Cuaca Ekstrim Adalah Keadaan Atau Fenomena Atmosfer Di Suatu Tempat
Cuaca Ekstrim Adalah Keadaan Atau Fenomena Atmosfer Di Suatu Tempat
pada waktu tertentu dan berskala jangka pendek. Cuaca ekstrim yang biasanya
terjadi diwilayah kita antara lain: suhu udara yang tinggi, angin puting beliung,
intensitas curah hujan yang tinggi, longsor dan kebakaran hutan.
Beberapa peristiwa yang termasuk cuaca ekstrim antara lain:
1. Angin ribut/angin puting beliung adalah angin kencang yang berputar
sehingga dasar awan comulunimbus menyentuh daratan dengan kecepatan
mencapai 175 km/jam namun intensitasnya masih dibawah Tornado.
2. Hujan lebat yang memiliki curah hujan 1 hari > 50 mm.
3. Tinggi gelombang laut yang mencapai > 2m.
4. Tornado adalah kolom udara yang berputar kencang yang membentuk
hubungan antara awan cumulonimbus atau dasar awan cumulus dengan
permukaan tanah. Tornado memiliki kecepatan angin mencapai
177 km/jam.
5. Badai dan badai tropis yang menimbulkan kerusakan.
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25014/4/Chapter%20II.pdf
Metrotvnews.com, Jakarta: Indonesia sering dilanda cuaca ekstrem, seperti
curah hujan tinggi, puting beliung, dan kekeringan. Cuaca ekstrem merupakan
kondisi cuaca, baik temperatur, curah hujan maupun kecepatan angin, yang
tidak biasa, memiliki intensitas yang sangat tinggi atau sangat rendah.
"Keduanya merupakan bahan bakar dari proses konveksi yang sangat aktif,
sehingga wilayah ini merupakan penghasil awan dan hujan terbesar di dunia,"
kata Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lapan Dadi Setiadi dalam konferensi
pers di Kantor Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Pusat, Rabu (26/3/2014).
"Akan tetapi bencana di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor lain, seperti
kondisi populasi, lingkungan, serta kemampuan kita (masyarakat) dalam
mengelola risiko bencana," kata Dadi.
DOR
http://news.metrotvnews.com/read/2014/03/26/223489/ini-penyebab-indonesia-
sering-dilanda-cuaca-ekstrem
Pemerhati sekaligus pakar lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri,
mengatakan, cuaca ekstrem yang melanda sebagian besar wilayah Tanah Air
adalah dampak dari terhambatnya siklus hidrologi.
"Banyangkan, sirkulasi air yang seharusnya tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan
kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi kini terasa kian
tersendat sehingga terjadi penumpukan penguapan yang akhirnya menyebabkan kondisi
ekstrem di berbagai wilayah Tanah Air," kata Ariful di Pekanbaru, Jumat (6/1).
Intinya, menurut Ariful, saat ini berbagai bentuk hidrologi di muka bumi sudah tidak
memiliki pola yang beraturan atau tidak terwujud seperti layaknya. "Hal ini bisa jadi karena
alam di wilayah kita tidak lagi terjaga dengan baik dan mengalami kerusakan parah," ujarnya.
Iklim mikro tersebut, kata dia, kemudian menyebar di berbagai kawasan, bahkan sudah
membentuk suatu tatanan lingkungan yang 'amburadul' atau serba tidak menentu. "Nah, hal
ini juga diakibatkan ekosistem yang ada diberbagai wilayah Tanah Air tidak bisa memberi
jaminan tatanan hidrologi yang kondusif atau tidak reguler lagi," tuturnya.
agai hal, yang pertama hutan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah tidak memadai
lagi, ditambah dengan kondisi lingkungan yang kian kritis. Kemudian, kondisi iklim yang
terjadi saat ini mengalami kecenderungan monokultur atau tidak lagi bersahabat dengan
lingkungan dan penghuninya.
"Sebagai akibatnya, tatanan terhadap hidrologi itu sudah tidak lagi memiliki sistem pusaran
yang baik," katanya. Ariful mencontohkan Hutan Tanam Insdustri (HTI), misalnya perluasan
kebun sawit yang 'membabi buta', kesumuanya 'merampok' daerah tangkapan air seperti
aliran sungai dan anak sungai yang pada akhirnya menyebabkan bencana alam seperti banjir
dan tanah longsor.
Konsekuensi logisnya, ucap dia, perubahan iklim mendera lingkungan, kemudian ditambah
lagi sikap pemerintah dalam menangani masalah lingkungan yang tidak realistis.
"Seharusnya, pemerintah melakukan antisipasi jangka panjang, yakni dengan penghijauan
kembali, atau menghidupkan lagi hutan-hutan yang telah dirusak atau beralih fungsi menjadi
lahan perkebunan," tuturnya.
Namun upaya tersebut menurut Ariful tetap harus diawali dengan pemetaan daerah tangkapan
air, baik itu skala kecil maupun skala besar. "Kalau itu tidak dilakukan secepatnya, atau tidak
dimulai dengan pembibitan, penanaman dan penataan, maka akan semakin sulit mengatasi
perubahan iklim yang sangat drastis," demikian Ariful
http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/01/06/lxcuef-ini-dia-
faktor-penyebab-cuaca-ekstrem-di-indonesia