istilah tataguna lahan
dalam waktu agak singkat, tetapi bukan tanpa kesulitan. Pada awalnya, tidak diragukan lagi, banyak
ambiguitas dan kebingungan, sehubungan ada pertanyaan tentang " apa agroforestri ?" Bahkan orang-
orang yang seharusnya berpengalaman dan berpengetahuan tentang agroforestri di akhir 1970-an dan
awal 1980-an tidak mampu untuk secara jelas mendefinisikan agroforestri. Mungkin sebagai manifestasi
dari kurangnya presisi dari sebagian besar tulisan-tulisan tentang agroforestri selama periode ini yang
setidaknya di dalamnya terdapat satu definisi, dan sering ada beberapa penafsiran imajinatif dan menarik,
mengenai agroforestri.
Dalam meringkas berbagai definisi yang diajukan banyak penulis, Bjorn Lundgren dari ICRAF
menyatakan bahwa :
Sering terjadi pencampuran definisi, tujuan dan potensi agroforestri. Hal ini, misalnya, agak gegabah untuk
mendefinisikan agroforestry sebagai bentuk keberhasilan penggunaan lahan yang mencapai peningkatan
produksi dan stabilitas ekologi. Tujuannya mungkin memang untuk itu, dan dalam pengaturan ekologis dan
5
sosial ekonomi banyak pendekatan agroforestri memiliki potensi lebih tinggi untuk mencapainya
dibanding kebanyakan pendekatan lain dalam penggunaan lahan. Tapi, dengan pilihan yang salah dari
kombinasi spesies, praktek manajemen, dan kurangnya motivasi masyarakat dan pemahaman, agroforestri
mungkin bisa gagal dan hanya seperti bentuk penggunaan lahan lain yang mungkin gagal, dan masih akan
sebagai agroforestri sebatas dalam artian kata .
Jadi kata kunci keberhasilan agroforestri : kombinasi yang benar dari species serta praktek manajemen yang
baik. Pemahaman dan motivasi masyarakat.
Dalam sebuah definisi ilmiah yang ketat, agroforestri harus menekankan dua karakteristik umum untuk
semua bentuk agroforestri dan memisahkan mereka dari bentuk-bentuk penggunaan lahan yang lain,
yaitu:
Pertumbuhan tanaman keras berkayu sengaja pada unit lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan
/ atau hewan, baik dalam beberapa bentuk campuran spasial, atau urutan;
Harus ada interaksi yang nyata (positif dan / atau negatif) antara kayu dan komponen non kayu dalam sistem, baik
secara ekologis dan / atau secara ekonomi.
Ide-ide ini kemudian disempurnakan melalui diskusi "in house" di ICRAF, dan definisi agroforestri yang
disarankan adalah sebagai berikut :
Agroforestri merupakan nama kolektif untuk system dan teknologi penggunaan lahan, di mana
tanaman keras berkayu (pohon, semak, palem, bambu, dll) sengaja digunakan pada unit-unit
manajemen lahan yang sama seperti tanaman pertanian dan / atau hewan, dalam beberapa bentuk
pengaturan spasial atau urutan temporal. Dalam sistem agroforestri terdapat interaksi secara ekologis
dan secara ekonomi antara komponen-komponen yang berbeda (Lundgren dan Raintree, 1982).
agroforestri biasanya melibatkan dua atau lebih spesies tanaman (atau tanaman dan hewan), setidaknya salah
bahkan sistem agroforestri yang paling sederhana pun, adalah lebih kompleks, secara ekologis
Definisi ini, meskipun tidak "sempurna" dalam banyak hal, tapi banyak digunakan dalam publikasi
ICRAF dan dengan demikian mencapai penerimaan luas. Sementara itu, gelombang antusiasme untuk
mendefinisikan agroforestri telah mereda. Konsep, prinsip, dan keterbatasan agroforestri telah
diartikulasikan dalam beberapa publikasi dari ICRAF dan organisasi lainnya. Jadi, agroforestri tidak lagi
merupakan istilah "baru" : Hal ini secara luas diterima sebagai suatu pendekatan penggunaan lahan yang
melibatkan campuran yang disengaja antara pohon dengan tanaman dan / atau hewan.
Namun, pertanyaan "apa agroforestri" kadang tetap muncul juga dalam berbagai diskusi, dan istilah
agroforestri tetap merupakan masalah. Para peserta diskusi akhirnya menyadari, pada kenyataan, bahkan
disiplin-disiplin penggunaan lahan yang telah lama established seperti pertanian dan kehutanan pun,
tidak memiliki secara komplit definisi yang memuaskan. Yang lebih penting adalah bahwa suatu definisi
yang diterima secara universal, belum merupakan prasyarat untuk pengembangan disiplin-disiplin
tersebut.
Pengembangan agroforestri bisa berjalan tanpa harus menunggu lahirnya definisi komplit yang
memuaskan dan bisa diterima oleh semua fihak (yang mungkin memang tidak akan bisa lahir). Manusia
sering terjebak menghabiskan waktu dan energi hanya untuk suatu definisi; dan lupa hal yang substantif,
yaitu apa dan harus diapakan isinya, bagaimana mengembangkan program agroforestri.
Saat ini ada konsensus pendapat bahwa agroforestri dipraktekkan untuk berbagai tujuan. Ia mewakili
sebuah interface antara pertanian dan kehutanan dan meliputi praktek pemanfaatan lahan
campuran. Praktek ini telah dikembangkan terutama dalam menanggapi kebutuhan khusus dan kondisi
negara-negara berkembang tropis yang belum memuaskan ditangani oleh kemajuan di bidang pertanian
atau kehutanan konvensional. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan praktek-praktek mulai dari bentuk
budidaya perladangan berpindah yang sederhana sampai ke system intercropping pagar tanaman yang
kompleks, termasuk kepadatan bervariasi dari tegakan pohon mulai dari yang tersebar secara luas di
tempat-tempat tertentu, sampai dengan kepadatan tinggi kebun pekarangan bertingkat di daerah tropis
lembab, dan sistem di mana pohon-pohon memainkan peran jasa dominan (misalnya, penahan angin)
sampai pada di mana mereka menyediakan produk komersial utama (misalnya, intercropping dengan
tanaman perkebunan). Deskripsi rinci dari berbagai sistem seperti itu di daerah tropis sekarang tersedia.
Perlu ditekankan kembali bahwa salah satu konsep umum bagi semua sistem agroforestri yang beragam :
Tujuan tumbuh/ berkembang atau retensi pohon dengan tanaman dan / atau hewan dalam
berinteraksi kombinasi disengaja untuk beberapa produk atau manfaat dari unit manajemen yang
sama. Ini adalah esensi dari agroforestri.
2.2. I S TI L A H A G RO F O RE S TR I L A I N
Ada beberapa definisi agroforestri yang berkembang di masyarakat, misalnya :
7
Forest Farming
Istilah Forest farming sebenarnya mirip dengan multiple use forestry, yang digunakan untuk upaya
peningkatan produksi lahan hutan, yaitu tidak melulu produk kayu, tetapi juga mencakup berbagai bahan
pangan dan hijauan. Praktek ini juga sering disebut Dreidimensionale Forstwirtschaft" atau kehutanan
dengan tiga dimensi. Di Amerika, istilah forest farming digunakan untuk menyatakan upaya
pembangunan hutan tanaman oleh petani-petani kecil.
Ecofarming
Ecofarming adalah bentuk budidaya pertanian yang mengusahakan sedapat mungkin tercapainya
keharmonisan dengan lingkungannya. Dalam hal tertentu dalam ecofarming bisa saja memasukkan
komponen pepohonan atau tumbuhan berkayu lainnya sehingga dapat disebut agroforestri. Dalam eco-
farming tidak selalu dijumpai unsur kehutanan dalam kombinasinya, sehingga dalam hal ini ecofarming
merupakan kegiatan pertanian.
2.2. S E J AR A H P E R K EM B A N G A N A G RO FO RE ST RI
2.1.1. Umum
Walaupun manusia seringkali dicap sebagai perusak lingkungan atau perusak hutan, tetapi campur tangan
manusia seringkali mampu mengubah areal yang tidak produktif menjadi produktif walaupun dengan
jalan merubah komunitas yang dalam kondisi seimbang atau klimaks menjadi sub-klimaks. Menurut
Bruenig (1986), klimaks sebenarnya adalah tahap akhir dari perkembangan kelompok vegetasi, baik
melalui suksesi primer atau sekunder, pada kondisi lingkungan yang ada. Klimaks hanyalah produk
ekologi bukan tahap optimal untuk produktivitas maksimal, sehingga produktivitas maksimal justru
seringkali dicapai pada tahap sub-klimaks. Dalam kondisi seimbang, pertumbuhan senantiasa dinetralisir
dengan kematian. Pada hutan hujan tropis, kondisi klimaks di bawah temperatur yang cukup tinggi
mengakibatkan sebagian besar dari hasil fotosintesa (sekitar 80%) diuapkan kembali.
Komunitas klimaks seringkali dicirikan dengan tingkat diversitas atau indeks diversitas yang tinggi.
Setiap bentuk pertanian merupakan usaha mengubah ekosistem tertentu untuk menaikkan arus energi ke
manusia (Geertz, 1983). Pada kebanyakan masyarakat tradisional, usaha tersebut seringkali dilakukan
tanpa mengubah (secara total) indeks diversitas komunitas aslinya. Keseluruhan pola komposisi
komunitas biotis yang ada dipertahankan dan hanya mengubah bagian-bagian tertentu saja, yaitu dengan
memasukkan jenis-jenis yang disukai atau dibutuhkan.
Pemikiran tentang pengkombinasian komponen kehutanan dengan pertanian sebenarnya bukan
merupakan hal yang baru. Pohon-pohon telah dimanfaatkan dalam system pertanian sejak pertama kali
aktivitas bercocok tanam dan memelihara ternak dikembangkan. Dengan demikian hal baru menyangkut
agroforestri hanyalah istilahnya.
Menelusuri sejarah agroforestri, King (1987) menyatakan bahwa hingga Abad Pertengahan, adalah
kebiasaan umum di Eropa untuk membersihkan hutan yang terdegradasi, menebas dan membakarnya, lalu
pada areal yang telah dibersihkan menanam tanaman pangan, dan menanam pohon-pohonan, sebelum,
bersamaan, atau setelah penanaman tanaman pertanian. "Sistem pertanian" ini tidak lagi populer di Eropa,
namun secara luas dipraktekkan di Finlandia sampai akhir abad 19, dan dipraktekkan di beberapa daerah
di Jerman sampai akhir 1920-an.
Di wilayah Amerika tropis banyak kelompok masyarakat memiliki areal dalam kondisi hutan simulasi
untuk mendapatkan efek menguntungkan dari ekosistem hutan. Di Amerika Tengah telah menjadi praktek
tradisional untuk waktu yang lama bagi petani untuk menanam rata-rata dua lusin spesies tanaman di plot
yang tidak lebih besar dari sepersepuluh hektar. Seorang petani akan menanam kelapa atau pepaya
dengan lapisan yang lebih rendah berisi pisang atau jeruk, lapisan semak kopi atau kakao, berbagai
tanaman musiman seperti misalnya jagung, dan akhirnya tanaman penutup tanah. Seperti campuran intim
berbagai tanaman, masing-masing dengan struktur yang berbeda, meniru konfigurasi berlapis hutan tropis
campuran (Wilken, 1977).
Di Asia, Sistem HanunOo di Filipina mempraktekan tipe yang kompleks dan sedikit lebih canggih dari
perladangan berpindah (shifting cultivation). Dalam pembukaan hutan untuk penggunaan pertanian,
mereka sengaja meninggalkan pohon-pohon tertentu, yang pada akhir musim penanaman padi,
kanopinya akan memberikan naungan bagi tanah dari penyinaran matahari berlebihan. Pohon merupakan
bagian tak terpisahkan dari sistem pertanian HanunOo baik yang ditanam maupun yang sengaja
ditinggalkan pada waktu pembukaan hutan awalnya; untuk menyediakan makanan, obat-obatan,
kayu konstruksi, dan kosmetik (Conklin, 1957). Sistem pertanian serupa juga umum di
banyak bagian lain dari dataran rendah tropis lembab Asia.
Di Afrika, keadaannya sedikit berbeda. Di bagian selatan Nigeria, ubi jalar, jagung, labu, dan
kacang-kacangan biasanya tumbuh bersama di bawah naungan pohon yang tersebar (Forde,
1937). Di bagain barat Nigeria, telah lama dipraktekkan sistem intensif pencampuran herba,
semak, dan tanaman pohon. Sistem ini diklaim merupakan cara menghemat energi manusia
dengan pemanfaatan penuh ruang terbatas dari hutan lebat. Juga disebutkan bahwa sistem
ini adalah cara murah untuk memelihara kesuburan tanah, serta menanggulangi erosi dan
pencucian hara (Ojo, 1966).
Banyak contoh praktek penggunaan lahan tradisional yang melibatkan produksi gabungan dari
jenis pohon dan jenis tanaman pertanian pada lahan yang sama di banyak bagian dunia. Ini
adalah beberapa contoh dari apa yang sekarang dikenal sebagai agroforestri. Pohon adalah
bagian integral dari sistem pertanian, mereka sengaja dipertahankan pada lahan pertanian untuk
mendukung pertanian. Tujuan utama dari praktek-praktek tersebut bukan pohon produksi, tetapi
produksi pangan.
Perladangan bukanlah satu-satunya sistem agroforestri klasik yang dikenal. Menurut Wiersum (1982;
1987) praktek agroforestri, baik yang tradisional maupun yang secara ilmiah dikembangkan saat ini
dimulai dari system berkebun (gardening) yang banyak dijumpai di daerah Asia Tropis, misalnya sistem
kebun hutan dan kebun pekarangan (forest and home gardens) masyarakat asli di Kalimantan Timur
(Sardjono, 1990). Praktek berkebun semacam itu kemungkinan besar dimulai dari tanaman yang tumbuh
spontan dari biji-biji yang dibuang di lahan-lahan pertanian sekitar tempat tinggal atau
mempertahankan/memelihara pohon-pohon dan permudaan yang sudah ada. Baru pada perkembangan
selanjutnya dilakukan budidaya penanaman. Tradisi pemeliharaan pepohonan dalam bentuk kebun pada
10
areal perladangan, pekarangan dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional itu
dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup dalam hutan.
kenapa kualitas tegakan hutan merosot. Ternyata fungsi hutan bukanlah sekedar menghasilkan kayu
(production), tetapi jauh lebih luas dan kompleks. Hutan juga berfungsi memberikan jasa perlindungan
(Protection), memberikan jasa rekreasi (recreation), menunjang pengembangan industri ternak (forage),
dan sebagai habitat kehidupan liar (wildlife). Perkenalan dengan masalah sosial dalam pengelolaan hutan
di Jawa, melahirkan beberapa kelas perusahaan non kayu, seperti kelas perusahaan minyak kayu putih,
kelas perusahaan pinus untuk gondorukem dan terpentin, murbei untuk persuteraan alam, kesambi untuk
produksi lak, dll.
Bentuk pengelolaan hutan yang menyesuaikan diri dengan kondisi fisik wilayah serta tuntutan sosial
ekonomi masyarakat, adalah pengelolaan sumberdaya hutan (Forest Resources Management). Konsep
Timber Management yang bersifat monokultur dan daur tunggal, harus ditinggalkan karena sudah tidak
sesuai, hanya akan menghambat upaya mencapai produktivitas maksimum. Konsep tersebut tidak
fleksibel serta tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi mikro. Yang dianggap cocok adalah
konsep Management Regimes, polikultur, daur ganda, di mana satuan regim adalah petak (Hasanu
Simon, 2001).
Bank Dunia (World Bank) telah terdorong untuk menggalakkan Program-Program Perhutanan Sosial
(social forestry), yang dalam pelaksanaannya dirancang khusus untuk peningkatan produksi pangan dan
konservasi lingkungan tanpa mengabaikan kepentingan pihak kehutanan untuk tetap dapat memproduksi
dan memanfaatkan kayu. Program bantuan Bank Dunia tersebut sebagai jawaban dari kegagalan program
PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) yang diselenggarakan Perum Pehutani. Pertengahan
tahun 70-an juga ditandai dengan perubahan kebijakan Organisasi Pangan dan Pertanian se-Dunia (FAO),
yaitu dengan penetapan Direktur Jenderal Kehutanan dalam struktur organisasinya. Program-program
"Kehutanan untuk Pembangunan, Masyarakat Pedesaan" (Forestry for Fural Development) digalakkan
melalui sejumlah seminar atau lokakarya.
Puncak dari perubahan kebijakan FAO adalah pada Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 (WFC- World
Forestry Congress VIII) tahun 1978 di Jakarta, di mana tema pokok yang dipilih adalah "Forests for
People atau "Hutan untuk Kesejahteraan Masyarakat" dan penetapan kelompok diskusi khusus "Forestry
for Rural Communities" (Kehutanan untuk Masyarakat Pedesaan).
Tumbuhnya agroforestri modern tidak lepas dari studi yang dibiayai oleh Pusat Penelitian Pembangunan
International (International Development Reseacrh Centre) Canada (Bene et al., 1977). Dalam hasil studi
dengan judul "Trees, Food and People: Land Management in the Tropics" (Hutan, Bahan Pangan dan
Masyarakat: Pengelolaan Lahan di Wilayah Tropis) telah direkomendasikan pentingnya penelitian-
penelitian Agroforestri. Pada tahun 1977 dibentuk Badan International yang menangani penelitian dalam
bidang agroforestri bernama ICRAF singkatan dari International Council for Research in Agroforestry
(yang pada mulanya berpusat di Royal Tropical Institute, Amsterdam, sebelum dipindahkan ke Nairobi
1978), dan pada tahun 1990 berubah menjadi International Centre for Research in Agroforestri. Akhirnya
pada awal bulan Agustus tahun 2002, namanya berubah menjadi World Agroforestry Centre, ICRAF.
Kantor pusat ICRAF ini terletak di Nairobi (Kenya), dan kegiatannya dilakukan di Afrika, Amerika Latin
dan Asia Tenggara.
Hasil pemikiran dan kajian oleh berbagai pihak tersebut melahirkan konsep-konsep dan pendekatan baru
agroforestri. Pendekatan dan pandangan terhadap agroforestri mulai berubah, khususnya para ilmuwan
dan ahli dari bidang kehutanan maupun pertanian.
Berbagai kebijakan yang berbau Social Forestry selalu akan berakhir pada keputusan menggunakan pola
agroforestri dari yang sederhana (tumpangsari) sampai yang kompleks, tetapi tidak selalu identik dengan
agroforestri, karena agroforestri adalah pemanfaatan lahan terpadu tanpa batasan kepemilikan lahan.
Ada hal yang menarik, menurut (Thaman, 1988), agroforestri klasik atau tradisional sifatnya lebih
polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan agroforestri modern.
Agroforestri modern hanya melihat kombinasi antara tanaman keras atau pohon komersial dengan
12
tanaman sela terpilih. Dalam agroforestri modern, tidak terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi
dari pohon yang bermanfaat atau juga satwa liar yang menjadi bagian terpadu dari system tradisional.
e. Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat:
- Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan.
- Perlindungan keanekaragaman hayati.
- Perbaikan tanah melalui fungsi pompa pohon dan perdu, mulsa dan perdu.
- Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence).
- Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat
mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting
terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung
DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan
keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri dalam mepertahankan fungsi DAS dan
pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO 2 yang telah ada di atmosfer oleh
tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah
satu contoh dari Sistem Pertanian Sehat (Hairiah dan Utami, 2002).
Fungsi agroforestri ditinjau dari aspek biofisik dan lingkungan pada skala bentang lahan (Lansekap)
Salah satu fungsi agroforestri pada level bentang lahan (skala meso) yang sudah terbukti di berbagai tempat adalah
kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya
terhadap kesesuaian lahan. Beberapa dampak positif sistem agroforestri pada skala meso ini antara lain:
(a) memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah,
(b) mempertahankan fungsi hidrologi kawasan,
(c) mempertahankan cadangan karbon,
(d) mengurangi emisi gas rumah kaca,
(e) mempertahankan keanekaragaman hayati.
Sifat-sifat fisik tanah (lapisan atas) yang paling penting dan dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan
berbagai jenis tanaman dan pepohonan adalah struktur dan porositas tanah, kemampuan menahan air dan
laju infiltrasi.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas yang diperlukan untuk
menunjang pertumbuhan tanaman, melalui:
Adanya tajuk tanaman dan pepohonan yang relatif rapat sepanjang tahun menyebabkan sebagian
besar air hujan yang jatuh tidak langsung ke permukaan tanah.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan kandungan bahan organik tanah di lapisan atas
melalui pelapukan seresah dan pemangkasan tajuk pepohonan. Kondisi demikian dapat
14
memperbaiki struktur dan porositas tanah serta lebih lanjut dapat meningkatkan laju infiltrasi dan
kapasitas menahan air.
Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan penutupan tajuk pepohonan menyebabkan
kondisi di permukaan tanah dan lapisan tanah lebih lembab, temperatur dan intensitas cahaya
lebih rendah. Kondisi iklim mikro yang demikian ini akan sangat membantu aktivitas organisme
tanah sehingga sifat fisik tanah menjadi lebih baik.
Peranan agroforestri dalam mengurangi gas rumah kaca dan mempertahankan cadangan karbon
Upaya meningkatkan cadangan C di alam secara vegetatif (misalnya dengan memperbanyak penanaman
pepohonan) merupakan pelayanan terhadap lingkungan yang diharapkan dapat mengurangi dampak
rumah kaca. Dalam pertumbuhannya, tanaman menyelenggarakan proses fotosintesis yang memerlukan
sinar matahari, CO2 dari udara, air dan hara dari dalam tanah.
Dengan demikian keberadaan tanaman dapat mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, dan hasilnya
berupa karbohidrat diakumulasi dalam biomasa tanaman. Tinggi rendahnya serapan CO2 di atmosfer
bervariasi, tergantung pada jenis tanaman penyusun dan umur lahan. Menurut Collins et al. (1999)
salah satu indikator keberhasilan usaha pengelolaan tanah adalah tetap terjaganya cadangan C sehingga
keseimbangan lingkungan dan biodiversitas dapat terjaga pula. Guna memahami isu lingkungan gas
rumah kaca ini, diperlukan beberapa pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan gas rumah kaca,
siklus C dalam skala global dan cadangan C yang ada di alam.
Cadangan Carbon (C-stock) adalah jumlah C yang disimpan dalam komponen biomasa dan nekromasa
baik di atas permukaan tanah dan di dalam tanah (Bahan organik tanah, akar tanaman dan
mikroorganisma) per satuan luasan lahan. Satuannya adalah Mg ha-1 (mega gram per ha = ton per ha).
Biomasa yaitu masa (kg ha-1) bagian vegetasi yang masih hidup yang meliputi masa dari tajuk pohon,
tanaman semusim dan tumbuhan bawah atau gulma.
Nekromasa yaitu masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak, atau telah
tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum
terdekomposisi atau terdekomposisi sebagian.
Bahan Organik tanah (BOT) adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah
terdekomposisi sebagian atau keseluruhan dan telah menyatu dengan tanah. Dalam praktek biasanya BOT
dipisahkan
polikultur seperti yang dijumpai di hutan mempunyai keragaman tanaman yang tinggi sehingga masukan
seresahnya juga sangat bervariasi kualitasnya. Pada sistem hutan ini masukan seresah terjadi terus
menerus dan bervariasi kualitasnya, sehingga "masa tinggalnya" di atas permukaan tanah juga cenderung
lebih lama. Pada sistem pertanian monokultur masukan seresah hanya satu macam saja. Bila seresah
tersebut berkualitas tinggi (Nisbah C:N, Lignin:N, Poliphenol:N rendah) misalnya pada tanaman
leguminosa, maka seresah ini akan cepat mengalami dekomposisi dan mineralisasi sehingga jumlah yang
tertinggal sebagai komponen organik sangat rendah. Dengan demikian perolehan cadangan C dari lapisan
organik menjdi rendah pula.
Pada sistem hutan alami, pengangkutan biomasa keluar plot hampir tidak terjadi. Sedang pada sistem
pertanian, hamper selalu ada pengangkutan biomasa keluar petak bersama hasil panen. Keadaan ini
diperparah dengan tidak adanya usaha pengembalian sisa panen, dengan demikian cadangan C dalam
tanah akan berkurang dengan cepat.
Salah satu tawaran untuk meningkatkan cadangan C terutama pada tanah-tanah terdegradasi adalah
melalui usaha Agroforestri. Bila ditinjau dari cadangan C, sistem agroforestri ini lebih menguntungkan
daripada sistem pertanian berbasis tanaman semusim. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan yang
15
memiliki biomasa tinggi dan masukan seresah yang bermacam-macam kualitasnya dan terjadi secara
terus menerus.
Fungsi agroforestri itu dapat diharapkan karena adanya komposisi dan susunan spesies tanaman dan pepohonan
yang ada dalam satu bidang lahan.
Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai
komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau interaksi antara
komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya.
3.2. K E U N G G U L A N A G R OF O RE S TR I
Agroforestri mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya.
Keunggulan-keunggulan tersebut yaitu dalam hal sebagai berikut.
1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran
dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja
keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun.
Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman
akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem
agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan
demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. Sedangkan
dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya
tunggal (monokultur).
3. Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari
ketergantungan terhadap produk-produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam
arti tidak memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi
daripada sistem monokultur
4. Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal
mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin
stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.
16
4.1. A G R OF O RE S TR I S E B A G I S I S TEM
Berbicara mengenai agroforestri, berarti berbicara mengenai sistem. Sistem terdiri dari beberapa
komponen dalam susunan tertentu (struktur), yang satu sama lain saling berpengaruh atau melaksanakan
fungsinya. Satu system membentuk satu kesatuan yang berbeda dengan lingkungannya dan di antara
keduanya ada hubungan timbal balik. Di samping itu satu sistem memiliki sifat-sifat tertentu yang juga
dapat berubah antara lain dalam kaitan dengan struktur dan fungsinya.
Agroforestri terdiri dari komponen-komponen kehutanan, pertanian dan/atau peternakan, tetapi
agroforestri sebagai suatu sistem mencakup komponen -komponen penyusun yang jauh lebih rumit.
Agroforestri merupakan suatu sistem buatan (man-made) dan merupakan aplikasi praktis dari interaksi
manusia dengan sumber daya alam di sekitarnya.
Agroforestri pada prinsipnya dikembangkan untuk memecahkan permasalahan pemanfaatan lahan dan
pengembangan pedesaan; serta memanfaatkan potensi-potensi dan peluang-peluang yang ada untuk
kesejahteraan manusia dengan dukungan kelestarian sumber daya beserta lingkungannya. Oleh karena itu
manusia selalu merupakan komponen yang terpenting dari suatu sistem agroforestri. Dalam melakukan
pengelolaan lahan, manusia melakukan interaksi dengan komponen-komponen agroforestri lainnya.
Komponen tersebut adalah:
1. Lingkungan abiotis: air, tanah, iklim, topografi, dan mineral.
2. Lingkungan biotis: tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll) serta tumbuhan tidak berkayu (tanaman
tahunan, tanaman keras, tanaman musiman dll), binatang (ternak, burung, ikan, serangga dll), dan
mikroorganisme.
3. Lingkungan budaya: teknologi dan informasi, alokasi sumber-sumber daya, infrastruktur dan pemukiman,
permintaan dan penawaran, dan disparitas penguasaan/pemilikan lahan.
Komponen-komponen ABC (Abiotic, Biotic dan Culture) tersebut di atas tersusun dalam sistem
agroforestri melalui berbagai cara. Beberapa komponen biotis hadir secara alami, yang mungkin sebagian
masih bertahan atau tertinggal dari kegiatan penggunaan lahan sebelumnya. Komponen yang lain
memang secara khusus atau sengaja ditempatkan/ditanam oleh manusia sebagai pengelola lahan. Berbagai
komponen dalam satu sistem akan bereaksi atau menunjukkan respon berbeda dengan respon masing-
masing pada kondisi terisolasi. Karena adanya interaksi antar komponen tersebut, sistem pada dasarnya
berbeda dengan total penambahan secara sederhana dari beberapa komponen. Jadi hutan lebih dari
sekedar kumpulan pohon, demikian pula agroforestri bukan sekedar upaya campur-mencampur kehutanan
dengan pertanian dan/atau peternakan (von Maydell, 1988).
Konsepsi agroforestri mencakup :
Bentuk (model) pengelolaan.
Unsur ekonomi (hasil yang lebih menguntungkan).
Unsur waktu (daur pendek/panjang serempak dan atau berurutan).
Pelaksanaannya dapat dilakukan di lahan milik dan atau di dalam kawasan hutan negara.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Untuk menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Karakteristik tipikal sistem agroforestry :
17
Agroforestry terdiri dari 2 atau lebih jenis tanaman (dan atau hewan) dan paling sedikit salah satu berupa
tanaman berkayu tahunan (woody perennial).
Sistem agroforestry memiliki dua atau lebih output.
Sistem agroforestry yang paling sederhana pun secara ekonomi lebih kompleks daripada sistem
monocropping.
Sistem-sistem agroforestry mencakup selang variasi yang cukup luas dan dapat diklasifikasikan
berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut (Nair, 1989) :
Suatu sistem agroforestry, produknya selalu beraneka ragam dan saling bergantung satu sama lainnya.
Sekurang-kurangnya satu komponen merupakan tanaman keras berkayu, sehingga siklusnya selalu lebih
dari satu tahun. Sistem agroforestry juga bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi-kondisi
ekologi dan sosial-ekonomi setempat.
Berdasarkan struktur dan komposisi jenis-jenis tanaman dan fungsinya agroforestry ada yang berbentuk
sederhana, ada pula yang lebih rumit atau kompleks. Sistem agroforestry sederhana misalnya campuran
penanaman antara tanaman berumur panjang dengan tanaman berumur pendek (misalnya jagung, kacang
tanah, padi, dll.) Contoh lain adalah penanaman tanaman pangan dengan tanaman semak seperti tanaman
kopi dengan tanaman glirisidae.
Sistem agroforestry kompleks dicirikan dengan :
Struktur vegetasi kompleks (tajuk pohon berlapis-lapis);
Jumlah komponen tanaman cukup banyak (ada pohon tinggi, pohon sedang, semak, liana dan tanaman
rendah lainnya);
Secara ekologi memiliki fungsi seperti hutan, contoh kebun pekarangan, hutan damar mata kucing.
Dengan demikian bentuk-bentuk agroforestri sangat tergantung pada karakteristik suatu wilayah,
tergantung pada kondisi aspek-aspek di atas. Di Indonesia bentuk-bentuk agroforestry mungkin berbeda-
beda seperti yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTT, Bali, Irian Jaya, dll tergantung pada
kondisi aspek sosial, ekonomi dan ekologi daerah bersangkutan.
Selain itu, masih banyak lagi masalah-masalah yang berhubungan dengan kelembagaan. Keadaan ini
menunjukkan bahwa sifat keilmuan dari sistem agroforestri adalah multidisplin termasuk antara lain
disiplin-disiplin agronomi, ilmu sosial, kehutanan dan ekonomi.
Mengingat bahwa konsep agroforestry memberikan harapan baru dalam sistem pengelolaan lahan, maka
di beberapa negara, konsep ini berangsur-angsur mulai dikembangkan, terutama di negara-negara sedang
berkembang.
4.1. B E N TU K - B E N TU K A G R OF O RE S TR I
Pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan,
di mana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem
penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu komoditi
khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa
kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut :
Agrisilvikultur : Bentuk agroforestry tradisional merupakan campuran dari kegiatan kehutanan dan
pertanian pangan, misalnya : Sistem tumpangsari di hutan jati di P.Jawa. Sistem ini semula dilaksanakan
untuk mengurangi biaya penanaman dari pihak pengelola hutan, tetapi dalam perkembangannya kegiatan
tersebut diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan di sekitar hutan.
Silvopasture atau ada yang menyebut hutan ternak, adalah bentuk agroforestry yang merupakan campuran
kegiatan kehutanan dan peternakan. Model ini cocok untuk dikembangkan di daerah yang penduduknya
menggiatkan usaha peternakan, di mana padang penggembalaan menjadi masalah. Di dalam kawasan
hutan, ditanami rumput makanan ternak.
Silvofishery atau Hutan Tambak, merupakan campuran kegiatan kehutanan di daerah pantai (hutan
mangrove) dengan kegiatan perikanan. Di dalam hutan bakau (mangrove), para petani ikan dapat
memelihara ikan atau udang atau kepiting dan sekaligus membantu upaya merehabilitasi hutannya.
Contoh : Tumpang sari Tambak Hutan Payau di Cilacap, Jawa Tengah.
19
Farm forestry atau Hutan Kebun, adalah agroforestry yang kegiatannya merupakan campuran kegiatan
pertanian dan kehutanan di daerah pemukiman (kebun, pekarangan) di mana tanaman kehutanan bukan
merupakan tanaman utamanya.
Contoh : Talun (Tegalan dan Kebun) di Jawa Barat. Pohon-pohonan yang ditanam dari jenis yang cepat
tumbuh dan cepat menghasilkan (quick yielding species).
Dari keempat kombinasi tersebut, yang termasuk dalam agroforestri adalah Agrisilvikutur, Silvopastura
dan Agrosilvopastura. Sementara agropastura tidak dimasukkan sebagai agroforestri, karena komponen
kehutanan atau pepohonan tidak dijumpai dalam kombinasi.
dikategorikan sebagai agroforestri. Beberapa contoh yang menggambarkan sistem lebih spesifik yaitu:
Silvofishery = kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.
Apiculture = budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan .
4.2. J E N I S - JE N I S A G R OF O RE S TR I
Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti
sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon (1997),
agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem
agroforestri kompleks.
Bila pohon telah dewasa, terjadi naungan dari pohon, sehingga tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman
semusim. Jenis pohon yang ditanam adalah yang menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja,
sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati
monokultur. Sistem sederhana tersebut sering menjadi penciri umum pada pertanian komersial (Siregar,
1990).
Dalam perkembangannya, sistem agroforestri sederhana ini juga merupakan campuran dari beberapa jenis
pepohonan tanpa adanya tanaman semusim. Contoh: Kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap
(Erythrina) atau kelorwono/gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh
tumpangsari lain yang umum dijumpai di daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan
pinus.
Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem pertanian tradisional. Pada daerah yang
kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan
penggunaan lahan karena adanya kendala alam, misalnya tanah rawa. Sebagai contoh, kelapa ditanam
secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di pantai Sumatera.
Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah berpenduduk padat.
Perpaduan tersebut misalnya pohon-pohon mangga ditanam di pematang-pematang sawah di Karedok,
Sumedang; pohon-pohon randu ditanam pada pematang-pematang sawah di daerah Pandaan, Pasuruan;
kelapa atau siwalan ditanam dengan tembakau di Sumenep, Madura; pohon-pohon manggis di pematang
sawah di Nepal.
Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan
ubikayu di antara gamal atau kelorwono (Gliricidia sepium).
21
Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia
selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan, yang diawali
dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman
semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan,
pepaya, pisang) ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase
ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola
kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon
buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat terbatas karena
banyaknya naungan.
Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan
talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.
Agroforest
Agroforest biasanya dibentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak belukar yang diawali dengan
penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pembukaan lahan biasanya dilakukan pada musim
kemarau. Pada awal musim penghujan, lahan ditanami padi gogo yang disisipi tanaman semusim lainnya
(jagung, cabe) untuk satu-dua kali panen. Setelah dua kali panen tanaman semusim, intensifikasi
penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet, damar atau tanaman keras
lainnya. Pada periode awal ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman semusim dengan
pepohonan.
Pada saat pohon sudah dewasa, petani masih bebas memadukan bermacam-macam tanaman tahunan lain
yang bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya, misalnya penyisipan pohon durian atau duku. Tanaman
semusim sudah tidak ada lagi. Tumbuhan asli asal hutan yang bermanfaat bagi petani tetap dibiarkan
kembali tumbuh secara alami, dan dipelihara di antara tanaman utama, misalnya pulai, kayu laban,
kemenyan dan sebagainya. Pemaduan terus berlangsung pada keseluruhan masa keberadaan agroforest.
Tebang pilih akan dilakukan bila tanaman pokok mulai terganggu atau bila pohon terlalu tua sehingga
tidak produktif lagi.
Ditinjau dari letaknya, agroforest biasanya berada di pinggiran hutan (forest margin) atau berada di
tengah-tengah antara sistem pertanian dan hutan.
Dibandingkan sistem agroforestri sederhana, struktur dan penampilan fisik agroforest yang mirip dengan
hutan alam merupakan suatu keunggulan dari sudut pandang pelestarian lingkungan. Pada kedua sistem
23
agroforestri tersebut, sumber daya air dan tanah dilindungi dan dimanfaatkan. Kelebihan agroforest
terletak pada pelestarian sebagian besar keanekaragaman flora dan fauna asal hutan alam (Bompard,
1985; Michon, 1987; Seibert, 1988; Michon, 1990).
21
Kolom 5. Contoh Kasus Kebun Damar di Krui, Lampung Barat
(de Foresta et al., 2000).
Tanaman yang dominan di agroforest di Pesisir Krui adalah Shorea javanica
(jenis Dipterocarpaceae, kelompok meranti). Tanaman ini merupakan pohon
besar yang berasal dari hutan setempat, yang menghasilkan getah damar mata
kucing bening yang diekspor untuk kebutuhan industri cat . Hingga awal abad
XX, pengumpulan getah damar di hutan alam merupakan kegiatan ekonomi
utama petani, sementara agroforest yang telah dibangun hanya merupakan
semacam sabuk hijau pohon buah-buahan di sekeliling desa dengan luas yang
terbatas. Berkurangnya pohon damar di hutan alam, telah mendorong petani
melakukan pembudidayaan Shorea javanica di kebun-kebun. Keberhasilan
budidaya itu telah mendorong terjadinya transformasi mendasar agroforest
tradisional secara besar-besaran, yang diikuti perluasan areal agroforest (Michon,
1985).
kehutanan.
Di lain pihak sistem-sistem produksi asli setempat (salah satunya agroforest) selalu
dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja
(subsisten). Oleh karena itu, bentuk dukungan terhadap pertanian komersial petani kecil
biasanya diarahkan kepada upaya penataan kembali sistem produksi secara keseluruhan.
Pendekatan terpadu untuk
mengembangkan sistem-sistem yang sudah ada masih sangat kurang, karena
umumnya dianggap hanya sebagai "kebun dapur" yang tidak lebih dari sekedar
pelengkap sistem pertanian lainnya, di mana produksinya hanya dikhususkan
untuk konsumsi sendiri dengan menghasilkan hasil-hasil sampingan seperti
kayu bakar. Oleh karena itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.
Sudut pandang petani
Keunikan konsep pertanian komersial agroforest adalah karena sistem ini bertumpu pada
keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja.
Usaha memperoleh produksi komersial ternyata sejalan dengan produksi dan fungsi lain
yang lebih luas. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi menarik bagi petani.
Aneka hasil kebun hutan sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari agroforest
umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang
dapat dipanen secara teratur misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain-lain.
Selain itu, agroforest juga dapat membantu
menutup pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti
buah-buahan, cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditaskomoditas lain seperti kayu bahan
bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan
dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa
daerah di Indonesia menabung uang tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka
keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Keluwesan agroforest juga penting di
daerah-daerah di mana kredit sulit didapatkan karena mahal atau tidak ada sama sekali.
Semua ini adalah kenyataan umum yang dijumpai di pedesaan di daerah tropis.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan
kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya
akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan.
Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis
tanaman atau risiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi
kemerosotan harga satu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah ditelantarkan saja,
27
Penguasaan lahan
Luas agroforest di Indonesia mencapai jutaan hektar, tetapi tidak secara resmi
termasuk ke dalam salah satu kategori penggunaan lahan. Hampir semua
petani agroforest tidak memiliki bukti kepemilikan yang resmi atas lahan
mereka. Banyak areal agroforest yang dinyatakan berada di dalam kawasan
hutan negara, atau dialokasikan kepada perusahaan perkebunan besar dan
proyek pembangunan besar lainnya. Ketidakpastian kepemilikan jangka ini
berakibat keengganan petani untuk melanjutkan sistem pengelolaan yang
sekarang sudah mereka bangun.
Ketiadaan data akurat
Kecuali untuk agroforest karet dan sebagian kecil lainnya, belum ada upaya
serius untuk mendapatkan data yang akurat mengenai keberadaan/luasan
agroforest yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Akibatnya,
belum ada upaya untuk memberikan dukungan pembangunan terhadap
agroforest tersebut, seperti yang diberikan terhadap sawah, kebun monokultur
(cengkeh, kelapa, kopi, dan lain-lain), atau Hutan Tanaman Industri (HTI).
30
31
Egosektoral
Pada sistem ini, kopi (bisa juga kakao) ditanam sebagai tanaman pokok, dengan
tanaman penaung misalnya lamtoro (Leucaena sp.), dadap (Erythrina sp.) atau gamal
(Giricidia sp.). Bagi orang kehutanan, sistem ini dianggap sebagai pertanian murni.
Sedangkan bagi orang pertanian, sistem tersebut dianggap sebagai perkebunan
murni. Tetapi bila ditinjau dari sudut pandang agroforestri, sistem tersebut
merupakan salah satu sub sistem/praktek agrisilvikultur. Sistem ini merupakan salah
satu bentuk agroforestri sederhana (De Foresta dan Michon (1997).
Prinsip penting yang harus dipegang adalah: apakah kombinasi suatu bentuk
pemanfaatan lahan tersebut memenuhi ciri-ciri dan tujuan agroforestri, yaitu
meningkatkan kesejahteraan petani dan konservasi alam? Hal tersebut akan berbeda
dengan ciri-ciri dan tujuan kegiatan murni kehutanan/pertanian yang lebih
menekankan pada konservasi alam saja atau peningkatan produksi tanaman saja.
Sekali lagi agroforestri merupakan istilah baru dari berbagai bentuk system pemanfaatan
lahan tradisional/modern yang mengkombinasikan pertanian dan kehutanan, yang tentu
saja sangat dimungkinkan adanya penekanan kepentingan. Hal ini semakin tampak bila
ditinjau lebih jauh mengenai pelaku dan status lahan yang digunakan.
Ada berbagai bentuk sistem atau praktek agroforestri, baik yang bersifat tradisional atau
modern, yang tersebar di wilayah tropis dan sub-tropis. Berbagai contoh tersebut
menunjukkan betapa luasnya rentang agroforestri, sehingga para ahli kehutanan dan
pertanian konvensional sulit untuk menerimanya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa definisi agroforestri dapat meliputi rentang
yang luas dari sistem-sistem pemanfaatan lahan primitif, tradisional maupun modern.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya batasan yang jelas kapan atau bilamana suatu sistem
dapat dikategorikan sebagai agroforestri. Batasan semacam ini diperlukan untuk
menghindari timbulnya pendapat bahwa setiap kombinasi komponen kehutanan,
pertanian dan/atau peternakan selalu dapat diklasifikasikan sebagai suatu sistem
agroforestri.
Kuenzel (1989) menyarankan untuk melihat adanya interaksi yang nyata dari komponen-
komponen penyusunnya. Sebagai contoh sederetan pohon cemara yang ditanam pada
pinggir sawah/ladang yang dimaksudkan melulu untuk produk kayunya, maka sistem
tersebut bukan sistem agroforestri. Namun, bila penanaman pohon tersebut sekaligus juga
dimaksudkan untuk melindungi tanaman pertanian dari terpaan angin (windbreak), maka
sistem itu dapat dikatakan sebagai agroforestri.
Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree, (1982)
adalah:
1. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau
hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.
2. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.
3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak
berkayu.
4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak,
kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.
5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung
angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya
keluarga/masyarakat.
6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada
penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan
penggunaan sisa panen.
7. Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi)
maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan system budidaya monokultur.
34
5. S A S A R A N DAN M A N FA AT A G R OF O RE S TR I
Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat kepada
manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan
berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri diharapkan
dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna
menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain
oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran
lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal
oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.
Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestri diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga ataupun
sumber daya sendiri (internal) dibandingkan sumber-sumber dari luar. Di samping itu agroforestri
diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan.
Untuk daerah tropis, beberapa masalah (ekonomi dan ekologi) berikut menjadi mandat agroforestri dalam
pemecahannya (von Maydell, 1986):
a. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan :
- Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran,
dan proses-proses dalam agroindustri.
- Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen.
- Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.
b. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
c. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun
pertanian:
- Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan
ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat, dll.) atau yang mungkin dijual
untuk memperoleh pendapatan tunai.
- Diversifikasi produk.
d. Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di
mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
- Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik.
- Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga yang tradisional, pemukiman,
pengaturan pemilikan lahan.
35
monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar
yang tidak sesuai untuk kondisi petani.
Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman
komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang
lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami
kegagalan pada tingkat petani.
Agroforest mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utama
agroforest bukan sebagai penghasil bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil
pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis
menjadi andalan pemasukan modal di Sumatera. Bahkan, agroforest seringkali menjadi
satu-satunya sumber uang tunai bagi keluarga petani. Agroforest mampu menyumbang
50% hingga 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi langsung
maupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan dan
pemasaran hasilnya.
Agroforestri merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan terdiri dari campuran pepohonan, semak
dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam,
maka agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan pertanian,
perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang
menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat
mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting
terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung
DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan
keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri dalam mepertahankan fungsi DAS dan
pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO 2 yang telah ada di atmosfer oleh
tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah
satu contoh dari Sistem Pertanian Sehat (Hairiah dan Utami, 2002).
Salah satu fungsi agroforestri pada level bentang lahan (skala meso) yang sudah terbukti
diberbagai tempat adalah kemampuannya untuk menjaga dan mempertahankan
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan, khususnya terhadap kesesuaian lahan.
Beberapa dampak positif sistem agroforestri pada skala meso ini antara lain:
(a) memelihara sifat fisik dan kesuburan tanah,
(b) mempertahankan fungsi hidrologi kawasan,
(c) mempertahankan cadangan karbon,
(d) mengurangi emisi gas rumah kaca, dan
(e) mempertahankan keanekaragaman hayati. Fungsi agroforestri itu dapat diharapkan
karena adanya komposisi dan susunan spesies tanaman dan pepohonan yang ada dalam
satu bidang lahan.
Sifat-sifat fisik tanah (lapisan atas) yang paling penting dan dibutuhkan untuk menunjang
pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan pepohonan adalah struktur dan porositas tanah,
kemampuan menahan air dan laju infiltrasi.
Lapisan atas tanah merupakan tempat yang mewadahi berbagai proses dan kegiatan
kimia, fisik dan biologi yakni organisme makro dan mikro termasuk perakaran tanaman
dan pepohonan. Untuk menunjang berlangsungnya proses-proses kimia, fisik dan biologi
yang cepat diperlukan air dan udara yang tersedia pada saat yang tepat dan dalam jumlah
yang memadai. Oleh karena itu tanah harus memiliki sifat fisik yang bisa mendukung
terjadinya sirkulasi udara dan air yang baik.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan sifat-sifat fisik lapisan tanah atas yang
diperlukan untuk menunjang pertumbuhan tanaman, melalui:
Adanya tajuk tanaman dan pepohonan yang relatif rapat sepanjang tahun menyebabkan sebagian besar air
hujan yang jatuh tidak langsung ke permukaan tanah sehingga tanah terlindung dari pukulan air yang bisa
memecahkan dan menghancurkan agregat menjadi partikel-partikel yang mudah hanyut oleh aliran air.
Sistem agroforestri dapat mempertahankan kandungan bahan organic tanah di lapisan atas melalui
pelapukan seresah yang jatuh ke permukaan tanah sepanjang tahun. Pemangkasan tajuk pepohonan secara
berkala yang di tambahkan ke permukaan tanah juga mempertahankan atau menambah kandungan bahan
organik tanah. Kondisi demikian dapat memperbaiki struktur dan porositas tanah serta lebih lanjut dapat
meningkatkan laju infiltrasi dan kapasitas menahan air.
Sistem agroforestri pada umumnya memiliki kanopi yang menutupi sebagian atau seluruh permukaan tanah
dan sebagian akan melapuk secara bertahap. Adanya seresah yang menutupi permukaan tanah dan
penutupan tajuk pepohonan menyebabkan kondisi di permukaan tanah dan lapisan tanah lebih lembab,
temperatur dan intensitas cahaya lebih rendah. Kondisi iklim mikro yang sedemikian ini sangat sesuai
untuk perkembangbiakan dan kegiatan organisme. Kegiatan dan perkembangan organisme ini semakin
cepat karena tersedianya bahan organik sebagai sumber energi. Kegiatan organisme makro dan mikro
berpengaruh terhadap beberapa sifat fisik tanah seperti terbentuknya pori makro (biopores) dan pemantapan
agregat. Peningkatan jumlah pori makro dan kemantapan agregat akan meningkatkan kapasitas infiltrasi
dan sifat aerasi tanah.
3. Hasil sedimen
Sumber sedimen yang keluar dari daerah aliran sungai (DAS) adalah erosi dari lahan
pertanian, tanah longsor dan erosi tebing sungai. Namun tidak semua bentuk erosi itu
(terutama erosi dari lahan pertanian) keluar dari DAS dalam bentuk sedimen. Ada
beberapa bentuk erosi: erosi percik (splash) adalah proses di mana partikel tanah terlepas
(dari agregat) akibat pukulan butir hujan yang jatuh di permukaan tanah. Partikel yang
lepas ini mungkin terlempar beberapa sentimeter dari tempat asal, mudah sekali diangkut
oleh aliran air di permukaan, yang dikenal sebagai erosi permukaan atau lembar (sheet
erosion). Kedua bentuk erosi ini tidak menonjol pada kondisi di bawah hutan, tetapi
menjadi sangat dominan ketika penutup tanah tidak ada lagi (gundul).
Permukaan tanah dan topografi yang tidak rata mengakibatkan terjadinya penggerusan
oleh aliran air di permukaan yang selanjutnya berakibat terjadinya erosi alur (rill erosion)
yang jika semakin lama berlangsung bisa semakin besar sehingga terjadi erosi parit (gully
erosion). Sumber sedimen lain adalah longsor (landslide atau masswasting) yang
umumnya terjadi pada tanah yang curam dengan curah hujan tinggi.
Ketiga peran hutan tersebut dapat terjadi karena keberadaan vegetasi, kondisi tanah dan
bentang lahan yang dimiliki oleh hutan. Vegetasi hutan yang terdiri dari campuran pohon
dan semak membentuk tajuk berlapis mengakibatkan terjadinya surplus arus air tahunan
menuju ke tanah. Kondisi tanah di bawah
40
hutan mempunyai porositas dan kecepatan infiltrasi yang besar sehingga mendorong
terjadinya aliran air ke lapisan tanah lebih dalam maupun aliran horisontal. Bentang lahan
hutan yang alami memiliki permukaan yang kasar (tidak rata) terdiri dari perbukitan dan
lembah atau cekungan yang dapat berfungsi sebagai tandon air sementara dan tempat
pengendapan, memungkinkan jumlah air yang mengalir ke dalam tanah lebih banyak dan
lebih jernih karena endapannya tersaring. Kadang-kadang bisa dilihat dan
dibandingkan tingkat kekeruhan air sungai yang mengalir pada musim hujan melalui
kawasan tertutup (hutan atau agroforestri) dengan sungai yang melewati kawasan
pertanian. Perbedaan kekeruhan air sungai ini menunjukkan besarnya konsentrasi
sedimen yang terangkut aliran air pada saat itu.
tentang apa yang dimaksud dengan gas rumah kaca, siklus C dalam skala global dan
cadangan C yang ada di alam.
Bila ditinjau dari cadangan C, sistem agroforestri ini lebih menguntungkan daripada
sistem pertanian berbasis tanaman semusim. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan
yang memiliki biomasa tinggi dan
42
masukan seresah yang bermacam-macam kualitasnya dan terjadi secara terus menerus.
Contoh hasil pengukuran cadangan C pada berbagai system penggunaan lahan dapat
dilihat pada studi kasus di sub bab berikut.
e) Parameter pengukuran cadangan C dalam sistem agroforestri
Bila kita perhatikan proses terbentuknya sistem agroforestri, sistem ini memiliki beberapa
rotasi pola tanam. Oleh karena itu pengukuran potensi agroforestri dalam mengurangi C
dari udara adalah dengan mengukur besarnya cadangan C yang memang benar-benar ada
di daratan (actually present) yang merupakan rata-rata dari satu siklus tanam (lifecycle)
pada system penggunaan lahan. Parameter ini biasa disebut dengan cadangan C rata-
rata per siklus tanam (time-averaged C stock) atau singkatnya disebut Cadangan C per
siklus tanam (Hairiah et al., 2001).
Gambar 6. Skematik
biodiversitas pada
berbagai tingkatan:
bentang lahan (gamma),
lokal (alpha) dan sub
habitat (betha).
Bahan diskusi
di sekitar lokasi maupun di lokasi yang jauh (misalnya di bagian hilir) dan bahkan secara
global. Dengan kata lain, tindakan konservasi lahan yang diterapkan oleh petani
agroforestri tidak banyak mendatangkan keuntungan langsung bagi mereka, bahkan
seringkali petani harus menanggung kerugian dalam jangka pendek.
Oleh sebab itu ada upaya untuk mengusahakan imbalan atau kompensasi bagi petani di
bagian hulu jika mereka menerapkan usaha tani konservasi.
Referensi
(Tomich
et al., 1998)
http://www.bpdas-pemalijratun.net/index.php?
option=com_content&view=article&id=55:sejarah-perkembangan-
agroforestry&catid=17:agroforestry&Itemid=29
http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/Files/lectureno
te/LN0001-04.PDF
Pengantar Agroforestri
http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/Files/lectureno
te/LN0009-04.PDF
47
Apiculture = budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan.
48