Anda di halaman 1dari 6

BAB I

Pendahuluan
a. Latar belakang
Tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi
juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian dari ruang
yang ada diatasnya, dengan pembatasan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) yaitu : sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan,
dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi. Sedalam berapa tubuh bumi dan setinggi berapa ruang yang
bersangkutan oleh digunakan, ditentukan oleh tujuan penggunaannya,
dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh
buminya sendiri, kemampuan pemeganghaknya serta ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Sebutan tanah dalam bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai makna.
Sehingga dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam
arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam Hukum Tanah kata sebutan
tanah dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah
diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Adanya perjanjian tanah di Indonesia membuat tanah mendapat
perlindungan, adanya perlindungan untuk pemilik tanah dalam pembelian
dan hak atas tanah yang dia beli, agar tidak ada pihak yang dengan semena
mena mengambik ha katas tanah nya.

a. Rumusan masalah
- Perjanjian atas tanah berdasarkan hukum adat
- perjanjian bagi hasil tanah di Indonesia
BAB II
Pembahasan
a. Perjanjian tanah hukum adat
Dalam pengertian Hukum Adat jual beli tanah adalah merupakan suatu
perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya
kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga
(walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual sejak itu Hak Atas Tanah
telah beralih dari penjual kepada pembeli. Dengan kata lain bahwa sejak saat itu
pembeli telah mendapat Hak Milik atas tanah tersebut. Jadi jual beli menurut Hukum
Adat tidak lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada
pembeli. Maka biasa dikatakan bahwa jual beli menurut Hukum Adat itu bersifat
tunai (kontan) dan nyata(kongkrit).
Dalam masyarakat Hukum Adat jual beli tanah dilaksanakan secara terang dan
tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan
dihadapan Kepala Adat atau Kepala Desa. Tunai, berarti adanya dua perbuatan yang
dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi
obyek jual beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga dari pembeli
kepada penjual terjadi serentak dan secara bersamaan .

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam jual beli tanah, yaitu
mengenai subjek dan objek jual beli tanah. Mengenai subjek jual beli tanah adalah
para pihak yang bertindak sebagai penjual dan pembeli. Yang perlu diperhatikan
dalam hal ini adalah calon penjual harus berhak menjual yaitu pemegang sah dari
hak atas tanah tersebut, baik itu milik perorangan atau keluarga. Sedangkan
mengenai objek jual beli tanah adalah hak atas tanah yang akan dijual. Didalam jual
beli tanah, tujuan membeli hak atas tanah adalah supaya dapat secara sah
menguasai dan mempergunakan tanah, tetapi secara hukum yang dibeli atau dijual
bukan tanahnya tetapi hak atas tanahnya.
Adapun subjek jual beli tanah, ada 4 syarat mengenai sahnya suatu pejanjian jual
beli hak atas tanah, yaitu:
a) syarat sepakat yang mengikat dirinya
Dalam syarat ini berarti kedua pihak sama-sama sepakat untuk mengadakan suatu
perjanjian jual beli yang mutlak dibuatkan sustu perjanjian tertulis berupa akta yang
harus dibuat dan dihadapan Pejabat khusus yaitu PPAT.
b) syarat cakap
Untuk mengadakan suatu perjanjian perbuatan hukum dalam hal ini perjanjian jual
beli hak atas tanah, maka yang berhak adalah para pihak yang sudah memenuhi
syarat dewasa menurut hukum, sehat pikiran dan tidak berada dibawah
pengampuan, dan orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang dan kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertenu.
c) syarat hal tertentu

Apa yang diperjanjikan harus dicantumkan dengan jelas dalam akta jual beli, baik
itu mengenai luas tanah, letaknya, sertipikat, hak yang melekat demi mengelakkan
kemulut hukum dan hak-hak serta kewajiban kedua pihak harus terulan dengan
jelas.
d) syarat sebab yang hal
Didalam pengadaan suatu perjanjian, isi dan tujuan dalam perjanjian itu harus jelas
dan berdasarkan atas keinginan kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian.

b. Perjanjian tentang tanah ( bagi hasil)

Banyak istilah yang di pakai untuk pengertian bagi hasil di Indonesia, hal
ini banyak di sesuaikan dengan peristilahan adat daerah setempat di
Indonesia denga aturan atau tradisi hokum adat di daerah yang
bersangkutan, sedangkan di dalam masyarakat kabupaten sinjai di sebut
dengan nama akkinanreang.

Perjanjian tanah menurut kebiasaan yang terjadi di kabupaten sinjai


adalah suatu perjanjian yang di lakukan secara lisan, yang pelaksanaannya
berdasarkan kebiasaan antara pihak yang mengadakan suatu perjanjian.

Kategori orang yang melakukan nya memnuhi persyaratan yang diatur


secara tertentu. Syarat-syarat ini biasa di terapkan secara umum dan
senantiasa di kenal dalam melakukan suatu perbuatan perjanjian, yakni pada
subjek perjanjian hendaknya dapat dinilai mampu melakukan suatu
perbuatan hokum sacara sah, artinya manusia yang sehat pikirannya dan
tidak boleh bertentangan dengan ketertiban masyarakat.

Dalam perjanjian bagi hasil pun semestinya para pihak yang mengambil
peranan atau bagian dalam melakukan perjanjian hendaknya senantiasa
memnuhi syarat bagaimana yang di tuntut oleh aturan hokum maupun
kebiasaan menurut hokum adat.
Ciri ciri bagi hasil dalam perjanjian bagi hasil adalah:

a. Tidak di lakukan secara tertulis, pada umumnya perjanjian bagi


hasil ini dilakukan dengan lisan dan tanpa mengenal semacam akta
perjanjian
b. Penyaksian atau pengesahan maupun bantuan dari kepala desa
atau kepala persekkutuan adat tidak diperlukan, hal ini berlainan
dengan teransaksi tanah seperti jual lepas, jual gadai yang di mana
bantuan kepala desa amat dibutuhkan, oleh karena diketahui bahwa
transaksi bagi hasil adalah transaksi yang berhubngan dengan
tanah maka tidaklah terjadi penyerahan tanah dalam arti peralihan
kepemilikan tanah, sehingga bantuan kepala desa/kepala
persekutuan tidaklah di perlukan
c. Hak ulayat tidak menjadi objek suatu perjanjian bagi hasil
d. Pada umumnya jangka waktunya relative singkat, jadi dapat saja
berakhir setelah melewati satu masa panen.
e. Terjadinya suatu transaksi dengan pihak ke tiga, seperti misalnya
peralihan dari pemilik

Jadi Perjanjian Bagi Hasil menurut Hukum Adat pada dasarnya adalah
suatu perjanjian yang timbul dalam masyarakat Hukum Adat antara pemilik
tanah dengan petani penggarap dan umumnya perjanjian tersebut tidak
diwujudkan dalam bentuk tertulis tetapi hanya bersifat lisan dengan dasar
saling percaya.
BAB III
PENUTUPAN

a. Kesimpulan

Perjanjian Bagi Hasil merupakan salah satu perjanjian yang


berhubungan tanah yang mana obyeknya bukan tanah namun melainkan
segala sesuatu yang ada hubunganya dengan tanah atau yang melekat pada
tanah seperti tanamantanaman, hak mengerjakan, menggarap, atau
menanami tanah tersebut, dan sebagainya.Materi Bagi Hasil tanah pertanian
itu sendiri masuk dalam ruang lingkup hukum tanah adat teknis, yaitu
perjanjian kerjasama yang bersangkutan dengan tanah tetapi yang tidak
dapat dikatakan berobyek tanah, melainkan obyeknya adalah tanaman.

b. Daftra pustaka
- http://raypratama.blogspot.co.id/2012/02/perjanjian-menurut-hukum-
adat-terhadap.html
- https://lawyersinbali.wordpress.com/2012/03/31/perjanjian-jual-beli/
- https://denyelfaruq.wordpress.com/peralihan-hak-atas-tanah-melalui-
jual-beli/
Makalah Hukum kekeluargaan dan perjanjian
adat
Perjanjian tanah dan perjanjian berhubungan dengan tanah

Nama : Nailatul fadhila taufik


NIM : 20140610120
Kelas : I

Fakultas Hukum
Universitas muhammadiyah Yogyakarta
Tahun akademik 2014/2015

Anda mungkin juga menyukai