Anda di halaman 1dari 7

Reaksi Reversal Lambat pada Penderita Kusta Multibasiler (Tipe Lepromatosa),

Dua Tahun Setelah Pengobatan Regimen MDT-WHO dan R-O-M

Ninda Sari, Lisa Yuniati, Sri Vitayani, Muh. Dali Amiruddin, Widyawati Djamaluddin, A.M Adam,
Safruddin Amin
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNHAS/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar

Abstrak

Latar Belakang: Munculnya lesi kulit dan atau saraf baru setelah durasi tertentu Multi-Drug Therapy
(MDT) pada kusta multibasiler (MB) dapat terjadi.
Kasus: Pasien kusta tipe lepromatosa, release from treatment (RFT) selama 2 tahun. Hasil
pemeriksaan hapusan kulit dan histopatologi tidak ditemukan basil Mycobacterium leprae. Dilakukan
tes pengobatan kortikosteroid selama 4 minggu dan didapatkan remisi lesi-lesi.
Diskusi: Reaksi reversal (RR) jarang terjadi beberapa tahun setelah selesai multi-drug therapy (MDT).
RR tipe lambat pada kasus yang meragukan dapat disingkirkan menggunakan siklus pengobatan
kortikosteroid

Kata Kunci: Kusta, relaps, reaksi, reinfeksi

Abstract

Background: The emergence of new of skin and or nerve lesions after fixed duration of Multi-Drug
Therapy (MDT) in multibacillary (MB) leprosy is could be happened.
Case: A lepromatous (LL) leprosy patient which occurred two years after release from treatment
(RFT). There are no Mycobacterium leprae bacill was founded from skin smear and histopatologic
examination. Therapeutic trial of corticosteroid was done for four weeks and revealed complete
subsidence of the lesions.
Discussion: Reversal reaction (RR) which is occur many years after completion of multi-drug therapy
(MDT) is rarely. Late RR could be ruled out in a doubtful case, using a therapeutic course of
corticosteroids

Key words: Leprosy, relapse, reaction, reinfection

1
PENDAHULUAN

Kusta (Morbus Hansen) merupakan penyakit infeksi granulomatous kronis yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae, terutama menyerang saraf perifer dan kulit, namun dapat juga mengenai
1-3
organ lain kecuali susunan saraf pusat. Sejak tahun 1982, World Health Organization (WHO)
mengklasifikasikan pasien-pasien kusta menjadi kusta multibasiler (MB) dan pausibasiler (PB). Kusta
PB saat ini didiagnosis jika ditemukan lima atau kurang lesi kulit kusta, sedangkan lebih dari lima lesi
mengindikasikan kusta MB. Hasil hapusan lesi yang positif dimasukkan dalam klasifikasikan sebagai
4
multibasiler, berapapun lesi kulit yang ada.

Word Health Organization (WHO) merekomendasikan standar pengobatan kusta dengan


5,6
pemberian Multi-Drug Therapy (MDT). Regimen tersebut terdiri dari rifampisin, dapson dan
klofazimin yang diberikan untuk pasien-pasien kusta MB selama dua tahun atau hingga hapusan kulit
6,7
negatif. Namun, sejak tahun 1998, WHO juga merekomendasikan pengobatan kusta MB hanya
6
selama 12 bulan dan PB selama enam bulan. Pasien-pasien kusta PB seharusnya dimonitoring
8
minimal tiga tahun dan pasien-pasien MB selama sembilan tahun. Beberapa obat-obatan baru yang
bersifat bakterisidal terhadap M.leprae telah diidentifikasi seperti golongan fluorokuinolon, minosiklin
5
dan klaritromisin.

Keberadaan lesi-lesi baru setelah release from treatment (RFT), baik lesi kutaneus dan/atau
neural, pada kusta tipe multibasiler (MB) dan pausibasiler (PB), dapat terjadi karena relaps, reaksi
9
atau reinfeksi. Relaps dapat terjadi akibat terapi yang inadekuat, adanya basil yang persisten,
10
resistensi obat atau reinfeksi. Berdasarkan panduan kontrol kusta (WHO 1988), relaps terjadi pada
seorang pasien yang telah menyelesaikan pengobatan satu siklus, kemudian terjadi tanda-tanda dan
gejala-gejala baru baik selama periode monitoring (2 tahun untuk kusta PB dan 5 tahun untuk kusta
8
MB atau setelahnya.

Relaps terkadang sangat sulit dibedakan dengan penyebab yang lainnya dan dapat
9
bermanifestasi seperti reaksi (reaksi reversal lambat atau eritema nodosum leprosum). Reaksi
11
reversal merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat, dan sering terjadi pada kusta tipe
12,13
borderline. Umumnya RR terjadi enam hingga 12 bulan setelah pengobatan dimulai, namun studi-
studi sebelumnya tidak melaporkan monitoring untuk jangka panjang. Berdasarkan data AMFES
(Ethiopia), RR dilaporkan terjadi paling lambat lima tahun setelah awal pengobatan, baik pada pasien-
14
pasien PB dan MB.

Reaksi reversal dianggap ringan jika hanya ditemukan peningkatan eritema dan pembengkakan
lokal dari lesi-lesi yang telah ada. Reaksi dianggap sedang hingga berat jika disertai dengan demam,
4
malaise, edema, ulserasi, timbulnya lesi-lesi baru yang reaktif dan/atau neuritis. Reaksi reversal
lambat sangat sulit dibedakan dengan relaps kusta tipe PB. Tindakan konfirmasi dilakukan percobaan
9
pengobatan dengan kortikosteroid selama 4-6 minggu. Apabila lesi-lesi kulit dan/atau saraf baru
4
hilang, kondisi tersebut dianggap RR. Rekurensi kusta juga bisa disebabkan karena reinfeksi.
8
Reinfeksi merupakan kondisi yang sangat sulit dibuktikan, terutama di suatu area yang endemik.

Dilaporkan satu kasus munculnya lesi-lesi baru dua tahun setelah RFT regimen MDT-WHO
selama empat bulan ditambah regimen ROM selama enam bulan. Penelusuran dengan pemeriksaan
hapusan kulit, pemeriksaan histopatologi dan tes steroid dilakukan untuk membedakan antara relaps
dan reaksi.

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki, usia 23 tahun, datang ke poli kulit dan kelamin RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo (29/9/2010) dengan keluhan timbul bercak-bercak merah di wajah, badan lengan dan
kaki sejak tiga hari yang lalu. Awalnya bercak-bercak timbul di badan, lengan dan kaki. Bercak pada
wajah sebelah kiri dan bibir bengkak dialami satu hari yang lalu. Bibir dirasakan tebal, sedangkan lesi
badan dan kaki tidak gatal serta tidak ada keluhan nyeri sendi. Riwayat demam atau malaise juga
tidak ada. Pasien menyangkal mengkonsumsi obat-obatan sebelum lesi muncul.

Pasien pernah mengalami lesi yang sama pada bulan juli 2007, didapatkan penurunan fungsi
sensoris (sensibilitas panas dan dingin) dan pembesaran saraf aurikularis magnus dan ulnaris, serta
pemeriksaan histopatologi menunjang sebagai kusta lepromatosa (LL) disertai eritema nodosum
2
leprosum (ENL). Hasil pemeriksaan
emeriksaan bakteriologis saat itu negatif. Riwayat menjalani terapi MDT MB
selama empat bulan, kemudian terapi diganti dengan
dengan kombinasi rifampisin, ofloksasin
ofloksas dan minosiklin
(ROM) karena
arena keluhan hiperpigmentasi. Terapi ROM yang diberikan yaitu rifampisin 600 mg sekali
sebulan ditambah ofloksasinin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap dua hari sekali, selama enam
bulan. Hasil pemeriksaan bakteriologis paska terapi ROM enam bulan didapatkan indeks bakteriologi
(IB) dan indeks morfologi (IM) negatif (0). Riwayat kontak serumah
umah atau lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan kerja dengan penderita kusta disangkal.

Hasil pemeriksaan fisik ditemukan plak eritematous, multipel, tepi yang jelas tanpa disertai
skuama di badan, punggung, kedua ektremitas superior, dan kedua ekstremitas inferior (Gambar 1a- 1a
d). Edema bibir dan plak-plak
plak eritematous pada regio fasialis sinistra juga terlihat (Gambar 1e-f). Tes
fungsi sensoris (sensibilitas raba, tajam, tumpul, panas dan dingin)) didapatkan hipoestesia.
Pembesaran saraf ditemukan pada kedua saraf aurikularis magnus,, ulnaris, peroneus komunis k dan
tibialis posterior tanpa disertai nyeri. Pemeriksaan fungsi dan kekuatan otot dalam batas normal.
Diagnosis kerja saat itu adalah kusta tipe BL (relaps) dan didiagnosis banding dengan RR. Pasien
setuju untuk menjalani pemeriksaan bakteriologis
bakteri dan histopatologi. Spesimen biopsi diambil dari lesi
di punggung, paska biopsi diberikan cefadroksil 2x500 mg/hari selama tujuh hari, asam mefenamat
3x500 mg bila nyerieri dan perawatan luka.

Hasil pemeriksaan
iksaan hapusan kulit didapatkan indeks bakteriologi (IB) dan indeks morfologi (IM)
nol. Hasil pemeriksaan
emeriksaan histopatologi oleh bagian patologi anatomi dinyatakan sesuai untuk MH tipe TT
(Gambar 2). Pasien masih belum bisa dinyatakan sebagai kasus relaps, sehingga dilakukan
penelusuran lebih lanjut dengan pemberian terapi kortikosteroid (prednison) 15 mg/hari selama dua
minggu ditambah neutrotropik.
neutrotropik Kontrol dua minggu pemberian prednison, on, lesi-lesi
lesi di wajah, tangan,
badan dan ekstremitas inferior distal
di sudah hilang. Beberapa lesi yang masih tampak di punggung
terlihat makula
ula eritema minimal di punggung dan makula hiperpigmentasi di kedua regio femoralis
(Gambar 3). Berdasarkan hasil pemeriksaan hapusan kulit, histopatologi dan konfirmasi kortikosteroid,
kortikoster
maka diagnosis ditegakkan sebagai RR lambat. Prednison n diturunkan menjadi 10 1 mg/hari dan
neurotropik selama dua minggu, sudah tidak terlihat lesi-lesi aktif (Gambar 4).

a b c d

e f
Gambar 1. (a-d) tampak lesi plak eritematous dengan tepi yang jelas disertai infiltrat pada badan,
punggung, ekstremitas superior dan inferior. (e,f)) Plak eritematous dan edema bibir juga tampak pada
pasien ini.

3
Gambar 2. Tampak lapisan epidermis atrofi, pada dermis hanya sedikit granuloma histiosit, foamy cell
dengan limfosit matang dominan di sekitar adneksa, infiltrat limfosit mulai menembus basal membrana
membr
epidermis. Z.N: negatif (-)

Gambar 3. Edema bibir dan lesi pada wajah hilang. Tidak ditemukan lesi
lesi pada tangan, badan dan
ekstremitas inferior distal. Beberapa lesi makula eritema
e minimal masih tampak di punggung, dan
tampak makula hiperpigmentasi di kedua regio femoralis

Gambar 4. Dua minggu konsumsi prednison 10 mg/hari, tidak ditemukan lesi-lesi


lesi aktif.

4
PEMBAHASAN

Beberapa kemungkinan bila timbul lesi-lesi baru setelah RFT yaitu: interval 0,5-3 tahun dapat
terjadi karena RR akibat peningkatan imunitas seluler atau relaps dini akibat MDT inadekuat; interval
3-10 tahun penyebabnya mungkin karena RR lambat atau relaps lambat atau bisa juga disebabkan
9
karena reinfeksi oleh basil M.leprae (inkubasi maksimum tidak lebih dari 10 tahun).

Reaksi kusta merupakan fenomena imunologis yang terjadi sebelum, selama atau setelah
11
pengobatan MDT. MDT dengan kombinasi obat-obat yang efektif dapat membunuh bakteri M.leprae
hampir 100%. Residual bakteri dan/atau fragmen bakteri harus tetap dibersihkan oleh sistem imun.
Oleh karena itu, meskipun telah dinyatakan sembuh, pasien-pasien kusta tersebut masih mungkin
15
mengalami reaksi. Antigen yang berasal dari basil mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai
perubahan sistem imunitas seluler (SIS) yang cepat. Sebagai hasil reaksi tersebut, dapat terjadi
16
upgrading/reversal atau downgrading.

Pasien pada kasus telah dilakukan pemeriksaan hapusan kulit dan histopatologi lesi tetapi tidak
ditemukan adanya basil M.leprae. Hasil tersebut tidak memenuhi salah satu kriteria relaps menurut
WHO. Namun, Kriteria relaps menurut WHO kurang sensitif dan spesifik karena relaps yang terjadi
dengan hasil IB <2+ tidak akan terdiagnosis. Hal ini dapat terjadi pada awal multiplikasi kembali dan
pada pasien-pasien dengan imunitas yang baik, sehingga tidak pernah muncul dengan IB yang tinggi.
Indeks bakteriologi (IB) yang positif juga tidak hanya menunjukkan organisme yang bermultiplikasi,
17
karena IB mencakup basil yang hidup dan mati.

Reaksi reversal atau disebut juga reaksi tipe I ditandai oleh terjadi inflamasi akut pada lesi-lesi
kulit atau saraf atau keduanya. Meskipun jarang, kusta bentuk polar juga mungkin mengalami RR dan
11
dapat terjadi beberapa tahun setelah pengobatan selesai. Insidensi RR setelah selesai MDT kurang
terdokumentasi dengan baik karena kurangnya monitoring jangka panjang. Sampai saat ini sulit untuk
membandingkan frekuensi RR pada kelompok pasien kusta PB dan MB berdasarkan studi-studi dari
pusat-pusat penelitian yang berbeda. Hal tersebut mungkin disebabkan karena variasi antara waktu
diagnosis dan mulainya pengobatan MDT, durasi MDT, durasi regimen steroid, dan kualitas program
kontrol penyakit kusta. Studi yang dilakukan oleh Kumar dkk menunjukkan bahwa prosentase insiden
14
RR lambat pada kusta tipe PB dan MB adalah 4,2% dan 5,3%. Faktor-faktor resiko terjadinya RR
yaitu kusta MB, keterlibatan area tubuh yang banyak atau jumlah lesi lebih dari enam, jenis kelamin
14 11
wanita dan disabilitas tingkat 1 atau 2.

Hasil studi yang dilakukan Brito dkk, 13,5% (21/155) kasus diterapi kembali sebagai relaps
setelah 1 tahun RFT. Kebanyakan kasus tersebut kemungkinan manifestasi klinis dari reaksi, hal ini
18
karena sulitnya menegakkan diagnosis dan konfirmasi kriteria relaps di pusat-pusat rujukan. Reaksi
19
reversal yang terjadi dua tahun setelah selesai pengobatan dinyatakan sebagai RR lambat. Reaksi
10
reversal lambat pada kasus-kasus yang meragukan dapat disingkirkan menggunakan tes steroid.
Percobaan kortikosteroid terdiri dari prednison 40 mg/hari selama 2 minggu kemudian 30 mg/hari
untuk 2 minggu kemudian sehingga lamanya menjadi 4 minggu. Jika lesi kulit dan/atau saraf yang
baru telah hilang, maka kondisi tersebut dinyatakan sebagai RR. Sebaliknya, tidak adanya respon
4
klinis terhadap steroid tersebut maka kasus dianggap suatu relaps.

Pasien kasus berespon terhadap kortikosteroid yang diberikan, tetapi dosis yang digunakan
sesuai dengan dosis medium yang direkomendasikan oleh The First European Workshop on
12 5
Glucocorticoid Therapy. Dosis diturunkan 5 mg setiap 2-4 minggu, sesuai dengan yang diberikan
pada pasien ini. Literatur lain menyebutkan bahwa dosis kortikosteroid 15-20 mg merupakan dosis
20
minimal untuk mengontrol RR pada periode awal dengan durasi terapi yang bervariasi. Sesuai
dengan onset muncul lesi-lesi baru pada pasien ini dan sesuai hasil tes pengobatan steroid, maka
pasien didiagnosis sebagai RR lambat. Derajat beratnya reaksi pada pasien termasuk ringan, karena
hanya ditemukan eritem dan edema minimal pada kulit, pembesaran saraf yang tidak nyeri dan tidak
16
disertai gejala sistemik.

Hasil pemeriksaan histopatologi pasien sesuai untuk lesi kusta MB yang telah diobati.
Granuloma-granuloma lesi-lesi kusta MB yang telah diobati secara perlahan akan hilang, tanpa sisa
fibrosis atau formasi skar. Sel-sel foamy bertahan selama periode yang lama di dalam jaringan,
hingga beberapa tahun setelah hapusan kulit telah negatif. Inflamasi kronis non-spesifik yang ditandai

5
oleh deposisi limfosit fokal di sekitar adneksa kulit juga akan bertahan pada lesi-lesi LL yang telah
8
sembuh beberapa tahun.

Diagnosis RR biasanya dibuat secara klinis, tetapi terkadang biopsi kulit digunakan untuk
12
membantu diagnosis. Secara umum, RR ditandai oleh edema di dalam dan sekitar granuloma, dan
proliferasi fibrosit di dalam dermis. Perbedaan antara reaksi upgrading dan downgrading sulit
diketahui dan membutuhkan pemeriksaan serial. Gambaran histopatologi upgrading ditandai oleh
21
granuloma lebih epitheloid dan aktif, banyak limfosit dan giant cell langhans bertambah besar.
Pasien-pasien kusta MB yang mengalami upgrade selama terapi akan menunjukkan old foamy
19
macrophages dan bercampur dengan granuloma-granuloma sel epitheloid yang baru. Namun, RR
sering tidak terdiagnosis oleh seorang ahli patologi, meskipun secara klinis tampak RR (under
12
diagnose).

Studi insidensi RR lambat pada pasien-pasien kusta MB setelah pengobatan MDT oleh
Vijayakumaran dkk didapatkan sebanyak 11 pasien mengalami RR lambat, yaitu pada kusta tipe BL
15
dan LL dan terbanyak timbul tiga tahun setelah pengobatan selesai. Thacker dkk melaporkan satu
18
kasus RR lambat 10 tahun setelah pengobatan MDT MB pada pasien kusta tipe borderline. Pattyn
dkk melaporkan satu kasus lainnya RR lambat pada pasien kusta MB yang terjadi empat tahun
22
setelah terapi kombinasi (rifampisin-prothionamid-dapson).

Reinfeksi oleh M.leprae eksogen mungkin saja terjadi jika sumber infeksi tetap ada dalam
komunitas. Kasus-kasus kusta tipe LL yang telah diterapi adekuat (inaktif) tetap rentan terjadi lesi
kusta baru akibat reinfeksi, karena pasien-pasien tersebut tetap imunokompromais (anergis) walaupun
9
telah didapatkan status klinis dan bakteriologi inaktif. Sumber infeksi pasien kasus disangkal dari
anamnesa, namun reinfeksi pada pasien juga tidak dapat disingkirkan, karena sangat sulit dibuktikan
8
untuk area yang endemik.

6
DAFTAR PUSTAKA
rd
1. Bryceson A, Pfalzgraff RE. Leprosy. 3 ed. London: Churchill livingstone; 2002
2. Rea TH, Modin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
th
DJ, eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York: McGraw-Hill Medical;
2008. p.1786-96
nd
3. Pfaltzgraff RE, Ramu G. Clinical leprosy. In: Hasting RC, Opromolla DVA, eds. Leprosy. 2 ed.
London: Churchill livingstone; 1994. p.237-85
4. Balagon MF, Cellona RV, Abalos RM, Gelber RH, Saunderson PR. The efficacy of a four-week,
ofloxacin-containing regimen compared with standard WHO-MDT in PB leprosy. Lepr Rev
2010;81:27-33
5. Lockwood DNJ. Leprosy. In: In: Burn T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rooks
th
Textbook of Dermatology. 7 ed. USA: Blackwell Science; 2004. p.29.1-21
6. Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL. The continuing challenges of leprosy. Clin
Microbiol Rev 2006;19(2):338-81
7. Sales AM, Sabroza PC, Nery JA, Duppre NC, Sarno EN. No difference in leprosy treatment
outcomes comparing 12- and 24-dose multidrug regimens: a preliminary study. Cad Saude
Publica 2007;23(4):815-22
8. Kaimal S, Thappa DM. Relapse in leprosy. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009;75:126-34
9. Kar HK, Sharma P. New lesions after MDT in PB and MB leprosy: a report of 28 cases. Indian J
Lepr 2008;80:247-55
10. Shetty VP, Wakade AV, Ghate SD, Pai VV, Ganapati RR, Antia NH. Clinical, histopathological
and bacteriological study of 52 referral MB cases relapsing after MDT. Lepr Rev 2005;76:241-52
11. Kahawita IP, Walker SL,Lockwood DNJ. Leprosy type I reactions and erythema nodosum
leprosum. An Bras Dermatol 2008;83(1):75-82
12. Walker SL, Lockwood DNJ. Leprosy type I (reversal) reaction and their management. Lepr Rev
2008;79:372-86
13. Worobec SM. Treatment of leprosy/Hansens disease in the early 21st century. Dermatol Ther
2009;22:518-37
14. Kumar B, Dogra S, Kaur I. Epidemiological characteristics of leprosy reactions: 15 years
experience from North India. Int J Lepr 2004;72(2):125-33
15. Vijayakumaran P, Manimozhi N, Jesudasan K. Incidence of late lepra reaction among
multibacillary leprosy patients after MDT. Int J Lepr 1995;63(1):18-22
16. Linder K, Zia M, Kern WV, Pfau RKM, Wagner D. Relapses vs reactions in multibacillary leprosy:
proposal of new relapse criteria. Trop Med and Int Health 2008;13(3):295-309
17. Brito MFM, Ximenes RAA, Gallo MEN. Retreatment of leprosy relapse. An Bras Dermatol
2005;80(3):255-60
18. Thacker AK, Kumar P, Mukhija RD, Sharma SP. Late reversal reaction after 10 years of
adequately treated leprosy. Postgrad Med J 1997;73:741-2
19. Martodihardjo S, Susanto RSD. Reaksi kusta dan penanganannya. In: Daili ES, Menaldi SL,
Ismiarto SP, Nilasari H, eds. Kusta. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p.75-82
20. Naafs B. Treatment duration of reversal reaction: a reappraisal. Back to the past. Lepr Rev
2003;74:328-36
21. Lucas S. Bacterial diseases. In: Elder DE, Elenitsas R, Johnson BL, Murphy GF, eds. Levers
th
histopathology of the skin. 9 ed. New York: Lippincot Williams & Wilkins; 2005. p.570-8
22. Pattyn SR, Eyckmans L, Gigase P. Late reversal reaction after combined treatment of a patient
with multibacillary leprosy. Ann Soc Belge Med Trop 1984;64:291-4

Anda mungkin juga menyukai