Anda di halaman 1dari 3

RAWA TRIPA, ACEH

PENDAHULUAN (?)
Lokasi: Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Pesisir barat provinsi Aceh
Luas: 61.803 hektar

Hutan rawa gambut Rawa Tripa terletak di pesisir barat provinsi Aceh, di pulau Sumatra,
Indonesia. Keseluruhan area rawa gambut berada dalam kawasan ekosistem Leuser, yang telah
ditetapkan sebagai kawasan tata kelola konservasi khusus berdasarkan Keputusan
Presiden Keppres 33/1998, serta sebagai Kawasan Strategis Nasional, yang mewajibkan
konservasi ekosistem ini berdasarkan Hukum Tata Pemerintahan Aceh. Tripa adalah satu di
antara tiga hutan rawa gambut pesisir besar yang tersisa di Aceh, dan bahkan di sepanjang pesisir
barat Sumatra.

Secara administrasi Ekosistem Rawa Tripa terletak di kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat
Daya. Luasnya diperkirakan hampir 62.000 hektar dengan 60% berada di kecamatan Darul
Makmur, kabupaten Nagan Raya dan 40% berada di kecamatan Babahrot, kabupaten Aceh Barat
Daya. Ditemukan empat sungai yang melintasi wilayah ini adalah Krueng (Kr) Tripa, Kr.
Seumayam, Kr. Batee/Kr. Babahrot dan Kr. Seunaam/Kr. Lamie. Keempat sungai yang melintas
ini membawa endapan sungai sehingga membentuk daratan alluvial diantara tiga kubah gambut
yang ada di kawasan Tripa.

Kondisi terkini, luas tutupan hutan yang masih tersisa tinggal 12.455,45 hektar atau sekitar 20%
dari kawasan dan berada dalam kondisi tersebar, dengan blok terluas sekitar 8.400 hektar dan
lainnya sekitar 1.000 hektar. Kawasan lainnya telah mengalami alih fungsi lahan menjadi
perkebunan. Alih fungsi terbanyak menjadi perkebunan sawit dengan luas mencapai sekitar
32.484,96 hektar.

Sejak 1990, Rawa Tripa mengalami deforestasi akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh
sejumlah perusahaan besar dan perambahan oleh masyarakat. Terdapat setidaknya 5 perusahaan
yang cukup bear dengan mnempati lahan sekitar 38150 hektar. Hutan yang tersisa diperkirakan
akan segera hancur sebagai dampak pembukaan kanal-kanal oleh perusahaan yang akan
mengeringkan rawa tersebut, kalau tidak dihentikan dan mulai memperbaiki (restorasi,
rehabilitasi) dalam waktu dekat. Selain itu, teknik pembukaan lahan (land clearing) dengan cara
pembakaran kerap dilakukan oleh pihak perusahaan yang memperparah kerusakan di hutan
Rawa Tripa. Ada 5 HGU besar yang sekarang bekerja di Rawa Tripa yakni PT. Kalista Alam, eks
PT. SPS II anak PT Astra Agro Lestari, PT. Gelora Sawit Makmur, PT. Cemerlang Abadi dan PT.
Patriot Guna Sakti (sekarang sudah dikuasai oleh Pemkab Aceh Barat Daya untuk proyek
pengembangan PIR kelapa sawit). Luas HGU kelima perusahaan tersebut adalah 38.150 hektar.
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Ekonomi
Illegal Loging
Illegal Logging yang terjadi di hutan Tripa tersebut disebabkan karena dua
faktor pendukung utama yaitu, Pertama, Lemahnya penegakan hukum yang
dilakukan oleh aparatur penegakan hukum dan Kedua, Mahalnya harga kayu di
pasar domestik maupun di pasar internasional sehingga mendorong pihak tertentu
maupun masyarakat melakukan praktek Illegal Logging.

Alih Fungsi Lahan


Alih Fungsi Lahan yang hari ini terjadi secara besar besaran di hutan Rawa
Tripa, salah satunya juga disebabkan adanya kebijakan Pemerintah Daerah yang
memberikan izin HGU kepada perusahaan kelapa sawit disamping adanya
penanaman kelapa sawit yang juga dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini
juga tak lepas dari dorongan kebutuhan ekonomi yang melanda masyarakat yang
hari ini hidup dengan pendapatan menengah ke bawah.
Mahalnya harga kelapa sawit di pasar internasional juga telah merangsang
masyarakat untuk menjadikan lahan Rawa tersebut sebagai perkebunan kelapa
sawit. Tapi yang lebih penting lagi dilihat bahwa faktor kurangnya kesadaran akan
fungsi lahan itu sendiri oleh masyarakat yang juga disokong oleh kurangnya
pengetahuan/ pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat, telah menyebabkan
terjadinya alih fungsi lahan itu sendiri.
Masyarakat juga mengalami perubahan mata pencaharian. Masyarakat yang
semula mengandalkan hasil hutan di Rawa Tripa beralih menjadi pekerja
perkebunan. Dan diantara mereka sekarang beralih membuka perkebunan sendiri
didorong oleh besarnya keuntungan membuka kebun sendiri dibandingkan dengan
bekerja di perkebunan. Ini menyebabkan semakin meluasnya lahan yang dibuka.

2. Ekosistem

- Fungsi hidrologis semakin menghilang


Konversi rawa besar-besaran mengacaukan sistem hidrologi rawa,
menurunkan permukaan air tanah, mengeringkan rawa gambut. Secara umum
daya dukung kawasan sebagai habitat satwa khususnya satwa-satwa endemik
dan flora khas berkurang. Hal ini bisa dijelaskan melalui berkurangnya indeks
keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
- Terancamanya flora dan fauna
Dengan berkurangnya fungsi hidrologi dan tutupan lahan di Rawa Tripa
otomatis fauna yang berada di Rawa tersebut akan terganggu dan terancam
keberadaannya. Keanekaragaman hayati menurun, hasil kajian
keanekaragaman hayati oleh Universitas Syiah Kuala menyebutkan 91 jenis
fauna ditemukan, 14 diantaranya merupakan hewan endemik seperti
orangutan (Pongo Abelii), mentok rimba (Cairina scutulata), harimau
sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan buaya muara (Crocodylus porosus).
Sementara itu tidak kurang ada 300 jenis tumbuhan ditemukan diantaranya
Jelutung (Dyera lowii), Cemenggang (Nessia sp.), Ramin (Gonystylus
bancanus), Meranti (Shorea sp.), Pulai dan Malaka (Tetrameristra glabra)
yang merupakan makanan utama Orangutan.

Pilihan solusi yang diberikan:


1. Melakukan penyuluhan mebuat sebuah petisi berupa sikap tegas masyarakat terhadap
perusahaan yang bersangkutan.
2. Mengganti pendapatan daerah dengan sector yang lain selain kelapa sawit yaitu dengan
sector karbon. (keppres 33/1998)
3. Memperbaiki jalur koordinasi pemereintah, masyarakat dan perusahaan.
4. Moratorium rawa
5. Penegakkan hukum dan peraturan baik pusat maupun daerah.
6. Rehabilitasi rawa

Anda mungkin juga menyukai