LAPORAN PENDAHULUAN Hiperbilirubin
LAPORAN PENDAHULUAN Hiperbilirubin
KONSEP MEDIS
1. DEFINISI
Menurut Slusher (2013) Hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana
produksi bilirurin yang berlebihan di dalam darah. Menurut Lubis (2013),
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis tersering ditemukan
pada bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses fisiologis, atau patologis, atau
kombinasi keduanya.
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana
kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan
ditandai adanya ikterus yang bersifat patologis (Alimun,H,A : 2005). Jadi, dari
beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa hiperbilirubin merupakan
suatu kondisi di mana kadar bilirubin yang berlebihan dalam darah yang biasa
terjadi pada neonatus baik secara fisologis, patologis maupun keduanya.
3. KLASIFIKASI
a. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang
tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang
membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang
mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang
disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah
ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987), dan
(Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
1) Timbul pada hari kedua - ketiga.
2) Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
4) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
5) Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
6) Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
7) Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia
dengan karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi, 2003) bila:
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus <
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G6PD dan sepsis).
Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi,
hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
b. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi
bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan
15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
c. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus subtalamus, hipokampus, nukleus
merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada
neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan
disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin
pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang
terjadi secara kronik.
(Sumber: Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I, 2005)
4. ETIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena
keadaan sebagai berikut;
a. Polychetemia (Peningkatan jumlah sel darah merah)
b. Isoimmun Hemolytic Disease
c. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
d. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid,
kloramfenikol)
e. Hemolisis ekstravaskuler
f. Cephalhematoma
g. Ecchymosis
h. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi
empedu (atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia,
hipotiroid jaundice ASI
i. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya
ikatan albumin; lahir prematur, asidosis.
(Sumber: IDAI, 2011)
6. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan
masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin.
Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah
menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber
lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan
protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau
dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi
enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi,
misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu
intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan
jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat
indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin
tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini
disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan
neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak
apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia,
hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena
trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan
pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang,
atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu
Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut
mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan
hipoglikemia.
(Sumber: IDAI,2011)
7. KOMPLIKASI
a. Bilirubin encephahalopathi
b. Kern ikterus ;kerusakan neurologis ; cerebral palis, retardasi mental,
hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinat otot dan tangisan yang
melengking.
c. Asfiksia
d. Hipotermi
e. Hipoglikemi
(Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
1) Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin
lebih dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl
merupakan keadaan yang tidak fisiologis.
2) Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
3) Protein serum total.
b. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
c. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan
hapatitis dan atresia billiari.
(Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)
9. PENATALAKSANAAN
a. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini
(pemberian ASI).
b. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran,
misalnya sulfa furokolin.
c. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
d. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar
konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang
mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik
pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
e. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
f. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis
dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan
urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
g. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto
terapi.
(Sumber: IDAI, 2011)
2. DIAGNOSA
a. Resiko tinggi cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan
komplikasi berkenaan phototerapi.
b. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi
c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. phototerapi
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan
tanda-tanda
malnutrisi
Terjadi
peningkatan BB
DAFTAR PUSTAKA