Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

STATUS EPILEPTIKUS
Di Ruang HCU RSSA

Kartika Rahmawati
125070200111019

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
I. DEFINISI
Status Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai kejang yang terus
menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua kejang
terpisah tanpa pemulihan kesadaran diantaranya (Epilepsy
Foundation of America). Definisi ini telah diterima luas,
walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi
kejang lebih singkat dapat merupakan suatu status epileptikus.
Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai status
epileptikus jika kejang terus-menerus lebih dari 5 (lima) menit.

II. KLASIFIKASI
Saat ini ada beberapa versi pengklasifikasian status epileptikus,
diantaranya sebagai berikut:
1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya.
Generalized mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang
berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas
motorik suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang
bertahan saat tidak ada respon motorik. Terminologi ini dapat
membingungkan, karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-
Convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara definisi
subtle SE merupakan nonconvulsive, namun harus
dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan
berbahaya, sulit diobati dan mempunyai prognosis yang
buruk.
3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu absebce
SE dan complex partial SE. Perbedaan 2 (dua) tipe ini
sangat penting dalam tatalaksana, etiologi dan prognosis;
focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.
4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang
terlokalisasi pada area korteks serebri dan tidak
menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan
convultive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan
mortalitas yang tinggi.

Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi


convulsive dan nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak
tepat. Skema baru klasifikasi ILAE ( International League
Against Epilepsy) telah menolak penggunaan istilah
nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang
beragam seperti kejang fokal pada limbic SE ataupun
generalized seperti absence SE. Disamping itu, keadaan
convulsive, khususnya kejang myoclonic dapat terlihat pada
nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau
perioral. Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas
kejang yang terus menerus dan mengklasifikasikan SE menjadi
dua kategori, yaitu generalized dan focal SE. Laporan ILAE
Core Group (2006) mengklasifikasikan bermacam-macam tipe
SE, serta berusaha menghindari istilah generalized dan focal.

III. EPIDEMIOLOGI
Insiden SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu
setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86
per 100.000 untuk usia lanjut. Dua penelitian retrospektif di
Jerman mendapatkan insidens 17,1 per 100.000 pertahun.
Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian
Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%,
sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua
mempunyai mortalitas hingga 38%. Mortalitas tergantung dari
durasi kejang, usia onset kejang dan etiologi. Pasien stroke dan
anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien
dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi
dalam darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.

IV. ETIOLOGI
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi
sistem saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan
metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang
rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan
serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di negara
maju sedangkan di negara berkembang penyebab tersering
karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting
sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas.

V. MANIFESTASI KLINIS SE
SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil
peningkatan kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan
perubahan autonom termasuk takikardi, aritmia, hipotesi,
dilatasi pupil dan hipertermi. Perubahan sistemik termasuk
hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan
autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30
menit aktivitas kejang yang terus menerus. SE tonik-klonik
mempunyai 2 (dua) fase sebagai berikut :
1. Fase 1 : Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi
mekanisme fisiologis cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik, dan jaringan otak terlindung dari hipoksia atau
kerusakan metabolisme. Perubahan fisiologis utama terkait
dengan meningkatnya aliran darah dan metabolisme otak,
aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskular.
2. Fase 2 : Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat
meningkat dan tidak dapat sebenuhnya terccukupi, sehingga
menyebabkan hipoksia dan perubahan metabolik sistemik.
Perubahan autonom tetap berlangsung dan fungsi kardio-
respiratori dapat gagal mempertahankan homeostasis.

VI. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Umum
Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan
aktivitas kejang baik klinis maupun elektroensefalografik
(EEG). Penatalaksanaan SE meliputi penggunaan obat
intravena yang poten, sehingga dapat menimbulkan efek
samping yang serius. Oleh karena itu, langkah awal adalah
memastikan bahwa pasien sedang mengalami SE. Kejang
tunggal yang pulih tidak membutuhkan tatalaksana, namun
jika diagnosis SE ditegakkan harus ditatalaksana secepat
mungkin.
Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat
penting. Jika jalan napas telah bebas, intubasi tidak harus
segera dilakukan, tekanan darah dan nadi harus diobservasi.
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda lesi
fokal intrakranial.
Langkah selanjutnya, mendapatkan akses intravena,
pengambilan sampel darah untuk penilaian serum eletrolit,
ureum, glukosa, kadar obat antiepilepsi dalam darah,
skrining toksisitas obat, dan hitung darah lengkap. Infus
cairan isotonik harus sudah diberikan. Hipoglikemia
merupakan pencetus status epileptikus yang reversibel,
glukosa 50 ml 50% dapat diberikan jika diduga suatu
hipoglikemia. Tlamin dapat diberikan untuk mencegah
enselopati Wernicke.
Setelah pemberian oksigen, kadar gas darah
seharusnya diukur untuk memastikan oksigenasi sudah
adekuat. Asidosis, hiperpireksia dan hipertensi tidak perlu
ditangani karena merupakan keadaan umum pada tahap
awal SE dan akan membaik setelah penatalaksanaan umum
dilakukan
Pencitraan CT scan direkomendasikan setelah
stabilisasi jalan napas dan sirkulasi. Jika hasil pencitraan
negatif, pungsi lumbal dapat dipertimbangkan untuk
menyingkirkan etiologi infeksi.
2. Monitoring Elektroensefalografi (EEG)
Continuous EEG (Ceeg) sangat berguna pada
penatalaksanaan SE di ruang intensive care unit (ICU),
dilakukan dalam satu jam sejak onset jika kejang masih
berlanjut. Ini bermanfaat untuk mempertahankan dosis obat
antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi berulangnya
kejang. Indikasi penggunaan cEEG pada SE adalah kejang
klinis yang masih berlangsung atau SE yang tidak pulih
dalam 10 menit, koma, postcardiac arrest, dugaan
nonconvulsive SE pada pasien dengan perubahan
kesadaran. Durasi cEEG seharusnya paling sedikit dalam 48
jam.
3. Terapi
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksaan
SE berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada
obat yang ideal untuk tatalaksana SE. Banyak penulis setuju
bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau diazepam (0,15
mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul
fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan fentolin
gagal, fenobarital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB,
namun harus mendapatkan perhatian khusus karena dapat
menyebabkan depresi pernapasan. Jika kejang tetap
berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat
digunakan agen seperti midaxolam, propofol atau
pentobarbital.
a. Benzodiazepin
1) Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level
evidende A pada banyak penelitian). Obat memasuki
otak secara cepat setelah 15-20 menit akan
terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat,
eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangan
berpotensi sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada
pemberian beruang.
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat
menghentikan kejang pada sekitar 75% kasus.
Diazepam dapat diberikan secara intramuskular atau
rektal. Efek samping termasuk depresi pernapasan,
hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat
berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan
bersamaan obat antieoilepsi lain, khususnya
barbitural. Walaupun demikian, diazepam masih
merupakan obat penting dalam manajemen SE
karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.
2) Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan
benzodiazepin untuk manajemen SE. Lorazepam
berbeda dengan diazepam dalam beberapa hal. Obat
ini kurang larut dalam lemak dibandingkan diazepam
dengan waktu paruh dua hingga tiga jam
dibandingkan dengan diazepam yang 15 menit,
sehingga mempunyai durasi yang lebih lama. Efek
antikonvulsan lorazepam berlangsung 6-12 jam pada
rentang dosis 4-8 mg. Agen ini berspektrum luas dan
berhasil menghentikan kejang pada 75-80% kasus.
Efek sampingnya sangat identik dengan diazepam.
Oleh karena itu, lorazepam juga merupakan pilihan
untuk manajemen SE.
3) Midazolam
Midazolam merupakan golongan Midazolam
merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi
cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak,
dan durasi yang singkat. Midazolam dapat digunakan
sebagai agen alternatif untuk SE refrakter. Walau pun
midazolam jarang merupakan pilihan per tama untuk
kejang akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum
digunakan di Eropa.
b. Agen Antikonvulsan
1) Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif
mengobati kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini
sangat efektif pada manajemen epilepsi kronik,
khususnya pada kejang umum sekunder dan kejang
parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah efek
sedasinya yang minim. Namun, sejumlah efek
samping serius dapat muncul seperti aritmia dan
hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40
tahun. Efek tersebut sangat dihubungkan dengan
pemberian obat yang terlalu cepat. Di samping itu,
iritasi lokal, flebitis, dan pusing dapat muncul pada
pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak
dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin
normal untuk menghindari pembentukan kristal.
2) Fosfenitoin
Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin yang larut
dalam air yang akan dikonversi menjadi fenitoin
setelah diberikan secara intravena. Seperti fenitoin,
fosfenitoin digunakan dalam tatalaksana kejang akut
tonik-klonik umum atau parsial. Fosfenitoin dikonversi
menjadi fenitoin dalam waktu 8 sampai 15 menit.
Dimetabolisme oleh hati dan mempunyai waktu paruh
14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen dengan 1
mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan
infus intravena digambarkan sebagai phenytoin
equivalent (PE). Dosis awal 15 sampai 20 mg PE per
kgBB, dan diberikan dengan kecepatan 150 mg PE
per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih
cepat dari fenitoin intravena.
Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih
cepat dan iritasi vena yang lebih minimal (menghindari
risiko purple-glove syndrome yang terjadi pada
fenitoin). Efek samping dari fosfenitoin termasuk
parestesia dan pruritus, namun muncul jika diberikan
dalam pemberian yang terlalu cepat. Pemberian
intravena dihubungkan dengan hipotensi, sehingga
monitoring jantung dan tekanan darah yang ketat
dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada
fenitoin, namun kelemahannya adalah harga yang
mahal dan tidak terdapat di semua rumah sakit.
c. Barbiturat
1) Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau
fenitoin gagal mengontrol SE. Loading dose 15
sampai 20 mg per kgBB. Karena fenobarbital dosis
tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan napas sangat
penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian
khusus. Fenobarbital intravena juga dihubungkan
dengan hipotensi sistemik. Jika dilakukan pemberian
intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar, seperti
gluteus maximus. Defi sit neurolgis permanen dapat
timbul jika diinjeksikan berdekatan dengan disaraf
tepi. Saat ini, untuk penanganan SE refrakter lebih
sering digunakan agen lain (midazolam, propofol,
pentobarbital) daripada fenobarbital.
2) Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat
sedatif, hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan
hanya untuk SE refrakter, jika agen lain gagal untuk
menghentikan kejang. Pasien membutuhkan intubasi
dan dukungan ventilasi. Dibandingkan fenobarbital,
pentobarbital mempunyai penetrasi yang lebih cepat
dan waktu paruh yang lebih singkat, sehingga dapat
sadar lebih cepat dari koma ketika penyapihan
(weaning).
Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada
propofol dalam mengakhiri SE refrakter. Suatu studi
mendapatkan tingkat keberhasilan pentobarbital yang
tinggi (92% dengan perbandingan 80% untuk
midazolam dan 73% untuk propofol). Namun
demikian, sangat dihubungkan dengan tingginya ke
jadian hipotensi dibandingkan midazolam dan propofol
(77% vs 42% dan 30%).
d. Anastesi Umum
1) Propofol
Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang
tidak berhubungan dengan obat antikonvulsan lain.
Propofol sangat larut dalam lemak, sehingga dapat
bereaksi dengan cepat, mempunyai sifat anestesi
jika diberikan secara intravena dengan dosis 1-2
mg/kgBB, sangat efektif dan nontoksik. Beberapa
publikasi melaporkan penggunaan infus jangka
panjang propofol dapat di terapkan pada SE.
Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan
depresi serebral, sehingga membutuhkan intubasi
dan ventilasi. Hipotensi mungkin membutuhkan
penatalaksanaan segera. Penggunaan jangka
panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48
jam) dapat menyebabkan asidosis, aritmia jantung,
dan rabdomiolisis (propofol infusion syndrome) yang
fatal, khususnya pada anak usia muda, sehingga
propofol sebaiknya tidak digunakan digunakan pada
kelompok ini.
2) Tapering off
Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus
kontinu obat antiepilepsi harus disaraf teruskan 12
sampai 24 jam setelah kejang berhenti. Jika selama
periode tapering off terdapat kejang, maka
pengobatan dengan infus kontinu harus
diperpanjang dengan memperhatikan adanya kejang
baik secara klinis maupun EEG. Jika tidak ada
kejang, maka tapering off dapat diteruskan.

MANAJEMEN STATUS EPILEPTIKUS


WAKTU TINDAKAN
Tatalaksana umum:
a. Oksigenasi
b. Stabilisasi jalan napas, pernapasan dan
hemodinamik
0-5 menit c. Akses IV dan berikan infus normal salin
dengan tetesan lambat
d. Pemeriksaan darah ke laboraturiu,
e. Cek kadar glukosa
f. Monitoring EKG
a. Tlarnin 100 mg IV dan D50% 50 ml IV
b. Diazepam 0,15 mg/kg IV atau lorazepam
0,1 mg/kg IV dalam 1-2 menit, ulangi
5-10 menit setelah 5 menit jika masih kejang
c. Jika tidak ada akses IV, berikan
diazepam per rektal atau midazolam
intranasal, bukal, atau intramuskuler.
Jika kejang berlanjut, berikan fenitoin 20 mg/kg
IV (50 mg/menit) atau fosfenitoin 20 mg/kg IV
10-20 menit
(150 mg/menit). Jika masih kejang, tambahkan
5-10 mg/kg
a. Intubasi, pasang kateter urin,mulai
perekaman EEG, cek temperatur
20-30 menit
b. Berikan fenobarbital dengan loading
dose 20 mg/kg IV (100 mg/menit).
40-60 menit Jika kejang masih berlanjut, induksi koma
dengan pilihan:
a. Midazolam 0,2 mg/kg IV, ulangi dosis
0,2-0,4 mg/kg IV bolus setiap 5 menit
hingga maksimal loading dose 2 mg/kg,
kemudian dosis pemeliharaan 0,05 -2,9
mg/kg/jam, titrasi dengan monitoring
EEG
Atau
b. Propofol 1-2 mg/kg, ulangi 1-2 mg/kg tiap
3-5 menit sampai kejang berhenti
dengan loading dose maksimal 10
mg/kg, diikuti 1-15 mg/kg/jam, titarasi
dengan monitoring EEG.
Atau
c. Pentobarbital dosis awal 5 mg/kg IV,
selanjutnya 5 mg/kg IV bolus hingga
kejang berhenti, lanjutkan infus
pentobarbital 1 mg/kg/jam, infus
dilambatkan setiap 6 jam untuk
memastikan bangkitan kejang berhenti
dengan pedoman monitoring EEG,
observasi tekanan darah dan
pernapasan. Jika perlu berikan pressor
untuk mempertahankan tekanan darah.

VII. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Parameter Fokus Pengkajian
Keluhan Utama Kejang
Riwayat penyakit saat ini 1. Kaji keadaan klien sebelum
kejang (penglihatan, stimulus
auditorius atau olfaktorius,
stimulus taktil, gangguan emosi
atau psikologis, tidur,
hiperventilasi
2. Apakah klien pernah mengalami
gangguan metabolisme dan
toksik (seperti gagal ginjal,
hiponatremia, hipokalsemia,
hipoglikemia, pestisida)?
3. Apakah klien pernah mengalami
kesalah penggunaan obat dan
alergi>
4. Apakah klien pernah mengalami
stroke atau metastasis serebral?
Riwayat penyakit terdahulu 1. Kaji apakah kejang sebelumnya
2. Kaji riwayat insufiensi vaskular,
demam (pada masa kanak-
kanak), cedera kepala,
hipertensi, infeksi sistem saraf
pusat
3. Apakah ada riwayat tumor otak
Riwayat penyakit keluarga Apakah ada generasi terdahulu yang
mengalami riwayat kejang?
Psiko-sosio-spiritual Kaji hal pertama yang dipikirkan
klien saat kejang dimana gerakan
atau kekakuan mulai, menafsirkan
posisi yang tepat dan posisi kepala
pada saat kejang dimulai. Informasi
ini memberi petunjuk lokasi gokus
epileptogenik pada otak (di dalam
catatan, penting untuk menyatakan
apakah mulainya kejang terlihat atau
tidak)
Pemeriksaan Fisik Fokus 1. Periksa adanya penurunan
kesadaran
2. Kaji jenis kejang, apakah kejang
bersifat parsial atau kejang
umum
3. Periksa tipe gerakan pada
bagian tubuh yang terkena
4. Periksa ukuran kedua pupil/
apakah mata terbuka? Apakah
mata dan kepala berputar>
5. Apakah terlihat adanya gerakan
otomatis (aktivitas motorik yang
tidak disadari seperti bibir
mengecap atau menelan
berulang)>
6. Periksa gerakan pada akhir
kejang
7. Periksa adanya inkontinensia
urin atau feses
8. Kaji durasi setiap fase kejang
9. Periksa kondisi adanya paralisis
yang nyata atau kelemahan
pada lengan setelah kejang
10. Periksa kondisi adanya paralisis
yang nyata atau kelemahan
pada lengan setelah kejang
11. Kaji ketidakmampuan untuk
berbicara setelah kejang
12. Apakah klien tidur atau tidak
setelah kejang
13. Apakah klien konfusi atau tidak
setelah kejang

Diagnostik Lakukan pemeriksaan EEG setelah


kondisi membaik
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan kejang
berulang, ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara
penanganan saat kejang, penurunan tingkat kesadaran
b. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan spasme gigitan
lidah, trauma muskuloskeletal, penurunan tingkat
kesadaran sekunder dari kejang
c. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala
sekunder respon paska kejang.
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan konfusi,
malas bangun, sekunder respon paska kejang.
e. Ketakutan berhubungan dengan kejang berulang
f. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan
depresi akibat epilepsi
3. Intervensi Keperawatan
Risiko Injuri berhubungan dengan kejang berulang,
ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan
saat kejang, penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan: dalam waktu 1 x 24 jam perawatan klien bebas dari
injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan
kesadaran
Kriteria Hasil: klien dan keluarga mengetahui penatalaksaan
kejang, menghindari stimulus kejang, melakukan
pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas kejang
Intervensi
1. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga cara
penanganan kejang
2. Ajarkan klien dan keluarga metode mengontrol demam
3. Anjurkan kontroling pasca cedera kepala
4. Anjurkan keluarga agar mempersiapkan lingkungan yang
aman seperti batasan ranjang, papan pengaman dan
alat suction selalu berada dekat klien
5. Anjutkan untuk menghindari rangsang cahaya yang
berlebihan
6. Anjurkan mempertahankan bedrest total selama fase
akut
7. Kolaborasi pemberian terapi feniloin.
Nyeri Akut behubungan dengan nyeri kepala sekunder
respon pascakejang
Tujuan: dalam waktu 1 x 24 jam keluhan nyeri
berkurang/rasa sakit terkontrol
Kriteria Hasil: Klien dapat tidur dengan tenang wajah rileks
dan klien memverbalkan penurunan rasa sakit
Intervensi
1. Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang
2. Lakukan manajemen nyeri dengan metode distraksi dan
relaksasi napas dalam
3. Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi
dengan lembut dan hati-hati
4. Kolaborasi pemberian analgesik
Ketakutan berhubungan dengan kejang berulang
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah intervensi ketakutan
klien hilang atau berkurang
Kriteria hasi: mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi
penyebab atau faktor yang mempengaruhinya dan
menyatakan ketakutan berkurang/hilang
Intervensi
1. Bantu klien mengekspresikan perasaan takut
2. Lakukan kerja sama dengan keluarga
3. Hindari konfrontasi
4. Ajarkan kontrol kejang
5. Berikan lingkungan yang tenang dan suasan penuh
istirahat
6. Kurangi stimulus ketegangan
7. Tingkatkan kontrol sensasi kien
8. Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas
yang diharapkan
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Salemba: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai