Bab Ii
Bab Ii
KAJIAN PUSTAKA
5
6
Gambar 2.1. Luas Kawasan Hutan di Provinsi Jawa Timur (Sumber: Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012).
7
Berdasarkan gambar diatas, dapat diketahui bahwa 57, 51% kawasan hutan yang
ada di Provinsi Jawa Timur merupakan hutan produksi tetap, 25,33% hutan
lindung dan hanya sekitar 17,16% saja yang merupakan hutan konservasi.
Diketahui pula dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur (2012), luas
lahan kritis di Jawa Timur berdasarkan hasil inventarisasi pada tahun 2007 sebesar
780.956 ha dengan kategori kritis 533.841 ha dan kategori sangat kritis 247.115
ha. Pada tahun 2011, luas lahan kritis tersebut mengalami penurunan menjadi
608.913 ha dengan kategori kritis 506.336 ha dan kategori sangat kritis 102.577
ha. Salah satu upaya untuk menghijaukan lahan kritis tersebut dilakukan kegiatan
rehabilitasi lahan di dalam dan diluar kawasan hutan. Melalui kegiatan penanaman
dan pemeliharaan 1 miliar pohon, pada tahun 2010 telah tertanam sebanyak
188.142.896 pohon dan pada tahun 2011 telah tertanam sebanyak 187.667.123
pohon.
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) merupakan satu di
antara beberapa taman nasional yang ada di Propinsi Jawa Timur yang memiliki
peranan penting dalam menjaga fungsi keseimbangan ekosistem kawasan yang
ada di daerah sekitar Jawa Timur. Fungsi penting TNBTS bagi masyarakat Jawa
Timur pada umumnya adalah dimilikinya fungsi hidrologi sebagai daerah
tangkapan air di DAS Brantas dan DAS Sampean Madura, keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi, memproduksi oksigen dengan potensi vegetasi hutan
hujan tropis yang rapat pada zona inti dan zona rimba, serta fungsi ekonomi bagi
masyarakat yang mencari keuntungan langsung dan keuntungan tidak langsung
dari kawasan zona pemanfaatan tradisonal seperti potensi wisata alam yang
mendatangkan pengunjung dari dalam dan luar negeri (Yanto, 2008).
Pada awalnya status kawasan TNBTS dinyatakan dalam Keputusan
Menteri Pertanian dalam No: 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 Luas
58.000 Ha. Dengan status sebagai kawasan sebagai Cagar Alam Ranu Kumbolo
seluas 1.403 hektar, Taman Wisata Laut Pasir Tengger seluas 2,67 hektar, Taman
Wisata Ranu Pane dan Ranu Regulo seluas 96 hektar, Taman Wisata Darungan
seluas 380 hektar, Hutan Lindung dan Hutan Produksi terbatas seluas 43.210
hektar. Selanjutnya lahirnya kawasan ini sebagai TNBTS dikeluarkan secara resmi
oleh Menteri Kehutanan RI ditunjuk : SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan
8
melakukan alih fungsi lahan di kawasan hutan TNBTS, seperti menanam jenis
jagung di beberapa petak. Kegiatan sebagian warga adalah melakukan penanaman
di sebagian lahan TNBTS.
2.2.2. Flora dan Fauna
Kawasan konservasi di Provinsi Jawa Timur memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi baik flora maupun faunanya. Keanekaragaman hayati ini tidak
terlepas dari berbagai tipe formasi vegetasi yang membentuk kawasan konservasi
tersebut. Berbagai tipe formasi vegetasi tersebut diantaranya ekosistem
pegunungan, perairan, mangrove, pantai, payau, rawa, hutan dataran rendah,
savana, dan lainnya. Sebagai contoh tipe vegetasi pegunungan terdiri dari cemara
gunung, bunga eidelweiss, mentigi; tipe vegetasi mangrove terdiri dari api-api dan
bakau; tipe vegetasi dataran rendah terdiri dari pulai, suren, dan lainnya.
Keberadaan flora ini juga menentukan habitat dari beberapa satwa yang memiliki
ketergantungan terhadapnya. Kawasan konservasi di Provinsi Jawa Timur
memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi yang dapat dimanfaatkan
secara lestari. Berbagai tumbuhan obat dan fauna dapat dimanfaatkan melalui
berbagai teknik budidaya/penangkaran (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur,
2012).
2.2.3. Jasa Lingkungan
Hutan-hutan Indonesia juga menyimpan jumlah karbon yang sangat besar.
Menurut Food and Agriculture Organization (2006), jumlah total vegetasi hutan di
Indonesia menghasilkan lebih dari 14 miliar ton biomassa. Jumlah biomassa ini,
secara kasar menyimpan sekitar 3,5 miliar ton karbon. Mengingat penebangan
hutan yang sudah berlangsung secara ekstensif di Indonesia, sementara hutan yang
ditanami kembali sangat terbatas, kemungkinan besar perubahan tutupan lahan ini
justru lebih banyak menghasilkan karbon daripada menyimpannya. Sehingga
memberikan andil terhadap pemanasan global.
Jasa-jasa lingkungan seperti ini sulit untuk diukur. Semakin menurunnya
jasa lingkungan ini sulit sekali dinilai dalam ukuran dolar. Para ahli sudah
berusaha untuk memberikan nilai ekonomi bagi berbagai barang dan jasa
lingkungan yang tidak dapat diperjualbelikan di pasaran. Dengan menggunakan
beragam asumsi dan pendekatan metodologi, banyak ahli memberikan nilai bagi
11
hutan tropis yang berkisar dari ratusan sampai ribuan dolar per hektar. Secara teori
nilai ekonomi keanekaragaman hayati dan simpanan karbon saat ini jauh melebihi
pendapatan yang diperoleh dari produksi kayu bulat (Holmes, 2002).
Sebagian besar kawasan konservasi di Provinsi Jawa Timur menghasilkan
jasa lingkungan berupa air yang dimanfaatkan secara komersial maupun non
komersial. Lebih rinci lagi, jasa lingkungan hutan di Jawa Timur diperlihatkan
pada Tabel 2.2. Diantara kawasan tersebut yang menghasilkan jasa lingkungan
berupa air adalah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Berdasarkan hasil
inventarisasi di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terdapat 45
potensi sumberdaya air yang terdiri dari 25 sungai, 5 danau, 28 mata air dan 2 air
terjun (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, 2012).
Tabel 2.2. Jenis Jasa Lingkungan di Jawa Timur
Gambar 2.3. Hubungan alam dan ekonomi (Sumber: Annawati van Paddenburg, et
al., 2012).
Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dengan berbagai strategi
ekonomi "portofolio" tradisional, yakni menggabungkan perladangan padi
berpindah dan tanaman pangan lainnya dengan memancing, berburu, menebang
dan menjual kayu, dan mengumpulkan hasil hutan nonkayu seperti rotan, madu,
dan resin untuk digunakan dan dijual. Budidaya tanaman perkebunan seperti kopi
dan karet juga merupakan sumber pendapatan yang penting (Holmes, 2002).
Kegiatan konservasi di dalam kawasan hutan dapat dilakukan dengan cara
yang beraneka ragam untuk menjaga kelestarian hutan. Menurut Astriyantika
(2014), kegiatan konservasi yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan antara
lain konservasi air dan lahan sekitar DAS yang juga merupakan tujuan sektor
kehutanan. Selain itu, kawasan hutan juga memiliki berbagai macam spesies flora
dan fauna yang perlu perlindungan dengan membangun kembali habitat yang
rusak (Rinaldi, 2012). Masyarakat sekitar hutan yang secara dominan melakukan
interaksi dengan sumberdaya alam hayati di dalam hutan memiliki peran yang
sangat penting untuk turut melakukan aksi konservasi hutan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Cara pengambilan tumbuhan oleh masyarakat Desa Ranu Pane diperoleh
dengan cara memungut, memotong, memetik dan menebang. Cara pengambilan
tertinggi adalah dengan cara memungut, seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.
16
pihak Taman Nasional dan kepala Desa serta telah disetujui oleh seluruh
masyarakat Desa Ranu Pane. Sanksi yang diberikan bertujuan untuk menjaga
kelestarian kawasan hutan (Nurrahim, 2014).
2.6. Faktor Penghambat dan Pendukung Strategi Pengelolaan Hutan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru
Berbagai kegiatan masyarakat yang dilakukan bersama-sama dalam hal
bertani, pencarian kayu bakar, dan mata pencaharian lainnya tersebut menciptakan
interaksi sosial antar masyarakat yang terus terjalin. Selain itu juga rutinitas
kegiatan masyarakat Tengger selalu dijaga dengan adanya berbagai upacara lokal
yang berlangsung dengan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dari kawasan
taman nasional (Suryadarma 2008). Perspektif masyarakat terkait kawasan hutan
semuanya sama yaitu hutan adalah peninggalan nenek moyang suku Tengger yang
harus dijaga kelestariannya dan tidak berbahaya jika manusia berperilaku baik.
Pengetahuan tentang sumberdaya alam dan satwa oleh masyarakat dirasa cukup
yaitu hutan memiliki sumberdaya alam yang dikelola dan dilindungi oleh
pemerintah dan memiliki peraturan yang harus ditaati, masyarakat juga setuju
dengan hal tersebut serta mendukung bahwa kawasan hutan harus dilestarikan
bersama agar bermanfaat untuk dunia pendidikan dan masa depan anak cucu
mereka (Astriyantika, 2014).
Masyarakat Suku Tengger memiliki latar belakang pendidikan yang
berbeda-beda (Gambar 2.5). Sebanyak 56% penduduknya berpendidikan Sekolah
dasar (SD) hal ini dikarenakan fasilitas untuk sekolah yang ada belum memadai,
seperti hanya terdapat 1 bangunan sekolah yang untuk pagi hari digunakan
sebagai sekolah dasar (SD) dan sore harinya digunakan untuk Sekolah Menengah
Pertama (SMP).
21
dalam penjualan kayu bakar, anggrek, pakis dan satwa. Kesadaran akan dampak
rusaknya Hutan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga terlihat. Namun
kenyataan kemiskinan, kurangnya penghasilan dan sulitnya mencari pekerjaan
merupakan permasalahan setiap orang yang ada disekitar hutan. Namun kenyataan
sosial tersebut akhirnya dijadikan sebuah pembenaran kolektif terhadap
pengambilan kayu bakar yang dilakukan secara serentak, bersama-sama. Seakan-
akan ada sebuah nilai yang merestui pengambilan kayu di dalam hutan. Kegiatan
pengambilan kayu di hutan bukan hanya sebatas pemenuhan kebutuhan rumah
tangga masyarakat dalam memenuhi kehutuhan memasak rumah tangga di dapur,
namun pengambilan kayu bakar sudah menjadi komoditas ekonomi masyarakat
secara umum (Yanto, 2008).
Berdasarkan penelitian Astriyantika (2014), pendatang membawa dampak
negatif terhadap sistem kehidupan masyarakat Suku Tengger, hal ini dikarenakan
pendatang membawa sistem kehidupan yang lebih modern. Sistem kehidupan
modern terasa lebih mudah dan lebih praktis. Rata-rata pekerjaan masyarakat
pendatang bekerja sebagai penyewa jeep dan berdagang (membuka warung).
Karena menurut Spillane (dalam Sunarminto, 2012), salah satu faktor yang
mempengaruhi permintaan pariwisata adalah mobilitas yang timbul oleh berbagai
macam dorongan kebutuhan/kepentingan yang dikenal dengan istilah motivasi
untuk memenuhi kebutuhan rekreasi dalam arti luas. Masyarakat pendatang tidak
mengetahui pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat asli
dan campuran. Tetapi masyarakat pendatang menghargai tradisi adat yang
dilakukan oleh masyarakat dengan cara mengikuti upacara tersebut.
Dilihat dari pemanfaatan kayu bakar yang telah jauh kearifan tradisional
yang bertujuan untuk melestarikan kawasan hutan agar dapat dimanfaatkan secara
lestari dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku tengger telah kehilangan
pemahamannya mengenai kearifan tradisional yang telah diajarkan oleh nenek
moyang mereka (Nurrahman, 2014). MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa
keberhasilan pengelolaan banyak tergantung kepada persepsi masyarakat terhadap
suatu kawasan. Aturan dan norma yang dibuat harus saling menguntungkan
sehingga diharapkan norma dan aturan ini sebagai akumulasi dari pengetahuan
masyarakat yang telah dilakukan secara turun temurun.
23