Referat Nyeri
Referat Nyeri
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Mempelajari mengenai nyeri
1.3 Manfaat
1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas mengenai
nyeri bagi penulis
2. Memberikan wawasan tentang nyeri kepada penulis lain
3. Memberikan tambahan referensi bagi almamater Fakultas Kedokteran
Universitas Sawadaya Gunung Jati Cirebon
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Nyeri Neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cidera pada jalur serat saraf
perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer.
Sensi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusk-tusuk dan kadang
disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri
nerogenik dapat menyebabkan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi
secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang
kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP
merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan
respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas
dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan
biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh
kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena
gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian.
Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien
yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang
sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini
biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik
dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien
menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu
yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena
ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya
nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri karena kanker.
6
2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang
hanya hilang jika penderita tidur.
3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu
tidur.
pada lansia pasien merupakan bagian dari proses penuaan. Pasien usia
lanjut melaporkan nyeri kurang signifikan dibandingkan pasien yang lebih
muda.
Hasil penelitian ini telah menujukkan intensitas nyeri yang lebih
tinggi pada orang yang lebih tua. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, salah satunya adalah penyakit kronis. Faktor lain yang juga
berkontribusi terhadap persepsi nyeri juga telah dilaporkan oleh Harkins
dan Chapman yaitu faktor jenis stimulus nyeri yang diberikan, untuk
stimulus nyeri ringan orang tua melaporkan nyeri lebih rendah dari usia
yang lebih muda sedangkan dengan stimulus nyeri berat orang tua
melaporkan nyeri lebih tinggi dari usia yang lebih muda.
2. Jenis kelamin
Respon nyeri di pengaruhi oleh jenis kelamin. Telah dilakukan
penelitian terhadap sampel 100 pasien untuk mengetahui perbedaan respon
nyeri antara laki-laki dan perempuan. Hasilnya menunjukan bahwa ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam merespon nyeri yaitu
perempuan mempunyai respon nyeri lebih baik dari pada laki-laki.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Laura yang
menunjukkan bahwa wanita lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.
Brattberg melaporkan bahwa perempuan mengungkapkan rasa nyeri yang
lebih tinggi daripada laki-laki. Pada perempuan letak persepsi nyeri berada
pada limbik yang berperan sebagai pusat utama emosi seseorang
sedangkan pada laki-laki terletak pada korteks prefrontal yang berperan
sebagai pusat analisa dan kognitif. Jadi secara emosional perempuan lebih
sensitif dalam mempersepsikan nyeri.
3. Budaya
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka
melakukan kesalahan jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. Telah
ditemukan bahwa orang Jawa dan Batak mempunyai respon yang berbeda
9
MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya
stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini
berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus
dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem
nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
2. Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi
nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral
dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri
setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer
sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent),
kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent)
33
empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan
persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya
nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)
1. Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada
ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik
kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima
ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor
meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan
jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya
menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang
akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan
dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang
akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi
perifer
2. Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan
proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke
medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum
diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke
traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa
rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta
berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain
itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron
14
3. Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat
(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem
analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri
yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses
ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin,
endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada
kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu
dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk
analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
sangat subjektif pada setiap orang
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan
suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang
diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi
dari sensorik
(lapisan 2 dan 3), yang disebut substansia gelatinosa, yang sangat penting
dalam transmisi dan modulasi nyeri.
Dari kornu dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuro-neuron yang
menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura
anterior dan kemudian menyatu di traktus spinothalamikus antero-
lateralis, yang naik ke thalamus dan struktur otak lainnya. Dengan
demikian, transmisi impuls nyeri di medula spinalis bersifat kontra lateral
terhadap sisi tubuh tempat impuls itu berasal.
Respon Endokrin
Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya
terjadi pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin
II, ADH, ACTH, GH dan glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi
hormon anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan
hiperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses
glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein dan lipolisis.
Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron, kortisol,
ADH menyebabkan terjadinya retensi Na dan air. Katekolamin merangsang
reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah. Dengan demikian
terjadilah siklus vitriosus.
Gambar 3. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut akibat
kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma
\
Gambar 5. Verbal Rating Scale
Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step
Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk
pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik
non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan
untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1
2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini
merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri
27
terkait kanker. Morfin adalah suatu alkaloid yang berasal dari getah
tumbuhan opium poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan
sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan
euforiknya. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan
untuk mengobati nyeri berat dan masih standar pembanding untuk
menilai obat analgesik lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin
menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid
telah semakin jelas sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di
sistem limbik, talamus, PAG, substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan
usus. Opioid endogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat
reseptor opioid dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfin-
enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja
reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di
batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem desenden
yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang
sangat mirip termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan
konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi,
ketergantungan dan ketagihan (adiksi). Toleransi adalah kebutuhan
fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk mempertahankan efek
analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan dalam jangka
panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang
yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah
komplete. Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.
Pendekatan Nonfarmakologik
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak
pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri
yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya
sejumlah metode nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode
nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku.
Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakan secara
tersendiri atau digunakan sebagai adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.
1. Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk
stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur,
aplikasi panas atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang
serat-serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk menutup
gerbang bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri
sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit
juga dapat menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin dan
neurotransmiter lainnya yang menghambat nyeri.
31
2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi
pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien
perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi
ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan
biofeedback. Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku
menekankan salah satu relaksasi atau pengelihatan, pada praktik
keduanya tidak dapat dipisahkan.
Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan
bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang
menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas,
ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-
stress-nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan
perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton
televisi, membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan.
Penciptaan khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk
pengalihan fasilator yang mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau
memikirkan pemandangan atau sensasi yang menyenangkan untuk
33
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA