Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK


DENGAN FEBRIS TYPOID

Disusun Oleh :
Yuli Dwi Hartanto
G1E007019

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PROGRAM PENDIDIKAN NERS
PURWOKERTO
2009
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK
DENGAN FEBRIS TYPOID

Typhoid adalah penyakit infeksi yang di sebabkan oleh Salmonella

typhosa atau Salmonella typhi A, B, atau C. Penyakit ini mempunyai tanda-tanda

khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung kurang lebih 3 minggu di

sertai dengan gejala-gejala demam, nyeri perut, pembesaran limpa dan erupsi

kulit. Penyakit ini termasuk dalam penyakit daerah tropis, dan penyakit ini sangat

sering di jumpai di Asia termasuk di Indonesia (Betz, 2002).

Berdasarkan artikel yang diakses dari www.who_pediatric.com di dunia

pada tanggal 27 September 2005 sampai dengan 11 Januari 2007 WHO mencatat

sekitar 42.564 orang menderi typhoid dan 214 orang meninggal. Penyakit ini

biasanya menyerang anak-anak usia pra sekolah maupun sekolah akan tetapi tidak

menutup kemungkinan juga menyerang orang dewasa (Robert, 2007).

1. Pengertian

Febris typhoid adalah merupakan salah satu penyakit infeksi akut usus

halus yang menyerang saluran pencernaan disebabkan oleh kuman salmonella

typhi dari terkontaminasinya air / makanan yang biasa menyebabkan enteritis

akut disertai gangguan kesadaran (Suriadi dan Yuliani, R., 2001).

Demam typhoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi

salmonella typhi yang ditandai dengan malaise (Corwin, 2000).


2. Etiologi

Menurut Ngastiyah (2005) penyebab utama dari penyakit ini adalah

kuman Salmonella typhosa, Salmonella typhi, A, B, dan C. Kuman ini banyak

terdapat di kotoran, tinja manusia, dan makanan atau minuman yang terkena

kuman yang di bawa oleh lalat. Sebenarnya sumber utama dari penyakit ini

adalah lingkungan yang kotor dan tidak sehat. Tidak seperti virus yang dapat

beterbangan di udara, bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti

lingkungan kumuh, makanan, dan minuman yang tidak higienis.

Salmonella typosa merupakan basil gram negatif yang bergerak

dengan bulu getar, tidak berspora, mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam

antigen, yaitu antigen O, antigen somatik yang tidak menyebar, terdiri dari zat

komplek lipopolisakarida, antigen Vi (kapsul) yang meliputi tubuh kuman dan

melindungi O antigen terhadap fagositosis dan antigen H (flagella). Ketiga

jenis antigen tersebut dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukkan

tiga macam antibody yang biasa disebut agglutinin (Arif Mansjoer, 2000).

3. Patofisiologi

Corwin (2000) mengemukakan bahwa kuman salmonella typhi masuk

ke dalam tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang

tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi

masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque pleyeri di liteum

terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini komplikasi perdarahan


dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman salmonella typhi kemudian

menembus ke dalam lamina profia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar

limfe mesentrial yang juga mengalami hipertropi.

Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, salmonella typhi masuk

aliran darah melalui duktus toracicus. Kuman-kuman salmonella typhi

mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi bersarang di

plaque pleyeri, limfe, hati dan bagian-bagian lain dari sistem retikulo

endotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala syoksemia pada demam

typhoid disebabkan oleh endotoksemia, tetapi kemudian berdasarkan

penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan penyebab

utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typhoid. Endotoksin

salmonella typhi salmonella typhi berperan dalam patogenesis demam

typhoid, karena membantu proses terjadinya inflamasi lokal pada jaringan

tempat salmonella typhi berkembang biak. Demam pada typhoid disebabkan

karena salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan

pelepasan septi pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

4. Manifestasi Klinik

Menurut Corwin (2000) proses bekerjanya bakteri ini ke dalam tubuh

manusia cukup cepat, yaitu 24-72 jam setelah masuk, meski belum

menimbulkan gejala, tetapi bakteri telah mencapai organ-organ hati, kandung

empedu, limpa, sumsum tulang, dan ginjal. Rentang waktu antara masuknya
kuman sampai dengan timbulnya gejala penyakit, sekitar 7 hari. Gejalanya

sendiri baru muncul setelah 3 sampai 60 hari. Pada masa-masa itulah kuman

akan menyebar dan berkembang biak.

Soedarto (2007) mengemukakan bahwa manifestasi klinis klasik yang

umum ditemui pada penderita demam typhoid biasanya disebut febris remitter

atau demam yang bertahap naiknya dan berubah-ubah sesuai dengan keadaan

lingkungan dengan perincian :

1. Minggu pertama, demam lebih dari 40C, nadi yang lemah bersifat

dikrotik, dengan denyut nadi 80-100 per menit.

2. Minggu kedua, suhu tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah

tampak kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan

limpa dapat diraba.

3. Minggu ketiga,

a. Jika keadaan membaik : suhu tubuh turun, gejala dan keluhan

berkurang.

b. Jika keadaan memburuk : penderita mengalami delirium, stupor, otot-

otot bergerak terus, terjadi inkontinensia alvi dan urine. Selain itu

terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan perut meningkat, disertai

nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan akhirnya meninggal dunia

akibat terjadinya degenerasi mikardial toksik.


4. Minggu keempat, bila keadaan membaik, penderita akan mengalami

penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya

pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan kasus febris typhoid

menurut Corwin (2000) antara lain :

a. Pemeriksaan Leukosit

Pada febris typhoid terhadap ileumopenia dan limfobrastis relatif

tetap kenyataan leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kasus febris

typhoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi pada berada dalam batas

normal, walaupun kadang-kadang terikat leukositanis tidak ada

komplikasi berguna untuk febris typhoid.

b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

Sering kali meningkat tetapi kembali normal setelah sembuhnya

febris typhoid, kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan pembatasan

pengobatan.

c. Kenaikan Darah

Gerakan darah (+) memastikan febris typhoid tetapi biakan (-)

tidak menyingkirkan febris typhoid. Hal ini karena hasil biakan darah

bergantung pada beberapa faktor, yaitu :

1) Tekhnik pemeriksaan laboratorium.


2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

3) Laksinasi di masa lampau.

4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.

d. Uji Widal

Suatu uji dimana antara antigen dan antibodi yang spesifik

terhadap saluran monolle typhi dalam serum pasien dengan febris typhoid

juga pada orang yang pernah terkena salmonella typhi dan pada orang

yang pernah divaksinasi terhadap febris typhoid dengan tujuan untuk

menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka

menderita febris typhoid. Hasil pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap

antigen O yang bernilai 1/200 atau peningkatan 4 kali antara masa

akut dan konvalesens mengarah pada demam typhoid, meskipun dapat

terjadi positif ataupun negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara

spesies salmonella.

Diagnosis mikrobiologis merupakan metode diagnosis yang paling

spesifik. Kultur darah dan sum-sum tulang positif pada minggu pertama dan

kedua, sedang minggu ketiga dan keempat kultur tinja dan kultur urin positif

(Wong, 2003).
6. Penatalaksanaan

Penderita tifus perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi (agar penyakit

ini tidak menular ke orang lain). Penderita harus istirahat total minimal 7 hari

bebas panas. Istirahat total ini untuk mencegah terjadinya komplikasi di usus.

Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak banyak berserat.

Sayuran dengan serat kasar seperti daun singkong harus dihindari, jadi harus

benar-benar dijaga makanannya untuk memberi kesempatan kepada usus

menjalani upaya penyembuhan.

Pengobatan yang diberikan untuk pasien febris typoid adalah

antibiotika golongan Chloramphenicol dengan dosis 3-4 x 500 mg/hari; pada

anak dosisnya adalah 50-100 mg/kg berat badan/hari. Jika hasilnya kurang

memuaskan dapat memberikan obat seperti :

a. Tiamfenikol, dosis dewasa 3 x 500 mg/hari, dosis anak: 30-50 mg/kg berat

badan/hari.

b. Ampisilin, dosis dewasa 4 x 500 mg, dosis anak 4 x 500-100 mg/kg berat

badan/hari.

c. Kotrimoksasol ( sulfametoksasol 400 mg + trimetoprim 80 mg ) diberikan

dengan dosis 2 x 2 tablet/hari.

Dan untuk pencegahan agar tidak terjangkit penyakit febris typoid

perlu memperhatikan beberpa hal sebagai berikut :

a. Harus menyediakan air yang memenuhi syarat. Misalnya, diambil dari

tempat yang higienis, seperti sumur dan produk minuman yang terjamin.
Jangan gunakan air yang sudah tercemar. Apabila menggunakan air yang

harus dimasak terlebih dahulu maka dimasaknya harus 1000C.

b. Menjaga kebersihan tempat pembuangan sampah.

c. Upayakan tinja dibuang pada tempatnya dan jangan pernah membuangnya

secara sembarangan sehingga mengundang lalat karena lalat akan

membawa bakteri Salmonella typhi.

d. Bila di rumah banyak lalat, basmilah hingga tuntas.

e. Daya tahan tubuh juga harus ditingkatkan ( gizi yang cukup, tidur cukup

dan teratur, olah raga secara teratur 3-4 kali seminggu). Hindarilah

makanan yang tidak bersih. Belilah makanan yang masih panas sehingga

menjamin kebersihannya. Jangan banyak jajan makanan/minuman di luar

rumah.

(Soedarto, 2007)
7. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

Data dasar pengkajian pasien dengan febris typhoid menurut

Doenges (2002) adalah

1) Aktivitas atau istirahat

Gejala yang ditemukan pada kasus febris typhoid antara lain

kelemahan, malaise, kelelahan, merasa gelisah dan ansietas, cepat

lelah dan insomnia.

2) Sirkulasi

Tanda takikardi, kemerahan, tekanan darah hipotensi, kulit

membrane mukosa kotor, turgor buruk, kering dan lidah pecah-pecah

akan ditemukan pada pasien febris typhoid.

3) Integritas ego

Gejala seperti ansietas, emosi, kesal dan faktor stress serta

tanda seperti menolak dan depresi juga akan ditemukan dalam

pengkajian integrits ego pasien.

4) Eliminasi

Pengkajian eiminasi akan menemukan gejala tekstur feses yang

bervariasi dari lunak sampai bau atau berair, perdarahan per rectal dan

riwayat batu ginjal dengan tanda menurunnya bising usus, tidak ada

peristaltik dan ada haemoroid.


5) Makanan dan cairan

Pasien akan mengalami anoreksia, mual, muntah, penurunan

berat badan dan tidak toleran terhadap diet. Dan tanda yang ditemukan

berupa penurunan lemak sub kutan, kelemahan hingga inflamasi

rongga mulut.

6) Hygiene

Pasien akan mengalami ketidakmampuan mempertahankan

perawatan diri dan bau badan.

7) Nyeri atau ketidaknyamanan

Nyeri tekan pada kuadran kiri bawah akan dialami pasien

dengan titik nyeri yang dapat berpindah.

8) Keamanan

Pasien mengalami anemia hemolitik, vaskulotis, arthritis dan

peningkatan suhu tubuh dengan kemungkinan muncul lesi kulit.

b. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan pathway keperawatan maka diagnosa keperawatan

yang muncul pada kasus febris typhoid antara lain :

1) Hypertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma

2) Nyeri berhubungan agen injuri (biologi)

3) Kurang volume cairan berhubungan dengan kegagalan dalam

mekanisme pengaturan termoregulasi.


4) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan ketidakmampuan dalam memasukkan, mencerna,

mengabsorbsi makanan karena faktor biologi.

5) Resiko infeksi berhubungan dengan faktor resiko pertahanan primer

tidak adekuat
c. Rencana Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)


1. Hypertermi 1. Thermoregulation Fever treatment
berhubungan dengan 2. Thermoregulation : 1. Monitor suhu sesering mungkin
penyakit atau trauma neonatus 2. Monitor IWL
3. Monitor warna dan suhu kulit
4. Monitor tekanan darah. Nadi dan RR
5. Monitor penurunan tngkat kesadaran
6. Monitor WBC, Hb, Hct
7. Monitor intake dan out put
8. Berikan antipiretik
9. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
10. Selimuti pasien
11. Lakukan tapid sponge
12. Berikan cairan intra vena
13. Kompren pasien pada lipat paha dan aksila
14. Tingkatkan sirkulasi udara
15. Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil
Temperature regulation
1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
2. Rencanakan monitoring suhu secara kontineu
3. Monitor TD, nada dan RR
4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
8. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas
9. Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan
kemungkinan efek negatif dari kedinginan
10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan
penanganan emergency yang diperlukan
11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang
diperlukan
12. Berikan antipiretik jika perlu
Vital sign monitoing
1. Monitor TD, Nadi dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS pada saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi dan RR sebelum, sesudah dan selama
aktivitas
6. Monitor koalitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernafasan abnormal
10. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit
11. Monitor perifer
12. Monitor adanya chusing triad (TD yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2. Nyeri (akut) 1. Tingkat kenyamanan Pain Management :
berhubungan dengan 2. Kontrol nyeri 1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi,
agen injuri biologi 3. Nyeri : efek yang karakteristik serta onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas /
merusak beratnya, nyeri dan faktor-faktor presipitasi.
4. Tingkat nyeri 2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dan ketidaknyamanan,
khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
efektif.
3. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat
mengekspresikan nyeri
4. Kaji latarbelakang budaya pasien
5. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri
kronis
6. Evaluasi tentang keefektifan dan tindakan mengontrol nyeri
yang telah digunakan
7. Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga
8. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan
9. Beri informasi tentang nyeri seperti penyebab, berapa lama
terjadi dan tindkaan pencegahan
10. Anjutkan pasien untuk memonitor sendiri nyerinya
11. Anjurkan penggunaan tekhnik non farmakologis (relaksasi,
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
massase, TENS, hipnotis, terapi bermain, terapi aktivitas,
akupresure)
12. Berikan analgetik sesuai anjuran
13. Evaluasi ketidakefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
14. Modifikasi tindakan nyeri berdasarkan respon pasien
15. Tingkatkan tidur / istirahat yang cukup
16. Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
secara tepat
17. Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
secara tepat
18. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan
19. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya / anggota kleuarga
saat tindakan non farmakologi dilakukan, untuk pendekatan
prefentif
20. Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri
21. Monitor perubahan nyeri dan bantu pasien mengidentifikasi
faktor presipitasi nyeri baik aktual dan potensial
22. Lakukan pengkajian terhadap pasien dengan nyaman dan
lakukan monitoring dari rencana yang dibuat
23. Turunkan dan hilangkan faktor yang dapat meningkatkan
pengalaman nyeri (rasa takut, kelelahan dan kurang
pengetahuan)
24. Pertimbangan pasien untuk berpartisipasi, dukungan dari
keluarga dekat dan kontraindikasi ketika strategi penurunan
nyeri telah dipilih
25. Lakukan tekhnik variasi untuk mengontrol nyeri (farmakologi,
non frmakologi dan interpersonal)
26. Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri
Analgetik administration :
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat.
2. Cek instruksi dokter tentang pemberian
bat, dosisi dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri
6. tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secra IV, IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik
pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
3. Kurang volume 1. Electrolyte and acid / Fluid management
cairan berhubungan base balance 1. Timbang popok / pembalut jika perlu
dengan kegagalan 2. Fluid balance 2. Pertahankanian ite dan outuyang akurat
dalam mekanisme 3. Hydration 3. Monitor status hidrasi (kelembaban membarn mukosa, nadi
pengaturan 4. Nutritional status : adekuat, tekanan darah ortostatik) jika diperlukan
termoregulasi. food and fluid intake 4. Monitor vital sign
5. Monitor masukkan makanan / cairan dan hitung intake kalori
harian
6. Kolaborasikan pemberian cairan IV
7. Monitor status nutrisi
8. Berikan cairan IV pada suhu ruangan
9. Dorong masukkan oral
10. Berikan pemberian nasogastrik sesuia output
11. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
12. Tawarkan snack (jus buah, buah segar)
13. Kolaborasi okter jika tanda cairan berlebihan muncul
memburuk
14. Atur kemungkinan tranfusi
15. Persiapan untuk tranfusi
4. Ketidakseimbangan 1. Nutritional status Manajemen Nutrisi:
nutrisi : kurang dari 2. Nutritional status : 1. Catat jika klien memiliki alergi makanan
kebutuhan food and fluid intake 2. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan
berhubungan dengan 3. Nutritional status : 3. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup
ketidakmampuan nutrition intake 4. Dorong asupan zat besi
dalam memasukkan, 4. Weight control 5. Berikan gula tambahan k/p
mencerna, 6. Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang
mengabsorbsi mudah dikonsumsi
makanan karena 7. Ajarkan keluarga cara membuat catatan makanan
faktor biologi. 8. Monitor asupan nutrisi dan kalori
9. Timbang berat badan secara teratur
10. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya
11. Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan
12. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya
Monitor nutrisi
1. BB klien dalam interval spesifik
2. Monitor adanya penurunan BB
3. Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa
4. Monitor respon emosi klien saat berada dalam situasi yang
mengharuskan makan.
5. Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan.
6. Monitor lingkungan selama makan.
7. Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam makan.
8. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
9. Monitor turgor kulit
10. Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah.
11. Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah, peningkatan
perdarahan, dll.
12. Monitor mual dan muntah
13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
14. Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
15. Monitor makanan kesukaan.
16. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
17. Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
18. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan
konjungtiva.
19. Monitor kalori dan intake nutrisi.
20. Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah dan
cavitas oral.
21. Catat jika lidah berwarna merah keunguan.
5. Resiko infeksi 1. Immune status Kontrol Infeksi:
berhubungan dengan 2. Knowledge : 1. Bersikan lingkungan secara tepat setelah digunakan oleh klien
faktor resiko infection control 2. Ganti peralatan klien setiap selesai tindakan
pertahanan primer 3. Risk control 3. Batasi jumlah pengunjung
tidak adekuat 4. Ajarkan cuci tangan untuk menjaga kesehatan individu
5. Anjurkan klien untuk cuci tangan dengan tepat
6. Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci tangan
7. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan
setelah meninggalkan ruangan klien
8. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
9. Lakukan universal precautions
10. Gunakan sarung tangan steril
11. Lakukan perawatan aseptic pada semua jalur IV dan insersi
cateter
12. Tingkatkan asupan nutrisi
13. Anjurkan asupan cairan
14. Anjurkan istirahat
15. Berikan terapi antibiotik (kolaborasi)
16. Ajarkan klien dan keluarga tentang tanda-tanda dan gejala dari
infeksi. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana
mencegah infeksi
Proteksi Terhadap Infeksi :
1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
2. Monitor hitung granulosit WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit menular
6. Pertahankan tekhnik aseptik pada pasien yang beresiko
7. Pertahankan tekhnik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kulit pada are epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas
dan drainase
10. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat cukup
14. Ajarkan keluarga tanda dan gejala infeksi
15. Laporkan kecurigaan infeksi
16. Laporkan kultur positif
DAFTAR PUSTAKA

Betz, C. L., 2002, Buku Saku Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta.

Corwin, 2000, Hand Book Of Pathofisiologi, EGC, Jakarta.

Hidayat, A. A., 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Salemba Medika, Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI,
Jakarta.

Nanda, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi,


Prima Medika, Jakarta.

Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Robert, 2007, Penyakit Penyakit Tropis, Artikel diakses dari


www.who_peditric.com

Soedarto, 2007, Sinopsis Kedokteran Tropis, Airlangga Universitas Press, Surabaya.

Suriadi dan Yuliani, R., 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, CV. Sagung Seto,
Jakarta.

Wilkinson, Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC, EGC, Jakarta.

Wong, D. L., 2003, Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai