Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1 latar belakang
Disaster Victim Identification(DVI) adalah suatu prosedur untuk
mengidenftifikasi korban mati akibat bencana yang dapat dipertanggung
jawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada INTERPOL
DVI GUIDELINE DVI. DVI diperlukan untuk menegakkan hak asasi
manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan dan penunjang kepentingan
hukum(asuransi warisan, status perkawinan) serta dapat dipertanggung
jawabkan. Dalam prosesnya DVI mempunyai 5 fase, dimana masing-masing
fase memiliki keterkaitan satu dengan yang lain

Pada refarat ini akan dibahas mengenai form DVI

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Victim Identification (DVI)


DVI adalah satu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk
mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan dan mengacu kepada standar baku interpol.

Yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan DVI adalah polisi didukung


oleh para ahli seperti patologi forensik, odontologi forensik, ahli sidik jari,
ahli DNA, fotografer dan tim bantuan lain. Prosedur DVI diperlukan dala
penegakkan HAM yang merupakan bagian dari proses penyidikan, jika
idenfitikasi visual diragukan, serta untuk kepentingan hukum
(asuransi,warisan dan status perkawinan)

Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-
mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin
baik. Tujuan penerapan DVI adalah dalam rangka mencapai identifikasi yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sempurna dan paripurna dengan
semaksimal mungkin sebagai wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia,
dimana seorang mayat mempunyai hak untuk dikenali.

DVI diterapkan pada bencana yang menyebabkan korban massal, seperti


kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan
bus dan perawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan
aksi terorisme. Selain itu juga dapat diterapkan pada bencana alam, seperti
gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus.
Rujukan hukum:
a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penaggulangan Bencana
b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c. UU No.23 tentang kesehatan
d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penaggulangan Bencana
e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification.
f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
g. MOU depkes RI-Polri tahn 2003

2.1 Tahap DVI


Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya mempunyai
keterkaitan satu dengan yan lainnya. Fase-fase tersebut yaitu:
a. Fase I-TKP(The Scene)
Merupakan tindakan awal yang dilakukan ditempat kejadian
peristiwa(TKP) bencana. ketika suatu bencana terjadi, proritas yang paling
utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah
organisasi resmi harus mengansumsikan komando operasi secara
keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya
material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan
kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara
keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi
forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk
mengevaluasi situasi berikut:
1. Keluasan TKP: pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat
untuk area bencana
2. Perkiraan jumlah korban
3. Keadaan mayat
4. Evaluas durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI
5. Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses
DVI
6. Metode untuk menagani mayat
7. Transportasi mayat
8. Penyimpanan mayat
9. Kerusakan properti yang terjadi

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs


bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure
atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk
mengumulkan dan melangkah ketiga adalah documentation atau
pelabelan.
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI
harus mengambil langkah untk mengamankan TKP agar TKP tidak
menjadi rusak. Langkah-langkah tersebut antara lain adalah:

1. Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak


berkepentingan( penonton yang penasaran, wakil-wakil pers, dll),
misalnya dengan memasang police line.
2. Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana
3. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol
siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5. Periksa semua individu yang hadir dilokasi untuk menentukan
tujuan kehaditan dan otorisasi.
6. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI


harus mengumpulkan korban-korban bencana dan menumpulkan
properti yang terkait dengan korban-korban bencana dan
mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin
dapa digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.

Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando


DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto
area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label
pada korban.

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah


diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk
kemudian dievaluasi.

b. Fase II- kamar Mayat/ post mortem( the mortuary)


Pengumpulan data post mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi
yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai
pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan
mencatat data selengkap-lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan
pencatatan data jenazah yag dilakukan diantaranya meliputi:
1. Dekumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah
korban
2. Pemeriksaan fisk, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam
jika diperlukan
3. Pemeriksaan sidik jari
4. Pemeriksaan rontgen
5. Pemeriksaan odontologi forensik: bentuk gigi dan rahang merupakan
ciri khusus tiap orang; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang
yang berbeda
6. Pemeriksaan DNA
7. Emeriksaan antropologi forensik: pemeriksaan forensik: pemeriksaan
fisik secara keseluruhan dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan,
tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.

Data-data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam


data primer dan data sekunder sebagai berikut:
1. Primer(sidik jari,profil gigi, DNA)
2. Sekunder( visual, fotografi, properti jenazah, antropologi medis)

Didalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, badan


identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal
apabila salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan
minimal dua dari identifikasi sekunder.
Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga
sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan-perubahan
paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah
pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

c. Fase III-Ante Mortem


Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang
yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto
korban semasa hidup, interpretasi ciri-ciri spesifik
jenazah( tattoo,tindikan,bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi
korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA ornag tua
maupun kerabat korban, serta informasi-informasi lain yang relevan dan
dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi
mengenai pakian terakhir yang dikenakan korban.

d. Fase IV-Rekonsiliasi
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante-
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses
identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai
dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah.
Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan
identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan
ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post
mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang
sesuai dengan temuan post mortem jenazah.

e. Fase V-Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk
dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem
jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi
tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi
jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk
penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah

2.3 metode identifikasi


Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data ante
mortem dengan post mortem yang didapatkan dari:
a. Bukti sirkumstansial(pakaian,perhiasan dan isi kantong)
b. Bukti fisik yang diperoleh dari:
- Pemeriksaan eksternal, misal: deskripsi secara umum, maupun sidik
jari.
- Pemeriksaan internal, misal: bukti medis, hasil pemeriksaan gigi
geligi(dental record), hasil laboratorium, dan identifikasi genetik.

2.4 identifikasi korban

Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data:

a. Data orang hilang( misal: orang yang berada di tempat kejadian namun
terdaftar sebagai korban selamat)
b. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian

Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa tim


atau unit, diantaranya:

a. Bagian korban hilang( Missing Brunch ) terdiri dari:


1. Unit pengumpulan data ante-mortem( ante-mortem record unit)
2. Unit pendataan berkas ante-mortem (ante-moretem files unit)
3. Daftar korban(Victim list)

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah


diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk
kemudian dievaluasi.

b. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah( Victim Recovery), terdiri dari:


1. Koordinator tim pemulihan(Recovery Co-ordinatory)
2. Tim pencari (search teams)
3. Tim dokumentasi (Photography)
4. Tim pemulihan jenazah (body recovery team)
5. Tim pemulihan barang-barang pribadi (property Recovery team)
6. Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah( morgue
station)
c. Bagian kamar mayat(mortuary branch) terdiri dari:
1. Unit keamanan ( security unit)
2. Unit transportasi jenazah (Body Movement unit)
3. Unit pengumpul data post-mortem( post-mortem record unit)
4. Unit pemeriksa jenazah( body examination unit) terdiri dari:
- Unit dokumentasi( post-mortem photography unit)
- Unit sidik jari (post-Mortem property unit)
- Unit barang-barang pribadi( Post-Mortem property unit)
- Unit media ( post-mortem medical unit)
- Unit pemeriksa gigi geligi (post-mortem dental unit)
d. Pusat identifikasi (identification centre) terdiri dari:
1. Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file
section)
2. Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized
section) terdiri dari:
a. Bagian penyelidikan data dokumentasI (Photograpy section)
b. Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)
c. Bagian penyelidikan barang-barang ribadi (Property section)
d. Bagian penyelidikan medis ( medical section)
e. Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
f. Bagian analisis DNA (DNA analysis)
g. Badan identifikasi( Identification board)
h. Bagian pelepasan jenazah (body realese section)

Anda mungkin juga menyukai