Untitled 1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

KUPU-KUPU YANG DILAHIRKAN BULAN

Cerpen Mauliediyaa Yassin

Aku terjebak dalam tempat yang tidak asing bagiku. Hawa dingin menyeruak, tembus ke
relungku. Kursi taman dan kupu-kupu tampak berbeda kini. Seperti bercermin, aku sama
dengan kupu-kupu yang melingkari tubuhku.

***

Dalam ruang pribadinyadi tempat ia bekerja, aku selalu senang. Menurutnya, tempat itu
dibangun dengan cinta yang teramat luar biasa. Ia menyulap sebuah bangunan minimalis
menjadi tempat percetakan buku. Salah satu ruangan, dijadikan tempat pribadi olehnya. Di
ruang itulah, aku sering membaca banyak buku yang dimilikinya. Mulai dari buku-buku
sastra, jurnal sastra, cerita pop romance, sampai buku-buku fantasi semisal karangan J.K
Rowling, memenuhi rak buku yang sengaja dibuatnya mengelilingi tempat tidurnya.

Di ruangan itu juga aku bebas melukis apa saja yang aku mau. Ia simpan rapi meski
lukisanku tidak seindah hasil karyanya. Tapi, ia selalu menyimpannya di dekat lukisan
yang ia buat. Lukisan perempuan bernama Leyn. Matanya bening dengan bola mata biru
mengkilat indah. Hidungnya bangir, dan bibirnya tebal berbentuk cekung manis dengan
warna gincu yang merah merekah. Dalam lukisan itu, rambut Leyn diikat ke belakang,
dengan sisa yang terurai di sisi kedua telinganya. Ia begitu cantik, begitu seksi. Wajahnya
teduh melukiskan keindahan bangunan-bangunan kuno di sudut kota Munich, Jerman.
Tapi entah rasanya, aku seperti cemburu tiap kali mendengar nama itu. Tiap kali
memandangi lukisan itu.

Sedang di sudut ruangan, ada lemari kaca yang sama tingginya denganku. Di lemari kaca
itulah, ia menyimpan berbagai botol minuman kesukaan kamiWine dan Tequila, yang
dibawanya setiap kali ia pulang dari Jerman. Minuman yang dibuat 5000 tahun lalu
menurut sejarah itu, selalu ada di lemari kaca. Aku suka Wine, sebab minuman fermentasi
anggur dengan kadar alkohol 8-15 % ini bisa membuatku lupa dari mana aku berasal. Ya,
paling tidak itu yang aku rasakan. Sedang minuman hasil penyulingan tanaman agave itu
adalah kesukaannya. Tiap kali ia pulang dari Jerman, selalu membawa Tequila dengan
hati yang riang.
Sementara di langit-langit ruangan itu, ada berbagai bintang dan kupu-kupu berwarna-
warni yang dibuatnya dari kertas origami. Jika aku sedang murung, ia selalu memberi aku
kupu-kupu buatan itu dan menggodaku dengan men-dubbing-nya dengan suara yang
lucu. Kalau ia sudah bertingkah seperti itu, aku tidak pernah bisa menolak untuk tertawa
terpingkal-pingkal.

Aku suka berlama-lama di ruangan itu. Seharian penuh menemaninya bekerja.


Memandangi wajahnya yang tidak lagi muda, tapi selalu terlihat tampan. Mendengarkan
suaranya yang berat lembut menentramkanpersis seperti suara ayahku yang sudah
bertahun-tahun aku tinggalkan. Sesekali menggodanya, dan aku melihat senyuman paling
indah di dunia. Aku selalu menemukan kenyamanan di sana. Tempat itulah yang pada
akhirnya membuat aku terus-menerus memaksanya untuk tetap bersamaku. Sebab, aku
tidak ingin berjarak dengannya walau hanya semenit saja.

Tapi tidak hari ini. Aku meninggalkannya sendirian di ruang pribadinyayang juga menjadi
persembunyianku dari segala hal yang bisa membunuhku. Tapi ah, tak lama kemudian
aku mendengar ada sesuatu yang menghantam dinding ruangan itu. Aku tidak acuh, tetap
berjalan dan berdiri mematung di tepi jendela yang berukuran 60x60cm. Langit mendung.

Terus saja kau begitu, Tras! Tidak pernah berubah! Bersikap baiklah pada Leyn. Dia juga
berarti untukku, kau tahu?
Hatiku terus menggerus kata-katanya. Aku tidak percaya ia bisa sekeras itu padaku.

Ia menghampiriku.
"Maafkan aku, Tras." Katanya setengah berbisik.

Aku diam. Masih memandang gunung di sebalik bangunan minimalis lainnya di sebrang
tempatku berdiri. Tiba-tiba hujan deras menanggalkan embun di jendela. Kutulis namanya
dengan jari telunjukku. Ia mendekat, sangat dekat. Hampir tak ada jarak di antara kami.

"Tras, berhentilah menjelek-jelekkan Leyn di depanku. Aku tahu kau sangat mencintaiku.
Aku juga mencintaimu. Tapi mengertilah sayang, kau tidak bisa memiliki aku sepenuhnya.
Kau betul-betul wanita manja yang selalu membuatku merasa tampan setiap hari, merasa
muda. Kau juga wanita serba bisa untuk menghiburku, menemaniku setiap waktu. Karena
itu aku selalu rindu jika kita berjarak. Percayalah, Tras! Kau dan Leyn sama berarti
untukku."
Seolah tidak mendengarnya, aku berjalan menuju ruang pribadinya. Aku terkejut.
Memerhatikan sekeliling ruangan. Lukisan buatanku berserak di lantai. Pun dengan buku-
buku yang semalam aku baca. Kaca bingkai pecah tak beraturan. Wajahku dan wajahnya
dalam potret itu sungguh terlihat sangat bahagia di bawah pecahan kaca. Aku tersenyum,
setelah kejut menyerangku beberapa detik lalu. Aku memandangi potret 2 tahun silam.
Ingatanku perlahan menyelinap dalam gambar di bingkai yang sudutnya ditempeli pula
kupu-kupu dari kertas origami olehnya.

Waktu itu ia membawaku ke suatu tempat yang sangat indah. Belum pernah aku
merasakan sebahagia dalam potret itu. Kami saling memeluk. Salju perlahan bertaburan
di kitaran kami. Ia erat memelukku. Aku terus tertawa karenanya. Ketika itu juga,
ponselnya terus berdering.
Leyn. Hampir tak terdengar olehku. Tapi aku melihat gerak bibirnya saat ia menyebut
nama dalam layar ponselnya.

Aku murung. Melepaskan pelukannya. Kembali ke kursi-kursi besi yang menyepi di taman
kota. Begitu dingin. Semua kutukan rasanya menyelinap dalam dada. Ia menghampiriku
setelah menjawab orang yang ada di sebrang ponselnya. Tersenyum. Menghiburku.
Menyematkan pita kupu-kupu berwarna jingga di rambutku.

Aku masih memandangi potret itu, sambil membersihkan pecahan kaca di atasnya. Lekat
sekali kupandangi. Lalu, seperti ada yang menarik tubuhku untuk masuk ke dalam bingkai.
Tarikan itu begitu besar. Tubuhku tiba-tiba gigil gemetar. Hujan di luar semakin deras. Jari-
jariku merekat pada bingkai. Seperti direkatkan lem buatan luar negeri yang terkenal itu.
Terus merekat, lantas tembus dengan perlahan. Pergelangan tanganku masuk ke dalam
bingkai. Seolah-olah kaca yang pecah kembali utuh. Menjebak tubuhku bagian kanan.
Tangan kiriku menggapai-gapai sisi meja tempatnya mengerjakan banyak hal. Tapi
sayang, tanganku tak pernah sampai menggapainya. Aku merasa sangat takut. Ingin
berteriak, tetapi mulutku tertahan.

Kini, bukan lagi sebagian tubuhku yang terjebak dalam bingkai. Semua tubuhku turut
masuk. Hanya menyisakan jari-jari kakiku yang diberi pewarna kuku mengkilat berwarna
kuning. Rasa gigil yang menyerang semakin tak karuan. Perutku mual, seluruh keringat
seolah tumpah di wajahku. Deras mengalir di dahi, turun menyentuh pipiyang sudah
kupastikan memerah karena rasa takut yang berlebihan, lantas terjun bebas dari daguku
yang menyimpan sekian kecupannya di hari-hari yang selalu membahagiakanku. Seluruh
tubuhku menghilang dari ruangan yang semakin gelap tak ada lagi cahaya. Meski aku
terus menolak tarikan yang entah berasal dari mana, namun nyatanya kini aku berada di
dalam bingkai. Ya, aku terjebak dalam tempat yang tidak asing bagiku. Hawa dingin
menyeruak, tembus ke relungku. Kursi taman dan kupu-kupu tampak berbeda kini. Seperti
bercermin, aku sama dengan kupu-kupu yang melingkari tubuhku.

"Tras? Tras? Di mana kau?"


Aku mendengar ia memanggil namaku.

"Tras?"

Ia masuk ke ruang pribadinya. Mencari-cari aku, kekasihnya.

Tras? Honey? Suaranya semakin keras-mendekat.

Aku teriak menyahuti panggilannya. Ia tidak mendengarku. Ia tetap memanggil-manggil


namaku. Sampai suaranya hilang entah ke mana.

Deru mobilnya terdengar sangat cepat melesat ke ujung jalan.

"Aku di sini, Jhen! Terjebak bersama seribu kupu-kupu yang dilahirkan bulan. Mereka
tampak sama denganku. Keluarkan aku dari sini, Jhen! Jhen? Jheeeeeeeeeeeeen?!" Aku
menangis.

Tubuhku terpental ke sudut taman, membentur tiang-tiang bertuliskan Kalijodo. Tiba-tiba


kembali ingatanku tentang dari mana aku berasal. Membayang semua transaksi di
remang lampu kota yang menyita seluruh peluhku. Pewarna bibir juga parfum isi ulang
yang aku beli di mall besar kota itu menyeruak di seisi kepalaku. Senyum puas dari laki-
laki buas yang berbeda-beda itu menjadi lanskap berjalan di pikiranku. Ada tangan yang
merabai cemas di sudut ruang. Ada belati yang kapan saja menghunus keinginanku untuk
menyudahi segala yang telah aku mulai. Sampai di suatu pagi yang dingin. Cahaya bulan
dengan bulatan penuh masih menggantung di langit kota. Kira-kira pukul 03.15 WIB, aku
ditemukan tak sadarkan diri oleh laki-laki bermata surga. Seorang penulis ternama yang
kini menjadi kekasihku, dan pergi entah ke mana. Sedang aku masih terjebak dalam
ingatan panjang yang membawaku ke lembah paling pekat.

***
Klik

Klik

Terdengar suara saklar. Ada yang menyalakan lampu. Ruangan menjadi terang. Aku
seperti kembali. Hanya seperti. Tak lama, aku mendengar suara manusia saling bicara.
Sepatu heels yang beradu di lantai, dan asap rokok menguar di seluruh ruangan. Wangi
asapnya mengingatkanku pada Jhen, kekasihku.

"Ini tempatku bekerja, Istriku. Tempat yang kita bangun bersama, empat setengah tahun
lalu. Di tepi jendela itu, biasanya ada kupu-kupu yang dilahirkan bulan. Ia tampak manis.
Sebentar, aku rapikan ruanganku dulu."

Suara Jhen! Itu suara Jhen yang selalu ada untukku.

Pintu ruang pribadinya kudengar berderit. Jhen menghampiri pecahan kaca. Sepertinya ia
berbicara pada dirinya sendiri.

"Tras, kau di mana, sayang?"

Seketika itu aku memanggilnya. Ia tetap tidak bisa mendengarku. Ia semakin mendekat.

Sementara itu, seribu kupu-kupu yang dilahirkan bulan menelanjangiku tanpa ampun.
Jhen meraih bingkai yang dilemparnya sebulan lalu. Diambilnya potret kami yang mulai
berdebu. Ia lekat memandangi wajahku dalam bingkai yang sudah tidak utuh. Tatapannya
tajam. Mengunciku dalam ingatannya yang juga kembali. Tangannya gemetar. Aliran darah
dalam tubuhnya seakan terhenti. Wajahnya pucat pasi. Ia terus memandangi potret itu.
Aku masih memandangnya penuh tatapan iba. Tatapan kupu-kupu yang merindukan
dekap hangat di malam yang dingin.

"Tras! Kau kah itu?"

Kramatwatu, 2016.
*) Mauliediyaa Yassin, suka jalan-jalan dan mereview-nya.

Anda mungkin juga menyukai