Anda di halaman 1dari 4

DASAR MASALAH KASUS KPK VS POLRI

Konflik antara institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) telah beberapa kali terjadi, dan setiap kasusnya itu terjadi memberi dampak yang cukup
luas dalam perpolitikan Indonesia. Masing-masing pihak dan pendukungnya memegang dasar
argumentasi yang mengacu pada kewenangan institusi yang dijamin oleh hukum.

Baik Polri maupun KPK merupakan institusi yang memiliki wewenang melakukan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana, untuk KPK yang khusus bertugas di area tindak pidana korupsi
ditambah dengan wewenang penuntutan. Selain Polri dan KPK, ada pula Kejaksaan yang
memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Selintas, ada potensi konflik
kewenangan antara ketiga institusi tersebut.

Belakangan ini terjadi buntut dari penetapan status tersangka bagi Calon Tunggal Kapolri oleh
KPK, bukan hanya beraroma benturan kewenangan antara Polri dan KPK, tetapi juga
penggunaan kewenangan untuk kepentingan masing-masing institusi. KPK dituding
menggunakan wewenangnya untuk menjegal Calon Tunggal Kapolri, dan Polri dituding
menggunakan wewenangnya untuk melemahkan pimpinan KPK. Kedua pihak ini membawa
dasar hukumnya masing-masing. Masyarakat pun melihat ada pelanggaran etika yang dilakukan
baik oleh pihak KPK maupun pihak Polri.

Seperti apa sebenarnya dasar hukum kewenangan bagi institusi Polri, KPK, dan Kejaksaan?
Benarkah gesekan kewenangan yang dikandung aparat penegak hukum RI itu membuat
mereka rentan terhadap konflik? Langkah politik apa yang bisa dilakukan ketika benturan itu
terjadi dan langkah politik apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki gesekan kewenangan
jika memang ada?

Memulai pembahasan konflik antara Polri dan KPK dengan kasus Budi Gunawan yang
sebenarnya bukan kasus pertama yang melibatkan dua nama institusi ini. Sebelumnya diketahui
bersama kasus lain yang muncul di tahun-tahun sebelumnya yaitu kasus Susno Duadji dan Djoko
Susilo yang juga mengangkat nama Polri dan KPK menjadi nama institusi yang rentan akan
konflik.

Perbedaan konflik KPK dan Polri yang melibatkan nama Budi Gunawan dengan konflik-konflik
yang terjadi sebelumnya adalah bahwa dua konflik sebelum ini dianggap menjadi persoalan
masing-masing elit, sedangkan pada konflik terakhir yang melibatkan nama Budi Gunawan tidak
hanya dianggap sebagai persoalan elit saja tetapi dianggap sebagai persoalan institusi terkait
yaitu Polri. Hal demikian terkait dengan awal mula konflik tersebut timbul, yaitu dari penetapan
status tersangka bagi Budi Gunawan yang merupakan Calon Tunggal Kapolri oleh KPK.
Dalam konflik ketiga kalinya antara KPK dan Polri ini dilanjutkan dengan laporan dan
pengkapan pimpinan KPK oleh Polri. Kedua pihak dianggap saling menggunakan wewenangnya
kepada pihak lawan dengan membawa dasar hukumnya masing-masing.

Tidak bisa dipungkiri, masyarakat pun dapat melihat pelanggaran etika yang dilakukan baik oleh
pihak KPK maupun Polri. Pada prosesnya KPK menetapkan status tersangka kepada Budi
Gunawan tanpa pernah memerksa terlebih dahulu. Selanjutnya KPK dianggap melewatkan
prinsip hukum yang sudah umum digunakan dalam penerapan hukum nasional maupun
internasional yaitu terdapat asas apabila seseorang dijatuhkan suatu beban kepadanya maka
terdapat hak asasi manusia (HAM) didalamnya, yaitu the right to be heard.
Faktanya bahwa seharusnya dalam penegakan hukum, tujuan dan cara merupakan dua hal yang
sama penting dan tidak dapat dipisahkan. Hukum tidak dapat mencapai tujuannya tanpa
memperhatikan cara-cara yang benar dan baik dalam pencapaian tujuannya, karena tidak
mungkin tujuan yang baik dapat tercapai dengan cara yang tidak baik. Sayangnya sejauh ini
tujuan selalu dianggap lebih penting sehingga mengabaikan cara yang dilakukan untuk mencapai
tujuan tersebut. Hal tersebut yang seakan-akan diabaikan oleh KPK dan Polri dalam proses
penegakan hukum terkait kasus elit dalam dua institusi tersebut sehingga muncul lah pandangan
masyarakat bahwa terdapat pelanggaran etika yang dilakukan baik oleh KPK maupun Polri.

Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah tentang kebijakan Presiden Joko Widodo terkait
dalam konflik ini. Mengapa seakan-akan Presiden Joko Widodo mengabaikan catatan merah
Budi Gunawan selaku Calon tunggal Kapolri, sedangkan dalam pemilihan jajaran menteri
misalnya, Presiden Joko Widodo sangan memperhatikan betul catatan sejarah para nama?

Penyebab Ketegangan antara Polri dan KPK


Ketegangan yang terjadi antara Polri dan KPK dapat dimulai dari melihat latar belakang
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Latar belakang dibentuknya KPK ini yaitu
bentuk semangat reformasi yang menuntut pemerintahan yang bersih, yang justru kenyataannya
berbanding terbalik dimana tindak pidana korupsi merajalela hamper disetiap lembaga
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Dari kenyataan tersebut maka diketahui bersama
bahwa korupsi merupakan permasalahan inti yang terus menerus menggerogoti negara sehingga
korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Namun, pada kenyataannya
masyarakat dan publik tidak lagi percaya kepada institusi yang memang meiliki wewenang
menangani permasalahan korupsi ini yaitu Polri dan Kejaksaan. Hilangnya kepercayaan
masyarakat ini didasari oleh berbagai hal, beberapa contohnya yaitu bahwa Polri dan Kejaksaan
dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memberantas permasalah korupsi yang semakin
marak dalam badan pemerintahan, selanjutnya kenyataan-kenyataan yang ada bahwa institusi
tersebut juga terbukti terlibat dalam kasus-kasus korupsi yang seharusnya menjadi wewenangnya
untuk memberantas permasalahan tersebut. Selanjutnya lahir juga tanggapan bahwa
pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan dengan cara lazim sebagaimana telah dilakukan
Polri dan Kejaksaan dalam menjalankan wewenangnya, maka lahirlah pemikiran untuk
membentuk institusi baru yang memiliki cara lain dengan pemberian kewenangan guna
memberantas permasalahan korupsi guna membangun pemerintahan yang baik dan bersih.

Lahirnya KPK tidak terlepas dari harapan bahwa Polri dan Kejaksaan dapat ber-reformasi, hal
tersebut dibuktikan dengan pembentukan KPK hanya sebagai lembaga ad hoc (tidak permanen).
Namun sebagai lembaga ad hoc, KPK memiliki kewenangan yang luar biasa. Salah satu
perbedaan KPK dengan Polri dan Kejaksaan adalah Polri dan Kejaksaan Agung bergerah
dibawah Presiden dan memiliki pertanggungjawaban kepada Presiden. Sedangkan KPK tidak
dapat dipengaruhi oleh eksekutif termasuk didalamnya Presiden, legislative, dan yudikatif karena
KPK bertanggungjawab hanya kepada public. Hal tersebut yang menjadi dasar permasalahan
dengan lahirnya KPK dengan kewenangan yang dimilikinya yang justru menjadi rentan konflik
dengan institusi yang sudah ada sebelumnya yaitu Polri. KPK dan Polri dalam wewenang yang
dimilikinya menangani objek yang sama sehinggan terjadi persaingan anatara KPK dan Polri
yang kemudian menjadi sumber masalah anatara kedua intsitusi ini. Dalam UU No. 3o Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 11 bahwa KPK
berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) tetapi pada
kenyataannya KPK tidak hanya menangani kasus korupsi yang menyangkut kerugian negara
diatas Rp 1.000.000.000 saja, sehingga terlihat bahwa KPK seakan-akan mengeksten
kewenangannya sendiri dan mengambil kewenangan orang lain.

Setelah reformasi, kepercayaan public sangat menentukan eksistensi suatu institusi dalam negara,
hal ini yang sekarang dimiliki oleh KPK. KPK sudah menjadi institusi yang sangat dipercaya
oleh publik. Hal tersebut seiring dengan prestasi KPK yang menunjukan hasil kerja yang
dianggap spektakuler terkait dengan penangkapan berbagai nama termasuk menteri, anggota
parlemen, elit partai politik, aparat kejaksaan dan lainnya atas keberanian KPK untuk membuka
kasus korupsi yang ada. Selanjutnya KPK juga berhasil membuat sistem organisasi yang bersih
dan telah mampu membangun budaya organisasi yang menakjubkan, sehingga sampai saat ini
KPK masih menjadi institusi yang memberi angin segar dan harapan baru kepada masyarakat
Indonesia untuk terwujudnya cita-cita reformasi yaitu pemerintahan Indonesia yang bersih dan
berwibawa. Namun justru kepercayaan dari publik ini yang justru seakan membuat semakin
luasnya wewenang KPK sehingga rentan terjadi konflik dengan institusi lain yang memiliki
objek yang sama dengan KPK.

Dari konflik yang telah terjadi antara KPK dan Polri dapat dilihat bahwa kedua institusi tersebut
kurang memperhatikan kultural bangsa dalam menjalankan wewenangnya masing-masing.
Sehingga yang terjadi adalah persaingan antara KPK dan Polri karena menangani objek yang
sama dengan masing-masing wewenangnya.

Pada kenyataannya konflik yang terjadi tidak secara langsung berkaitan dengan institusi tetapi
lebih menyangkut kepada elit kedua belah pihak. Namun seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, gesekan kewenangan antara institusi tersebut yang menyebabkan berbagai hal
terasa sensitive sehingga melibatkan nama institusi tersebut.

Segi kelembagaan itulah yang kemudian menjadi salah satu akar permasalahan yang terjadi
antara KPK dan Polri. Hal ini tentu membutuhkan solusi guna menghindari permasalahan yang
sama terjadi lagi. Solusi yang dapat mencabut akar permasalahan tersebut adalah dengan cara
pembantasan masing masing wewenang institusi secara konkrit dan lebih jelas. Bisa dimulai
dengan KPK yang dapat dialihkan fungsinya yaitu fokus sebagai komisi pencegahan tindak
pidana korupsi, dilihat dari berbagai prestasi yang dimiliki KPK yang faktanya tidak juga
menghilangkan permasalahan korupsi yang terus menerus timbul menjadi permasalahan bangsa
dan negara. Hal tersebut akan meminimalisir gesekan yang terjadi antara KPK dan Polri akibat
benturan wewenang seperti yang terjadi pada saat ini, sehingga KPK dapat menjalankan fungsi
preventif dari tindak pidana korupsi. Tentu solusi tersebut dapat diterapkan dengan catatan
bahwa Polri dan Kejaksaan dapat bereformasi untuk menarik kepercayaan publik guna
menjalankan wewenangnya untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi.

Penerapan solusi secara efektif yang berdampak kepada tidak adanya lagi konflik antara KPK
dan Polri tentu menjadi harapan kita bersama, karena konflik tersebut selalu dapat memberikan
dampak yang luas terhadap perpolitikan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai