Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri,
yaitu : Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak
menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya
kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti
ini disebut sebagai nyeri akut. Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga
terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain without
nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai
mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme
proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap
suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya
kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan
untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah
sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat
penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan
adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien
dapat diketahui, misalnya, nyeri yang dirasakan oleh seorang pada daerah
perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus
buntu. Contoh lain, misalnya seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa
nyeri di daerah perut, kemungkinan merupakan tanda bahwa proses
persalinan sudah dimulai.
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah
menyebar ke berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri
2

yang dirasakanya tidak lagi berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif


atau diagnostik, tetapi akan menambah penderitaannya semakin berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya
tidak saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri
itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia
dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun
lingkungannya.

1.2 Tujuan
Mempelajari mengenai nyeri

1.3 Manfaat
1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas mengenai
nyeri bagi penulis
2. Memberikan wawasan tentang nyeri kepada penulis lain
3. Memberikan tambahan referensi bagi almamater Fakultas Kedokteran
Universitas Sawadaya Gunung Jati Cirebon

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3

2.1 Definisi Nyeri


Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP),
nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri
di atas dapat di tarik dua kesimpulan. Yang pertama, bahwa persepsi nyeri
merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional
menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri terjadi karena
adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Yang kedua,
perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang
nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata
(pain without nociception).

2.2 Klasifikasi Nyeri


Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :
1. Menurut jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri
psikogenik.

2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.

3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.

4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.

Menurut Jenisnya Nyeri


Nyeri Nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatic maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan
pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf
sensoris dan simpatik.
4

Nyeri Neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cidera pada jalur serat saraf
perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer.
Sensi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusk-tusuk dan kadang
disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri
nerogenik dapat menyebabkan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi
secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang
kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP
merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan
respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas
dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Menurut Timbulnya Nyeri


Nyeri Akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi
bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat
sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya
intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri
akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera
menghilangkan nyeri. Misalnya nyeri pasca bedah.
Menurut Federation of State Medical Boards of the United States;
acute pain is the normal, predicted physiological response to an adverse
chemical, thermal or mechanical stimulus, associated with surgery trauma
and acute illness. (Nyeri akut adalah respon fisiologik normal yang
diramalkan terhadap rangsang kimiawi, panas atau mekanik menyusul suatu
pembedahan, trauma, dan penyakit akut). Ciri khas suatu nyeri akut adalah
nyeri yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang nyata dan akan
hilang seirama dengan proses penyembuhannya.
5

Dikenal 3 macam nyeri akut yaitu :


1. Nyeri somatik luar / cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang stimulusnya
berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya
dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi. Biasanya bersifat
burning (seperti terbakar), contoh : terkena ujung pisau atau gunting
2. Nyeri somatik dalam / deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang
muncul dari otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat, pembuluh darah,
tendon dan syaraf. Nyeri menyebar dan lebih lama dari pada nyeri somatik
luar, contoh : sprain sendi
3. Nyeri visceral, yaitu nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam,
stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, cranium dan thorak.
Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan. Nyeri
tipe ini dibagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal
terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan
biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh
kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena
gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian.
Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien
yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang
sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini
biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik
dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien
menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu
yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena
ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya
nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri karena kanker.
6

The International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan


nyeri kronik sebagai pain that persists beyond normal tissue healing time,
which is assumed to be three months (nyeri kronik adalah nyeri yang
menetap melampaui waktu penyembuhan normal yakni 3 bulan).
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nyeri
kronik adalah nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang
berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas. Oleh karena itu
nyeri kronik biasa disebut sebagai chronic non malignant pain. Dikenal tiga
macam bentuk nyeri kronik yakni:
1. Nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai, misalnya complex regional
pain syndrom yang dahulu dikenal sebagai reflex symphathetic dystrophy,
post herpetic neuralgia, phantom pain,neurophatic pain, dan lain-lain.
2. Nyeri yang timbul tanpa penyebab yang jelas, misalnya nyeri pinggang
bawah (low back pain), sakit kepala, dan lain-lain.
3. Nyeri yang didasari atas kondisi kronik, misalnya osteoartheritis atau
reumathoid arthritis, dan lainlain. Sangat subjektif dan dipengaruhi oleh
kelakuan, kebiasaan dan lain-lain.

Tabel 1 : Perbedaan Karakteristik Nyeri Akut dan Kronik


Nyeri Akut Nyeri Kronik
- Lamanya dalam hitungan menit - Lamannya sampai hitungan
- Sensasi tajam menusuk bulan
- Dibawa oleh serat A-delta - Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Ditandai peningkatan BP, nadi, - Dibawa oleh serat C
dan respirasi - Fungsi fisiologi bersifat normal
- Kausanya spesifik, dapat - Kausanya mungkin jelas
diidentifikasi secara biologis mungkin tidak
- Respon pasien : Fokus pada - Tidak ada keluhan nyeri, depresi
nyeri, menangis dan dan kelelahan
mengerang, cemas - Tidak ada aktifitas fisik sebagai
- Tingkah laku menggosok respon terhadap nyeri
bagian yang nyeri - Respon terhadap analgesik :
7

- Respon terhadap analgesik : sering kurang meredakan nyeri


meredakan nyeri secara efektif

Menurut Derajat Nyerinya


Berdasarkan derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :
1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu
melakukan aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.

2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang
hanya hilang jika penderita tidur.

3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu
tidur.

2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


1. Usia
Batasan usia anak-anak mulai usia 0-2 tahun, remaja usia 13-18
tahun, dewasa usia 19-59 tahun, lansia usia lebih dari 60 tahun. Usia
mempunyai peranan yang penting dalam mempersepsikan dan
mengekspresikan rasa nyeri. Pasien dewasa memiliki respon yang berbeda
terhadap nyeri dibandingkan pada lansia.
Nyeri dianggap sebagai kondisi yang alami dari proses penuaan.
Cara menafsirkan nyeri ada dua. Pertama, rasa sakit adalah normal dari
proses penuaan. Kedua sebagai tanda penuaan. Usia sebagai faktor penting
dalam pemberian obat. Perubahan Metabolik pada orang yang lebih tua
mempengaruhi respon terhadap analgesik opioid. Banyak penelitian telah
dilakukan untuk mengetahui pengaruh usia terhadap persepsi nyeri dan
hasilnya sudah tidak konsisten. Telah ditemukan bahwa orang tua
membutuhkan intensitas lebih tinggi dari rangsangan nyeri dibandingkan
orang usia muda. Menurut Edwards & Fillingham menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan persepsi nyeri antara orang muda dengan orang tua,
sedangkan menurut Li, Green-wald dan Gennis menemukan bahwa nyeri
8

pada lansia pasien merupakan bagian dari proses penuaan. Pasien usia
lanjut melaporkan nyeri kurang signifikan dibandingkan pasien yang lebih
muda.
Hasil penelitian ini telah menujukkan intensitas nyeri yang lebih
tinggi pada orang yang lebih tua. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, salah satunya adalah penyakit kronis. Faktor lain yang juga
berkontribusi terhadap persepsi nyeri juga telah dilaporkan oleh Harkins
dan Chapman yaitu faktor jenis stimulus nyeri yang diberikan, untuk
stimulus nyeri ringan orang tua melaporkan nyeri lebih rendah dari usia
yang lebih muda sedangkan dengan stimulus nyeri berat orang tua
melaporkan nyeri lebih tinggi dari usia yang lebih muda.

2. Jenis kelamin
Respon nyeri di pengaruhi oleh jenis kelamin. Telah dilakukan
penelitian terhadap sampel 100 pasien untuk mengetahui perbedaan respon
nyeri antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya menunjukan bahwa ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam merespon nyeri yaitu
perempuan mempunyai respon nyeri lebih baik dari pada laki-laki.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Laura yang
menunjukkan bahwa wanita lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.
Brattberg melaporkan bahwa perempuan mengungkapkan rasa nyeri yang
lebih tinggi daripada laki-laki. Pada perempuan letak persepsi nyeri berada
pada limbik yang berperan sebagai pusat utama emosi seseorang
sedangkan pada laki-laki terletak pada korteks prefrontal yang berperan
sebagai pusat analisa dan kognitif. Jadi secara emosional perempuan lebih
sensitif dalam mempersepsikan nyeri.

3. Budaya
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. Telah
ditemukan bahwa orang Jawa dan Batak mempunyai respon yang berbeda
9

terhadap nyeri. Dia menemukan bahwa pasien Jawa mencoba untuk


mengabaikan rasa sakit dan hanya diam, menunjukkan sikap tabah, dan
mencoba mengalihkan rasa sakit melalui kegiatan keagamaan. Ini berarti
bahwa pasien Jawa memiliki kemampuan untuk mengelola nya atau rasa
sakitnya. Di sisi lain, pasien Batak merespon nyeri dengan berteriak,
menangis, atau marah dalam rangka untuk mendapatkan perhatian dari
orang lain, sehingga menunjukkan ekspresif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pasien dengan budaya yang berbeda dinyatakan
dalam cara yang berbeda yang mempengaruhi persepsi nyeri.

2.4 Fisiologi Nyeri


NOSISEPTOR (Reseptor Nyeri)
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah,
nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
10

Tabel 2. Tipe Serabut Saraf

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor


nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri
dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi
stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut
sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious).
Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan
temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum
dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik
(nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut
saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin
(serabut C).
11

MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya

kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh

stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini

berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus

dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem

nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang

membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat


perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus
non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan
menghilangkan respon inflamasi.
1. Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya
perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan

melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K +,


pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan
growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang
nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan
menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan
berikutnya (nociceptor sensitizers)
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E 2 akan mereduksi

ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf


dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai
komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan,
penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan
menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan
12

ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di


tempat cedera atau inflamasi

Gambar 1. Mekanisme sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral

2. Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi
nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral
dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri
setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer
sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent),
kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent)
33

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem


saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input
(kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan
yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla
spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis
13

menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya


rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh
dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan
nyeri

PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY)


Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis

kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan

empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan
persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya
nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)
1. Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada
ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik
kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima
ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor
meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan
jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya
menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang
akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan
dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang
akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi
perifer
2. Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan
proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke
medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum
diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke
traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa
rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta
berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain
itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron
14

dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls


disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan
dirasakan sebagai persepsi nyeri.

3. Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat
(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem
analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri
yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses
ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin,
endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada
kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu
dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk
analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
sangat subjektif pada setiap orang
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan
suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang
diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik

JALUR NYERI DI SISTEM SARAF PUSAT


1. Jalur Asenden (transduksi dan transmisi)
Serat saraf C dan A- aferen yang menyalurkan impuls nyeri masuk
ke dalam medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah
sewaktu masuk ke korda dan kemudian kembali menyatu di kornu
dorsalis (posterior) medula spinalis. Daerah ini menerima, menyalurkan,
dan memproses impuls sensorik. Kornu dorsalis medula spinalis dibagi
menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina. Dua dari lapisan ini
15

(lapisan 2 dan 3), yang disebut substansia gelatinosa, yang sangat penting
dalam transmisi dan modulasi nyeri.
Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuro-neuron yang
menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura
anterior dan kemudian menyatu di traktus spinothalamikus antero-
lateralis, yang naik ke thalamus dan struktur otak lainnya. Dengan
demikian, transmisi impuls nyeri di medula spinalis bersifat kontra lateral
terhadap sisi tubuh tempat impuls itu berasal.

Gambar 2. Jalur Ascendens Impuls Nyeri

2. Jalur Desenden (modulasi dan persepsi)


Daerah-daerah tertentu di otak itu sendiri mengendalikan atau
mempengaruhi persepsi nyeri, hipotalamus dan struktur limbik berfungsi
sebagai pusat emosional persepsi nyeri, dan korteks frontalis
menghasilkan interpretasi dan respon rasional terhadap nyeri. Namun,
16

terdapat variasi yang luas dalam cara individu mempersepsikan nyeri.


Salah satu penyebab variasi ini adalah karena sistem saraf pusat (SSP)
memiliki beragam mekanisme untuk memodulasi dan menekan
rangsangan nosiseptif.
Jalur-jalur desenden serat eferen yang berjalan dari korteks
serebrum ke bawah ke medula spinalis dapat menghambat atau
memodifikasi rangsangan nyeri yang datang melalui suatu mekanisme
umpan balik yang melibatkan substansia gelatinosa dan lapisan lain
kornu dorsalis. Salah jalur desenden yang telah diidentifikasi sebagai
jalur penting dalam sistem modulasi-nyeri atau analgesik adalah jalur
yang mencakup tiga komponen berikut :
1. Bagian pertama adalah substansia grisea periakuaduktus (PAG) dan
substansia grisea periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian
atas yang mengelilingi akuaduktus Sylvius.
2. Neuron-neuron dari daerah daerah satu mengirim impuls ke nukleus
rafe magnus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula
bagian atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di
medula lateralis.
3. Impuls ditransmisikan dari nukleus ke bawah ke kolumna dorsalis
medula spinalis ke suatu kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di
kornu dorsalis medula spinalis.
Zat-zat kimia yang disebut neuroregulator, juga mungkin
mempengaruhi masukan sensorik ke medula spinalis. Neuroregulator ini
dikenal sebagai neurotransmiter atau neuromodulator. Neurotransmiter
adalah neurokimia yang menghambat atau merangsang aktifitas di
membran pascasinaps. Zat P (suatu neuropeptida) adalah neurotransmiter
spesifik-nyeri yang terdapat di kornu dorsalis medula spinalis.
Neurotransmiter SSP lain yang terlibat dalam transmisi nyeri adalah
asetilkolin, norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin.

RESPON TERHADAP NYERI


17

Respons tubuh terhadap trauma atau nyeri adalah terjadinya reaksi


endokrin berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi
imunologik, yang secara umum disebut sebagai respons stres. Respons stres
ini sangat merugikan pasien, karena selain akan menurunkan cadangan dan
daya tahan tubuh, juga meningkatkan kebutuhan oksigen jantung,
mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, serta akan
mengundang resiko terjadinya tromboemboli, yang pada gilirannya
meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Respon Endokrin
Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya
terjadi pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin
II, ADH, ACTH, GH dan glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi
hormon anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan
hiperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses
glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein dan lipolisis.
Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron, kortisol,
ADH menyebabkan terjadinya retensi Na dan air. Katekolamin merangsang
reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah. Dengan demikian
terjadilah siklus vitriosus.

Efek Nyeri Terhadap Kardiovaskular dan Respirasi


Pelepasan Katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi
Angiotensin II akan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-hormon
ini mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh darah dan
meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi.
Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan kontraktilitas otot
jantung dan resistensi vaskular perifer, sehingga terjadilah hipertensi.
Takikardia serta disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard. Ditambah
dengan retensi Na dan air, maka timbullah resiko gagal jantung kongesti.
Bertambahnya cairan ekstraseluler di paru-paru akan menimbulkan
kelainan ventilasi perfusi. Nyeri di daerah dada atau abdomen akan
menimbulkan peningkatan tonus otot di daerah tersebut sehingga dapat
18

muncul resiko hipoventilasi, kesulitan bernafas dalam dan mengeluarkan


sputum, sehingga penderita mudah mengalami penyulit atelektasis dan
hipoksemia.

Efek Nyeri Terhadap sistem Organ Yang Lain


Peningkatan aktivitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi
saluran cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita nyeri.
Terhadap fungsi immunlogik, nyeri akan menimbulkan limfopenia,
leukositosis, dan depresi RES. Akibatnya resistensi terhadap kuman patogen
menurun, Kemudian, terhadap fungsi koagulasi, nyeri akan menimbulkan
perubahan viskositas darah, fungsi platelet. Terjadi peningkatan adesivitas
trombosit. Ditambah dengan efek katekolamin yang menimbulkan
vasokonstriksi dan immobilisasi akibat nyeri, maka akan mudah terjadi
komplikasi trombosis.

Efek Nyeri Terhadap Mutu Kehidupan


Nyeri, menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu
bergerak, tidak mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak
enak makan/dan minum, cemas, gelisah, perasaan tidak akan tertolong dan
putus asa. Keadaan seperti ini sangat mengganggu kehidupan normal
penderita sehari-hari. Mutu kehidupannya sangat rendah, bahkan sampai tidak
mampu untuk hidup mandiri layaknya orang sehat. Oleh karena itu
penatalaksanaan nyeri pada hakikatnya tidak saja tertuju kepada mengurangi
atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau
peningkatan mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat kembali menikmati
kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.
19

Gambar 3. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut akibat
kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma

2.5 Penilaian Nyeri


Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri paska pembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan
pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan.
Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini yaitu :
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda,
dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini
20

berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak,


orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti
dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 4. Wong- Baker Faces Pain Rating Scale

2. Verbal Rating Scale (VRS)


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan
skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

\
Gambar 5. Verbal Rating Scale

3. Numerical Rating Scale (NRS)


Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978,
dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan
menunjukkan angka 0 5 atau 0 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak
ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 6. Numeric Rating Scale


21

4. Visual Analogue Scale (VAS)


Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948
yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)
penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat.
Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk
mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih
gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan
dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll
dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara
metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif
mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata
tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian
pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS
secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam
bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri
yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia.
Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien
merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat
(rescue analgetic).

Gambar 7. Visual Analogue Scale


22

2.6 Mekanisme Kerja Obat Analgetik


Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral.
Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan
mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa
prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral
dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga
terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal
tidak terjadi.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang
mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas
ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi,
edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga
prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu
rangsangan nyeri (nosiseptif) .
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis
sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari
enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal
ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi)
maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan
perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu
ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang
diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa
lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses
homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan
fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan
terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi,
demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla
spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam
sensitisasi sentral.
23

Gambar 8. Mekanisme Kerja Obat untuk Nyeri

2.7 Penatalaksanaan Nyeri


Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri
Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus
memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam
pengelolaan nyeri ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :
a. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
b. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
c. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
d. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
e. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
24

f. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan


g. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri


sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat
dua metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non
farmakologik.

Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step
Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk
pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik
non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan
untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

Gambar 9. WHO Three-Step Analgesic Ladder


25

Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau


obat pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam
masing-masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih
meningkatkan efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang
menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap
tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.
Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik
opioid dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat
disebut adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan
obat-obat analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan
bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila pada proses
transduksi diberikan NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi
lokal, dan bila pada proses modulasi diberikan narkotik.
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri
ringan sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama
asetaminofen (tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS
dengan efek antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (kecuali
asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam asetil salisilat
(aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif untuk mengatasi
nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis,
dan nyeri akibat kanker ringan.
26

Gambar 10. Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera


melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat.
Prostaglandin mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis
dengan produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya bradikinin
dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian,
OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan
menghambat sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan
ketergantungan atau toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu
peningkatan dosis melebihi kadar tertentu tidak menambah efek
analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan pemberian OAINS
adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan,
pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya
fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal.

2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini
merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri
27

terkait kanker. Morfin adalah suatu alkaloid yang berasal dari getah
tumbuhan opium poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan
sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan
euforiknya. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan
untuk mengobati nyeri berat dan masih standar pembanding untuk
menilai obat analgesik lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin
menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid
telah semakin jelas sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di
sistem limbik, talamus, PAG, substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan
usus. Opioid endogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat
reseptor opioid dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfin-
enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja
reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di
batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem desenden
yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang
sangat mirip termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan
konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi,
ketergantungan dan ketagihan (adiksi). Toleransi adalah kebutuhan
fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk mempertahankan efek
analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan dalam jangka
panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang
yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah
komplete. Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.

3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid


Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid
dengan mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya.
Nalokson, suatu antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan
efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan
dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.
28

Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti


pentazosin (talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada
pasien yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu
gejala-gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif
apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi
pernafasan) dibandingkan dengan antagonis opioid murni.

4. Adjuvan atau koanalgesik


Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula
dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian
ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer dalam
penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat
efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak
berespon terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah
terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan
kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena
obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon
akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah
analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai
penyakit lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah
terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena
karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan
untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik
yang independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah
hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa
penyakit dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot
misalnya diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati kejang
otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason,
29

yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan


kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-
alfa (misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara
intraspinal bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga
memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena
memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor
sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan
dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek
samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi
pernafasan yang diinduksi oleh opioid.

Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui

patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan

dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga


terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi
(fisioterapi, psikoterapi)
Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik
oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan
opioid intraspinal.
Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu
pasien, prosedur dan pelaksanaannya. Ada empat grup utama dari obat-obatan
analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan.
30

Tabel 3. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri.

Pendekatan Nonfarmakologik
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak
pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri
yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya
sejumlah metode nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode
nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku.
Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara
tersendiri atau digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk
stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur,
aplikasi panas atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang
serat-serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk menutup
gerbang bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri
sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit
juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan
neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
31

Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering


digunakan adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan
dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai
titik diseluruh tubuh. Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan
meningkatkan sirkulasi lokal. Pijat punggung memiliki efek relaksasi
yang kuat dan apabila dilakukan oleh individu yang penuh perhatian
maka akan menghasilkan efek emosional yang positif.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS)
terdiri dari suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls
listrik lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada
umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS
digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri
pascaoperasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia
perifer dan artritis rematoid.
Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus
ke dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan
nyeri. Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah
memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat
digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah
nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama
dikeketahui sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau
kejang otot. Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas,
bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi
(whirpool, sitz bath, berendam air panas), konversi (ultrasonografi,
diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot, dan artritis berespon baik
terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan
aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah cidera traumatik saat
masih ada edema dan peradangan. Karena meningkatkan aliran darah,
panas mungkin meredekan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk
32

inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang


menimbulkan nyeri lokal.
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik,
aplikasi dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka
bakar, tersayat, terkilir). Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam
atau komponen air dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es.
Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi
edema serta perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan
efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga
impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang
mungkin bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan
mengurangi persepsi nyeri.

2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi
pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien
perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi
ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan
biofeedback. Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku
menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan, pada praktik
keduanya tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan
bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang
menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas,
ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-
stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan
perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton
televisi, membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk
pengalihan fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau
memikirkan pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk
33

mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan


dengan relaksasi.
Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada
bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini
juga bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian
pasien ke bayangan-bayangan yang paling konstruktif.
Umpan-balik hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada
kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter
fisiologik tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat belajar
mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan otot,
kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.
34

BAB III
KESIMPULAN

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau

suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu

bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman


sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai
oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui
medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah
terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya
dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang
rusak.
35

DAFTAR PUSTAKA

Bisri, T. (2008). Dasar-Dasar Neuroanastesi. Bandung : Saga Olahcitra


Fein, A. (2012). Nociceptors and The Perception of Pain. Farmington : University
of Connecticut Health Center.
Kishner, S. (2014). Pain Assesment. Diakses Tanggal 15 Maret 2016. Sumber :
www.medscape.com.
Latief SA. (2007). Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2 ed. Bag Anestesi FKUI. p:74-
83.
Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. [serial online]
Diakses Tanggal 15 Maret 2016. Sumber: URL : http://www.dexa-
medica.com
Nicholson B. (2006). Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain.
The American Journal of Managed Care. p256-61.
Romanoff ME. (2006). Neuropathic Pain. In: Ramamurthy S, Alanmanou E,
Rogers JN. Decision Making in Pain Management. 2nd ed. Philadelphia:
Mosby. p86-89.
Soenarjo, Jatmiko, HD dkk. (2013). Anestesiologi. Semarang : Perhimpunan
Dokter Spesialis Anastesi dan Terapi Intensif (PERDATIN). FKUNDIP.
Wuhrman, E. (2011). Acute Pain : Assesment and Treatment. Diakses Tanggal 15
Maret 2016. Sumber : www.medscape.com.

Anda mungkin juga menyukai