Anda di halaman 1dari 18

BAB II

DAFTAR PUSTAKA

A. Definisi

Drug-induced hepatitis (DIH) / Drug-induced liver injury (DILI) dapat


diartikan sebagai kerusakan hepatik yang diinduksi oleh obat kimiawi atau herbal
yang menyebabkan disfungsi hati atau abnormalitas pada tes fungsi hati
(peningkatan ALT/AST >3x batas normal dan/atau kenaikan bilirubin >2x batas
normal) dengan ekslusi dari penyebab-penyebab lainnya (hepatitis viral, alkohol,
tumor, dll). 2,3

DILI yang disebabkan oleh obat anti tuberculosis (OAT) disebut anti
tuberculosis drug hepatotoxic (ATDH). Dimana pengobatan dengan OAT yang
menyebabkan hepatotoksisitas dan peningkatan dalam serum alanine
aminotransaminase. 4-6

B. Insiden dan Faktor Resiko

Insiden ATDH selama pengobatan TB standar telah dilaporkann bervariasi


antara 2% dan 28%. Hal ini tergantung pada tingkat definisi peneliti
hepatotoksisitas di populasi yang diteliti. Kebanyakan penelitian pada ATDH
telah dilakukan di Eropa, Asia dan Amerika Serikat dan kejadian bervariasi antara
wilayah dunia yang berbeda. Wilayah bagian timur dilaporkan memiliki tingkat
tertinggi, terutama India. Hepatotoksisitas di sub-Sahara Afrika disebutkan di
beberapa literatur tetapi tingkat insiden tidak dilaporkan. Hal ini mungkin karena
kenyataan bahwa tes fungsi hati yang tidak dilakukan secara rutin dalam
pemantauan pasien TB pada terapi di sebagian besar Negara Afrika. 4-6
Hepatotoksisitas adalah efek toksik utama pirazinamid. Ketika obat itu
diperkenalkan pada 1950-an, insiden tinggi hepatotoksisitas dilaporkan dan obat
itu hampir ditinggalkan. Hal ini tampaknya berhubungan dengan dosis tinggi 40-
70 mg/kg. Toksisitas adalah bukan masalah besar ketika pirazinamid digunakan

1
didosis harian 20-30 mg/kgBB. Saat ini, pirazinamid digunakan pada fase intensif
pengobatan TB. Tingkat hepatotoksisitas monoterapi pirazinamid dalam dosis
yang saat ini digunakan adalah tidak diketahui. Baru-baru ini melaporkan bahwa
pirazinamid menyebabkan lebih hepatotoksisitas dari isoniazid, atau rifampicin. 6,7
Penelitian terbaru, tujuh dari 12 pasien (58%) yang diobati untuk TB
lanjutan dengan etambutol dan pirazinamid menyebabkan peningkatan
transaminase lebih dari empat kali di atas batas normal. Pirazinamid cenderung
menjadi agen utama untuk hepatotoksisitas.8

Berikut adalah beberapa faktor resiko yang berkaitan dengan peningkatan resiko
ATDH.

1. Usia

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia merupakan


faktor risiko potensial untuk anti TB-DIH. Dilaporkan bahwa tingkat anti-TB-DIH
berkisar antara 2-8% dengan meningkatnya usia, dengan rata-rata 5%. Penelitian
lain melaporkan bahwa rentang hepatotoksisitas 22-33% pada pasien yang lebih
tua dari 35 tahun sedangkan pada mereka yang lebih muda dari 35 tahun berkisar
antara 8-17%.Penelitian yang dilakukan oleh Marzuki et al. melaporkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara usia dan risiko pengembangan anti-TB-DIH. 5-8

2. Jenis kelamin

Anti-TB-DIH terkait erat dengan jenis kelamin perempuan. Beberapa studi


melaporkan pada perempuan terjadi peningkatan risiko anti-TB-DIH
dibandingkan dengan laki-laki. Mahmood et al. (2007) melaporkan insiden yang
lebih tinggi dari anti-TB-DIH terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki (26,3%
vs 19,7%). Jenis kelamin perempuan juga dianggap sebagai salah satu faktor
risiko potensial berkontribusi terhadap tingginya insiden anti-TB-DIH dimana
beberapa studi melaporkan perempuan memiliki resiko terjadi hepatotoksik
dibandingkan dengan laki-laki. 5-8

2
3. Malnutrisi

Malnutrisi (Body Mass Index <18,5 kg / m2) adalah faktor risiko global
terkemuka dalam hal anti-TB-DIH. Menurut Saukkonen et al., pasien dengan BMI
yang rendah terjadi peningkatan insiden anti-TB-DIH. Sebuah studi di India
menunjukkan bahwa kejadian anti-TB-DIH ditemukan tiga kali lebih tinggi pada
pasien malnutrisi dibandingkan dengan pasien yang sehat. 5-8

4. Riwayat penyakit hati sebelumnya

Riwayat penyakit hati sebelumnya juga merupakan faktor risiko potensial


untuk anti-TB-DIH. Infeksi virus hepatitis B (HBV) dan / atau virus hepatitis C
(HCV) adalah penyebab umum dari penyakit hati kronis yang sering terlihat pada
populasi berisiko terinfeksi TB. Beberapa studi menunjukkan bahwa HBV dan
HCV co-infeksi meningkatkan risiko anti-TB-DIH. Sebuah studi pada 128 pasien
di Florida, menunjukkan bahwa sekitar 30% dari individu yang terinfeksi HCV
terjadi anti-TB-DIH dibandingkan dengan 11% di antara individu-individu yang
tidak terinfeksi. 5-8

5. HIV / AIDS

Infeksi HIV meningkatkan risiko hepatotoksisitas selama perawatan


multidrug standar TB. Marzuki et al. menemukan bahwa HIV merupakan faktor
risiko independen yang signifikan untuk terjadinya anti-TB-DIH. Pasien HIV
dengan penyakit akut mengubah jalur oksidatif, yang sebagian dapat menjelaskan
risiko peningkatan anti-TB-DIH. Terapi bersamaan TB / HIV koinfeksi
membutuhkan penggunaan bersamaan dua sampai empat obat anti-TB yang
berbeda dan setidaknya tiga obat antiretroviral. Sayangnya, pengobatan HIV TB
dikombinasikan sering dipersulit oleh tumpang tindih toksisitas dan interaksi

3
obat-obat. Penggunaan simultan antijamur (misalnya flukonazol) pada pasien
yang terinfeksi HIV, juga merupakan faktor risiko untuk anti-TB-
DIH. Peningkatan risiko anti-TB-DIH pada pasien HIV mungkin terkait dengan
replikasi virus yang mendasari atau keadaan immunocompromised. 5-8

6. Anti-TB-DIH dan stres oksidatif

Penelitian telah menunjukkan bahwa anti-TB-DIH ini terutama disebabkan


stres oksidatif, yang disebabkan oleh obat dan metabolit. Peran stres oksidatif
dalam mekanisme INH dan RIF-induced hepatitis juga telah dilaporkan oleh Attri
et al. Pada tikus percobaan stres oksidatif telah terbukti merupakan mekanisme
utama terjadinya hepatotoksisitas karena obat anti-TB. Menurut Funde et al.
oksidatif stres karena radikal bebas dan peroksidasi lipid dari membran,
memainkan peran penting dalam patogenesis luka hati yang diinduksi obat. 5-8

Stres oksidatif adalah keadaan tidak seimbang ditandai dengan peningkatan


produksi spesies oksigen reaktif (ROS) dan menurunnya tingkat
antioksidan. Dalam hati, metabolit hepatotoksik obat anti-TB menginduksi
peningkatan ROS yang mengaktifkan mekanisme pertahanan antioksidan
intraseluler termasuk antioksidan seperti glutathione (GSH) dan superoksida
dismutase (SOD).Tingkat yang diubah enzim antioksidan kritis mempengaruhi
kerentanan berbagai jaringan untuk stres oksidatif dan terkait dengan
pembangunan komplikasi hati. 5-8

C. Manifestasi Klinis

Reaksi obat di hepar biasanya terjadi dalam 2 bulan pertama pengobatan


tetapi dapat terjadi setiap saat selama periode pengobatan. Gambaran Klinis, fitur
biokimia dan histologis ATDH sulit untuk di bedakan dari hepatitis virus. Tanda-
tanda dan gejala kerusakan hati adalah ikterus, nyeri perut, mual, muntah dan
astenia. Tanda dan gejala tersebut tidak cukup spesifik untuk memastikan

4
gangguan hati. Oleh karena itu, konfirmasi dengan pengujian laboratorium hati
diperlukan. Keluhan sebagian besar ATDH membaik ketika pengobatan
dihentikan. Ketika pengobatan tidak dihentikan segera, ATDH dapat menjadi
fatal. 5,9,10

D. Patofisiologi

1. Metabolisme Obat di Hati

Metabolisme obat merupakan proses dimana molekul obat diubah secara


kimiawi, biasanya menjadi metabolit polar dengan tingkat solubilitas air yang
meningkat untuk memudahkan eliminasi di urin atau empedu. Metabolisme obat
di hati dibagi menjadi 2 fase : fase 1 dan fase 2. 3,11,12

Pada fase 1, molekul obat akan mengalami perubahan struktur. Enzim


sitokrom P450 merupakan katalis yang paling dominan pada fase ini. Enzim ini
akan mengonversi molekul obat menjadi metabolit yang lebih polar (hidrofilik)
melalui proses oksidasi, reduksi, atau hidrolisis. Di hepatosit, enzim ini berada di
retikulum endoplasma halus. Metabolit yang dihasilkan pada fase ini bisa cukup
larut air untuk langsung dieliminasi atau membentuk substrat untuk enzim fase 2.
3,11,12

fase 2 meliputi konjugasi dari grup ion (seperti glutathion, glucoronosil,


asetil, dll) yang disebut transferase dengan molekul obat. Hasil dari konjugasi
yaitu metabolit yang inaktif secara farmakologik dan hidrofilik sehingga bisa
dieksresi sekaligus mengurangi efek toksik dari metabolit reaktif yang dihasilkan
di fase 1. 3,11,12

2. Mekanisme Drug-Induced Hepatitis di Hati

Patogenesis dari drug-induced hepatitis dapat terjadi melalui 3 fase. Pada


fase pertama, komponen obat atau metabolit reaktifnya akan menimbulkan
kerusakan awal melalui 3 cara: 2,11-3

5
a. Toksisitas dari metabolit obat akan memicu stress pada sel dan mengaktifkan
protein pro-apoptosis yang akan merusak permeabilitas membran mitokondria.

b. Metabolit obat akan merusak mitokondria melalui penginhibisian proses beta


oksidasi, yaitu proses katabolik dimana asam lemak diubah menjadi asetil KoA,
NADH, dan FADH2. Hal ini akan menimbulkan penumpukan lipid dalam sel
yang menghambat fungsi respirasi sel dan menurunkan produksi ATP.

c. Metabolit obat berikatan dengan protein karier dan membentuk hapten yang
immunogenik atau berikatan langsung dengan reseptor imun sel T dan
menimbulkan reaksi imun yang dimediasi sel T. Reaksi imun ini juga akan
mengaktifkan death-inducing signalling complex, kompleks protein yang akan
menginisiasi terjadinya apoptosis, dengan cara meningkatkan sensitivitas dari
TNF-alfa sebagai pemicunya.

Pada fase kedua, kerusakan dari mitokondria akan meningkatkan


permeabilitas membran mitokondria yang menyebabkan molekul-molekul kecil
masuk ke mitokondria, mengubah osmolaritas, dan membuat mitokondria
membengkak. Pembengkakan ini menyebabkan ruptur pada membran dan
keluarnya protein sitokrom C dari mitokondria. 2,11-3

Fase ketiga yaitu kematian sel hepatosit akibat apoptosis atau nekrosis.
Apoptosis terjadi apabila masih ada produksi ATP di mitokondria. Sitokrom C
yang keluar dari mitokondria akan menggunakan sisa ATP untuk menginisiasi
kaskade apoptosis. Bila tidak ada lagi sisa ATP di mitokondria, sel akan
mengalami nekrosis melalui proses autolisis. 2,11-3

6
Gambar 1. Model 3 langkah dari terjadinya drug-induced hepatitis.

3. Mekanisme hepatitis imbas obat akibat OAT

7
Isoniazid
Isoniazid (INH) secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan
kadar hambat minimum sekitar 0,025-0,05 ug/ml. Efek utamanya ialah menghambat
biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel
mikobakterium. INH kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang
sangat panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. INH menghilangkan
sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh methanol dari
mikobakterium. INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar
puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. INH mengalami asetilasi di
hati dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang
secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan waktu paruhnya. Waktu
paruh pada keseluruhan populasi antara 1 sampai 4 jam. Waktu paruh rata-rata pada
asetilator cepat hampir 70 menit, sedangkan pada asetilator lambat 2-5 jam. Waktu paruh
obat ini dapat memanjang bila terjadi insufisiensi hati. 5-10

INH dimetabolisme dan dibersihkan terutama di hati. Enzim-enzim utama dalam


jalur metabolisme, seperti N-asetiltransferase 2 (NAT2) dan enzim mikrosomal sitokrom
P4502E1 (CYP2E1) menentukan risiko hepatotoksisitas. Seperti diilustrasikan dalam
gambar di bawah ini, NAT2 bertanggung jawab untuk memetabolisme isoniazid menjadi
asetil isoniazid, yang dihidrolisis menjadi asetil hidrazin. Isoniazid hidrazine teroksidasi
oleh CYP2E1 untuk membentuk N-hidroksi-asetil hidrazin, yang selanjutnya didehidrasi
untuk menghasilkan diazine asetil. Asetil diazine dapat juga menjadi metabolit toksik dan
berperan dalam pemecahan menjadi ion asetil onium reaktif, asetil radikal dan ketena,
yang bisa mengikat kovalen dengan makromolekul hati mengakibatkan kerusakan hati.
Enzim NAT2 juga bertanggung jawab untuk asetilasi lanjut asetil hidrazin menjadi
diasetil hidrazin non toksik. Oleh karena itu, hasil asetilasi lambat tidak hanya
diakumulasi senyawa induk, tetapi juga dari mono-asetil hidrazin. Asetilasi asetil hidrazin
selanjutnya ditekan oleh INH sendiri. Selain itu, hidrolisis langsung INH tanpa asetilasi
menghasilkan hidrazin yang dapat menyebabkan kerusakan hati. Metabolisme INH
melalui jalur kecil ini meningkat sepuluh kali lipat dalam asetilator lambat, terutama
dalam hubungan dengan rifampisin. NAT2 hepatik merupakan polimorfik pada manusia,
dan adanya dua dari beberapa alel varian gen NAT2 dikaitkan dengan fenotipe asetilasi
lambat, sedangkan asetilator cepat memiliki satu atau lebih tipe alel NAT2*4. 5-10

8
Metabolisme INH

Rifampisin

Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif dan gram


negatif. Secara in vitro, rifampisin dalam kadar 0,995-0,2 ug/ml dapat menghambat
pertumbuhan M. tuberculosis. Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang
bertumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mikobakteria
dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya rantai dalam sintesis RNA.
Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma setelah 2-4 jam.
Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan
kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapannya dihambat oleh makanan,
sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk
deasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas bakteri penuh. Waktu paruh eliminasi
rifampisin bervariasi antara 1,5 sampai 5 jam dan akan memanjang bila ada kelainan
fungsi hati. Pada pasien asetilator lambat, waktu paruh memendek jika rifampisin
diberikan bersama isoniazid. 5-10

Rifampisin diserap baik oleh perut dan dimetabolisme di hati oleh deasetilasi
menjadi deasetil rifampisin dan jalur terpisah dari hidrolisis menghasilkan 3-formil
rifampisin. Desasetil rifampisin lebih polar daripada senyawa induk, dan aktif secara
mikrobiologi. Metabolit ini menyumbang mayoritas aktivitas antibakteri dalam empedu.
Rifampisin hampir sama diekskresikan dalam empedu dan urin. Metabolit ini tidak

9
beracun. Rifampisin dikaitkan dengan pola hepatoselular dari DILI dan lebih sering
berpotensi hepatotoksik daripada obat anti-TB lainnya. Reseptor pregnane X (PXR)
adalah anggota dari superfamili reseptor transkripsi terkait ligan yang dapat diaktifkan
dengan berbagai obat termasuk rifampisin. PXR yang telah diaktifkan mengikat elemen
respon dalam promotor dan pengaturan transkripsi tahap I dan II yang memetabolisme
enzim seperti sitokrom P450 (CYP) dan glutathione S-transferase (GSTs), dan
pengangkut (yang terlibat dalam fase III). Rifampisin adalah inducer kuat dari beberapa
jalur enzim metabolik khususnya system sitokrom P450 (CYP3A4) melalui PXR
hepatosit. 5-10

Aktivasi dari CYP3A4 menyebabkan peningkatan metabolisme isoniazid


menghasilkan metabolit beracun sehingga menjelaskan efek potensiasi dari rifampisin
dalam obat anti-TB yang menyebabkan hepatotoksisitas. Rifampisin juga menginduksi
hidrolisis isoniazid, yang mengarah ke peningkatan produksi hidrazin terutama di
asetilator lambat sehingga meningkatkan toksisitas ketika digunakan dalam kombinasi
dengan isoniazid. Proses yang terlibat dalam ekskresi dan eliminasi metabolit obat
dikelompokkan sebagai fase III disposisi obat. Transporter ABCB1 bertanggung jawab
dalam pengangkutan berbagai obat anti-retroviral dan anti-TB termasuk rifampisin dan
etambutol. Varian alel ABCB1 3435T dilaporkan dapat menurunkan tingkat ekspresi dan
protein sehingga mengubah struktur substrat untuk mengikat dan mengurangi aktivitas
transportasi. Dalam penelitian yang melibatkan pasien pada pengobatan kombinasi anti-
TB dan terapi anti-retroviral (ART), proporsi homozigot untuk genotipe ABCB1 3435TT
adalah 3 kali lipat lebih tinggi pada penderita DILI. Rifampisin kadang mengganggu
penyerapan bilirubin dan membuat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi sementara tanpa
kerusakan hepatosit. Namun lebih sering hal itu berkontribusi terhadap hiperbilirubinemia
terkonjugasi dengan mengganggu ekskresi bilirubin dengan menghambat pompa eksportir
garam empedu (BSEP). 5-10

Pirazinamid

Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam


pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam.
Secara in vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosis dalam monosit dihambat sempurna
pada kadar 12,5 ug/ml. Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh
tubuh. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif

10
kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan
metabolit utama. Waktu paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam. 5-10

Waktu paruh dari pirazinamid lebih panjang dari isoniazid dan rifampisin; dan
dapat lebih panjang lagi dengan adanya penyakit hati yang mendasari dan bila digunakan
dengan obat lain yang menghambat xantin oksidase seperti allopurinol. Toksisitas
pirazinamid adalah tergantung dosis. Dosis yang lebih tinggi pada 40-50 mg/kg dikaitkan
dengan frekuensi hepatotoksisitas yang lebih besar daripada dosis yang digunakan dalam
regimen saat ini (25-35 mg/kg). Dalam model murine, pirazinamid menghambat aktivitas
CYP45058 dan tingkat NAD59 yang diubah dalam hubungan dengan spesies radikal
bebas yang dimediasi hepatotoksisitas. 5-10

Model hipotetis DILI karena agen anti-TB dengan potensi obat dan host-related factors
(warna biru) yang terlibat dalam patogenesis.

11
E. Diagnosis

Diagnosis dari drug-induced hepatitis ditegakkan dengan mengeksklusi


kemungkinan gangguan hati lainnya melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang detil, pemeriksaan lab, pencitraan hepatobilier, biopsi hati (bila
diindikasikan), dan penilaian kausalitas. 14-6

1. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik


Pada anamnesis, perlu dicari riwayat paparan obat-obatan yang
akurat serta onset awal dan perjalanan dari kelainan yang tampak.
Biasanya, onset dari drug-induced hepatitis terjadi dalam 6 bulan pertama
setelah memulai obat baru, kecuali pada obat-obatan tertentu yang
memerlukan paparan yang lebih lama sebelum menampakkan gejala (mis.
nitrofurantoin, minosiklin, statin). Selain itu, perlu dicari juga riwayat
reaksi obat sebelumnya, riwayat gangguan hati sebelumnya, serta riwayat
konsumsi alkohol. 14-6
Pemeriksaan fisik biasanya menampakkan gambaran mirip
gangguan hati lain (ikterik, demam, hepatomegali, nyeri tekan hati, atau
gambaran penyakit hati kronis). 14-6

2. Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan


Pemeriksaan fungsi hati diperlukan untuk melihat perjalanan
abnormalitas enzim hati, terutama bila obat yang diduga sebagai penyebab
telah dihentikan, dan untuk menentukan nilai R sehingga dapat diketahui
pola kerusakan hatinya. Untuk kerusakan tipe hepatoselular, Hepatitis
marker dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan hepatitis akut,
sedangkan autoantibodi serum dan IgG dapat diperiksa bila ada gejala
hipersensitivitas (demam, ruam kulit, urtikaria, dan eosinofilia) atau tanda-
tanda autoimunitas lain (anemia hemolitik, glomerulonefritis, dll). 14-6
Untuk kerusakan tipe kolestatik, diagnosis bandingnya yaitu
kelainan pankreatikobilier yang bisa ekstrahepatik atau intrahepatik.

12
Kelainan ekstrahepatik seperti choledocolithiasis atau malignansi bisa
diekslusikan dengan pemeriksaan pencitraan abdominal seperti USG, CT-
scan, atau MRI. Kelainan intrahepatik yang menyerupai drug-induced
hepatitis perlu diekslusi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
(sepsis, gagal jantung), tes serologis (anti-mitochondrial antibody untuk
sirosis bilier primer), atau pencitraan (sclerosing cholangitis). 14-6

3. Biopsi Hati
Biopsi hati bukan merupakan pemeriksaan yang mandatorik
dilakukan pada kasus drug-induced hepatitis, namun dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan pada kejadian seperti : 14-6
Bila hepatitis autoimun menjadi satu-satunya diagnosis banding yang
tersisa dan pasien dipertimbangkan mendapat terapi imunosupresif.
Bila enzim hati terus naik atau tanda kerusakan hati yang makin
memburuk meskipun agen yang diduga sebagai penyebab sudah
dihentikan.
Bila nilai ALT tidak menurun >50% setelah 30-60 hari atau AP tidak
menurun >50% setelah 180 hari meskipun agen yang diduga sebagai
penyebab sudah dihentikan.
Pada kasus drug-induced hepatitis dimana penggunaan obat penyebab
perlu diteruskan.
Bila abnormalitas nilai enzim hati terus tampak hingga 180 hari untuk
mengevaluasi adanya penyakit hati kronis.

4. Penilaian Kausalitas
RUCAM (Roussel Uclaf Causality Assessment Method) adalah
alat penilaian standard untuk menilai probabilitas suatu obat sebagai
penyebab dari drug-induced hepatitis. Sistem ini tidak bisa dipakai sebagai
alat diagnosis satu-satunya, namun sebagai bimbingan untuk mengevaluasi
pasien dengan dugaan drug-induced hepatitis. Sistem skoring ini dibagi
menjadi tipe hepatoselular dan tipe kolestatik dengan campuran. Poin-poin
lalu ditambah atau dikurangi berdasarkan onset gejala, waktu hingga nilai
enzim hati kembali normal, faktor risiko, obat penyerta, diagnosis
banding, dan hasil re-challenge. Skor akhirnya kemudian dibagi menjadi

13
5 hasil yaitu "disingkirkan" (skor <=0), "kurang mungkin" (1-2),
"mungkin" (3-5), "berpotensi" (5-8), "pasti" (>8). 14-6

Gambar 3. Roussel Uclaf Causality Assessment Method untuk penilaian


drug-induced hepatitis

F. Penatalaksanaan

14
Pedoman pengelolaan ATDH telah diterbitkan oleh American Thoracic
Society (ATS), British Thoracic Society (BTS) dan Task Force Respiratory
Society Eropa, WHO dan International Union Against Tuberculosis dan Lung
Disease. Penatalaksanaan ATDH tergantung pada penyebab, karena itu tidak ada
saran tegas dapat diberikan. Pola hepatoseluler dari kerusakan hati, yang terlihat
pada toksisitas isoniazid, rifampisin dan pirazinamid, memiliki awal yang
dominan pada peningkatan alanin aminotransferase. Oleh karena itu, Parameter
biokimialah yang paling sering digunakan untuk memantau fungsi hati selama
pengobatan antituberkulosis. 5-10
Dalam ringkasan, TB sebaiknya diobati di bawah pengawasan dokter yang
berkualitas. Pasien harus disarankan untuk mencari pengobatan medis jika mereka
mengalami tanda-tanda atau gejala hepatotoksisitas (yaitu ikterus, malaise, mual
dan muntah). Mereka harus dianjurkan tidak minum alkohol selama pengobatan
TB. Selama pengobatan, hanya fungsi hati harus dipantau secara teratur pada
indikasi (misalnya pada pasien dengan penyakit hati kronis atau meningkat serum
transaminase sebelum pengobatan). Dalam hal tanda-tanda atau gejala
hepatotoksisitas, fungsi hati harus diperiksa. Dalam kasus yang dikonfirmasikan
obat menginduksi hepatotoksisitas tingkat sedang atau berat, pengobatan harus
dihentikan dan memperkenalkan kembali setelah hepatotoksisitas telah
diselesaikan. Pedoman The American Thoracic Society tentang manajemen
ATDH dirangkum sebagai aliran-bagan di Gambar 2. 5-10

15
Penting untuk dicatat bahwa peningkatan transaminase tanpa gejala terjadi
pada 20% pasien yang diobati dengan antituberkulosis standar rejimen; sebelum
pengobatan atau segera setelah dimulainya pengobatan. Biasanya peningkatan
tersebut kembali secara spontan. 5-10
Meskipun pedoman dari BTS, ATS dan the task force kurang lebih sama,
ada beberapa perbedaan. ATS tidak merekomendasikan pengujian fungsi dasar
hati untuk pasien sehat, tetapi hanya menyarankan hal itu pada pasien dengan
risiko yang mungkin untuk menjdi ATDH (misalnya pasien dengan gangguan
hati), sedangkan The task force dan BTS menyarankan melakukan tes fungsi hati
dasar di pada semua pasien. Setelah pengobatan TB telah dihentikan karena
hepatotoksisitas, baik BTS dan ATS menyarankan restart obat antituberkulosis
satu per satu. Task Force menyarankan restart semua obat secara bersamaan,
setelah episode kedua dari hepatotoksisitas obat perlu diperkenalkan kembali
berturut-turut. 5-10

16
Di banyak negara-negara berpenghasilan rendah, di mana beban TB sering
tinggi tes-tes fungsi hati tidak dapat dilakukan. Dalam situasi kita harus
bergantung pada gejala klinis hepatotoksisitas, seperti sakit kuning, nyeri perut,
mual dan muntah. Penyebab hepatitis selama pengobatan TB dapat menjadi sama
dengan obat antituberkulosis atau sesuatu yang lain, sehingga kemungkinan lain
harus disingkirkan sebelum memutuskan bahwa hepatitis tersebut adalah
diinduksi oleh obat. 5-10
ATDH sedang atau berat didiagnosis (yaitu serum aminotransferase
Tingkat> 5 kali batas atas normal [ULN] atau> 3 kali yang ULN dengan gejala
hepatotoksisitas), pedoman merekomendasikan untuk menghentikan semua obat
sampai tes fungsi hati telah menjadi normal. Jika tidak mungkin untuk melakukan
fungsi hati tes, disarankan untuk menunggu selama 2 minggu ekstra setelah
penyakit kuning telah menghilang sebelum pengobatan TB diusulkan ulang.
Setelah ATDH telah diselesaikan, obat yang sama yang diperkenalkan kembali
berturut-turut. Seorang pasien TBC sangat sakit mungkin mati tanpa obat-obatan
antituberkulosis. Untuk mencegah hal ini, pasien ini harus dirawat sementara
dengan rejimen non-hepatotoksik. Setelah hepatotoksisitas telah diselesaikan,
pengobatan TB yang biasa harus di mulai kembali. 5-10

G. Prognosis

Sebagian besar pasien drug-induced hepatitis akut yang simptomatik dapat


sembuh dengan terapi suportif setelah obat penyebabnya dihentikan. Prognosis
dari tiap pasien tergantung dari tingkat kerusakan hati saat datang pertama kali.
Sebagai contoh, pasien dengan drug-induced hepatitis dan koagulopati
(INR>1,5) dan encefalopati memiliki prognosis yang buruk tanpa mendapat
transplantasi hati. Selain itu, lama pemakaian obat penyebab sebelum dihentikan
serta kerusakan hati tipe kolestatik juga berpengaruh pada risiko perkembangan
penyakit menjadi kronis. 2,3,5

Sebuah observasi dari dr. Hyman Zimmerman pada tahun 1978


menemukan bahwa pasien dengan ikterik yang disebabkan oleh obat (bilirubin

17
total >2x batas normal / nilai ALT/AST >3x normal) memiliki tingkat mortalitas
sebesar 10%. 2,3,5

18

Anda mungkin juga menyukai