Anda di halaman 1dari 13

Penambahan Montelukast pada Kortikosteroid Inhalasi Dosis Rendah Mengakibatkan

Eksaserbasi yang Lebih Jarang pada Pasien Usia Lanjut dibandingkan Monoterapi
Kortikosteroid Inhalasi Dosis Menengah

Tujuan : Telah ada beberapa laporan terkait efikasi anti asma pada pasien usia lanjut. Untuk
membandingkan efikasi dari penambahan montelukast pada budesonide inhalasi dosis rendah
( MON 400 BUD ) dengan peningkatan dosis dari steroid inhalasi ( 800BUD) untuk
mengontrol asma pada pasien asma usia lanjut. Metode : Penelitian terbuka secara acak dengan
desain parallel dilakukan selama 12 minggu. Poin utama adalah angka pasien yang mencapai
status asma terkontrol setelah perode terapi 12 minggu. Sebagai poin tambahan, eksaserbasi
asma, sel peradangan pada sputum, tes kontrol asma ( ACT ) dan skala fungsional fisik ( PFS )
dan efek samping dimonitor. Hasil : dua puluh empat ( 36.9%) dan 22 ( 34.9%) subyek pada
kelompok terapi MON 400 BUD ( n 65 ) dan 800 BUD ( n 63 ) mencapai status asma
terkontrol dengan baik pada akhir penelitian, masing masing. Angka eksaserbasi asma yang
membutuhkan terapi kortikosteroid oral ( 20 vs 9 , masing masing, P = 0.036 ) dan mengalami
nyeri tenggorokan ( 22 vs 11, masing masing, P = 0.045 ) secara signifikan lebih tinggi pada
kelompok 800BUD dibandingkan dengan kelompok 400BUD. Indeks massa tubuh dan
perubahan pada ACT, FEV1%, jarak melangkah selama 6 menit dan PFS dari nilai dasar,
kesemuanya merupakan determinan signifikan untuk membedakan subjek dengan asma
terkontrol sepenuhnya dan terkontrol parsial dari subjek dengan asma tidak terkontrol ( P <
0.05 ) pada akhir penelitian. Kesimpulan : efikasi terapi 12 minggu dengan MON 400BUD
pada pasien asma usia lanjut dapat dibandingkan dengan 800BUD untuk mengontrol asma
namun berkaitan dengan penurunan frekuensi eksaserbasi asma yang membutuhkan steroid oral
dan angka nyeri tenggorokan. Perubahan pada ACT dan PFS dapat menjadi predictor predictor
yang berguna pada status kontrol asma padapasien usia lanjut.

Kata kunci : kontrol asma, usia lanjut, antagonis reseptor leukotrien, kortikosteroid inhalasi,
aktivitas fisik, eksaserbasi asma
PENDAHULUAN

Insiden asma, yang mempengaruhi subyek pada semu kelompok usia, meningkat secara global,
dan menjadi penyebab beban sosioekonomi pada banyak Negara. Prevalensi asma pada usia
lanjut berkisar 6% hingga 17% dan sama atau lebih tinggi dari prevalensi asma pada pasien usia
dewasa muda. Dengan bertambahnya usia pada populasi, pentingnya tatalaksana yang tepat pada
pasien asma usia lanjut menjadi perhatian global. Manifestasi klinis pada pasien asma usia lanjut
berbebda dari pasien asma yang tidak berusia lanjut, dan pasien usia lanjut memiliki komorbid
yang lebih tinggi, dan menunjukkan frekuensi efek samping yang lebih tinggi pada efek samping
obat anti asma, dimana keduanya mempengaruhi kontrol asma. Hanya sedikit yang diketahui
mengenai status kontrol asma dan faktor yang berkaitan pada populasi usia lanjut, karena
sebagian besar penelitian klinis pada agen anti asma telah dilakukan pada pasien usia anak
anak atau dewasa muda.

Asma adalah penyakit peradangan kronik saluran nafas yang ditandai dengan hiperresponsif dan
limitasi aliran udara yang bervariasi. Mempertahankan terapi kontrol seperti kortikosteroid
inhalasi (ICS ) dan antagonis reseptor leukotrien ( LTRA ), untuk mengurangi peradangan sangat
penting untuk tatalaksana asma. Efek bervariasi dari ICS dan LTRA telah dilaporkan, seperti efek
anti inflamasi, peningkatan fungsi paru, mencegah eksaserbasi dan mengurangi gejala dan
hiperresponsif bronkus. Panduan tatalaksana asma mengindikasikan bahwa LTRA dapat
digunakan menggantikan ICS pada pasien dengan asma ringan. Ketika steroid inhalasi tidak
dapat mengontrol asma secara utuh, penambahan terapi LTRA membantu mengurangi gejala.
Meskipun efikasi montelukast sebagai terapi tambahan pada ICS dilaporkan lebih inferior
dibandingkan penambahan beta agonis kerja lama ( LABA ) pada pasien dewasa atau anak
anak, namun hanya sedikit laporan terkait efek asma pada pasien usia lanjut. Efek samping ICS
pada pasien usia lanjut dapat meningkatkan komplikasi sistemik danmuskuloskeletal seperti
diabetes osteoporosis, dan katarak sehingga diperlukan penyesuaian dosis minimal harian dosis
ICA pada pasien usia lanjut, Terlebih pada pasien usia lanjut dengan asma menunjukkan tingkat
kepatuhan yang lebih tinggi pada terapi kortikosteroid oral dan tingkat aktivitas fisik yang lebih
rendah dibandingkan dengan pasien usia muda. Sehingga, sangat penting untuk menentukan
apakah terapi kombinasi dengan ICS dosis rendah dan LTRA aman dan efektif pada pasien usia
lanjut dangan status asma yang tidak terkontrol secara adekuat dengan ICS dosis rendah. Untuk
tambahan, tujuan terapi tidak hanya meningkatkan fungsi paru atau perbaikan peradangan
saluran nafas namun juga perbaikan status kontrol asma dan peningkatan aktivitas fisik.

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan efikasi penambahan montelukast pada terapi
budesonid dosis rendah dibandingkan dengan budesonide dosis menengah pada pandunan Global
Initiative for Asthma (GINA ), kualitas hidup spesifik asma ( AQoL) dan sel peradangan pada
sputum pada pasien usia lanjut dengan asma. Poin tambahan, evaluasi korelasi fungsi fisik dan
depresi untuk mengontrol asma pada pasien usia lanjut, kami mengukur skala fungsi fisik
geriatric ( PFS ) dan skor depresi pada nilai dasar dan pada akhir penelitian.

METODE DAN MATERIAL

Subjek

Usia subjek penelitian berkisar dari 60 hingga 75 tahun dan telah terdiagnosa dengan asma lebih
dari 6 bulan sebelum terdaftar pada penelitian berdasarkan gejala klinis ( seperti batuk,
wheezing, tidak dapat bernafas, sesak nafas, dan dispnea ), reversibilitas saluran nafas
( didefinisikan dengan peningkatan VEF1 > 12% dan 200 cc dari penggunaan pre
bronkodilator ) dan hiperresponsif dari saluran nafas ( PC20 < 16 mg / mL dari methacholine ).
Terapi terkini adalah ICS ( budesonide 400 mcg / hari atau ekuivalen ) atau kombinasi dari
budesonide inhalasi dosis rendah dan LAVA ( seretide 250 mcg / hari atau ekuivalen ) selama
lebih dari 1 bulan sebelum berpartisipasi pada penelitian ini. Untuk eligibilitas penelitian ini,
pasien harus memiliki nilai normal pada hitung darah lengkap, kimia darah rutin, urinalisis dan
elektrokardiogram saat skrining. Persetujuan dewan panelis institusi telah didapatkan untuk
inklusi subjek penelitian yang diwajibkan memberikan perhatian khusus untuk tujuan dan isi
penelitian, setuju untuk berpartisipasi secara sukarela dan bersedia menandatangani formulir
informed consent secara tertulis.

Pasien akan dieksklusikan bila mereka (1) memiliki penyakit akut lainnya dalam 28 hari sebelum
pemberian terapi penelitian, (2) memiliki riwayat hipersensitivitas terhadapa montelukast atau
budesonide, (3) sedang atau telah berhenti merokok dengan riwayat merokok lebih dari 10
bungkus per tahun, dan (4) membutuhkan terapi apapun yang dapat mempengaruhi kontrol asma,
seperti steroid sistemik dan obat imunomodulator ( cyclosporine, omalizumab, dll ) akibat
penyakit selain asma.
Desain penelitian

Penelitian ini adalah penelitian terbuka, prospektif, acak, multisenter yang melibatkan pasien
rawat jalan pria dan wanita dengan usia di atas 60 tahun. Subjek yang eligible direkrut antara
bulan Agustus 2011 dan Februari 2012 dari 5 rumah sakit universitas di Korea. Budesonide
inhalasi 400 mcg / hari diberikan selama periode run in 4 minggu, diikuti 140 subjek yang
dilakukan pengacakan untuk mendapat terapi budesonide inhalasi 800 mcg ( 800BUD) atau 400
mcg budesonide ditambah 10 mg montelukast ( MON 400 BUD ) per hari selama periode
terapi 12 minggu. Waktu visitasi untuk pengacakan, subjek yang tidak memenuhi definisi criteria
GINA untu asma terkontrol baik ( gejala muncul 2 kal atau kurang dalam seminggu, tidak ada
limitasi aktivitas, tidak ada gejala saat malam hari dan gangguan tidur, penggunaan reliever dua
kali atau kurang dalam seminggu, FEV1 normal ( lebih dari 80% dari nilai prediksi ) dan tidak
ada eksaserbasi ) pada akhirnya dimasukkan dalam penelitian. Penilaian geriatric, termasuk PFS,
skala depresi geriatric dan tes berjalan selama 6 menit, dilakukan setelah periode run in dan
setelah penelitian selesai dilakukan. Pasien asma dicek secara administrative untuk obat obatan
yang digunakan, gejala waktu pagi, gejala saat malam hari dan penggunaan obat emergensi
dikumpulkan. Tes fungsi paru ( PFT ), sampel dahak, ACT dan AQoL dikumpulkan saat awal dan
setiap 4 minggu selama periode tatalaksana

Tujuan akhir yang utama adalah proporsi subjek yang mencapai asma terkontrol dengan baik
setelaj 12 minggu periode terapi berdasarkan panduan GINA. Asma yang terkontrol dengan baik
didefinisikan dengan adanya kontrol gejala asma ( gejala di pagi hari dan penggunaan reliever
kurang dari dua kali / minggu dan tidak ada episode terbangun di malam hari dan limitasi
aktivitas ) dalam 4 minggu terakhir dan fungsi paru normal ( FEV1 > 80 % ) saat kunjungan.
Kami juga mendeterminasikan asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol berdasarkan tingkat
kontrol asma yang didefinisikan GINA. Jika ada kriteri asma terkontrol baik yang tidak
terpenuhi, kasus tersebut diklasifikasikan dengan status terkontrol sebagian. Pada kasus dengan
lebih dari 3 kriteri yang tidak terpenuhi, diklasifikasikan sebagai asma tidak terkontrol.

Ketika penelitian selesai dilakukan, dokter independen yang bekerja pada pusat data menilai
status kontrol berdasarkan catatan pasien dan hasil PFT dan kemudian membandingkan penilaian
status mereka dengan penilaian status kontrol investigator. Untuk subjek dengan status kontrol
asma yang dinilai berbeda dengan penilaian investigator, pusat data meminta tim pengawasan
data untuk meninjau sumber dokumen subjek untuk menjernihkan diskrepansi dengan
investigator. Poin sekunder termasuk perubahan eosinofil sputum dan persentase neutrofil dari
nilai dasar, frekuensi efek samping local, waktu hingga minggu asma terkontrol pertama kali,
eksaserbasi asma termasuk perburukan gejala asma membutuhkan kortikosteroid oral
( prednisolone 10 mg ekuivalen dosis per hari untuk minimal 3 hari berturut turut ) atau
kunjungan tidak terjadwal, kunjungan gawat darurat, atau rawat inap akibat gejala asma. Efek
samping local, termasuk oral thrush, nyeri tenggorokan, perubahan suara, rasa tidak nyaman
pada laring dan batuk paroksismal segera setelah inhalasi, diobservasi pad abulan berikutnya,
dikumpulkan melalui catatan pasien dan kuesioner dan pemeriksaan fisik setiap kunjungan.
Angka kejadian efek samping dinilai untuk tingkat keparahan, durasi dan penelitian kausalitas
obat. Pengacakan dilakukan menurut desain blok yang diseimbangkan dengan kode yang
dihasilkan secara acak dan distratifikasi oleh setiap pusat data. Penelitian ini didaftarkan pada
ClinicalTrials.gov, angka NCT 01147510

Analisis statistic

Angka sample 140 pasien dihitung dengan tes non inferioritas untuk tujuan utam dengan
kekuatan 80 %, alfa 0.025 ( satu sisi ) dan 10 % angka drop out ( PASS 2005, NCSS, Kaysville,
UT ). Perbedaan pada angka asma terkontrol baik antara MON 400 BUD dan 800BUD
diperkirakan 7.9% dan margin non inferioritas 17.2 %. Untuk membuktikan non inferioritas
terapeutik dari MON 400BUD vs 800BUD, tes hipotesis satu sisi digunakan. Kami
menerapkan prinsip per protocol ( PP ) untuk mengevaluasi non inferioritas untuk tujuan
utama untuk mengurangi kemungkinan bias statistic akibat hilangnya input data. Non inferioritas
disimpulkan jika batas bawah dari tingkat kepercayaan ( CI ) 97.5% dari perbedaan pada
proporsi pasien dengan asma terkonttrol baik antara MON 400 BUD dan 800BUD lebih besar
dari margin non inferioritas ( - 17.2%). Margin non inferioritas ditentukan dengna
memperkirakan rerata angka perbedaan dari proprosi pasien yang mencapai status asma
terkontrol baik antara ICS vs ICS ditambha LABA ( 52% vs 71%, 52% vs 69%, dan 33% vs
51% ) dan perbedaan ( 14.6% ) dari placebo pada persentasi hari asma terkontrol pada kelompok
montelukast. Tes penunjang didasarkan pada analisis intention to treat dengan pendekatan last
observation carried forward ( LOCF). Tes proporsi menggunakan program R ( versi 3.02, tim
inti pengembangan program R, http:// www.r-project.org ) dilakukan untuk tes non inferioritas
Tes t dilakukan untuk menganalisa variable kontinyu dan perubahan penanda peradangan, seperti
eosinofil pada sputum ( % ) dan neutrofil ( % ), PFT dan PFS selama periode terapi 12 minggu.
Tes McNemar diterapkan untuk membandingkan proporsi pasien dengna asma tidak terkontrol
pada setiap periode waktu. Variabel kategorikal dan frekuensi dari angka kejadian efek samping
termasuk oral thrush, nyeri tenggorokan, perubahan suara, rasa tidak nyaman pada laring dan
batuk paroksismal segera setelah terapi inhalasi pada setiap kunjungan, dianalisa dengan tes
exact Fisher ( SPSS 20, Chicago, IL ). Waktu hingga minggu pertama kali asma terkontrol
selama periode terapi 12 minggu dianalisa dengan tes Kaplan Meier.

Untuk mengevaluasi perbedaan pada proporsi sibjek dengan skor ACT pada akhir terapi > 20
antara 2 kelompok terapi, tes proporsi menggunakan R 3.0.2 dilakukan. Korelasi antara
perubahan ACT dan penilaian klinis lain, termasuk FEV1, PFS dan GDS, dianalisis dengan tes
Rho Spearman. Tes chi square Pearson digunakan untuk membanginkan jenis kelamin antara
pasien denga 3 tingkat status kontrol asma pada akhir penelitian. ANOVA digunakan untuk
membandingkan nilai dasar BMI dan perubahan dari nilai dasar pada parameter klinis, seperti
fungsi paru, ACT, AQoL, tes berjalan selama 6 menit, dan GDS di antara pasien dengan tiga
tingkat status kontrol asma pada akhir penelitian. Analisis regresi ordinal multivariate dengan
referensi pada kelompok asma tidak terkontrol diterapkan untuk menentukan predictor status
kontrol asma selama 12 minggu masa terapi. Pada semua analisis, P < 0.05 mengindikasikan
signifikansi statistic.

HASIL

Total 157 pasien diskrining dan 140 dilakukan pengacakan ke dalam kelompok terapi ( 70 masuk
dalam kelompok MON 400BUD dan 70 ke dalam kelompok 800BUD). Dari 140 pasien, 12
pasien mundur setelah pengacakan ( 5 pada kelompok MON 400BUD dan 7 pada kelompok
800BUD ) karena hilang saat tindak lanjut ( n = 2 ), penyimpangan pada protocol ( n = 1 ),
mundur pada saat penandatanganan consent ( n = 5 ), tidak patuh terhadap terapi ( n = 3 ) atau
tidak mampu untuk mengobati eksaserbasi asma saat di rumah ( n = 1 ) ; 128 ( 91.4%) subjek
berhasil memenuhi waktu penelitian selama 12 minggu. Pasien pertama masuk penelitian pada 7
Agustus 2011 dan pasien terakhir yang berhasil memenuhi waktu penelitian pada 28 Juli 2012.
Penerimaan pasien ditunjukkan pada Gambar 1
Tidak ada perbedaan signifikan pada karakteristik dasar atau penilaian geriatric di antara kedua
kelompok, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Rerata jumlah hari dimana subjek lupa untuk
menggunakan obat penelitian selama 12 minggu masa penelitian adalah 0.39 + 1.76 hari pad
akelompok MON 400BUD dan 0.31 + 1.33 hari pada kelompok 800BUD ( P = 0.793 ).

Efikasi

Pada populasi PP, asma terkontrol dengan baik dicapai pada akhir periode terapi pada 24
( 36.9%) dan 22 (34.9%) subjek pada MON 400BUD ( n = 65 ) dan 800BUD ( n = 63 ),
masing masing. Pasien pada kelompok MON 400BUD mencapai non inferioritas dari
proporsi dari status asma terkontrol dengan baik dibandingkan kelompok 800BUD ( perbedaan
terapi 2.0% dan 95% CI 16.2% hingga 20.2%). Batas bawah dari 95% CI berada di atas 17.2% ,
yang menjadi margin untuk non inferioritas ( P < 0.001 ). Hasil untuk populasi ITT ( 25/70
pasien pada kelompok MON-400BUD dan 24/70 pasien pada kelompok 800BUD mencapai
status asma terkontrol baik ) sama dengan yang diamati pada populasi PP dan dikonfirmasi pada
non inferioritas terapi di antara kedua kelompok terapi ( Gbr 2. )

Setelah 4 minggu run in dengan budesonide dosis rendah ( 400 mcg / hari ), 1.4% dan 2.9%
pada subjek kelompok 800BUD dan MON 400BUD berada pada tingkat asma terkontrol baik,
masing masing ( Gbr 3 )

Tidak ada perbedaan signifikan pada angka asma terkontrol baik di antara kelompok MON
400BUD dan 800BUD pada minggu ke 4 ( 35.8% vs 35.1%, masing masing ) dan minggu ke 8
( 27.7% vs 26.6%, asming masing ). Kedua kelompok terapi mencapai plateau pada status
kontrol asma setelah 4 minggu pertama terapi dibandingkan dengan kondisi awal. Namun, tetap
ada beberapa subjek dalam kondisi asma tidak terkontrol antara minggu ke 4 dan 8 ( 24.5%
menjadi 13.8% pada kelompok MON 400BUD dan 35.1% menjadi 23.4% pada kelompok
800BUD, P < 0.001, masing masing ) dan minggu ke 8 dan 12 ( 13.8% menjadi 6.2% pada
kelompok MON 400BUD dan 23.4 % menjadi 15.9% pada kelompok 800BUD, P < 0.001,
masing masing _ pada kedua kelompok. Plot waktu Kaplan Meier hingga waktu pertama
asma terkontrol dengan baik mengindikasikan tidak ada perbedaan signifikan antara kedua
kelompok ( P = 0.499, data tidak ditunjukkan )
Nilai dasar rerata ACT tidak berbeda antara kedua kelompok. Selama periode terapi, tidak ada
perbedaan signifikan yang diamati pada rerata nilai ACT kedua kelompok ( 19.8+ 4.1 vs 19.5 +
4.2 pada minggu ke 4, 19.2 + 4.4 vs 18.8 + 4.7 pada minggu ke 8, dan 19.4 + 4.7 vs 18.9 + 4.6
pada minggu ke 12, P = 0.689, 0.660, dan 0.525, masing masing, Gbr 4A ). Analisa variasi
untuk pengukuran ulangan dari nilai ACT menunjukkan tidak ada interaksi signifikan antara
kelompok terapi dan waktu ( P = 0.904 ).

Namun, proporsi subjek dengan nilai ACT pada akhir terapi < 20 secara signifikan lebih tinggi
pada kelompok 800BUD dibandingkan pada kelompok MON 400 BUD ( 56.3% vs 35.4%,
masing masing , P = 0.022, Gbr 4B). Untuk tambahan, pasien dengan asma tidak terkontrol
pada awalnya dengan nilai dasar skor ACT ( < 20 ), 46.9% ( 15/32) pada MON 400BUD dan
15.2% ( 5/33) pada 800BUD memiliki skor > 20 setelah periode terapi 12 minggu ( P = 0.012 )

Pengukuran objektif, termasuk FEV1%, MMEF% dan persentase eosinofil dan neutrofil sputum,
secara statistic tidak berbeda antara kedua kelompok terapi ( Tabel 2 ). Tida ada korelasi
signifikan di antara perubahan ACT dan perubahan pada total skor PFS ( koefisien korelasi
0.132, P = 0.136 ) / GDS ( -0.073, P = 0.418)/ prediksi FEV1% ( 0.150, P = 0.093 ) sebelum dan
setelah terapi. Namun, perubahan rerata pada total PFS menunjukkan peningkatan signifikan
pada kelompok MON 400BUD dibandingkan dengan kelompok 800BUD ( 0.95 vs 4.22,
masing masing, P = 0.021, Tabel 2). PFS terdiri dari 2 kategori terpisah, mobilitas dan
perawatan mandiri. Dengan harapan untuk perubahan pada setiap kategori dengan PFS setelah
terapi, perbedaan signifikan diamati pada angkat mobilitas ( 0.38 vs -6.34, P = 0.037 ) di antara
kelompok MON 400 BUD dan 800 BUD, sementara tidak ada perbedaan signifikan yang
diamati pada angka perawatan mandiri (1.74 vs -2.06, P = 0.088, Tabel 2). Namun, tidak ada
korelasi signifikan antara perubahan jarak setelah berjalan selama 6 menit dan ACT selama
periode penelitian.

Sebelas determinan potensial untuk kontrol asma, termasuk kelompok terapi, jenis kelamin, BMI
dan perubahan pada FEV1%, ACT, AQoL, jarak berjalan selama 6 menit, PFS ( total, mobilitas
dan perawatan mandiri ), dan GDSm dari nilai dasar pasien usia lanjut yang dievaluasi dengan
referensi terhadap nilai dasar pasien asma tidak terkontrol yang dilihat setelah periode run in.
Analisis univariat mengindikasikan bahwa perubahan ACT dan PFS selama terapi 12 minggu
secara signifikan berbeda di antara pasien dengan asma terkontrol baik, terkontrol sebagian, tidak
terkontrol ( Tabel 3 ). Analisis regresi ordinal multivarit berkelanjutan mengungkapkan bahwa
pasien yang mencapai status asma terkontrol baik dan terkontrol sebagian memiliki BMI yang
secara signifikan lebih rendah dibandingkan pasien asma tidak terkontrol ( 24.7 pada asma
terkontrol baik, dan 24.6 pada terkontrol sebagian vs 26.1 pada tidak terkontrol, P = 0.018 ) dan
peningkatan yang lebih tinggi pada FEV1% ( 2.3 vs 0.4 vs 4.2, P = 0.015 ), ACT ( 2.0 vs 0.2 vs
2.8, P = 0.013 ), jarak berjalan selama 6 menit ( 14.9 vs 5.5 vs 10.5, P = 0.032 ), mobilitas
PFS ( 1.0 vs 3.4 vs 17.9, P = 0.018 ) dan perawatan mandiri PFS ( 1.7 vs 0.9 vs 11.9, P =
0.033 ) selama periode penelitian ( Tabel 3)

Eksaserbasi asma terjadi pada 13 pasien ( total 28 kejadian ) pada kelompok 800BUD dan pada
7 pasien ( total 14 kejadian ) pada kelompok MON 400BUD ( P = 0.016 untuk angka
eksaserbasi total dan P = 0.148 untuk angka pasien yang pernah mengalami eksaserbasi asma
selama 12 minggu masa penelitian, Tabel 4). Secara khusus, eksaserbasi asma membutuhkan
kortikosteroid secara signifikan lebih sering pada kelompok 800BUD dibandingkan kelompok
MON- 400BUD ( 20 siklus pada 12 pasien vs 9 siklus pada 7 pasien, masing maisng, P = 0.036
) . Terkait dengan kunjungan OPD dan ED yang tidak terjadwal selama terapi 12 minggu, 5
pasien mendapat 6 kunjungan tidak terjadwal dan 2 pasien mengunjungi ED sekali pada setiap
sampel kelompok 800BUD, sementara pada kelompok MON 400BUD, 3 dan 2 pasien
mengunjungi OPD dan ED sekali masing masing.

Keamanan

Tidak ada perbedaan kepatuhan terhadap terapu penelitian di antara kelompok MON 400BUD
dan 800BUD selama masa penelitian ( 95.4% vs 96.3%, masing masing, P > 0.005).
Keseluruhan pengalaman terhadap kejadian efek samping, termasuk oral thrush, perubahan
suara, nyeri pada laring, dan batu paroksismal segera setelah inhalasi, tidak berbeda pada kedua
kelompok terapi ( P = 0.171, Tabel 4 ) . Namun, kasus nyeri tenggorokan yang berkaitan dengan
inhaler secara signifikan lebih sering pada kelompok 800BUD dibandingkan MON 400 BUD
( 22 kejadian pada 14 pasien vs 11 kejadian pada 10 pasien, masing masing, P = 0.045 untuk
angka total kejadian nyeri telan dan P = 0.367 untuk episode pasien mengalami nyeri telan ).
Dari 28 pasien yang mengalami sedikitnya satu efek samping local selama 12 minggu terapi, 9
( 32.1%) mengalami eksaserbasi asma, sedangkan 5 ( 5.9% ) dari 85 subjek tanpa kejadian efek
samping local mengalami eksaserbasi ( P = 0.001 ). Secara khusus, perubahan pada GDS dari
nilai dasar secara signifikan meningkat pada pasien yang mengalami nyeri tenggorokan
dibandingkan mereka yang tidak mengalami nyeri tenggorokan ( 0.85 + 1.50 vs 0.21 + 1.61, P
= 0.015 ). Namun, perubahan pada FEV1 dan ACT dari nilai dasar tidak berbeda berdasarkan
kejadian efek samping local pada penelitian sekarang ini. Tida ada signifikansi klinis pada efek
samping terkait obat, efek samping serius atau penghentian terapi akibat efek samping. Efek
samping paling sering adalah nyeri tenggorokan dan rasa tidak nyaman pada laring berkaitan
dengan penggunaan inhaler dan meminum kortikosteroid oral akibat eksaserbasi asma.

Diskusi

Penelitian ini adalah yang pertama kali menyelidiki efek montelukast sebagai terapi tambahan
pada ICS dosis rendah dibandingkan dengan ICS dosis menengah sebagai monoterapi pada
pasien dengan asma ringan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi kombinasi ICS
dengan montelukast lebih efektif dibandingkan ICS saja dalam mengurangi eksaserbasi asma dan
penggunaan beta agonis kerja pendek. Namun, sebagian besar dari penelitian ini dilakukan pada
anak anak atau dewasa muda. Sebagai tambahan, efektivitas yang lebih besar dari penambahan
montelukast sebagai terapi diamati pada pasien dengan tingkat keparahan asma yang rendah dan
tingkat terapi yang lebih jarang. Hasil dari penelitian terkini mengindikasikan bahwa
penambahan montelukast pada inhalasi budesonide 400 mcg / hari tidak inferior dibandingkan
monoterapi inhalasi budesonide 800 mcg / hari dalam kontrol asma yang didefinisikan GINA
selama periode terapi 12 minggu. Observasi ini kompatibel dengan tinjauan sistematik terkini
yang mengindikasikan bahwa penambahan montelukast pada terapi ICS meningkatkan kontrol
pada asma ringan hingga sedang dibandingkan dengan terapi ICS saja. Pada istilah paparan
terhadap steroid sistemik, eksaserbasi asma lebih sering terjadi pada subjek pada kelompok
800BUD dibandingkan kelompok MON 400BUD. Sehingga, penelitian ini menunjukkan
bahwa penambahan montelukast pada terapi ICS memiliki efek yang sama pada kontrol asma
seperti dengan efek yang ditimbulkan dengan peningkatan dosis ICS dan juga dapat mengurangi
efek buruk akibat penggunaan kortikosteroid jangka pendek pada pasien usia lanjut dengan asma
ringan.

Di antara berbagai parameter klinis yang berkaitan dengan fungsi paru, peradangan saluran nafas
dan fungsi fisik, perubahan pada ACT dan PFS, prediksi FEV1% dan jarak berjalan selama 6
menit, dana juga BMI awal, secara signifikan berkaitan dengan status kontrol asma yang
didefinisikan GINA. Sehingga, kami dapat menilai efek terapi kontrol asma pada pasien usia
lanjut berdasarkan pada perubahan kuesioner berorientasi 2 pasien seperti ACT dan PFS,
sebelum dan setelah terapi. Sebagai tambahan, peningkatan pada pengukuran fisik secara
objektif, termasuk FEV1% dan jarak berjalan selama 6 menit, dibandingkan dengan nilai dasar
masing masing dapat memfasilitasi prediksi untuk kontrol asma pada pasien usia lanjut.
Konsisten dengan penelitian sebelumnya, peningkatan BMI secara signifikan berkaitan dengan
asma yang tidak terkontrol tanpa melihat kelompok terapi atau jenis kelamin. Perubahan pada
FEV1% dan jarak berjalan selama 6 menit, tidak signifikan berkaitan dengan kontrol asma pada
analisis univariat, namun erat kaitannya dengan kontrol asma yang lebih buruk pada model
regresi ordinal multivariate dengan berbagai kovariat, termasuk BMI. Pasien obesitas dengan
asma dapat kurang berespon terhadap kortikosteroid dan mungkin menunjukkan perbedaan pada
tingkat inflamasi.

Pada survey multinasional sebelumnya terindikasi bahwa skor ACT < 20 memprediksi asma
yang terkontrol dengan buruk pada 94% kasus. Pada penelitian ini, kami membandingkan jumlah
pasien asma yang terkontrol dengan buruk ( ACT < 20 ) pada kunjungan awal yang
menunjukkan perbaikan menjadi ACT > 20 pada akhir 12 minggu masa terapi di antara
kelompok MON 400 BUD dan 800BUD. Hasli hasil ini mengindikasikan bahwa proporsi
pasien yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok MON 400 BUD mencapai ACT > 20
dibandingkan pada kelompok 800BUD. Lebih lanjut, proprosi secara keseluruhan pada pasien
yang mencapai ACT > 20 selama periode terapi 12 minggu secara signifikan lebih tinggi pada
kelompok MON 400BUD dibandingkan dengan kelompok 800BUD. Pada pasien dengan asma
terkontrol dengan buruk setelah terapi run n 4 minggu dengan 400 mcg inhalasi budesonide,
84.8% pada kelompok 800BUD tetap bertahan pada skor ACT < 20 setelah menggandakan dosis
ICS menjadi 800 mcg selama 12 minggu, sementara 46.9% pada kelompok MON 400BUD
beranjak skor ACT menjadi > 20 setelah ditambahkan montelukast. Hasil ini menyarankan
bahwa sebagian besar pasien dengan asma ringan, tetapi dalam kondisi terkontrol yang buruk
bahkan dengan terapi ICS dosis rendah, dapat menjadi kurang responsive terhadap peningkatan
dosis ICS. Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, hingga 35% pasien dengan asma gagal
berespon dengan terapi ICS. Tinjauan sistematik melaporkan bahwa peningkatan dosis ICS
hanya memberikan sedikit manfaat pada kontrol asma namun meningkatkan resiko efek
samping. Meskipun semua subjek pada penelitian terkini telah diterapi dengan ICS saja atau
kombinasi LABA untuk minimal 6 bulan, 14 pasien pada kelompok MON 400BUD dan 17
pasien pada kelompok 800BUD mengalami efek samping local yang berkaitan dengan ICS.
Lebih lanjut, frekuensi kejadian nyeri tenggorokan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok
800BUD dibandingkan kelompok MON 400BUD. Dikarenakan semakin sering terjadinya efek
samping terkait ICS yang dapat mengganggu penggunaan inhaler untuk jangka panjang,
eksaserbasi asma dan penggunaan kortikosteroid akan menjadi lebih sering pada kelompok
800BUD. Terkait dengan kurangnya perbedaan pada tingkat kepatuhan regimen medikasi antara
kedua kelompo, teknik inhalasi ICS seringkali tidak tepat pada pasien usia lanjut akibat
berkurangnya fungsi kognitif, penglihatan yang melemah, dana kurang memahami cara kerja
peralatan inhalasi. Kurangnya penerapan teknik inhalasi ICS yang benar dapat mempengaruhi
efikasi terapi ICS pada kedua kelompok, sementara bioavailabilitas oral dari montelukast sama
dengan pasien dewasa muda.

Pada penelitian terkini, kami menggunakan PFS, penilaian geriatric yang unik untuk fungsi fisik,
bersama dengan tes jalan selama 6 menit, yang dikenal untuk mengukur kapasitas fungsional.
Perubahan PFS dari nilai dasar secara signifikan berkaitan dengan kontrol asma sesuai definisi
GINA, sementara tidak ada respon signifikan yang diamati pada jarak setelah berjalan selama 6
menit setelah terapi 12 minggu. Meskipun tes jalan 6 menit telah digunakan secara luas untuk
menilai respon terapeutik untuk penyakit paru dan jantun, tes ini tidak optimal untuk menilai
subjek yang mengalami keterbatasan fisik seperti pasien usia lanjut dengan asma ringan.
Sebaliknya, dengan 2 kategori terpisah, mobilitas dan perawatan mandiri, PFS nampaknya lebih
mengukur secara komprehensif karena terdri dari 10 pertanyaan secara total dan mudah
digunakan. PFS, dan khususnya skor mobilitas, menurun secara signifikan menuju nilai dasar
pada kelompok 800BUD, sementara skor pada kelompok MON 400BUD meningkat setelah
periode terapi 12 minggu. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin sering eksaserbasi asma
membutuhkan kortikosteroid pada kelompok 800BUD dapat melimitasi aktivitas harian pasien
menjadi ke tingkat yang lebih parah dibandingkan MON 400 BUD

Penelitian ini memiliki beberapa limitasi, termasuk kurangnya kontrol placebo dan blinding pada
penelitian. Meskipun kami memeriksa catatan pasien dan PFT oleh dokter independen dan
kemudian menyesuaikan dengan penilaian investigator untuk kontrol asma, potensial untuk bias
observer tidak dapat sepenuhnya dieksklusi dalam peneltian kami. Karena baik ACT dan kontrol
asma yang didefinisikan GINA bergantung pada ingatan pasien mengenai gejala asma, hal ini
tidak sepenuhnya akurat terutama pada pasien usia lanjut. Sehingga, bias ingatan pada subjek
yang ikut serta dapat mempengaruhi hasil penelitian terkini.

Tujuan dari manajemen asma adalah mencapai kontrol dengan minimal atau sama sekali tidak
menggunakan kortikosteroid sistemik. Pada pasien usia lanjut, resiko efek samping sistemik
steroid lebih tinggi dibanding pasien usia muda akibat komorbid, seperti osteoporosis, diabetes
mellitus, hipertensi, dan katarak. Hasil dari penelitian terkini mengindikasikan bahwa titik akhir
kontrol sama di antara grup yang menerapkan panduan GINA tetapi secara signifikan lebih baik
pada kelompok MON 400BUD berdasarkan skor ACT

Sebagai kesimpulan, penambahan montelukast pada terapi ICS dosis rendah selama 12 minggu
menjadi pilihan terapi yang baik pada pasien usia lanjut dengan asma ringan yang tidak
terkontrol dengan baik menggunakan monoterapi ICS dosis rendah. Peningkatan BMI juga
berkaitan dengan kontrol asma yang buruk pad apasien usia lanjut, tanpa melihat opsi terapi.
Untuk menilai perubahan terapi seperti ini, monitor ACT dan PFS dapat digunakan untuk
memprediksi kontrol asma sebagai respon terhadap obat anti asma pada pasien usia lanjut.

Anda mungkin juga menyukai