Anda di halaman 1dari 5

BELAJAR PADA HAJAR

Bila sdg berada di bulan Dzulhijjah, seluruh umat


Islam pasti teringat dgn kisah Ibrahim, Ismail dan
Hajar. Ada yg teringat dgn kisah anjuran berkurban
bagi yg mampu. Ada yg teringat akan kepatuhan
dan ketaatan Ismail terhadap ayahnya, Ibrahim Ada
yg teringat akan kisah perjuangan Hajar dgn Ismail
saat ditinggal Ibrahim di Mekah, yg saat mereka
ditinggal masih dalam kondisi lembah yg gersang
dan ditumbuhi rerumputan dan akasia.






Di dalam buku "Misteri Kabah", buku terjemahan
dari The Kabah yg diterbitkan penerbit Zaman,
dicantumkan kisah perjuangan Hajar. Saat pertama
kali dibawa Ibrahim dari Kanaan menuju lembah
yg gersang, sungguh, Hajar penuh dgn ketakutan.
Pasalnya, suku Amaliqah yg suka berkemah saja,
setelah beberapa hari bermukim di sana, tak pernah
lagi ingin mengunjungi lembah tsb lantaran susah
mendapatkan air dan makanan ternak.
Saat tiba di lembah tsb tampak sekali kegelisahan,
kebingungan, dan ketakutan Hajar, dan Ibrahim.
sangat memahaminya. Dgn suara yg lembut
Ibrahim. bertutur, "Janganlah takut Bunda Ismail.
Saat ini kau berdiri di tanah Tuhan yg diberkati.
Yakinlah kpd Allah." Setelah sehari semalam
Ibrahim menemani Hajar dan Ismail, Ibrahim pun
pamit ingin pulang ke negerinya, Kanaan. Usai
bersiap, ia memandangi wajah Hajar lalu berkata,
"Aku akan meninggalkan kamu beserta putramu
dalam pengawasan Allah. Aku berharap bisa
kembali lagi secepatnya ke sini, Insya Allah!"
Setelah terjadi dialog, dan akhirnya Hajar
memahami apa yg dilakukan Ibrahim. adalah
perintah Allah, maka ia menerimanya dgn penuh
keikhlasan dan keyakinan bahwa Allah tdk akan
menelantarkannya. Dgn nada tegas Hajar
mengatakan saat Ibrahim ingin menaiki
kendaraannya, "Jika memang begitu perintah-Nya,
aku yakin Allah tdk akan menelantarkan kami."
Setelah kepergian Ibrahim, Hajar mulai merasuki
kehidupan yg berbeda, yg hanya ditemani olah
putranya Ismail Keesokan paginya, Hajar
terbangun karena tangis keras bayinya, Ismail
Hajar pun mulai panik dan bingung karena bayinya
sangat lapar dan dahaga. Ia mengambil kantong air,
namun ternyata isinya sudah habis. Ia pun mulai
mencari ke-sekeliling tempatnya bermukim. Dia
pergi menuju bukit Shafa berharap ada sekelompok
kafilah di sana, namun ternyata tdk ada.
Tiba-tiba dilihatnya kilauan air di lereng bukit
Marwa, dikejarnya namun ternyata tdk ada. Ia
melihat pula di bukit Shafa ada air, didatangi
lembah bukit tsb ternyata tdk ada juga air di sana.
Ia berbolak balik antara Shafa dan Marwa hingga
tujuh kali, meski sengatan matahari membakar
wajahnya dan hamparan pasir membuat telapak
kakinya berdarah-darah.
Padahal dahulu, masa kecil dan remajanya di Mesir
ia dapat menikmati air yg jernih dan segar,
matahari yg cerah dan angin bertiup lembut.
Menikah dgn Ibrahim. di antara ladang dan kebun
yg indah dihembus udara yg segar. Kini ia
ditakdirkan mengalami derita kesendirian dan
keterasingan. Ia dipaksa merasakan keganasan dan
kegersangan hamparan sahara.
Di tengah harap dan putus asa, ia kembali menemui
bayinya. Ketika dekat dgn anaknya, ia terkejut.
Tadi Ismail menangis kenapa sekarang tenang? Ia
tersentak kaget bercampur bahagia melihat air yg
mengalir di bawah kaki bayinya. Air itu muncul
bekas hentakan kaki bayinya saat menangis. Ia pun
mencidukkan air tsb dgn tangannya dan memberi
minum bayinya. Ia pun tak henti-hentinya memuji
Allah atas rahmat yg dianugerahkan kpdnya.
Belajar dari Hajar
Dari kisah singkat mengenai apa yg dirasakan
Hajar, adalah layak untuk para muslimah untuk
meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari.
Hemat penulis, tiga perilaku Hajar yg layak ditiru.
Pertama, taat kpd Allah. Hajar sangat taat kpd
Allah. Ketika ia tahu diminta untuk tinggal di
lembah yg sangat gersang, ia tdk protes.
Ia tahu bahwa Allah tdk akan menyia-nyiakannya.
Allah tdk akan menelantarkannya di daerah tsb,
meski suku Amaliqah kapok tinggal di daerah tsb.
Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita, wahai para
muslimah, taat kpd Allah? Bila kita sudah menikah,
apakah kita sudah menjalankan tugas kita sebagai
isteri yg baik, yg merupakan wujud ketaatan kita
kpd Allah? Bila belum menikah, sudahkah masa
gadis kita ini digunakan untuk ibadah kpd Allah?
Pertanyaan yg penulis ajukan bukanlah untuk
menggurui, namun hanya untuk mengajak
merenung bersama. Taatlah kpd suami apapun
bentuknya, jika masih berada di batas Syari.
Jangan pikirkan apa yg diperbuatnya terhadap kita,
tapi pikirkanlah apa yg telah diberikan Allah dgn
ditakdirkannya menikah dgn diri kita.
Untuk yg belum menikah, jangan pikirkan hal-hal
buruk yg dialami, tapi pikirkan betapa Allah sangat
sayg dgn diri kita hingga detik ini Allah menjaga
kita dari laki-laki yg tak pantas untuk dijadikan
pendamping hidup. Yakinlah Allah tak pernah
menyia-nyiakan kehidupan kita di dunia ini. Yg
penting, percayalah kpd Allah dan senantiasa taat
kpdnya. Karena Rasulullah SAW bersabda, "Ada
dua hal yg tak ada sesuatu yg dapat melebihi
keunggulan keduanya: beriman (percaya) kpd
Allah dan memberi manfaat kpd kaum muslimin."
Kedua, sabar dalam berjuang. Lihatlah kehidupan
Hajar. Meski ia ditinggal suaminya, ia tetap
berjuang untuk mencari makan dan minum
anaknya. Meski hampir putus asa, namun ia tetap
memiliki keyakinan bahwa Allah akan
menolongnya. Inilah yg perlu ditiru. Meski suami
sdg memiliki rezeki yg seret, janganlah berubah
pandangan terhadapnya. Jangan pernah
mencacinya.
Penderitaan yg mungkin kita alami belum ada apa-
apanya dibandingkan penderitaan Hajar. Karena
itu, tetaplah mengasuh anak dgn baik seperti apa yg
dilakukan Hajar. Yakinkan diri bahwa Allah akan
memberi rezeki. Allah tak akan membiarkan
hambanya menderita.
Ketiga, tawakkal dan bersyukur setelah berusaha.
Setelah taat kpd Allah dan sabar dalam berjuang,
maka yg mesti dilakukan adalah tawakkal dan
bersyukur. Lihatlah apa yg dilakukan Hajar.
Setelah ia lelah berbolak-balik dari Shafa ke
Marwah tujuh kali, ia tawakkal kpd Allah. Ia pun
mendekati anaknya dan yakin Allah akan
menolongnya. Tawakkalnya berbuah manis. Ia
melihat air di kaki anaknya, Ismail. Ia pun tak lupa
bersyukur kpd Allah.

Anda mungkin juga menyukai