Anda di halaman 1dari 23

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK GEOLOGI

LAPORAN PROPOSAL
EKSPLORASI BATUBARA DAERAH KARAUPA
KABUPATEN MOROWALI, PROVINSI SULAWESI TENGAH

DIBUAT OLEH :

NAMA : MOH EDWIN


NO.MHS : F 121 14 051

TAHUN 2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18
Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Pusat Sumber Daya Geologi sebagai salah satu unit eselon II di Badan Geologi,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mempunyai tugas pokok dan fungsi
menyelenggarakan penelitian, penyelidikan dan pelayanan bidang sumber daya geologi,
diantaranya adalah sumber daya batubara.
Sejalan dengan tupoksi di atas maka Pusat Sumber Daya Geologi pada tahun
anggaran 2015 melakukan kegiatan berupa Penelitian Batubara di daerah morowali,
Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Pemilihan daerah tersebut dilakukan
dalam rangka menunjang program pemerintah untuk pengembangan kawasan Indonesia
Timur khususnya daerah Sulawesi Tengah, dimana dalam hal ini sektor pertambangan
dan energi khususnya batubara diharapkan memberikan sumbangan yang penting, untuk
kemajuan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tengah.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud kegiatan penelitian pendahuluan batubara ini adalah untuk mengungkap
potensi dan wilayah keprospekan sumberdaya batubara daerah Karaupa dan sekitarnya di
Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
Tujuannya adalah untuk mengetahui informasi awal berupa data geologi melalui
kegiatan pemetaaan geologi permukaan yang difokuskan pada formasi pembawa
batubara. Selain itu pemercontoan batubara juga dilakukan untuk kepentingan analisis
laboratorium. Berdasarkan kompilasi data geologi dan analisis laboratorium, diharapkan
dapat diketahui potensi dan sumber daya batubara di daerah Kabupaten Morowali,
Provinsi Sulawesi Tengah. Hasil kompilasi data tersebut dituangkan dalam sebuah
laporan yang diharapkan dapat bermanfaat untuk kepentingan Pusat Sumber Daya
Geologi, pemerintah daerah serta pihak-pihak yang terkait.

1.3. Lokasi Penelitian dan Kesampaian daerah


Lokasi penelitian batubara terletak di daerah Karaupa dan sekitarnya dimana
daerah ini termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi
Tengah. Secara geografis daerah penyelidikan dibatasi oleh koordinat 12130 00 121
45 00 BT dan 2 10 00 2 25 00 LS.

Gambar 1. Lokasi Kegiatan Penelitian.

Daerah penelitian dapat dijangkau dari Kota Palu dengan kendaraan roda 4
dengan waktu tempuh sekitar 8 jam. Pelaksanaan kegiatan lapangan berlangsung selama
25 hari mulai tanggal 24 Maret-17 April 2015.

1.4. Peneliti Terdahulu


Beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh penelitik terdahulu diantaranya
dilakukan oleh Sukamto, 1975 yang membagi Pulau Sulawesi dan sekitarnya menjadi 3
Mandala Geologi yaitu : Mandala Geologi Sulawesi Barat, Mandala Geologi Sulawesi
Timur, Mandala Geologi Banggai Sula.

Gambar 2. Tatanan Tektonik Regional (Sukamto, 1990)

Daerah penelitian merupakan sebagian dari daerah yang telah dipetakan oleh T.O.
Simanjuntak, E. Rusmana, J.B. Supandjono, A. Koswara, 1993, yaitu Peta Geologi
Lembar Bungku, Sulawesi dan diterbitkan oleh P3G Bandung yang banyak dipakai
sebagai acuan geologi secara regional dalam berbagai penelitikan selanjutnya.
Berdasarkan cekungannya, daerah yang akan diselidiki masuk ke dalam Cekungan
Kendari (Badan Geologi, 2009).
Keterangan :

Lokasi Penelitian

Cekungan Tomori Banggai Selatan

Gambar 3. Cekungan Tomori-Banggai, Pulau Sulawesi Selatan (Badan Geologi, 2009).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Geologi Regional
Kondisi Geologi Pulau Sulawesi secara umum terletak pada pertemuan 3
Lempeng besar yaitu Eurasia, Pasifik dan Indo Australia serta sejumlah lempeng lebih
kecil (Lempeng Filipina) yang menyebabkan kondisi tektoniknya sangat kompleks.
Kompleksitas ini disebabkan oleh konvergensi antara tiga lempeng litosfer yaitu
lempeng Australia yang bergerak ke utara, lempeng Pasifik ke arah barat-bergerak, dan
lempeng Eurasia selatan-tenggara-bergerak.
Berdasarkan keadaan litotektonik Pulau Sulawesi dibagi 4 yaitu :
1. Mandala barat (West & North Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) sebagai jalur
magmatik (Cenozoic Volcanics and Plutonic Rocks) yang merupakan bagian ujung
timur Paparan Sunda, dicirikan oleh adanya jalur gunung api Paleogen Intrusi
Neogen dan sedimen Mesozoikum.
2. Mandala tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt) berupa batuan malihan yang
ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia.
3. Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa ofiolit yang merupakan
segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan sedimen berumur Trias-
Miosen, dicirikan oleh batuan Ofiolit yang berupa batuan ultramafik peridotite,
harzburgit, dunit, piroksenit dan serpentinit yang diperkirakan berumur kapur.
4. BanggaiSula and Tukang Besi Continental fragments kepulauan paling timur
Banggai-Sula dan Buton merupakan pecahan benua yang berpindah ke arah barat
karena strike-slip faults dari New Guinea, dicirikan oleh batuan dasar berupa batuan
metamorf Permo-Karbon, batuan batuan plutonik yang bersifat granitis berumur
Trias dan batuan sedimen Mesozoikum (Hamilton, 1979 dan Simanjuntak, 1991).
Berdasarkan tatanan tektoniknya, daerah penyelidikan berada pada Cekungan
Tomori-Banggai Selatan. Secara umum daerah penyelidikan terisi oleh batuan sedimen
yang memiliki potensi hidrokarbon dan batubara.

2.2. Stratigrafi Regional


Stratigrafi regional daerah penelitian merujuk pada peta geologi Lembar Bungku,
Sulawesi berskala 1:250.000 (Simanjuntak, dkk., 1993). Stratigrafi regional daerah
Morowali dapat dikelompokkan dari yang tertua sampai ke muda.
Gambar 4. Stratigrafi Regional, Sulawesi Tengah (Simanjuntak dkk, 1993).

Batuan tertua daerah penyelidikan adalah Formasi Tokala (Trj) berumur Trias
Jura (sampai pertengahan Jura), terdiri dari perselingan batugamping klastika, batupasir
sela, serpih, napal, dan lempung pasiran dengan sisipan argilit, kemudian diatasnya
diendapkan Formasi Nanaka berumur Jura, batuannya terdiri atas konglomerat, batupasir
mikaan, serpih dan lensa batubara.
Pada umur antara Jura bagian Atas-Pertengahan Kapur diendapkan Formasi
Masiku (Jkm), Formasi Masiku ini terdiri dari batusabak, serpih, filit, batupasir dan
batugamping.
Pada jaman Kapur diendapkan batuan sedimen dan batuan beku pembentuk
Komplek Ultramafik (Ku) dan Formasi Matano (Km). Komplek ultramafik terdiri dari
Harzburgit, iherzolit, wehrlit, websterit, serpentinit, dunit, diabas dan gabbro. Sedangkan
Formasi Matano (Km) terdiri dari kalsilutit, napal, dan serpih dengan sisipan rijang
radiolarian.
Kemudian pada masa Mio Plio diendapkan batuan sedimen yaitu Formasi
Tomata (Tmpt), Formasi Tomata ini terdiri dari perselingan antara batupasir,
konglomerat, batulempung dan tuf dengan sisipan lignit. Pada masa Holosen
diendapkanlah Aluvium (Qa) yang terdiri dari lumpur, lempung, pasir, kerikil dan
kerakal.
2.3. Struktur Geologi Regional
Mengacu pada peta geologi lembar Bungku Simanjuntak dkk. (1993), terlihat
bahwa struktur yang berkembang di daerah penyelidikan adalah sesar naik yang berarah
Baratdaya Timurlaut, begitupun dengan kelurusan punggungan hampir seluruhnya
mengarah ke Baratdaya Timurlaut.
2.4. Geologi Endapan Batubara
Secara geologi, daerah penelitian merupakan bagian dari Peta Geologi Lembar
Bungku (Simanjuntak, dkk., 1993). Berdasarkan peta tersebut, indikasi batubara terdapat
pada Formasi Tomata (Tmpt), pada formasi ini disebutkan bahwa terdapat lignit sebagai
sisipan pada batulempung.

Gambar 5. Peta Geologi Daerah Penelilitian.


(Sumber : Peta Geologi Lembar Bungku, T.O. Simanjuntak dkk, P3G 1993).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Kegiatan penelitian yang dilakukan dikategorikan menjadi dua yaitu pekerjaan non
lapangan dan pekerjaan lapangan. Pekerjaan non lapangan antara lain terdiri dari
pengumpulan data sekunder, analisis laboratorium dan pengolahan data. Sedangkan pekerjaan
lapangan yaitu eksplorasi langsung di lapangan dimana kegiatan yang dilakukan diantaranya
pemetaan geologi endapan batubara.
3.1. Pekerjaan non lapangan
Pekerjaan non lapangan dilakukan sebelum kegiatan lapangan dimulai. Kegiatan
yang dilakukan pada tahap ini diantaranya adalah :
Studi literatur (data sekunder) mengenai daerah yang dituju.
Evaluasi data sekunder
Membuat rencana kerja lapangan
Persiapan peta dan peralatan survei.
3.2. Pekerjaan lapangan
Pekerjaan lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang merupakan
hasil pemetaan geologi batubara. Kegiatan yang dilakukan dalam pekerjaan lapangan
diantaranya :
Mencari lokasi singkapan-singkapan batubara berdasarkan informasi yang
pernah didapatkan, kemudian mengembangkan informasi tersebut
berdasarkan temuan yang didapatkan dilapangan.
Mengukur kududukan dan tebal lapisan kemudian dilakukan pemerian
terhadap singkapan tersebut, dan diplotkan pada peta dasar/peta topografi
skala 1 : 50.000.
Pengamatan pada formasi lainnya yang diduga sebagai formasi pembawa
endapan batubara.
Membuat penampang terukur pada formasi-formasi yang dianggap
penting.
Dokumentasi singkapan seperlunya.
Pengambilan conto batubara untuk keperluan analisis labolatorium.

3.3. Analisis Laboratorium


Analisis laboratorium yang dilakukan antara lain :
Analisis kimia batubara yang meliputi analisis proksimat, ultimat dan analisa abu
Analisis petrografi organik batubara
3.4. Analisis Kimia Batubara
Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat dan ultimat,
diantaranya untuk mengetahui kandungan air, zat terbang, karbon tertambat, sulfur total,
berat jenis batubara, kalori serta kandungan abu. Analisis abu sangat penting pada
penggunaan energi batubara dalam industri, diantaranya untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya pengerakan dalam dinding alat (Furnace). Besar kecilnya pengerakan
(Slagging) dapat dihitung berdasarkan perhitungan rasio asam-basa. Untuk menghitung
Slagging Index diperlukan data kandungan sulfur. Rumus untuk mencari slagging index
adalah Slagging Index = Rasio Asam-Basa x Kandungan Sulfur.
3.5. Analisis Petrografi Organik
Analisis petrografi organik terdiri dari dua analisis pokok yaitu analisa reflektansi
vitrinit yang berguna untuk mengetahui rank batubara/derajat pembusukan dan analisis
komposisi maseral yang bertujuan untuk mengetahui maseral pembentuk batubara
sekaligus mengetahui kandungan pengotor atau mineral matter secara mikroskopis.

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian
Topografi daerah penelitian berada pada ketinggian 50700 m dpl. Daerah
terendah berada di sepanjang garis pantai barat sedangkan daerah tertinggi berada di
bagian timurlaut daerah penyelidikan.
Morfologi daerah penelitian terdiri atas 3 satuan morfologi yaitu satuan
pegunungan berelief terjal, satuan morfologi pegunungan berelief sedang sampai landai
dan satuan morfologi dataran rendah.
Morfologi dataran tinggi terdapat sekitar 60 % yang merupakan daerah
pegunungan dan berlereng-lereng, pada umumnya menempati daerah timurlaut daerah
penelitian sedangkan morfologi pegunungan berelief sedang sampai landai menempati
hampir 25 % menyebar hampir di sebagian besar daerah penelitian. Satuan morfologi
dataran rendah terdiri atas dataran rendah dan aluvium, terutama menempati bagian barat
daerah penelitian.
Di daerah penelitian tidak dijumpai adanya aliran sungai yang besar, pola aliran
yang berkembang di daerah penyelidikan pada umumnya berupa aliran sungai Paralel-
Sub Paralel, pola aliran sungai ini lebih dikontrol oleh kondisi litologi dan pengaruh
struktur geologi yang terjadi.
Stadium erosi sungai dapat diklasifikasikan sebagai perpaduan antara stadium
muda dan stadium dewasa, dimana pada umumnya pada tahap stadium dewasa sungai
tersebut sudah berada sekitar 3-5 km dari garis pantai.

Gambar 6. Satuan Morfologi Daerah.


4.2. Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi regional daerah penelitian merujuk pada peta geologi Lembar Bungku
(Simanjuntak, dkk., 1993) berskala 1:250.000. Berikut urutan batuan di daerah
penyelidikan dari batuan tertua hingga batuan termuda :
Batuan tertua daerah penelitian adalah Formasi Tokala (Trj) berumur Trias Jura
(sampai pertengahan Jura), terdiri dari perselingan batugamping klastika, batupasir sela,
serpih, napal, dan lempung pasiran dengan sisipan argilit, kemudian pada umur antara
Jura bagian Atas-Pertengahan Kapur diendapkan Formasi Masiku (Jkm), Formasi
Masiku ini terdiri dari batusabak, serpih, filit, batupasir dan batugamping.
Pada jaman Kapur diendapkan batuan sedimen dan batuan beku, yaitu Komplek
Ultramafik (Ku) dan Formasi Matano (Km). Komplek ultramafik terdiri dari Harzburgit,
serpentinit, dunit, diabas dan gabbro sedangkan Formasi Matano (Km) terdiri dari
kalsilutit, napal, dan serpih dengan sisipan rijang radiolarian. Kemudian pada masa Mio
Plio diendapkan batuan sedimen yaitu Formasi Tomata (Tmpt), Formasi Tomata ini
terdiri dari perselingan antara batupasir, konglomerat, batulempung dan tuf dengan
sisipan lignit. Pada masa Holosen diendapkanlah Aluvium (Qa) yang terdiri dari lumpur,
lempung, pasir, kerikil dan kerakal.
Gambar 7. Stratigrafi Daerah Karaupa (modifikasi dari Simanjuntak dkk, 1993)

4.3. Struktur Geologi Daerah Penyelidikan


Mekanisme terbentuknya sesar-sesar di daerah penelitian dan umumnya di
Sulawesi dipicu oleh gabungan antara mikrokontinen Benua Australia dan mikro-
kontinen Sunda yang terjadi sejak Miosen. Pergerakan dari pecahan lempeng Benua
Australia tersebut relatif ke arah barat. Adanya sesar utama seperti sesar Palu-Koro dan
Sesar Walanae juga memberikan peranan dalam pembentukan sesar-sesar kecil di
sekitarnya. Data dan hasil analisis struktur geologi, seperti pola kelurusan dan arah
pergerakan relatif sesar, mengindikasikan bahwa deformasi di daerah penelitian
dipengaruhi oleh aktivitas Sesar Mendatar Palu-Koro dan terusan Sesar Mendatar
Walanae.
Pada skala yang lebih besar yaitu di daerah penelitian, pola kelurusan sesar
umumnya berarah Utara Baratdaya Selatan Tenggara dimana pada beberapa tempat
sesar sesar tersebut terpotong oleh sesar berarah Timurlaut Baratdaya. Sesar yang
terjadi tersebut diperkirakan berumur Plio-Plistosen yang mengakibatkan hampir semua
formasi yang ada mengalami pensesaran.
4.4. Data Lapangan dan Interpretasi
Hampir 50% daerah penelitian didominasi oleh batulempung, batupasir dan
konglomerat dari Formasi Tomata (Miosen Atas - Pliosen). Tingkat pelapukan batuan
pada Formasi Tomata umumnya sangat tinggi dan kemiringan lapisan umumnya landai
sehingga sulit untuk menemukan singkapan batuan yang baik untuk dilakukan
pengukuran jurus dan kemiringan lapisan. Pada umumnya bagian bawah dari Formasi
Tomata di daerah penyelidikan merupakan lapisan konglomerat. Lapisan batubara pada
Formasi Tomata di dapatkan secara terbatas sebagai sisipan pada lapisan batulempung
berwarna abu-abu dan batulempung berwarna hitam. Tebal batubara bervariasi antara 20
cm sampai 30 cm.

4.5. Sebaran Batubara di daerah Penyelidikan


Selama penelitian berlangsung hanya ditemukan 3 singkapan batubara yaitu MW-
03, MW-07 dan MW-08.
Gambar 8. Peta Geologi dan Sebaran Batubara Daerah Karaupa dan Sekitarnya, Kabupaten Morowali,
Provinsi Sulawesi Tengah

Data singkapan batubara tersebut dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini :
Tabel 1. Data singkapan batubara
4.6. Interpretasi Lapisan Batubara
Rekonstruksi sebaran batubara daerah penyelidikan dilakukan ber-dasarkan data
singkapan. Diperkirakan terdapat 3 lapisan batubara (Lapisan a, b dan c) dengan arah
sebaran relatif Utara-Selatan.
Lapisan A
Singkapan MW-03 mewakili Lapisan a, dimana dari singkapan ini
diinterpretasikan lapisan menyebar secara lateral dengan arah Utara-Selatan. Panjang
lapisan ke arah lateral yang diyakini kontinuitasnya sejauh 500 m dari singkapan ke
bagian kiri dan 500 m kearah kanan. Total panjang lapisan a kearah jurus yang
dihitung sumber dayanya adalah 1.000 m dengan kemiringan lapisan ke arah Barat
sebesar 10, sedangkan tebal lapisan yang diketahui 0,25 m.
Lapisan B
Lapisan b diinterpretasikan ber-dasarkan singkapan MW-07, lapisan ini
menyebar kearah lateral dengan arah Utara-Selatan. Panjang lapisan ke arah lateral
yang diyakini kontinuitasnya sejauh 1.000 m dengan kemiringan lapisan 10 relatif ke
arah Barat. Lapisan b merupakan sisipan tipis batubara dengan tebal 0,20 m dalam
lapisan batulempung berwarna abu abu tua.

Lapisan C
Singkapan MW-08 mewakili lapisan c, dimana dari singkapan ini diinterpre-
tasikan sebagai lapisan yang menyebar secara lateral dengan arah Utara-Selatan.
Panjang lapisan ke arah lateral yang diyakini kontinuitasnya sejauh 500 m dari
singkapan ke bagian kiri dan 500 m kearah kanan. Total panjang lapisan kearah jurus
yang dihitung sumber dayanya adalah 1.000 m dengan kemiringan lapisan 12 ke
arah Timurtlaut, sedangkan tebal lapisan yang diketahui hanya 0,20 m.
4.7. Kualitas Batubara di daerah Penelitian.
Analisis kimia dan petrografi organik batubara dilakukan dalam upaya
mengetahui kandungan penyusun batubara dan kualitasnya. Analisis kimia dilakukan
terhadap contoh batubara meliputi analisis proksimat dan ultimat, diantaranya untuk
mengetahui kandungan air, zat terbang, karbon tertambat, sulfur total, berat jenis
batubara, kalori serta kandungan abu. Sedangkan pengamatan petrografi organik
batubara dilakukan untuk mengetahui komposisi maseral dan tingkat kematangan
batubara. Semua pengujian laboratorium ini dilakukan di Laboratorium kimia dan fisika
mineral Pusat Sumber Daya Geologi Bandung. Keseluruhan data yang didapat baik dari
hasil kegiatan lapangan maupun dari hasil analisis laboratorium selanjutnya diolah dan
dituangkan dalam satu bentuk laporan akhir.
4.8. Megaskopis
Lapisan batubara pada Formasi Tomata di daerah penelitian hadir secara terbatas
sebagai sisipan pada lapisan batulempung berwarna abu-abu dan batulempung berwarna
hitam. Tebal batubara bervariasi antara 20 cm sampai 30 cm. Secara megaskopis
kenampakan batubara pada Formasi Tomata di daerah penelitian, berwarna coklat
kehitaman, kusam, berlapis- menyerpih, belahan memanjang, mengotori tangan, dan
masih terlihat struktur daun.
4.9. Hasil Analisis Laboratorium
Hasil analisis kimia batubara yang dilakukan di Laboratorium Pusat Sumber Daya
Geologi dengan memakai Standard Metode ASTM disarikan pada tabel 2, 3 dan 4
dibawah ini.
Tabel 2. Hasil Analisis Kimia Batubara Daerah Penelitian

Tabel 3. Kisaran dan Nilai Rata-rata Mutu Batubara Penelitian

Tabel 4. Kisaran dan Nilai Rata-rata Abu Batubara Penelitian


4.10. Analisis Proximate dan Ultimate
Hasil analisis 3 contoh batubara menunjukan bahwa pada umumnya batubara di
daerah penelitian tidak memperlihatkan perbedaan kualitas yang mencolok. Kalori
batubara berkisar antara 2933-3859 kal/gram adb atau rata-rata sekitar 3427,33
kal/gram adb, kecuali pada contoh MW-07 dimana contoh yang dianalisa kemungkinan
tercampur dengan pengotor, karena contoh batubara yang dihasilkan hancur dan
tercampur dengan pengotor tersebut sehingga mengakibatkan mening-katnya kadar abu,
yakni mencapai 41,96 % adb; selain itu kandungan Karbon Tertambat relatif paling
kecil yaitu sekitar 19,73 % adb.
Kandungan air pada umumnya cukup rendah antara 8,34-9,64 % adb,
kandungan zat terbang pada umumnya juga relatif rendah antara 8,34-9,64 % adb.
Kandungan sulfur pada umumnya lebih kecil dari 1% atau berkisar antara 0,43-0,57 %
adb. Kandungan sulfur terbesar adalah pada MW-08 yaitu 0,57 % adb. Nilai HGI
menunjukan angka yang bervariasi antara 39,23-48,21 dengan nilai HGI tertinggi
ditunjukan oleh conto MW-07 yakni 48,21. Hasil analisis ultimat menunjukan bahwa
kandungan unsur C, H, N dan O dari masing-masing conto pada umumnya tidak jauh
berbeda.
4.11. Petrografi Organik
Analisis petrografi organik terdiri dari dua yaitu analisa reflektansi vitrinit yang
berguna untuk mengetahui rank batubara/derajat kematangan dan analisis komposisi
maseral yang bertujuan untuk mengetahui maseral pembentuk batubara sekaligus
mengetahui kandungan pengotor atau mineral matter secara mikroskopis.
Analisis petrografi organik dilakukan terhadap 3 contoh batubara menunjukan
bahwa nilai vitrinit reflektan rata-rata adalah 0.33 %. Hal ini menunjukan bahwa
batubara di daerah penyelidikan mempunyai tingkat kematangan yang masih rendah
(immature).
Hasil analisis maseral menunjukan bahwa batubara di daerah Karaupa
didominasi oleh kandungan Vitrinit yang tinggi yakni 85%. Maseral Liptinit rata-rata
antara 0,7% - 2,4%, sedangkan inertinit antara 0,6% - 1,6%. Mineral matter
menunjukan kandungan mineral lempung 7,3% - 14,5%, oksida besi 0,8% - 1,1 % dan
pyrit antara 0,2% - 1,6%.

4.12. Analisis Abu


Analisis abu sangat diperlukan untuk menghitung Rasio-Asam basa sebagai
dasar untuk menentukan besar kecilnya Slagging dan Fouling pada batubara. Rasio
asam-basa dihitung berdasarkan unsur alkali berbanding dengan asam.
Berdasarkan data analisa abu diatas maka angka Rasio alkali dalam abu pada
conto batubara di daerah penyelidikan adalah 0,22 sedangkan Slagging indeks dihitung
berdasarkan nilai rasio asam basa dikalikan dengan kandungan sulfur adalah sebesar
0,11.
4.13. Slagging Indeks
Karakteristik slagging ditentukan berdasarkan perhitungan rasio unsur alkali
terhadap unsur asam, dengan kadar sulfur. Slagging indeks sangat penting pada
penggunaan energi batubara dalam industri diantaranya untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya pengerakan dalam dinding alat (Furnace). Besar kecilnya
pengerakan (Slagging) dapat dihitung berdasarkan perhitungan rasio asam-basa.
Berdasarkan pada Coal quality parameters and their influence in coal utilisation
(Shell International Petroleum Co. Ltd, 1975) disebutkan bahwa batasan nilai rasio
asam-basa berkisar antara 0,10-1,00, adapun nilai rasio asam-basa di daerah
penyelidikan adalah 0,22 Apabila nilai tersebut lebih tinggi dari 1.00 maka
pengerakannya dianggap tinggi sekali sehingga tidak perlu dihitung Slagging
Indexnya.
Hasil perhitungan slagging index batubara di daerah Karaupa adalah 0,11 atau
berada di bawah ambang batas Low Slagging, dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Slagging indeks di daerah penyelidikan adalah rendah.
4.14. Fouling
Fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu pada dinding
penghantar panas (super heater maupun re-heater) yang dipasang di lingkungan
dimana suhu gas pada bagian belakang furnace lebih rendah dibandingkan suhu
melunak abu (ash softening temperature). Unsur yang paling berpengaruh pada
penempelan abu ini adalah material basa terutama Na, yang dalam hal ini adalah kadar
Na2O. Bila kadar abu batubara banyak, kemudian unsur basa dalam abu juga banyak,
ditambah kadar Na2O yang tinggi, maka fouling akan mudah terjadi.
Evaluasi karakteristik fouling sama dengan untuk slagging, yaitu dinilai
berdasarkan rasio unsur basa dan asam, serta kadar Na2O di dalam abu. Jika nilai
nilai tadi tinggi, maka secara umum kecenderungan fouling juga meningkat.
4.15. Sumber Daya Batubara
Dasar perhitungan sumber daya batubara adalah penyebaran ke arah lateral yang
didapatkan dari korelasi beberapa singkapan yang diamati dengan beberapa pembatasan
sebagai berikut :
a. Penyebaran ke arah jurus (Panjang) satu lapisan adalah panjang lapisan yang
dihitung berdasarkan singkapan yang dapat dikorelasikan dan dibatasi sejauh 500 m
dari singkapan terakhir.
b. Penyebaran ke arah kemiringan (Lebar) lapisan adalah lebar lapisan yang dibatasi
sampai kedalaman 50 m dihitung tegaklurus dari permukaan singkapan, sehingga
lebar singkapan adalah :
L = 100/ sin , dimana
adalah sudut kemiringan lapisan
c. Tebal adalah tebal rata-rata lapisan Batubara yang termasuk dalam lapisan tersebut.
d. Sumberdaya Batubara dalam tiap lapisan dapat dihitung dengan rumus :

4.16. Prospek Pemanfaatan Batubara


Hasil pemetaan geologi batubara menunjukkan bahwa ketebalan singkapan
batubara yang dijumpai hanya berkisar antara 20 sampai 30 cm. Singkapan batubara
juga sulit dijumpai di daerah penelitian, sehingga diperkirakan penyebaran batubara
tidak menerus. Selain itu, ditinjau dari kualitanya, batubara di daerah penelitian
termasuk dalam kelas Lignit, sehingga dapat disimpulkan bahwa batubara di daerah
tersebut tidak mempunyai prospek lebih jauh untuk dikembangkan.

BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
1. Formasi pembawa batubara di daerah penelitian yaitu Formasi Tomata.
2. Sumber daya hipotetik batubara daerah penelitian diperkirakan sebesar 524.060,0
Ton.
3. Hasil analisis kimia dan petrografi organik menunjukkan bahwa atubara di daerah
penelitian dikategorikan sebagai Lignit.
4. Mengingat terbatasnya sebaran lapisan batubara dan rendahnya kualitas batubara
(lignit) maka batubara di daerah penelitian tidak mempunyai prospek yang bagus
untuk dikembangkan lebih jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Subarnas A., 2000. Laporan Survei Tinjau Batubara Permian di daerah Timika, Kabupaten
Mimika, Provinsi Irian Jaya. Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
Amstrong F. Sompotan, 2012. Stuktur Geologi Sulawesi. Perpustakaan Sains Kebumian
Institut Teknologi Bandung
Badan Geologi, 2009. Peta Cekungan Sedimen Indonesia Berdasarkan Data Gaya Berat dan
Geologi. Skala 1:5.000.000, Bandung
Koesoemadinata, R.P., 1989, Geologi Minyak dan Gas Bumi. Institut Teknologi Bandung.
Simanjuntak, T.O., Rusmana, E., Supandjono, J.B., dan Koswara, A., 1993. Peta Geologi
Lembar Bungku, Sulawesi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Vincelette, R.R., 1973. Reef exploration in Irian Jaya, Indonesia. Indon. Petroleum Assoc.
2nd Ann. Conv. Proc., p. 234-278.
Surono, 2009. Geologi lengan Tenggara Sulawesi. Badan Geologi Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral.

Anda mungkin juga menyukai