Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Status Hutan


Hutan dunia secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan
kehidupan manusia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Food and
Agriculture Organization (2006), hutan dunia pada tahun 2005 seluas 3,952 Mha.
Sebagian besar merupakan hutan tropis yakni seluas 1,833 Mha. Total areal hutan
dunia berkurang tiap tahunnya akibat beralih fungsi menjadi lahan pertanian.
Fuller DO dan Murphy K (2006) menganalisa bahwa pembukaan lahan hutan
tropis meningkat tajam selama kurun waktu dua dekade ini. Berkurangnya areal
hutan ini menurut Achard F et al. (2004) disebabkan oleh penebangan dan
kebakaran yang terjadi saat pembukaan lahan dilakukan.
Food and Agriculture Organization (2006) juga turut memaparkan areal
hutan yang beralih fungsi di kawasan Asia Tenggara meningkat secara berkala
tiap tahunnya yakni 0,83% pada tahun 1990 sampai 2000 dan meningkat menjadi
0,98% pada tahun 2000 hingga 2005. Hanya 33,4% areal Asia Tenggara yang
masih ditutupi oleh hutan sekarang ini. Padahal Matthews E et al. (2000)
menyatakan bahwa secara umum areal hutan dunia yang tertutupi oleh pohon
dengan tinggi lebih dari 5 meter sekitar 10% saja.
Indonesia dan Malaysia merupakan negara kepulauan terbesar di kawasan
Asia Tenggara yang memiliki tingkat pembukaan kawasan hutan tertinggi di dunia
dengan rerata 1,3%. Dari 162 Mha hutan di Indonesia pada tahun 1950, hanya 98
Mha saja yang tersisa sekarang. Banyak areal hutan di Indonesia yang berkurang
akibat kebutuhan ekonomi. Indonesia kehilangan sekitar 1,6 sampai 2,8 Mha
hutan akibat tindakan illegal loging (World Wild Fun, 2011). Tingkat deforestasi
di Indonesia kian hari makin meningkat. Holmes (2002) menjelaskan bahwa sejak
tahun 1996, deforestasi tampaknya meningkat tajam hingga berkisar 2 Mha tiap
tahun. Pada tingkat ini, tampaknya seluruh hutan dataran rendah Indonesia yang
kaya akan keanekaragaman hayati dan berbagai sumber kayu akan lenyap dalam
dekade mendatang.

5
6

Banyak sekali ancaman terhadap hutan Indonesia, mulai dari berbagai


kegiatan pembalakan skala besar sampai pembukaan hutan skala kecil oleh para
keluarga petani, mulai dari tebang habis untuk membuka lahan industri pertanian
sampai kehancuran akibat kebakaran hutan yang berulang. Berdasarkan kajian
World Wild Fun (2011), illegal loging dilakukan di setiap tingkat masyarakat, para
pejabat yang korup, militer, para operator liar dan kelompok perusahaan kayu
yang resmi sekalipun Pada kenyataannya tindakan illegal loging terus meningkat
tiap tahunnya di Indonesia.
World Wild Fun (2011) juga menyatakan bahwa sebagian dari hutan tropis
terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia
menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya
Zaire). Hutan Indonesia memiliki kekayaan hayati yang unik. Namun karena
adanya perubahan iklim yang terjadi, Intergovernmental Panel on Climate Change
(2007) menghimbau untuk segera dilakukan konservasi biodiversitas demi
melindungi hutan khususnya hutan hujan tropis yang dinilai sangat penting bagi
kehidupan dunia.
Provinsi Jawa Timur sendiri memiliki areal hutan seluas 1.361.146 ha,
sedangkan luas daratan kawasan hutannya mencapai 1.357.640 ha. Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.395/ Menteri Kehutanan II/2011 tanggal
21 Juli 2011 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Jawa
Timur, kawasan hutan tersebut meliputi Hutan Konservasi seluas 233.632 ha,
Hutan Lindung seluas 344.742 ha dan Hutan Produksi Tetap seluas 782.772 ha.
Hal tersebut dapat dibandingkan dengan jelas pada Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1. Luas Kawasan Hutan di Provinsi Jawa Timur (Sumber: Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012).
7

Berdasarkan gambar diatas, dapat diketahui bahwa 57, 51% kawasan hutan yang
ada di Provinsi Jawa Timur merupakan hutan produksi tetap, 25,33% hutan
lindung dan hanya sekitar 17,16% saja yang merupakan hutan konservasi.
Diketahui pula dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur (2012), luas
lahan kritis di Jawa Timur berdasarkan hasil inventarisasi pada tahun 2007 sebesar
780.956 ha dengan kategori kritis 533.841 ha dan kategori sangat kritis 247.115
ha. Pada tahun 2011, luas lahan kritis tersebut mengalami penurunan menjadi
608.913 ha dengan kategori kritis 506.336 ha dan kategori sangat kritis 102.577
ha. Salah satu upaya untuk menghijaukan lahan kritis tersebut dilakukan kegiatan
rehabilitasi lahan di dalam dan diluar kawasan hutan. Melalui kegiatan penanaman
dan pemeliharaan 1 miliar pohon, pada tahun 2010 telah tertanam sebanyak
188.142.896 pohon dan pada tahun 2011 telah tertanam sebanyak 187.667.123
pohon.
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) merupakan satu di
antara beberapa taman nasional yang ada di Propinsi Jawa Timur yang memiliki
peranan penting dalam menjaga fungsi keseimbangan ekosistem kawasan yang
ada di daerah sekitar Jawa Timur. Fungsi penting TNBTS bagi masyarakat Jawa
Timur pada umumnya adalah dimilikinya fungsi hidrologi sebagai daerah
tangkapan air di DAS Brantas dan DAS Sampean Madura, keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi, memproduksi oksigen dengan potensi vegetasi hutan
hujan tropis yang rapat pada zona inti dan zona rimba, serta fungsi ekonomi bagi
masyarakat yang mencari keuntungan langsung dan keuntungan tidak langsung
dari kawasan zona pemanfaatan tradisonal seperti potensi wisata alam yang
mendatangkan pengunjung dari dalam dan luar negeri (Yanto, 2008).
Pada awalnya status kawasan TNBTS dinyatakan dalam Keputusan
Menteri Pertanian dalam No: 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 Luas
58.000 Ha. Dengan status sebagai kawasan sebagai Cagar Alam Ranu Kumbolo
seluas 1.403 hektar, Taman Wisata Laut Pasir Tengger seluas 2,67 hektar, Taman
Wisata Ranu Pane dan Ranu Regulo seluas 96 hektar, Taman Wisata Darungan
seluas 380 hektar, Hutan Lindung dan Hutan Produksi terbatas seluas 43.210
hektar. Selanjutnya lahirnya kawasan ini sebagai TNBTS dikeluarkan secara resmi
oleh Menteri Kehutanan RI ditunjuk : SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan
8

Nomor 278/Kpts-VI/1997/tanggal 23 Mei 1997 dengan luasan 50.276,20 Ha. SK


terakhir dari dinas kehutanan berlaku sampai sekarang dan dijadikan tolak ukur
data base dari Balai TNBTS maupun dari pihak lain yang memiliki kepentingan
terhadap kawasan konservasi yang ada di TNBTS (Subagiadi, 2006).
Secara umum iklim yang ada di TNBTS memiliki iklim Schmidt dan
Ferguson dengan klasifikasi sebagai berikut: 1) tipe iklim A meliputi daerah
Semeru Tengger, 2) tipe iklim B meliputi Semeru Selatan, Puncak, dan Lereng
Timur, 3) tipe iklim C meliputi Argowulan, Penanjakan, Keciri, Kumbolo
Jambangan, 4) tipe iklim D meliputi Laut Pasir, Ngadas, Ranu Pani, Blok Watu
Pecah. Sementara itu, suhu udara di TNBTS berkisar antara 3 -i 22C. Suhu
terendah terjadi dini hari di musim kemarau antara 3 - 5C. Suhu maksimal
sekitar 22 - 20 C. Pada tempat tertentu, suhu bahkan sering mencapai di bawah
0C (minus), seperti di G. Semeru/Ranu Kumbolo (Yanto, 2008).
Di dalam kawasan BTNBTS tercatat ada 50 sungai dan anak sungai, dan
terdapat 4 ranau/danau yakni Ranau Pani dan Regulo seluas 2,75 Ha 2.100 mdpl,
Darungan seluas 0,5 Ha terletak pada ketinggian 900 mdpl. Ranu Kumbolo lereng
G. Semeru seluas 8 Ha pada ketinggian 2.390 mdpl. Di BTNBTS memiliki 3 air
terjun yaitu: Air terjun Trisula di Ngadas, Air Terjun Tirtowening di Ngadas dan
Air Terjun Ranupane di Ranupane. Ekosistem danau atau ranu yang merupakan
kumpulan genangan air hujan yang terjebak dalam lembah diantara dua bukit atau
gunung, seperti: 1) ranu Darungan, luas 0,5 Ha dalam ketinggian 900 dpl; 2) ranu
Pani dan Ranu Regulo seluas 2,75 Ha dalam ketinggian 2.100 mdpl; 3) ranu
Kumbolo, seluas 8 Ha dalam ketinggian 2.390 mdpl Pada bulan Januari-Februari
angin bertiup kencang disertai dengan hujan yang terus menerus. Kombinasi
hujan dan tiupan angin ini merupakan salah satu penyebab erosi (Subagiadi,
2006).

2.2. Kontribusi Hutan Untuk Kehidupan


Banyak sekali masyarakat Indonesia, meskipun jumlahnya tidak diketahui
secara pasti, yang tinggal di dalam atau di pinggir hutan atau hidupnya bergantung
pada hutan. Pada pertengahan tahun 2000, Departemen Kehutanan melaporkan
bahwa 30 juta penduduk secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor
9

kehutanan, meskipun tingkat ketergantungannya tidak didefinisikan (Departemen


Kehutanan, 2000). Kontribusi hutan pada kehidupan penduduknya adalah sebagai
berikut.
2.2.1. Hasil Hutan Kayu dan Nonkayu
Produksi hasil hutan bukan kayu yang dihasilkan Perum Perhutani Unit II
Jawa Timur didominasi oleh getah pinus dan daun kayu putih, lak cabang,
cengkeh, kopi dan getah damar seperti yang tercantum dalam tabel 2.4 berikut.
Tabel 2.1. Produksi Hasil Hutan Non Kayu

(Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012)


Bagi penduduk sekitar kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
(TNBTS), kayu bakar menjadi sumber energi utama bagi masyarakat, karena
kebiasaan dan fungsinya belum banyak tergantikan oleh barang lain. Pada
umumnya kayu yang digunakan sebagai kayu bakar adalah kayu yang kering,
awet atau tidak cepat habis dan energi panas yang dihasilkan cukup tinggi. Kayu
yang digunakan untuk kayu bakar di Desa Ranu Pani adalah jenis dari pohon
akasia gunung (Acacia decurrens) dan cemara gunung (Casuarina junghuhniana).
Pengambilan kayu bakar pada dasarnya hanya diperbolehkan untuk kayu rence
dan kayu kering. Akan tetapi kondisi di lapangan didapatkan masyarakat yang
mengambil kayu dengan cara menebang pohon basah atau pohon yang masih
hidup. Kebutuhan kayu bakar yang terus meningkat, menyebabkan masyarakat
juga mengambil dari taman nasional (Tamam, 2014).
Yanto (2008) menambahkan bahwa ada sebagian masyarakat juga yang
memanfaatkan hasil hutan non kayu di TNBTS, misalnya anggrek, pakis, mencari
rumput dan mencari sayu-sayuran. Disamping itu ada sebagian penduduk
10

melakukan alih fungsi lahan di kawasan hutan TNBTS, seperti menanam jenis
jagung di beberapa petak. Kegiatan sebagian warga adalah melakukan penanaman
di sebagian lahan TNBTS.
2.2.2. Flora dan Fauna
Kawasan konservasi di Provinsi Jawa Timur memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi baik flora maupun faunanya. Keanekaragaman hayati ini tidak
terlepas dari berbagai tipe formasi vegetasi yang membentuk kawasan konservasi
tersebut. Berbagai tipe formasi vegetasi tersebut diantaranya ekosistem
pegunungan, perairan, mangrove, pantai, payau, rawa, hutan dataran rendah,
savana, dan lainnya. Sebagai contoh tipe vegetasi pegunungan terdiri dari cemara
gunung, bunga eidelweiss, mentigi; tipe vegetasi mangrove terdiri dari api-api dan
bakau; tipe vegetasi dataran rendah terdiri dari pulai, suren, dan lainnya.
Keberadaan flora ini juga menentukan habitat dari beberapa satwa yang memiliki
ketergantungan terhadapnya. Kawasan konservasi di Provinsi Jawa Timur
memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi yang dapat dimanfaatkan
secara lestari. Berbagai tumbuhan obat dan fauna dapat dimanfaatkan melalui
berbagai teknik budidaya/penangkaran (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur,
2012).
2.2.3. Jasa Lingkungan
Hutan-hutan Indonesia juga menyimpan jumlah karbon yang sangat besar.
Menurut Food and Agriculture Organization (2006), jumlah total vegetasi hutan di
Indonesia menghasilkan lebih dari 14 miliar ton biomassa. Jumlah biomassa ini,
secara kasar menyimpan sekitar 3,5 miliar ton karbon. Mengingat penebangan
hutan yang sudah berlangsung secara ekstensif di Indonesia, sementara hutan yang
ditanami kembali sangat terbatas, kemungkinan besar perubahan tutupan lahan ini
justru lebih banyak menghasilkan karbon daripada menyimpannya. Sehingga
memberikan andil terhadap pemanasan global.
Jasa-jasa lingkungan seperti ini sulit untuk diukur. Semakin menurunnya
jasa lingkungan ini sulit sekali dinilai dalam ukuran dolar. Para ahli sudah
berusaha untuk memberikan nilai ekonomi bagi berbagai barang dan jasa
lingkungan yang tidak dapat diperjualbelikan di pasaran. Dengan menggunakan
beragam asumsi dan pendekatan metodologi, banyak ahli memberikan nilai bagi
11

hutan tropis yang berkisar dari ratusan sampai ribuan dolar per hektar. Secara teori
nilai ekonomi keanekaragaman hayati dan simpanan karbon saat ini jauh melebihi
pendapatan yang diperoleh dari produksi kayu bulat (Holmes, 2002).
Sebagian besar kawasan konservasi di Provinsi Jawa Timur menghasilkan
jasa lingkungan berupa air yang dimanfaatkan secara komersial maupun non
komersial. Lebih rinci lagi, jasa lingkungan hutan di Jawa Timur diperlihatkan
pada Tabel 2.2. Diantara kawasan tersebut yang menghasilkan jasa lingkungan
berupa air adalah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Berdasarkan hasil
inventarisasi di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terdapat 45
potensi sumberdaya air yang terdiri dari 25 sungai, 5 danau, 28 mata air dan 2 air
terjun (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012).
Tabel 2.2. Jenis Jasa Lingkungan di Jawa Timur

(Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012)

Hampir semua kawasan konservasi di Provinsi Jawa Timur memiliki


potensi keindahan bentang alam. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pengelola
12

untuk menggiatkan ekowisata. Tipe ekosistem yang bervariasi merupakan salah


satu atraksi wisata menarik yang dapat ditawarkan. Keindahan Gunung Bromo,
Gunung Arjuno, Pantai Sukamade, Padang Savana merupakan daya tarik bagi
wisatawan (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012).
Daerah Ranu Pane memperoleh air dari tanah dari air hujan yang
merembes melalui sebaran batu gunung, bergerak masuk ke dalam lapisan batuan
di bawah batu lempung yang kedap air. Untuk keperluan sehari-hari Masyarakat
Suku Tengger Desa Ranu Pane diperoleh dari bukit, yaitu dari sumber air
Amprong dekat Gunung Ayek-ayek yang berjarak kurang lebih 4-5 Km dari Ranu
Pane. Sumber air lainnya adalah dari Ranu Regulo yang mempunyai mata air
sendiri, berbeda dengan Ranu Pani yang tidak memiliki mata air sendiri, karena
Ranu Pane merupakan danau tadah hujan (Nurrahim, 2014). Menurut Holmes
(2002), Berbagai manfaat yang disediakan oleh hutan Indonesia jauh melebihi
nilai yang didapatkan dari hasil-hasil hutan.

2.3. Pengelolaan Hutan di Jawa Timur


Pengelolaan hutan di Provinsi Jawa Timur dapat dikelompokan dalam
beberapa macam kelola yaitu kelola produksi, kelola sosial dan kelola lingkungan.
Pada saat ini pengelolaan hutan di Provinsi Jawa Timur dilaksanakan oleh
beberapa institusi, untuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung dikelola oleh
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, kawasan konservasi dikelola oleh UPT
Kementerian Kehutanan (Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber
Daya Alam) dan UPTD Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, sedangkan hutan
rakyat dikelola oleh individu petani dan kelompok tani hutan rakyat (Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012). Pengelolaan manusia pada alam yang
dieksplornya akan menentukan kehidupan mereka secara tidak langsung.
Pemanfaatan hutan secara benar akan menjaga lingkungan tinggal mereka juga
tetap lestari. Namun saat pemanfaatan hutan dilakukan tanpa adanya pengelolaan
yang tepat maka akan mengakibatkan lingkungan tempat tinggal manusia juga
ikut menurun kualitasnya (Annawati van Paddenburg et al., 2012).
13

2.3.1. Kelola Produksi


Pengelolaan aspek produksi di kawasan hutan yang dikelola oleh Perum
Perhutani Unit II Jawa Timur antara lain adalah kegiatan penebangan, pengolahan
hasil hutan baik kayu maupun non kayu, dan pemasaran hasil hutan tersebut
(Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012).
2.3.2. Kelola Sosial
Kegiatan pengelolaan hutan sangat erat kaitannya dengan pemberdayaan
masyarakat sekitar hutan. Pada pengelolaan hutan yang dikelola oleh Perum
Perhutani kegiatan pemberdayaan masyarakat ini salah satunya melalui program
PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Program sosial dan lingkungan
merupakan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa hutan dalam rangka keberhasilan pembangunan hutan dan
menciptakan fungsi hutan yang optimal. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
didalam setiap kegiatan pengelolaan hutan Perum Perhutani senantiasa melibatkan
masyarakat desa hutan dan stakeholder dengan harapan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa hutan, memberikan kesempatan bekerja dan
berusaha yang juga merupakan upaya menanggulangi pengangguran serta sebagai
upaya membangun partisipasi masyarakat dalam pengamanan hutan dan
menciptakan lingkungan hidup yang baik (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur,
2012).
2.4.3. Kelola Lingkungan
Keberadaan penutupan lahan hutan di suatu daerah dijadikan salah satu
indikator dalam mengukur keseimbangan ekosistem, sesuai yang diamanatkan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Undang-
undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa luas kawasan hutan
yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan
atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Kebijakan tersebut dimaksudkan
untuk menjamin optimalisasi peran kawasan hutan dalam hal manfaat lingkungan,
manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Untuk memenuhi
kecukupan 30% tutupan lahan berupa hutan dapat diperoleh dari luas kawasan
hutan negara dan hutan rakyat Kawasan hutan negara di Provinsi Jawa Timur
yang terletak dalam beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) ditangani oleh Balai
14

Pengelolaan DAS (BPDAS) yaitu BPDAS Brantas, BPDAS Sampeyan dan


BPDAS Solo (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012). (Dinas Kehutanan
Provinsi Jawa Timur, 2012).
Pengembangan jasa lingkungan mengacu pada 3 (tiga) prinsip yang saling
terkait yaitu efisiensi, keadilan, dan kelestarian. Terdapat beberapa kunci
keberhasilan pengelolaan jasa lingkungan, termasuk pembayarannya yaitu adanya
proses partisipasi antar pelaku dalam pengambilan keputusan, adanya transparansi
dalam pembayaran, adanya kejelasan atas hak dan kewajiban dan adanya lembaga
pengelola jasa lingkungan (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012).
Tabel 2.3. Rasio Luas Kawasan Hutan dan Jumlah Polisi Hutan.

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012.

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebenarnya jumlah SDM


(polhut, polmob, pamhut) yang bertugas menjaga keamanan hutan sangatlah
kurang. Sarana dan prasarana dalam pengelolaan kawasan hutan memegang peran
penting dalam keberhasilan pengelolaan. Sebagai aspek pendukung keberadaan
sarana prasarana perlu diperhatikan dari segi jumlah maupun kualitasnya. Jasa
lingkungan di Provinsi Jawa Timur banyak dikembangkan di kawasan konservasi.
Selain itu, penyediaan jasa tersebut mendatangakan banyak pengunjung. Berikut
adalah rincian rerata pengunjung pada tiap kawasan hutan konservasi di Jawa
Timur.

2.5. Strategi Pengelolaan Hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru


2.5.1. Menyeimbangkan Pemanfaatan Hutan dan Konservasinya
Pemanfaatan hutan dalam perekonomian memerlukan beberapa
pertimbangan diantaranya pemurnian air, kontrol hama, kesuburan tanah dan
15

penyerapan karbondioksida (Annawati van Paddenburg et al., 2012). Hubungan


alam dan perekonomian dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.3. Hubungan alam dan ekonomi (Sumber: Annawati van Paddenburg, et
al., 2012).
Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dengan berbagai strategi
ekonomi "portofolio" tradisional, yakni menggabungkan perladangan padi
berpindah dan tanaman pangan lainnya dengan memancing, berburu, menebang
dan menjual kayu, dan mengumpulkan hasil hutan nonkayu seperti rotan, madu,
dan resin untuk digunakan dan dijual. Budidaya tanaman perkebunan seperti kopi
dan karet juga merupakan sumber pendapatan yang penting (Holmes, 2002).
Kegiatan konservasi di dalam kawasan hutan dapat dilakukan dengan cara
yang beraneka ragam untuk menjaga kelestarian hutan. Menurut Astriyantika
(2014), kegiatan konservasi yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan antara
lain konservasi air dan lahan sekitar DAS yang juga merupakan tujuan sektor
kehutanan. Selain itu, kawasan hutan juga memiliki berbagai macam spesies flora
dan fauna yang perlu perlindungan dengan membangun kembali habitat yang
rusak (Rinaldi, 2012). Masyarakat sekitar hutan yang secara dominan melakukan
interaksi dengan sumberdaya alam hayati di dalam hutan memiliki peran yang
sangat penting untuk turut melakukan aksi konservasi hutan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Cara pengambilan tumbuhan oleh masyarakat Desa Ranu Pane diperoleh
dengan cara memungut, memotong, memetik dan menebang. Cara pengambilan
tertinggi adalah dengan cara memungut, seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.
16

Gambar 2.3. Cara Pengambilan Tumbuhan Oleh Masyarakat Sekitar Taman


Nasional (Sumber: Nurrahim, 2014)
Cara pengambilan ini dimanfaatkan untuk mendapatkan ranting kering
yang sudah jatuh ke tanah dan akan dijadikan sebagai bahan kayu bakar. Cara
pengambilan dengan memotong digunakan untuk membagi batang yang sudah
kering dan jatuh menjadi bagian-bagian kecil untuk dijadikan kayu bakar.
Pemanfaatan dengan cara menebang digunakan untuk mengambil kayu bakar
merupakan salah satu pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat karena
menebang pohon yang masih bagus untuk dijadikan kayu bakar. Cara
pengambilan dengan memetik menggunakan tangan secara tradisional
dimanfaatkan untuk mengambil daun yang digunakan sebagai tumbuhan obat,
tumbuhan pangan dan mengambil bunga untuk dijadikan sesajen. Cara ini
dimaksudkan agar pemanfaatan sumberdaya tidak dilakukan secara berlebihan.
Masyarakat menghindari penggunaan alat seperti gunting untuk mengambil
sumberdaya, karena dikhawatirkan terjadi pengambilan secara berlebihan. Hal
tersebut merupakan salah satu upaya masyarakat Suku Tengger di dalam
pelestarian sumberdaya hayati (Nurrahim, 2014).
17

2.5.2. Kerjasama Pihak Pengelola Taman Nasional dengan Masyarakat


Sekitar
Usaha masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan dilakukan dengan cara
bekerjasama dengan pihak pengelola Taman Nasional dalam melakukan
penanaman, ikut serta dalam patroli kawasan, masyarakat peduli api, masyarakat
peduli sampah, dan mengikuti aturan yang dibuat oleh pihak Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru terkait kawasan pemanfaatan sumberdaya hayati.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006 tentang pedoman
zonasi taman nasional, kegiatan yang diperbolehkan di zona pemanfaatan intensif
antara lain: perlindungan dan pengamanan, inventarisasi dan monitoring
sumberdaya alam hayati dengan ekosistemnya, penelitian dan pengembangan
pendidikan, dan penunjang budidaya, pengembangan potensi dan daya tarik
wisata alam, pembinaan habitat dan populasi, pengusahaan pariwisata alam dan
pemanfatan kondisi/jasa lingkungan, pembangunan sarana dan prasarana
pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa
Iingkungan (Nugroho, 2014).
Terkait pemanfaatan langsung sangat terbatas yang diperoleh masyarakat,
hal tersebut dikarenakan masyarakat sadar bahwa hutan dilindungi secara hukum
dan tidak boleh ada pemanfaatan yang berlebihan. Waktu aktifitas di hutan hanya
1-2 jam saja per hari karena masyarakat sekedar mencari kayu bakar di pinggiran
hutan atau di dekat ladang yang mudah dijangkau. Terkait hubungan masyarakat
dengan pengelola Taman Nasional dirasa berjalan baik, tidak ada konflik yang
terjadi antara kedua belah pihak karena adanya kegiatan rutin terkait sosialisasi
mengenai kelestarian hutan. Masyarakat petani yang bukan pemilik lahan maupun
petani pemilik lahan turut mejaga kelestarian hutan dengan berbagai cara yang
dapat mereka lakukan, walaupun tidak dalam waktu yang rutin, seperti melakukan
kegiatan penanaman, turut serta dalam pemadaman api jika terjadi kebakaran
hutan, ikut menjadi bagian dari anggota kader-kader konservasi bentukan
pengelola taman nasional, serta mematuhi berbagai peraturan yang ditetapkan
oleh pemerintah (Astriyantika, 2014).
18

Berdasarkan observasi Tamam (2014), pihak taman nasional telah


membuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dengan
masyarakat terkait pemanfaatan kayu bakar yang disebut sebagai Lumbung Kayu
Bakar. Salah satu tujuannya adalah untuk mengelola sebagian hutan pada zona
pemanfaatan tradisional di sekitar hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
sebagai lumbung kayu bakar bagi seluruh masyarakat desa. Kebijakan
pemanfaatan kayu bakar yang berlaku adalah bahwa pengambilan kayu
diperbolehkan selama untuk kepentingan pribadi dan tidak diperjual belikan, tidak
boleh menebang pohon, akan tetapi kayu rence dan kayu kering yang
diperbolehkan untuk diambil dan tidak menggunakan kendaraan dalam
pengangkutan kayu.
Pemanfaatan tumbuhan berkayu yang dilakukan masyarakat setempat
sangat tinggi, sehingga pemanfaatan masyarakat yang terus menerus tersebut
dianggap dapat menyebabkan degradasi lahan, maka masyarakat berpendapat
perlu diadakannya kegiatan restorasi hutan terhadap spesies tumbuhan yang sering
dimanfaatkan. Kerjasama antara masyarakat setempat dengan pihak pengelola
taman nasional untuk menjaga kelestarian kawasan taman nasional berupa
keterlibatan masyarakat di dalam kegiatan restorasi hutan, dan masyarakat
diberikan upah oleh pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, hal ini
merupakan salah satu upaya pemberdayaan masyarakat. Dilakukan juga kegiatan
restorasi hutan berupa penanaman 10.000 bibit di lahan kosong sebagai upaya
perbaikan kawasan hutan yang terganggu atau pun lahan rusak. Setiap 1-2 bulan
sekali pihak Taman Nasional melakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat
sebagai upaya sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat, karena jika kesadaran
dan kepedulian masyarakat sudah tumbuh maka upaya dan aksi nyata yang
mereka lakukan akan dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan (Astriyantika,
2014).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya (Astriyantika, 2014)
menyatakan bahwa bentuk kerjasama Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
dengan masyarakat Ranu Pani antara lain: pembentukan Kader Konservasi,
pamswakarsa, paguyuban porter dan jeep, pembentukan MPA (masyarakat peduli
api), pembentukam MMP (masyarakat mitra polhut) dan pembentukan MPS
19

(masyarakat peduli sampah). Bahkan karena adanya kerjasama tersebut, beberapa


warga sudah mulai sadar dan melakukan penanaman tumbuhan yang dapat
dijadikan kayu bakar di ladang milik mereka, untuk mengurangi tingginya
pemanfaatan penggunaan kayu bakar dari dalam kawasan hutan dan memudahkan
dalam pengambilan kayu bakar pada saat musim hujan.
2.5.3. Pemberlakuan Sanksi Bagi Setiap Pelanggaran Aturan yang
Berpotensi Merusak Kawasan Hutan
Meskipun sudah ada kesepakatan dengan adanya AD/ART tersebut, tetapi
pelanggaran dalam pemanfaatan kayu bakar masih marak terjadi. Pengambilan
kayu bakar rata-rata sebanyak 1 pikul atau setara dengan 0,2 m dalam frekuensi
seminggu sekali. Kayu yang diambil biasanya disimpan untuk dikeringkan atau
langsung digunakan jika dirasa sudah kering. Sanksi yang diberlaku oleh pihak
taman nasional bagi masyarakat yang melanggar adalah setiap tertangkap tangan
melakukan pelanggaran pengambilan kayu bakar yang tidak sesuai ketentuan,
disanksi dengan 3 tahap: 1) setiap tertangkap melanggar satu kali, akan dikenakan
sanksi menanam bibit pohon akasia gunung atau cemara gunung sebanyak 100
bibit; 2) setiap tertangkap melanggar 2 kali, akan dikenakan sanksi menanam bibit
pohon akasia gunung dan cemara gunung sebanyak 200 bibit; 3) setiap tertangkap
melanggar 3 kali, akan diproses secara hukum. Sanksi pertama akan diberikan
kertas berwarna putih dengan ditanda tangani pihak dari taman nasional, pihak
pelanggar dan kepala desa. Penanaman dilakukan di sekitar lokasi penebangan.
Pelanggaran kedua sama halnya dengan pelanggaran pertama, perbedaannya
hanya di warna kertas yaitu kertas berwarna kuning (Tamam, 2014).
Bagi masyarakat yang mengangkut kayu dengan kendaraan bermotor akan
dikenakan sanksi apabila terlihat oleh pihak pengelola Taman Nasional, sanksi
yang
diberikan yaitu apabila masyarakat baru melakukan pelanggaran satu kali maka
masyarakat diharuskan menanam 100 bibit Akasia atau Cemara Gunung yang
bibitnya dicari sendiri, pabila masyarakat melakukan pelanggaran dua kali maka
masyarakat diharuskan menanam 200 bibit Akasia atau Cemara Gunung yang
bibitnya dicari sendiri dan masyarakat yang ketahuan melanggar untuk ke tiga kali
maka akan diproses secara hukum. Pemberian sanksi ini sudah didiskusikan oleh
20

pihak Taman Nasional dan kepala Desa serta telah disetujui oleh seluruh
masyarakat Desa Ranu Pane. Sanksi yang diberikan bertujuan untuk menjaga
kelestarian kawasan hutan (Nurrahim, 2014).
2.6. Faktor Penghambat dan Pendukung Strategi Pengelolaan Hutan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru
Berbagai kegiatan masyarakat yang dilakukan bersama-sama dalam hal
bertani, pencarian kayu bakar, dan mata pencaharian lainnya tersebut menciptakan
interaksi sosial antar masyarakat yang terus terjalin. Selain itu juga rutinitas
kegiatan masyarakat Tengger selalu dijaga dengan adanya berbagai upacara lokal
yang berlangsung dengan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dari kawasan
taman nasional (Suryadarma 2008). Perspektif masyarakat terkait kawasan hutan
semuanya sama yaitu hutan adalah peninggalan nenek moyang suku Tengger yang
harus dijaga kelestariannya dan tidak berbahaya jika manusia berperilaku baik.
Pengetahuan tentang sumberdaya alam dan satwa oleh masyarakat dirasa cukup
yaitu hutan memiliki sumberdaya alam yang dikelola dan dilindungi oleh
pemerintah dan memiliki peraturan yang harus ditaati, masyarakat juga setuju
dengan hal tersebut serta mendukung bahwa kawasan hutan harus dilestarikan
bersama agar bermanfaat untuk dunia pendidikan dan masa depan anak cucu
mereka (Astriyantika, 2014).
Masyarakat Suku Tengger memiliki latar belakang pendidikan yang
berbeda-beda (Gambar 2.5). Sebanyak 56% penduduknya berpendidikan Sekolah
dasar (SD) hal ini dikarenakan fasilitas untuk sekolah yang ada belum memadai,
seperti hanya terdapat 1 bangunan sekolah yang untuk pagi hari digunakan
sebagai sekolah dasar (SD) dan sore harinya digunakan untuk Sekolah Menengah
Pertama (SMP).
21

Gambar 2.4. Prosentase Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Masyarakat Sekitar


Taman Nasional (Sumber: Nurrahman, 2014).

Masyarakat sekitar yang hidup di dalam kawasan hutan dan memanfaatkan


kebutuhan hidupnya dari alam sekitar. Secara budaya masyarakat memiliki
hubungan yang erat dengan lingkungan alam sekitarnya oleh karena itu, dalam
tatanan kehidupan masyarakat telah memiliki kearifan lokal yang mengatur
hubungan dengan alam dan mustahil untuk memisahkan keterkaitan masyarakat
sekitar dengan kawasan konservasi (Wianti 2007). Menurut Peraturan menteri
Kehutanan No.56 tahun 2006 zona pemanfaatan tradisional ditetapkan sebagai
bagian dari Taman Nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan
tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan
dengan Sumberdaya Alam Hayati dan dimanfaatkan secara lestari melalui
pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhanhidupnya. Sebelum
masuknya perladangan dan aturan dari taman nasional masyarakat memanfaatkan
tumbuhan pangan seperti tiwul dan semanggi dari dalam hutan.
Tingginya pemanfaatan tumbuhan oleh suatu masyarakat atau suku juga
dipengaruhi oleh tersedianya keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi di
lokasi tersebut. Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dipengaruhi oleh
ketinggian tempat. Semakin tinggi tempat, maka semakin rendah keanekaragaman
spesies tumbuhan pada lokasi tersebut (Primack et al. 1998). Desa Ranu Pani
terletak pada ketinggian 2200 m dpl. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat
keanekaragaman spesies yang dapat dimanfaatkan. Jenis tumbuhan yang
ditemukan pada saat penelitian berjumlah 21 spesies. Tidak ada waktu tertentu
untuk pemanfaatan pada tumbuhan pangan maupun tumbuhan obat (Nurrahman,
2014).
Manfaat hutan tak jauh dari manfaat ekonomi semata. Responden
mengkaitkan manfaat hutan kepada manfaat langsung (direct and tangible benefit)
semata. Hutan hanya bermanfaat diambil kayunya dan diambil rumputnya,
sedangkan untuk manfaat tidak langsung sebagaimana fungsi hutan konservasi
pada umumnya tidaklah muncul. Dalam benak mereka hutan TNBTS adalah
komoditas pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti pemenuhan kebutuhan kayu
bakar, kebutuhan peternakan dalam pengambilan rumput, kebutuhan ekonomi
22

dalam penjualan kayu bakar, anggrek, pakis dan satwa. Kesadaran akan dampak
rusaknya Hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga terlihat. Namun
kenyataan kemiskinan, kurangnya penghasilan dan sulitnya mencari pekerjaan
merupakan permasalahan setiap orang yang ada disekitar hutan. Namun kenyataan
sosial tersebut akhirnya dijadikan sebuah pembenaran kolektif terhadap
pengambilan kayu bakar yang dilakukan secara serentak, bersama-sama. Seakan-
akan ada sebuah nilai yang merestui pengambilan kayu di dalam hutan. Kegiatan
pengambilan kayu di hutan bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan rumah
tangga masyarakat dalam memenuhi kehutuhan memasak rumah tangga di dapur,
namun pengambilan kayu bakar sudah menjadi komoditas ekonomi masyarakat
secara umum (Yanto, 2008).
Berdasarkan penelitian Astriyantika (2014), pendatang membawa dampak
negatif terhadap sistem kehidupan masyarakat Suku Tengger, hal ini dikarenakan
pendatang membawa sistem kehidupan yang lebih modern. Sistem kehidupan
modern terasa lebih mudah dan lebih praktis. Rata-rata pekerjaan masyarakat
pendatang bekerja sebagai penyewa jeep dan berdagang (membuka warung).
Karena menurut Spillane (dalam Sunarminto, 2012), salah satu faktor yang
mempengaruhi permintaan pariwisata adalah mobilitas yang timbul oleh berbagai
macam dorongan kebutuhan/kepentingan yang dikenal dengan istilah motivasi
untuk memenuhi kebutuhan rekreasi dalam arti luas. Masyarakat pendatang tidak
mengetahui pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat asli
dan campuran. Tetapi masyarakat pendatang menghargai tradisi adat yang
dilakukan oleh masyarakat dengan cara mengikuti upacara tersebut.
Dilihat dari pemanfaatan kayu bakar yang telah jauh kearifan tradisional
yang bertujuan untuk melestarikan kawasan hutan agar dapat dimanfaatkan secara
lestari dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku tengger telah kehilangan
pemahamannya mengenai kearifan tradisional yang telah diajarkan oleh nenek
moyang mereka (Nurrahman, 2014). MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa
keberhasilan pengelolaan banyak tergantung kepada persepsi masyarakat terhadap
suatu kawasan. Aturan dan norma yang dibuat harus saling menguntungkan
sehingga diharapkan norma dan aturan ini sebagai akumulasi dari pengetahuan
masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun.
23

Anda mungkin juga menyukai