Anda di halaman 1dari 17

BAB III

DASAR TEORI

3.1. Sekilas Proses Pembuatan Semen Portland

Bahan baku yang dibutuhkan sebuah pabrik semen antara lain adalah batuan

yang mengandung kapur (seperti batu kapur dan chalk) , tanah liat (clay), pasir

silika dan pasir besi serta gipsum. Karena porsi batu kapur adalah yang paling

banyak dibutuhkan disusul dengan pasir silika dan tanah liat, maka kebanyakan

pabrik semen dibangun di dekat tambang ketiga bahan baku tersebut khususnya

tambang kapur. Selain pertimbangan bahan baku, pada umumnya pabrik semen

dibangun sedekat mungkin dengan pasarnya untuk mengurangi biaya transportasi.

Proses pembuatan semen dimulai dari penambangan bahan baku,

khususnya batu kapur, tanah liat, dan pasir/batu silika, kemudian diangkut oleh

dump truck ke crushing plant untuk dikecilkan ukurannya dengan crusher. Setelah

ukurannya cukup kecil, bahan baku ini disimpan di dalam gudang sambil

dikeringkan secara alamiah seperti terlihat pada Gambar 3.1. Sedangkan pasir

besi biasanya didatangkan dari tempat lain karena jarang sekali dalam suatu

wilayah tambang batu kapur juga terdapat pasir besi disekitarnya.

Proses berikutnya adalah menggiling bahan baku serta mencampurnya pada

proporsi tertentu yang sangat tergantung dari kemurnian masing-masing bahan

baku. Hasil penggilingan bahan baku ini berupa serbuk dengan ukuran partikel

merata dikisaran 50 60 m dengan proporsi sesuai dengan yang dipersyaratkan.

Proses penggilingan ini dapat dilakukan dengan ballmil.

Kemudian campuran bahan baku dengan proporsi yang benar ini dibakar hingga

temperatur 1300 sampai 1500o C dimana bahan baku akan mengalami proses

sintering dan terbentuk terak semen (clinker). Terak panas ini kemudian

didinginkan dengan cepat hingga 100oC untuk menyetabilkan fasa padatan terak

16
dalam rangka menjaga mutu terak yang biasanya diukur berdasarkan sifat

reaktivitasnya. Terak dingin tersebut kemudian digiling kembali bersama sekitar 3 -

5% fraksi massa gipsum sebagai bahan retarder (penghambat reaksi pengeringan

semen apabila dicampur dengan air) hingga lembut dan disebut sebagai semen

Portland.

Batukapur

Crusher

Gudang Batukapur

Crusher

Gudang Pasir Besi (Iron Sand Storage)

Gambar 3.1. Bahan baku dari tambang direduksi ukurannya dan diangkut
menuju gudang bahan baku (Duda, 1976)

3.2. Kualitas Batugamping Sebagai Bahan Baku Semen

Bahan baku semen adalah mineral yang mengandung komponen-komponen

utama semen, yaitu CaO, SiO2, Al2O3 dan Fe2O3. Komponen-komponen tersebut

tersedia di alam dalam komposisi yang dibutuhkan untuk pembuatan semen.

Bahan baku dengan kadar CaO yang tinggi disebut komponen gamping,

sedangkan bahan baku dengan kadar silika, alumina, dan besi oksida yang tinggi

disebut komponen lempung atau serpih. Untuk mendapatkan komposisi yang tepat

17
sebagai bahan baku semen, kedua komponen tersebut harus dicampurkan. Pasir

silika dan pasir besi hanya perlu ditambahkan sebagai koreksi apabila komponen

bahan baku masih belum memenuhi syarat sebagai bahan baku semen (Duda,

1976). Berdasarkan kadar CaCO3nya, batukapur yang dapat digunakan sebagai

bahan baku pembuat semen, terdiri dari batugamping dengan kadar CaCO3

minimal 50%, chalk dengan kadar CaCO3 98 99%, mengandung sedikit SiO2,

Al2O3 dan Mg2O3 serta bersifat lebih lunak sehingga mengurangi biaya operasional

karena tidak memerlukan peledakan maupun penghancuran serta napal yang

dianggap sebagai bentuk transisi antara batugamping dan lempung, merupakan

bahan mentah yang sangat baik karena mengandung CaO dan lempung dalam

komponen yang homogen (Duda, 1976).

Adapun bahan baku pembuat semen (Duda, 1976) adalah sebagai berikut :

1. Batugamping sebagai sumber CaO

2. Lempung sebagai sumber Al2O3

3. Pasir Silika sebagai sumber SiO2

4. Pasir besi sebagai sumber Fe2O3

Menurut Duda (1976) komposisi kimia dari batugamping pembentuk bahan baku

semen yang sangat dominan berpengaruh adalah enam komponen kimia, yang

dapat dilihat dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Komposisi senyawa batugamping pembentuk bahan baku semen


(Duda, 1976)

Komponen Komposisi Ideal (%) Kisaran (%)


SiO2 0,95 0,76 4,75
Al2O3 0,92 0,71 2,00
Fe2O3 0,38 0,36 1,47
MgO 0,95 0,30 - 1,48
CaO 54,6 49,8 55,6
LOI 42,03 39,65 44,03

18
Tabel 3.2. Persyaratan kualitas bahan baku semen PT Semen Padang

Bahan Komposisi Standar Kualitas PT Semen Padang


Baku SiO2 (%) Al2O3 (%) CaO (%) H2O (%)
Batu Kapur Maks. 5 - Min. 48 Maks. 6
Batu Silika Min. 65 - - Maks. 10
Tanah Liat - Min. 27 - Maks. 37

3.3. Komposisi Kimia dan Mineralogi Batugamping

Batugamping (Batuan karbonat) adalah batuan sedimen yang mempunyai

komposisi dominan (lebih dari 50%) terdiri dari garam-garam karbonat.

Batugamping tersusun oleh sebagian besar mineral kalsit (CaCO3), terjadi secara

organik, kimiawi, atau detritus. Jenis batugamping yang terbentuk oleh koloni:

Algae, Foram, Bryozoa, Brachiopoda, lazim disebut batugamping

terumbu/batugamping koral. Batuan sedimen batugamping disusun dari sisa-sisa

tumbuhan dan binatang yang menghasilkan kalsium karbonat sebagai bagian dari

metabolismenya membentuk bagian utama dari batugamping.

Batugamping autokton adalah batugamping yang terbentuk di tempat karena

adanya pengumpulan organisme yang hidup dan mati di satu tempat. Bila

kelompok tidak luas dan terbatas penyebarannya dapat disebut batugamping

bioherm dan bila sifat penyebarannya luas dapat disebut sebagai batugamping

biostorm.

Batugamping Allokton terdiri dari sisa-sisa dan pecahan-pecahan organisme yang

mati dan telah mengalami pengangkutan dan diendapkan di tempat lain.

Batugamping bioklastik adalah batugamping yang terdiri dari fragmen-fragmen sisa

kehidupan binatang laut. Adapun mineral yang penting dan umum yang terdapat

dalam batugamping terlihat dalam Tabel 3.3.

19
Tabel 3.3 Mineral-mineral Penyusun Batugamping

Mineral Keterangan / Diskripsi

Kalsit - Merupakan mineral karbonat yang lebih stabil, biasanya

( CaCO3 ) merupakan hablur kristal yang baik dan jelas.

- Dijumpai sebagai semen pengisi ruang antar butir dan rekahan.

- Merupakan komponen utama dari batugamping.

Aragonit - Material strukturnya dari moluska laut; terkadang terendapkan

( CaCO3 ) dalam air dangkal yang hangat.

- Mengkristal dalam sistem orthorhombic.

- Dibandingkan dengan kalsit, kestabilannya lebih rendah dan

lebih mudah larut.

- Berbentuk jarum atau serabut umumnya diendapkan secara

kimiawi langsung dari presipitasi air laut.

Dolomit - Merupakan mineral yang hampir serupa dengan mineral kalsit,

(CaMg(CO3)2 ) namun secara petrografis dapat dibedakan dari indeks

refraksinya.

- Diketahui sebagai mineral sedimen primer, tetapi lazimnya hasil

dari replacement sedimen kalsit oleh air asin yang kaya dengan

magnesium yang menyebabkan dolomit menggantikan kalsit.

Magnesit - Merupakan kristal hexagonal

( MgCO3 ) - Terjadi akibat penggantian dari kalsit dan dolomit, sering juga

terbentuk dari batuan yang mengandung magnesium silikat

20
3.3.1. Klasifikasi Batugamping Menurut Folk (1959)

Klasifikasi batuan karbonat yang dikemukakan oleh Folk (1959) adalah

berdasarkan kepada tiga komponen utama batuan karbonat, yaitu butiran

(allochems), sparit, dan mikrit, yang meliputi macam butiran dan ratio ketiga

komponen tersebut.

a. Allochem merupakan butiran karbonat yang berukuran pasir kerikil yang

berasal dari sedimen klastik, termasuk didalamnya adalah oolit, pisolit, onkilit,

pellet, dan fosil.

b. Microcrystallin Kalsit zone atau Micrite, merupakan agregat halus yang

berukuran 1 4 (mikron) sebagai pembentuk mineral kalsit, terjadi secara

biokimia atau kimiawi dari presipitasi air laut, terbentuk dalam lingkungan

pengendapan dan menunjukkan sedikit atau tidak adanya transportasi yang

berarti.

c. Sparry Kalsit cements atau Sparit, merupakan semen yang mengisi ruang

antara butir dan rekahan, berukuran butir halus (0,02 1 mm), dapat terbentuk

langsung dari sedimen secara insitu atau dari rekristalisasi mikrit.

Dengan berdasarkan kepada tiga komponen utama tersebut, sehingga penamaan

batuan karbonatnya dapat dibagi menjadi beberapa tipe utama, yaitu sebagai

berikut:

a. Tipe I (Sparry Allochemical Rocks)

Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe I ini, sebagian besar terdiri dari

konstitusi allochem yang disemen oleh sparit. Tipe ini biasanya terbentuk

pada lingkungan pantai atau laut dangkal, tetapi dapat pula terbentuk pada

daerah-daerah yang berenergi gelombang yang rendah tanpa dipengaruhi oleh

21
adanya lumpur karbonat (mikrit). Jenis batuan karbonat ini adalah intrasparit,

oosparit, biosparit, dan pelsparit.

b. Tipe II (Microcrystallin Allochemical Rocks)

Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe I ini, sebagian besar terdiri dari

konstitusi allochem dan Microcrystallin Calcite Ooze sebagai matriksnya,

terbentuk pada lingkungan pengendapan yang berenergi gelombang lemah.

Jenis batuan karbonat ini adalah intramikrit, oomikrit, biomikrit dan pelmikrit.

c. Tipe III (Microcrystallin Rocks)

Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe I ini, merupakan kebalikan tipe I,

dimana hampir seluruhnya terdiri dari mikrit dan terbentuk pada lingkungan

pengendapan yang mempunyai kondisi air laut tenang. Jenis batuan

karbonatnya adalah mikrit dan dismikrit.

d. Tipe IV

Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe I ini merupakan pembagian

khusus, karena mengingat proses atau cara pembentukannya yang sangat

khas. Batugamping ini memiliki struktur organik yang terbentuk pada tempat

dimana ia tumbuh (insitu). Struktur organik tersebut bersifat saling mengikat

dan kuat dalam pertumbuhan. Batuan karbonat ini disebut Biolitit.

22
Gambar 3.2. Klasifikasi batugamping menurut Folk (1959).

3.3.2. Klasifikasi Batugamping Menurut Dunham (1962)

Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962) adalah dengan berdasarkan

kepada tekstur pengendapannya.

Faktor-faktor penting yang menjadi dasar pembagian batuan karbonat menurut

Dunham (1962) adalah sebagai berikut :

23
Butiran didukung oleh lumpur

Butiran saling menyangga

Sebagian butiran didukung oleh lumpur dan sebagian butirannya saling

menyangga

Dengan berdasarkan faktor-faktor tersebut, Dunham (1962) mengklasifikasikan

batuan karbonat sebagai berikut :

a. Butiran didukung oleh lumpur :

1. Jika jumlah butiran kurang dari 10% dinamakan Mudstone

2. Jika jumlah butiran lebih banyak dari 10% dinamakan Wackstone

b. Butiran saling menyangga :

3. Dengan Matriks dinamakan Packstone

4. Sedikit atau tanpa matriks dinamakan Grainstone

c. Komponen yang saling terkait pada pengendapan, dicirikan dengan adanya

struktur tumbuh dinamakan Boundstone

d. Tekstur pengendapan yang tidak teramati dengan jelas dinamakan

Batugamping kristalin

Gambar 3.3. Klasifikasi batugamping (Dunham, 1962)

24
3.4. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengendapan Batugamping

3.4.1. Pengaruh Sedimen Klastik Asal Darat

Pengendapan karbonat memerlukan lingkungan yang praktis bebas dari sedimen

klastik asal darat. Adanya partikel-partikel lempung dan lanau (asal darat) akan

menyebabkan terhalangnya proses fotosintesis sehingga hal ini akan menghalangi

pertumbuhan ganggang gampingan, dimana ganggang gampingan ini merupakan

pembentuk unsur CaCO3, sehingga pembentukan CaCO3 akan terhambat. Dengan

terhambatnya pertumbuhan CaCO3 maka secara tidak langsung akan

menghambat mekanisme kehidupan dan pertumbuhan binatang-binatang bentonik

karena cangkang-cangkang binatang bentonik ini kebanyakan terbentuk dari unsur

CaCO3. Dengan demikian untuk dapat terjadinya pengendapan karbonat dengan

cepat, maka dibutuhkan daerah dengan kondisi aliran air yang jernih, daerah yang

stabil dan daratan sekitarnya yang hampir datar. Bila pada suatu daerah terjadi

sedimentasi butiran asal darat, maka akan terbentuk napal atau batupasir

gampingan.

3.4.2. Pengaruh Iklim dan Suhu

Pada proses pengendapan batuan karbonat, diperlukan suatu kondisi lingkungan

geografis tertentu yang memenuhi persyaratan untuk proses pertumbuhan dan

peerkembangan kehidupan organisme. Lingkungan geografis yang baik untuk

pertumbuhan dan perkembangan organisme adalah lingkungan yang beriklim

Tropis sampai subtropis, dimana pada daerah-daerah tersebut akan cukup dapat

menerima sinar matahari dengan baik, sehingga dapat memperlancar proses

fotosintesis dan akan mempunyai kondisi lingkungan yang bertemperatur hangat.

Dengan demikian pada lingkungan-lingkungan yang berada pada garis lintang

diatas 40o tidak akan dijumpai pengendapan batuan karbonat yang melimpah.

25
3.4.3. Pengaruh Kedalaman

Pengendapan karbonat memerlukan penguapan yang kelewat jenuh dari airlaut di

daerah yang mempunyai kandungan unsur CaCO3, dimana pada keadaan yang

demikian ini hanya dijumpai pada lingkungan laut yang dangkal. Apabila pada

lingkungan laut yang dalam makan menyebabkan sebagian tekanan CO2 akan

sangat tinggi, dimana pada keadaan yang demikian menyebabkan unsur CaCO3

akan terlarut.

3.4.4. Faktor Mekanik

Faktor mekanik yang mempengaruhi kecepatan pengendapan karbonat antara lain

adalah adanya aliran laut yang bertekanan tinggi menuju ke daerah-daerah yang

bertekanan rendah, adanya percampuran air dengan kandungan CaCO3 yang

berkadar tinggi, penguraian oleh bakteri, proses pembuatan material organik, serta

adanya kenaikan PH air laut sehingga pada kondisi yang demikian dapat

menyebabkan penambahan konsentrasi karbonat.

Gambar 3.4. Klasifikasi batugamping berdasarkan tekstur pengendapan, menurut


Embry & Klovan (1971), perluasan dari klasifikasi Dunham (1962).

26
3.5. Lingkungan Pengendapan Batugamping (Wilson, 1975)

Wilson (1975) mengemukakan suatu penampang yang ideal yang memperlihatkan

jalur fasies secara standar dan interpretasi lingkungan pengendapan pada tepi

paparan seperti terlihat pada Gambar 3.5.

Daerah penelitian dijumpai batugamping dengan butiran berukuran halus sampai

sedang dan masif. Dengan dijumpai beberapa lokasi mengandung fosil yang telah

tergantikan oleh kalsit (CaCO3). Hal tersebut menggambarkan batugamping

terbentuk pada lokasi yang banyak mengandung oksigen, berkadar garam rendah

dan sirkulasi air yang baik sehingga memungkinkan organisme plangtonik dapat

hidup dan berkembang dengan baik. Lingkungan pengendapan yang terbentuk

mempunyai kedalaman dari beberapa puluh meter sampai beberapa ratus meter.

Material-material endapannya berasal dari daerah-daerah yang dangkal. Sehingga

daerah penelitian diinterpretasikan berada pada lingkungan pengendapan Organic

Build-Up.( Wilson, 1975).

Gambar 3.5. Penampang ideal memperlihatkan jalur fasies karbonat pada tepi
paparan (Wilson, 1975)

27
3.6. INTRUSI

Di lokasi penelitian dijumpai intrusi basalt yang menerobos Satuan Batugamping

Bukit Karang Putih. Intrusi basalt terdapat di bagian tengah dan utara lokasi

penelitian. Intrusi pertama yang dijumpai pada lokasi pengamatan berada di

daerah Blok M, koordinat X : - 55.00, Y : - 2,650.00 dengan panjang lebih kurang

100 meter dan lebar 20 meter. Intrusi kedua berada di daerah Blok J, koordinat X :

80.00, Y : -2,305.00 dengan panjang kurang lebih 150 meter dan lebar 30 meter.

Di lokasi pengamatan intrusi basalt ini menerobos batugamping yang berumur

pratersier. Diperkirakan intrusi basalt berumur Tersier (Miosen, menurut Kastowo,

dkk 1973) karena menerobos batuan berumur pratersier (batugamping) dan

ditutupi oleh batuan sedimen tersier (silika dan batuan vulkanik). Pengamatan

secara makroskopis batuan ini berwarna gelap, berbutir halus, tersingkap dalam

keadaan segar dan sangat kompak.

Sill adalah intrusi konkordan, berbentuk tabular sejajar dengan foliasi atau

perlapisan batuan yang diterobos oleh intrusi. Sill tersebut pada umumnya tipis

(beberapa meter sampai beberapa ratus meter), dangkal dan terbentuknya pada

batuan yang tidak terlipat. Kebanyakan sill berkomposisi basaltik, hal ini

disebabkan oleh keenceran magma yang memungkinkan bentuk melebar dan

sering kali terjadi karena beberapa kali injeksi. Pada sill yang tebal, sering terjadi

diferensiasi sehingga komposisi mineralnya berbeda antara bagian bawah dan

bagian atasnya.

Dike adalah intrusi yang bentuknya tabular (seperti sill) dan mempunyai

hubungan diskordan dengan batuan sekitarnya. Intrusi ini pada umumnya

menempati pola rekahan yang sudah ada. Pada beberapa daerah dike berasosiasi

dengan intrusi dangkal dan kadang-kadang mempunyai pola radial. Vein adalah

pengisian rekahan pada batuan samping oleh mineral.


28
Gambar 3.6. Beberapa tipe intrusi (Ernest G Ehlers, 1980)

Laccolith adalah intrusi konkordan yang berbentuk seperti jamur

(mushroom), dengan diameter 1 sampai 8 Km, dengan ketebalan mancapai 1000

m, terbentuk pada kedalaman kecil pada batuan sedimen yang relatif belum

terganggu. Laccolith terbentuk oleh magma yang membumbung (ke atas) pada

batuan sedimen yang perlapisannya masih horizontal, apabila gerakan naik

tertahan oleh lapisan yang resisten, maka magma akan membumbung dan

menyebar ke samping dan membentuk dome. Apabila penyebaran lateralnya lebih

dominan maka kan berangsur-angsur menjadi sill. Kebanyakan intrusi jenis ini

berkomposisi asam hingga intermediet.

Batuan beku intrusif membeku di bawah batuan yang sudah ada (pre-existing

rock) di bawah permukaan bumi. Kontak intrusif terhadap batuan sekitarnya bisa

diskordan atau konkordan. Pada intrusi dangkal, apabila batuan samping bersifat

getas/mudah pecah, pada saat intrusi disertai oleh terjadinya banyak pecahan,

patahan atau sebagian dari batuan samping terbawa/terseret oleh intrusi. Pada

tempat yang lebih dalam (beberapa kilometer), temperatur dan tekanan

memberikan sifat plastis atau ductile pada batuan samping, magma akan bergerak

dengan tekanan dan akan memberikan struktur foliasi sejajar dengan permukaan

29
pluton. Intrusi jenis ini disebut diaper yang tentu saja konkordan terhadap batuan

sampingnya.

Banyak intrusi yang kelihatannya konkordan pada sebuah singkapan, tetapi secara

umum mereka diskordan bila dipetakan secara regional. Memotong atau sejajar

dengan batuan samping sering terlihat sebagai fungsi skala pengamatan. Batuan

beku yang semenjak terbentuknya belum pernah mengalami perubahan selama

orogenesis, tetapi karena pengaruh penambahan tekanan dan temperatur (batuan

metamorf) menyebabkan batuan tersebut melebur/meleleh sebagian atau

semuanya. Proses ini disebut anateksis. Magma yang terbentuk mungkin

meninggalkan tempat itu atau tetap ada di tempat. Bila magma mendingin disitu,

maka batas antara batuan beku dan metamorf akan terlihat mempunyai kontak

konkordan dibeberapa tempat dan lainnya diskordan, tergantung dari

jauh/dekatnya pergerakan material yang terlelehkan.

Kontak antara batuan beku dan batuan samping ada yang tegas dan tidak tegas.

Kontak tegas berarti tidak ada reaksi antara magma dengan batuan samping,

mungkin karena batuan sampingnya tidak reaktif (kwarsit), atau pendinginan

sangat cepat karena batuan sampingnya dingin. Perbedaan temperatur yang besar

akan menyebabkan besarnya kristal semakin berkurang kearah kontak seperti

pada tubuh intrusi dangkal atau aliran lava.

Xenoliths juga harus diperhatikan dengan cermat. Biasanya mereka terkonsentrasi

pada ujung tubuh intrusi. Benda-benda asing tersebut mencerminkan batuan

samping yang dilalui magma atau hanya batuan samping dimana magma terakhir

membeku. Batuan intrusi yang magmanya berasal dari kedalaman yang tinggi (>

100 Km), akan membawa material-material dari sumbernya atau dari batuan

samping yang dilewati sewaktu magma membumbung. Fragmen-fragmen bisa jadi

sudah lebur dalam magma, dan bila masih ada tentu akan mempengaruhi

30
protogenesisnya. Oleh karenanya harus selalu diamati dalam penelitian di

lapangan.

Proses intrusi akan mengakibatkan perubahan kimia, mineralogi, dan tekstur. Efek

ini menyebabkan interaksi antara batuan samping dengan intrusinya. Faktor yang

berpengaruh pada intrusi adalah temperatur, kimia fluida, konsentrasi, komposisii

batuan samping, permeabilitas serta durasi aktifitas hidrotermal (Pirajno, 1992).

Walaupun semua faktor saling mengkait, namun faktor temperatur dan kimia fluida

merupakan faktor yang paling dominan (Browne, 1991 dalam Corbett dan Leach,

1996).

Salah satu efek dari adanya intrusi adalah terjadinya metamorf kontak (termal).

Metamorf kontak disebabkan oleh adanya kenaikan temperatur pada batuan

tertentu. Panas tubuh intrusi yang diteruskan pada batuan sekitarnya

mengakibatkan metamorf kontak. Zona metamorf kontak disekitar tubuh batuan

tersebut dinamakan daerah kontak (contact aureole) yang efeknya terutama

terlihat pada batuan sekitarnya. Lebar daerah penyebaran panas tersebut berkisar

dari beberapa meter sampai beberapa kilometer. Lebar zona pengaruh dari intrusi

biasanya tidak jauh dari tebal tubuh intrusi. Intrusi kecil dapat menghasilkan zona

kontak yang disebut backing effect, biasanya akan nampak berbeda dengan

batuan yang tidak terkena intrusi, atau sering juga dengan terdapatnya

perbedaaan warna dengan batuan yang tidak terkena proses metamorfism.

Perbedaan ini disebabkan oleh hasil oksidasi. Metamorfosa kontak pada batu

lempung akan membentuk hornfels, sedangkan pada batugamping, akan

menghasilkan batumarmer. Seperti pada Gambar 3.7. Zona kontak akan dicirikan

dengan adanya mineral-mineral yang berbeda yang dapat dihubungkan dengan

jarak dari intrusi. Efek dari intrusi juga dapat menggantikan sebagian komposisi

batuan samping dengan terjadinya pertukaran ion-ion dari larutan sisa magma

membentuk kesetimbangan komposisi kimia baru. Proses penggantian komposisi


31
ini disebut metasomatisme. Penggantian komposisi dapat disebabkan oleh fluida

asal dari batuan beku intrusi atau dari perpindahan fluida aktif pada batuan

samping dengan kehadiran intrusi. Efek metasomatism sering terjadi pada intrusi

batuan karbonat (batugamping) tergantikan dengan silika. Di dalam batugamping

akan menghasilkan calsium kaya akan silika, epidot atau wolastonit. Kalo intrusi

terjadi pada dolomit akan menyebabkan kehadiran serpentin, diopsit dan kelompok

mineral khondrit.

Gambar 3.7 Kontak intrusi monzonit di batugamping menyebabkan terbentuknya


marmer. Tebal kontak tersebut 17 m dengan 3 zona mineral.
(Burnham, 1959).

32

Anda mungkin juga menyukai