STATUS EPILEPTIKUS
Di Ruang HCU RSSA
Kartika Rahmawati
125070200111019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
I. DEFINISI
Status Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai kejang yang terus
menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua kejang
terpisah tanpa pemulihan kesadaran diantaranya (Epilepsy
Foundation of America). Definisi ini telah diterima luas,
walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi
kejang lebih singkat dapat merupakan suatu status epileptikus.
Untuk alasan praktis, pasien dianggap sebagai status
epileptikus jika kejang terus-menerus lebih dari 5 (lima) menit.
II. KLASIFIKASI
Saat ini ada beberapa versi pengklasifikasian status epileptikus,
diantaranya sebagai berikut:
1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya.
Generalized mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang
berlebihan, sedangkan convulsive mengacu kepada aktivitas
motorik suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang
bertahan saat tidak ada respon motorik. Terminologi ini dapat
membingungkan, karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-
Convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara definisi
subtle SE merupakan nonconvulsive, namun harus
dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan
berbahaya, sulit diobati dan mempunyai prognosis yang
buruk.
3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu absebce
SE dan complex partial SE. Perbedaan 2 (dua) tipe ini
sangat penting dalam tatalaksana, etiologi dan prognosis;
focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.
4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang
terlokalisasi pada area korteks serebri dan tidak
menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan
convultive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan
mortalitas yang tinggi.
III. EPIDEMIOLOGI
Insiden SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu
setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86
per 100.000 untuk usia lanjut. Dua penelitian retrospektif di
Jerman mendapatkan insidens 17,1 per 100.000 pertahun.
Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada penelitian
Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%,
sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua
mempunyai mortalitas hingga 38%. Mortalitas tergantung dari
durasi kejang, usia onset kejang dan etiologi. Pasien stroke dan
anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi. Sedangkan pasien
dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat antiepilepsi
dalam darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif rendah.
IV. ETIOLOGI
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi
sistem saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan
metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang
rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan
serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di negara
maju sedangkan di negara berkembang penyebab tersering
karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting
sebagai prediktor mortalitas dan morbiditas.
V. MANIFESTASI KLINIS SE
SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil
peningkatan kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan
perubahan autonom termasuk takikardi, aritmia, hipotesi,
dilatasi pupil dan hipertermi. Perubahan sistemik termasuk
hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan
autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30
menit aktivitas kejang yang terus menerus. SE tonik-klonik
mempunyai 2 (dua) fase sebagai berikut :
1. Fase 1 : Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi
mekanisme fisiologis cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik, dan jaringan otak terlindung dari hipoksia atau
kerusakan metabolisme. Perubahan fisiologis utama terkait
dengan meningkatnya aliran darah dan metabolisme otak,
aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskular.
2. Fase 2 : Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat
meningkat dan tidak dapat sebenuhnya terccukupi, sehingga
menyebabkan hipoksia dan perubahan metabolik sistemik.
Perubahan autonom tetap berlangsung dan fungsi kardio-
respiratori dapat gagal mempertahankan homeostasis.
VI. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Umum
Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan
aktivitas kejang baik klinis maupun elektroensefalografik
(EEG). Penatalaksanaan SE meliputi penggunaan obat
intravena yang poten, sehingga dapat menimbulkan efek
samping yang serius. Oleh karena itu, langkah awal adalah
memastikan bahwa pasien sedang mengalami SE. Kejang
tunggal yang pulih tidak membutuhkan tatalaksana, namun
jika diagnosis SE ditegakkan harus ditatalaksana secepat
mungkin.
Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat
penting. Jika jalan napas telah bebas, intubasi tidak harus
segera dilakukan, tekanan darah dan nadi harus diobservasi.
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda lesi
fokal intrakranial.
Langkah selanjutnya, mendapatkan akses intravena,
pengambilan sampel darah untuk penilaian serum eletrolit,
ureum, glukosa, kadar obat antiepilepsi dalam darah,
skrining toksisitas obat, dan hitung darah lengkap. Infus
cairan isotonik harus sudah diberikan. Hipoglikemia
merupakan pencetus status epileptikus yang reversibel,
glukosa 50 ml 50% dapat diberikan jika diduga suatu
hipoglikemia. Tlamin dapat diberikan untuk mencegah
enselopati Wernicke.
Setelah pemberian oksigen, kadar gas darah
seharusnya diukur untuk memastikan oksigenasi sudah
adekuat. Asidosis, hiperpireksia dan hipertensi tidak perlu
ditangani karena merupakan keadaan umum pada tahap
awal SE dan akan membaik setelah penatalaksanaan umum
dilakukan
Pencitraan CT scan direkomendasikan setelah
stabilisasi jalan napas dan sirkulasi. Jika hasil pencitraan
negatif, pungsi lumbal dapat dipertimbangkan untuk
menyingkirkan etiologi infeksi.
2. Monitoring Elektroensefalografi (EEG)
Continuous EEG (Ceeg) sangat berguna pada
penatalaksanaan SE di ruang intensive care unit (ICU),
dilakukan dalam satu jam sejak onset jika kejang masih
berlanjut. Ini bermanfaat untuk mempertahankan dosis obat
antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi berulangnya
kejang. Indikasi penggunaan cEEG pada SE adalah kejang
klinis yang masih berlangsung atau SE yang tidak pulih
dalam 10 menit, koma, postcardiac arrest, dugaan
nonconvulsive SE pada pasien dengan perubahan
kesadaran. Durasi cEEG seharusnya paling sedikit dalam 48
jam.
3. Terapi
Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksaan
SE berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada
obat yang ideal untuk tatalaksana SE. Banyak penulis setuju
bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau diazepam (0,15
mg/kgBB) dapat diberikan pada tahap awal, disusul
fosfenitoin (18-20 mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan fentolin
gagal, fenobarital dapat diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB,
namun harus mendapatkan perhatian khusus karena dapat
menyebabkan depresi pernapasan. Jika kejang tetap
berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat
digunakan agen seperti midaxolam, propofol atau
pentobarbital.
a. Benzodiazepin
1) Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level
evidende A pada banyak penelitian). Obat memasuki
otak secara cepat setelah 15-20 menit akan
terdistribusi ke tubuh. Walaupun terdistribusi cepat,
eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam. Sangan
berpotensi sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada
pemberian beruang.
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat
menghentikan kejang pada sekitar 75% kasus.
Diazepam dapat diberikan secara intramuskular atau
rektal. Efek samping termasuk depresi pernapasan,
hipotensi, sedasi, iritasi jaringan lokal. Sangat
berpotensi hipotensi dan depresi napas jika diberikan
bersamaan obat antieoilepsi lain, khususnya
barbitural. Walaupun demikian, diazepam masih
merupakan obat penting dalam manajemen SE
karena efeknya yang cepat dan berspektrum luas.
2) Lorazepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan
benzodiazepin untuk manajemen SE. Lorazepam
berbeda dengan diazepam dalam beberapa hal. Obat
ini kurang larut dalam lemak dibandingkan diazepam
dengan waktu paruh dua hingga tiga jam
dibandingkan dengan diazepam yang 15 menit,
sehingga mempunyai durasi yang lebih lama. Efek
antikonvulsan lorazepam berlangsung 6-12 jam pada
rentang dosis 4-8 mg. Agen ini berspektrum luas dan
berhasil menghentikan kejang pada 75-80% kasus.
Efek sampingnya sangat identik dengan diazepam.
Oleh karena itu, lorazepam juga merupakan pilihan
untuk manajemen SE.
3) Midazolam
Midazolam merupakan golongan Midazolam
merupakan golongan benzodiazepin yang bereaksi
cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak,
dan durasi yang singkat. Midazolam dapat digunakan
sebagai agen alternatif untuk SE refrakter. Walau pun
midazolam jarang merupakan pilihan per tama untuk
kejang akut di Amerika Serikat, obat ini sangat umum
digunakan di Eropa.
b. Agen Antikonvulsan
1) Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif
mengobati kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini
sangat efektif pada manajemen epilepsi kronik,
khususnya pada kejang umum sekunder dan kejang
parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah efek
sedasinya yang minim. Namun, sejumlah efek
samping serius dapat muncul seperti aritmia dan
hipotensi, khususnya pada pasien di atas usia 40
tahun. Efek tersebut sangat dihubungkan dengan
pemberian obat yang terlalu cepat. Di samping itu,
iritasi lokal, flebitis, dan pusing dapat muncul pada
pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak
dicampur dengan dekstrosa 5%, melainkan salin
normal untuk menghindari pembentukan kristal.
2) Fosfenitoin
Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin yang larut
dalam air yang akan dikonversi menjadi fenitoin
setelah diberikan secara intravena. Seperti fenitoin,
fosfenitoin digunakan dalam tatalaksana kejang akut
tonik-klonik umum atau parsial. Fosfenitoin dikonversi
menjadi fenitoin dalam waktu 8 sampai 15 menit.
Dimetabolisme oleh hati dan mempunyai waktu paruh
14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen dengan 1
mg fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan
infus intravena digambarkan sebagai phenytoin
equivalent (PE). Dosis awal 15 sampai 20 mg PE per
kgBB, dan diberikan dengan kecepatan 150 mg PE
per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih
cepat dari fenitoin intravena.
Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih
cepat dan iritasi vena yang lebih minimal (menghindari
risiko purple-glove syndrome yang terjadi pada
fenitoin). Efek samping dari fosfenitoin termasuk
parestesia dan pruritus, namun muncul jika diberikan
dalam pemberian yang terlalu cepat. Pemberian
intravena dihubungkan dengan hipotensi, sehingga
monitoring jantung dan tekanan darah yang ketat
dilakukan. Walaupun fosfenitoin lebih baik daripada
fenitoin, namun kelemahannya adalah harga yang
mahal dan tidak terdapat di semua rumah sakit.
c. Barbiturat
1) Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau
fenitoin gagal mengontrol SE. Loading dose 15
sampai 20 mg per kgBB. Karena fenobarbital dosis
tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan napas sangat
penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian
khusus. Fenobarbital intravena juga dihubungkan
dengan hipotensi sistemik. Jika dilakukan pemberian
intramuskuler, maka dilakukan pada otot besar, seperti
gluteus maximus. Defi sit neurolgis permanen dapat
timbul jika diinjeksikan berdekatan dengan disaraf
tepi. Saat ini, untuk penanganan SE refrakter lebih
sering digunakan agen lain (midazolam, propofol,
pentobarbital) daripada fenobarbital.
2) Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat
sedatif, hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan
hanya untuk SE refrakter, jika agen lain gagal untuk
menghentikan kejang. Pasien membutuhkan intubasi
dan dukungan ventilasi. Dibandingkan fenobarbital,
pentobarbital mempunyai penetrasi yang lebih cepat
dan waktu paruh yang lebih singkat, sehingga dapat
sadar lebih cepat dari koma ketika penyapihan
(weaning).
Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada
propofol dalam mengakhiri SE refrakter. Suatu studi
mendapatkan tingkat keberhasilan pentobarbital yang
tinggi (92% dengan perbandingan 80% untuk
midazolam dan 73% untuk propofol). Namun
demikian, sangat dihubungkan dengan tingginya ke
jadian hipotensi dibandingkan midazolam dan propofol
(77% vs 42% dan 30%).
d. Anastesi Umum
1) Propofol
Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang
tidak berhubungan dengan obat antikonvulsan lain.
Propofol sangat larut dalam lemak, sehingga dapat
bereaksi dengan cepat, mempunyai sifat anestesi
jika diberikan secara intravena dengan dosis 1-2
mg/kgBB, sangat efektif dan nontoksik. Beberapa
publikasi melaporkan penggunaan infus jangka
panjang propofol dapat di terapkan pada SE.
Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan
depresi serebral, sehingga membutuhkan intubasi
dan ventilasi. Hipotensi mungkin membutuhkan
penatalaksanaan segera. Penggunaan jangka
panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam dalam 48
jam) dapat menyebabkan asidosis, aritmia jantung,
dan rabdomiolisis (propofol infusion syndrome) yang
fatal, khususnya pada anak usia muda, sehingga
propofol sebaiknya tidak digunakan digunakan pada
kelompok ini.
2) Tapering off
Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus
kontinu obat antiepilepsi harus disaraf teruskan 12
sampai 24 jam setelah kejang berhenti. Jika selama
periode tapering off terdapat kejang, maka
pengobatan dengan infus kontinu harus
diperpanjang dengan memperhatikan adanya kejang
baik secara klinis maupun EEG. Jika tidak ada
kejang, maka tapering off dapat diteruskan.