Burhan Nurgiyantoro
FBS Universitas Negeri Yogyakarta
email: burhan@uny.ac.id
Abstrak: Wayang telah diakui UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity
(Karya-karya Agung Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia). Wayang diakui sebagai karya agung
karena wayang memunyai nilai tinggi bagi peradapan umat manusia. Wayang sarat nilai, baik yang
tercermin pada karakter tokoh, cerita, maupun berbagai unsur lain yang mendukung. Semua itu
baik dijadikan rujukan pengembangan karakter bangsa. Banyak orang tua yang menamai anaknya
dengan nama tokoh wayang yang berkarakter. Setelah diakui sebagai karya agung, wayang harus
dilestarikan eksistensinya, dan itu menjadi tugas seluruh bangsa di dunia khususnya bangsa Indonesia
yang memiliki budaya wayang tersebut. Kita harus memercayai bahwa eksistensi bangsa Indonesia
dewasa ini tidak lepas dari nilai-nilai luhur tradisional yang memiliki sejarah yang amat panjang dalam
mengawal pertumbuhan dan kemajuan bangsa ini yang salah satunya adalah budaya wayang. Dalam
era global dewasa ini keunggulan lokal amat dibutuhkan karena hal itulah yang membedakaannya
dengan etnis dan bangsa lain.
Abstract: Wayang (puppet) has been recognized by UNESCO as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage
of Humanity. It is recognized as a masterpiece because it has a high value for the human civilization. It is
loaded with values, as those reflected on the character of the wayang figures, stories, or other supporting
elements. All of these are good references for the development of the nations character. Many parents
name their children after the names of the wayang figures who represent their ideal characters. As the
consequence of its recognition as a masterpiece, wayangs existence must be preserved, and it is the
duty of all the nations the world over, especially the Indonesians, who own the wayang culture, to
preserve it. We have to believe that the existence of the current Indonesian nation is inseparable from
the traditional noble values, one of which is the wayang culture with its long history in ensuring the
growth and the progress of this nation. In todays global era, the local genius is highly demanded as it
is exactly what distinguishes it from other nations and ethnics.
Key words: wayang, wayangs character, the development of the nations character
18
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011
19
kini dalam masyarakat yang bersangkutan. Wayang Sebagai Fenomena Sastra, Budaya,
(iv) Kegunaan dalam penerapan keterampilan dan Pertunjukan
dan sifat teknik yang diperlihatkan. (v) Kehadiran cerita wayang dapat dilihat
Perannya sebagai tradisi budaya yang hidup. dari berbagai perspetif tergantung darimana
(vi) Risiko budaya yang bersangkutan bisa kita akan melihatnya dan semuanya tampak
punah karena kekurangan sarana untuk menarik. Budaya pewayangan merupakan
melestarikan dan melindunginya (Wibosono, salah satu wujud keunggulan lokal, yang
2009). kini telah menginternasional, yang memiliki
Akhirnya pada tanggal 7 November sejumlah keunikan yang dapat dilihat dari
2003 wayang Indonesia diumumkan oleh berbagai perspektif, misalnya perspektif
UNESCO sebagai karya agung dunia di bahasa, sastra, budaya, sejarah, pemikiran,
Paris. Ada lima jenis wayang yang diteliti, dan pertunjukan. Pembicaraan di bawah
yaitu (i) wayang kulit purwa Jawa dari Jawa akan melihat wayang dari perspektif sastra,
Tengah, (ii) wayang parwa Bali dari Bali, (iii) budaya, dan pertunjukan.
wayang golek Sunda dari Jawa Barat, (iv)
wayang Palembang dari Sumatra Selatan, Wayang dalam Perspektif Sastra
dan (v) wayang Banjar dari Kalimantan Kenyataan bahwa cerita wayang
Selatan (Wibisono, 2009). Hal itu sekali di pandang sebagai karya adhiluhung,
lagi menunjukkan bahwa wayang, sebagai menunjukkan betapa tingginya nilai literer
salah satu warisan budaya tradisional, telah karya itu sebagai sebuah fenomena sastra.
diakui dunia internasional sebagai sebagai Sebagai sebuah karya sastra cerita wayang
sebuah warisan budaya sarat nilai yang memiliki ciri kesastraan yang dominan,
berperan besar dalam pembentukan dan yaitu ciri estetik. Cerita wayang menganut
pengembangan jatidiri bangsa. prinsip-prinsip estetika Timur seperti prinsip
Wayang adalah sebuah mahakarya, keseimbangan, kesatuan, keteraturan,
salah satu karya agung dunia karena karya fokus, variasi, pola karakteristik, tidak
seni wayang mengandung berbagai nilai, membedakan pola struktur tragedi komedi,
mulai dari falsafah hidup, etika, spiritualitas, menekankan keindahan rasa, dan sekaligus
musik (gending-gending gamelan), hingga menjadi ensiklopedi hidup.
estetika bentuk seni rupa yang amat Prinsip keseimbangan misalnya,
kompleks. Sebagaimana dikemukakan menekankan keseimbangan antara
direktur UNESCO 2004 (Koitchiro Matsuura), mikrokosmos dengan makrokosmos, antara
karena wayang telah diakui sebagai salah satu yang di atas (dewa) dan yang di bawah
warisan budaya dunia, ia harus dilestarikan (manusia dan makhluk lain), antara raja
dan itu menjadi tugas seluruh bangsa, dan rakyat, antara unsur bentuk dan isi.
terutama bangsa Indonesia yang memiliki Prinsip kesatuan misalnya terlihat pada
produk yang sedemikian luhur ini. Jadi, kenyataan bahwa semua aspek yang terkait
bangsa Indonesia kini memiliki tugas berat dalam pertunjukan wayang merupakan satu
untuk menyelamatkan dan melestarikan kesatuan yang padu. Prinsip keteraturan,
produk budayanya ini (Kata Pengantar alam, terutama keteraturan dalam
buku Rupa dan karakter Wayang Purwo oleh keseimbangan. Prinsip pemfokusan terlihat
Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono, 2010). pada fokus didaktis lewat simbol-simbol.
Namun, cerita wayang menyangkut cerita, (913-929 Caka, 991-1007 Masehi) di Jawa
bahasa, dan lain-lain tergantung kreativitas Timur. Cerita pokok terdiri dari 24.000
dalang. Pola karakter tokoh wayang misalnya, sloka, namun dalam rangkaian cerita
walau sudah pasti, kadang-kadang juga pokok ditambah banyak sisipan, sehingga
dapat berubah tergantung lakonnya sehingga kemudian berkembang menjadi 100.000
karakter tokoh itu tidak lagi terlalu datar (flat sloka (Mulyono, 1989). Jadi, sesungguhnya
character). sulit untuk mengatakan siapa pengarang
Hingga dewasa ini belum didapatkan yang sebenarnya walau pada umumnya
kesepakatan apakah wayang berasal orang menganggap bahwa Wiyasa adalah
dari India atau asli Jawa karena terdapat pengarangnya (Amir, 1994). Sebagian besar
dua kubu yang saling mempertahankan kitab Mahabharata mengisahkan kehidupan
pendapatnya (Amir, 1994). Walau teks asli Pandawa (kepahlawanan, pembawa misi
kitab Mahabharata dan Ramayana berasal kebenaran) dan Kurawa (kejahatan), serta
dari Hindia, cerita wayang yang ada Jawa perang Bharatayuda. Kitab itu terdiri dari
tidak lagi sama dengan ada di Hindia 18 jilid (parwa).
(bandingkan dengan buku Mahabharata karya Selain kitab Mahabharata tersebut
P. Lal, 1992, atau karya C. Rajagopalachari, pada zaman kerajaan Daha, Kediri, dan
2008). Teks kedua karya itu yang ditulis Majapahit muncul kitab-kitab pewayangan
dalam bahasa Jawa Kuna merupakan yang ditulis berdasarkan kitab itu.
perpaduan antara yang asli budaya Jawa Misalnya, Empu Kanwa menulis Kakawin
dan budaya Hindu. Dengan kata lain, cerita Arjunawiwaha yang merupakan bagian
pewayangan pada waktu itu pun telah dari parwa ketiga Wana Parwa. Buku-
mengalami transformasi. Cerita wayang asli buku yang lain misalnya Kunjarakarna,
Hindu dengan bahasa Sansekerta itu sendiri Bhomakawya, Baratayuda, Hariwangsa Kakawin,
tidak pernah ditemukan. Masalah asal-usul Gatotkacasraya, Arjunawijaya, dan Partayadna
wayang dapat menjadi tidak penting jika yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, serta
dibandingkan dengan kenyataan bahwa kita Tantu Panggelaran, Korawasrama, Dewa Ruci,
kini telah memiliki wayang dalam bentuk Sudamala, dan lain-lain yang ditulis dalam
yang amat sempurna sebagai karya seni. Bahasa Jawa Tengahan (Mulyono, 1989).
Kesastraan lama tentang pewayangan Di Indonesia cerita Mahabharata lebih
yang berasal dari Hindu adalah Ramayana populer daripada Ramayana. Cerita carangan
dan Mahabharata (karya Wiyasa), namun dan sempalan dikembangkan dari cerita
kedatangannya di Indonesia lebih kemudian. Mahabharata. Pakem cerita wayang disusun
Kitab Ramayana ditulis pertama dalam bahasa oleh Mangkunegara VII, Serat Pendalangan
Jawa Kuna (825 Caka, Masehi), tetapi tidak Ringgit Purwa, yang pada mulanya juga
diketahui siapa pengarangnya. Kitab ini merupakan cerita carangan, jauh lebih banyak
berbentuk syair yang semuanya berjumlah mengisahkan Mahabharata. Pakem itu terdiri
24.000 sloka, dan terdiri dari 7 jilid (Kanda) dari 37 jilid, jilid 1-2 mengisahkan pada dewa
(Amir, 1994). sebelum Pandawa, jilid 3-34 mengisahkan
Kitab Mahabharata mula-mula ditulis siklus Pandawa, dan jilid 35-37, mengisahkan
dalam bahasa Jawa Kuna pada masa siklus Rama.
pemerintahan Dharmawangsa Teguh
Selain buku tersebut yang sering yang dilakukan oleh seorang dalang dengan
dianggap sebagai pakem cerita wayang memergunakan peralatan sederhana, namun
adalah Serat Paramayoga dan Pustaka Raja prinsipnya mirip dengan yang ada sekarang.
Purwa (karya Ranggawarsita). Kedua buku Cerita wayang yang mengambil kisah
tersebut merupakan pakem cerita wayang petualang dan kepahlawanan nenek moyang
untuk versi Surakarta, sedang untuk versi dan diperkirakan sudah terjadi pada zaman
Yogyakarta adalah Serat Purwakandha Neolithikum, atau kurang lebih tahun 1500
(Partakusumo, 1992, prawacana untuk Serat SM. Karena kitab pewayangan belum ditulis,
Paramayoga). Namun, berbeda halnya dengan cerita itu menurun dan berkembang secara
Serat Pendalangan Ringgit Purwa, Pustakaraja lisan. Keadaan ini berlangsung sampai
Purwa dan Serat Paramayoga yang dikenal kurang lebih abad V ketika datangnya
banyak orang, termasuk yang bukan dalang, kebudayaan Hindu.
Serat Purwakandha yang disusun selama Masuknya kebudayaan Hindu ke Jawa
pemerintah Sultan Hamengku Buwana V membawa pengaruh pada pentas bayangan
(1822-1855) hampir tidak diketahui oleh dan cerita wayang. Kitab Mahabharata dan
kalangan di luar keraton, termasuk para Ramayana mulai dikenal setelah ditulis
dalang (Groenendael, 1987). dalam bahasa Jawa Kuna yang bercampur
dengan bahasa Sansekerta pada masa
Wayang dalam Persepktif Budaya pemerintahan Dyah Balitung Raja Mataram I
Dalam perspektif budaya wayang (892-910). Orang Jawa yang sudah memunyai
merupakan sinkretisme dan mozaikisme dari kepercayaan terhadap Tuhan yang Mahaesa
berbagai budaya yang memengaruhinya. Hal menerima pengaruh agama Hindu karena
itu menunjukkan bahwa budaya pewayangan berprinsip toleransi agama, maka terjadi
bersifat pluralistik dan eklektik, sebagai fusi kepercayaan. Pertunjukan wayang yang
akibat budaya Jawa yang terbuka dan semula menceritakan mitos nenek moyang
bertoleransi terhadap berbagai budaya lain. berganti ke epos Mahabharata dan Ramayana
Pengaruh dari berbagai kebudayaan lain itu karena ada kesamaan, yaitu memuja dewa-
dapat dilihat dari sejarah perkembangan dewa. Apalagi dewa pada kedua epos itu lebih
wayang sejak zaman prasejarah hingga konkret sehingga lebih mudah dirasakan.
dewasa ini (Mulyono, 1989; Amir, 1994). Orang Jawa mengadopsi dewa dan pahlawan
Pada zaman prasejarah nenek India itu dan mencampurnya dengan mitos
moyang masih berkeyakinan animisme kuna tentang asal-usul dan kepahlawanan
dan dinamisme. Mereka percaya pada nenek moyang, maka terjadi akulturasi
adanya kekuatan roh yang disebut Hyang, Hindu ke Jawa dan proses jawanisasi budaya
maka roh itu dipuja untuk dimintai restu Hindu. Cerita wayang yang merupakan fusi
atau pertolongan dalam sebuah upacara Jawa-Hindu inilah yang kemudian ditulis
magis-religius. Pemujaan itu dilakukan dan dikenal orang sebagai sumber cerita
dalam bentuk pentas bayangan yang wayang, dan belakangan sering disebut
dilakukan malam hari oleh seorang sakti sebagai wiracarita Mahabharata dan Ramayana
yang disebut Syaman karena pada malam versi Jawa (Groenendael, 1987).
hari roh-roh mengembara. Pentas bayangan Pada zaman Kerajaan Demak wayang
ini kemudian menjadi pertunjukan wayang kulit diperhalus dan ditambah jumlahnya.
dan tempat, peralatan yang dipakai, cara tenang dan damai lagi namun dengan
mendalang, dan gamelan (musik pengiring) perubahan (A1). Perubahan yang terjadi
yang dipakai (Amir, 1994). adalah tokoh yang menyebabkan konflik
Prinsip pentas bayang-bayang yang dan mengubah keadaan disingkirkan,
meliputi berbagai sarana pementasannya dikalahkan, atau mengisyafi kesalahannya.
pada waktu itu hingga kini inti dan Gamelan pengiring juga disesuaikan dengan
fungsinya masih dipertahankan, tetapi struktur cerita tersebut, yaitu babak pertama
dengan perubahan-perubahan (Mulyono, dengan pathet nem, babak kedua pathet sanga,
1989). Yang semula bayang-bayang (wujud dan babak ketiga pathet manyura (Amir,
roh) kini menjadi wayang kulit purwa, layar 1994).
menjadi kelir, syaman (medium) menjadi Bagian pertama yang berlangsung
dalang, saji-sajian menjadi sajen, lagu kurang lebih dari pukul 21.00-24.00 berjalan
pujian menjadi suluk, gerong, dan sindhenan, lambat. Bagian ini berisi deskripsi dan
bunyi-bunyian menjadi gamelan, tempat eksposisi tentang berbagai hal, misalnya
pertunjukan (tahta batu) menjadi batang yang menyangkut masalah kerajaan, raja,
pisang, blencong menjadi lampu penerangan, para punggawa, permasalahan yang mulai
dan sebagainya. Pertunjukan wayang dimunculkan, perang kecil-kecilan, dan
merupakan pertunjukan yang bersifat lain-lain. Ada beberapa jejeran pada bagian
multimedia. ini, tetapi jejeran pertama yang paling
Struktur cerita wayang diperkirakan panjang. Karena sifatnya yang lambat
hasil kreasi orang Jawa karena drama Hindu itulah maka gamelan pengiring sengaja
tidak mengenal struktur itu. Struktur cerita yang ber-pathet nem. Bagian kedua yang
wayang ternyata mirip dengan pembagian berlangsung kurang lebih dari pukul 00.00-
struktur drama menurut Aristoteles, yaitu 03.00 berjalan lebih cepat karena konflik
terdiri dari tiga bagian: permulaan (tahap semakin intensif dan peperangan mulai
perkenalan), pertengahan (tahap pertikaian), memakan korban, tetapi bukan perang
dan akhir (tahap penyelisaian). Pada babak besar yang menyelesaikan masalah. Pada
permulaan diperkenalkan deskripsi kerajaan, bagian ini dimunculkan adegan gara-gara
tokoh, hubungan antartokoh, permasalahan yang menampilkan adegan banyolan humor.
yang dibicarakan, muncul konflik, dan Bagian ketiga yang berlangsung kurang
konflik semakin meninggi untuk masuk ke lebih mulai pukul 03.00-05.00 berjalan cepat
babak pertikaian. Pada babak pertikaian dan merupakan tahap klimaks. Perang yang
berbagai konflik semakin meruncing, adegan terjadi melibatkan para pemimpin tertinggi
peperangan semakin berkualitas, dan dan menyelesaikan masalah, maka disebut
kemudian mencapai klimaks serta berbagai sebagai perang besar atau perang amuk-
permasalahan diselesaikan pada babak amukan, dan pasti dimenangkan oleh tokoh
akhir. Klimaks pada struktur pertunjukan (pihak) protagonis.
wayang ada pada bagian penyelesaian, Pelaku utama pertunjukan wayang
sedang pembagian Aristoteles ada pada adalah dalang. Dialah yang mengerjakan
bagian pertikaian. Cerita wayang dimulai hampir semua kerja pertunjukan. Dalang
dengan keadaan tenang dan damai (A) adalah seniman komplit dan menjadi
dan diakhiri atau kembali ke keadaan yang sutradara yang bertanggung jawab atas
jalannya seluruh pertunjukan, menjadi aktor mengikuti mitos dimulai (Sumukti, 2006;76).
yang memerankan dan memainkan seluruh Dalam kayon waktu yang mengalir detik
tokoh wayang, penata musik yang mengatur demi detik seakan tidak ada lagi. Di dalam
gending, narator, penyanyi, dan lain-lain. gunungan arus menit dan jam seakan-akan
Ia dibantu oleh penabuh gamelan (niyaga) diinterupsi dan distop (Muhamad, 2010:1).
dan penyanyi (pesindhen). Tetapi, fungsi Karena seolah tak mengenal waktu kapan,
keduanya hanya sebagai pengiring. ahistoris itu, wayang dapat diterima kapan
Pertunjukan wayang itu sendiri pada saja, bahkan seolah terjadi saat kini juga. Para
hakikatnya merupakan suatu lambang inisian yang diselamati dengan pertunjukan
yang bersifat religius-mistis, yaitu lambang wayang (misal pengantin) adalah tokoh
kehidupan manusia dari lahir sampai mati terpenting dalam upacara ini dan tidak
sebagaimana tercermin dalam struktur penting asal status sosialnya. Jika sepasang
wayang. Bahkan, hampir semua aspek pengantin, mereka ibarat putra-putri raja
pewayangan, seperti bentuk-bentuk fisik dan berpakaian ibarat raja. Mereka adalah
wayang dan berbagai peralatan yang tokoh utama yang diberi wejangan pelajaran
dipergunakan adalah berfungsi pelambangan moral, etika, bersosial, dan lain-lain untuk
(Mulyono, 1989; Amir, 1994). mengarungi kehidupan. Dalam konteks
Orang yang memunyai hajat menanggap inilah wayang secara kental dapat dipahami
wayang melambangkan Tuhan karena tanpa sebagai tontonan (hiburan) sekaligus tuntunan
kehendak-Nya pertunjukan wayang (pelajaran).
tidak akan terjadi. Selain itu, dialah yang Bagian pertama dengan gending-
berkuasa menentukan di mana tempat gending ber-pathet nem melambangkan
pertunjukan dilakukan, di mana letak kehidupan manusia ketika dalam masa
gamelan dan wayang, dan lain-lain. Dalang kanak-kanak sampai remaja. Gunungan
adalah lambang pelaksana perintah Tuhan. yang dicondongkan ke kiri melambangkan
Sebelum pertunjukan wayang dimulai, kecenderungan sifat anak yang masih suka
keadaan kelir (yang melambangkan alam mengerjakan hal-hal yang tidak benar.
semesta) masih kosong, yang ada hanyalah Bagian kedua dengan gending pathet sanga
gunungan (kayon) yang terdiri di tengah melambangkan masa dewasa manusia.
melambangkan jagad raya yang masih Letak gunungan yang tegak berdiri di
kosong dan yang ada hanyalah pepohonan. tengah melambangkan kecenderungan sifat
Gedebok tempat menancapkan kayon dan manusia dewasa yang suka berbuat benar
wayang adalah lambang bumi, gamelan dan salah. Bagian ketiga dengan gending
melambangkan harmoni kehidupan, dan pathet manyura melambangkan masa tua
wayang melambangkan manusia dan kehidupan manusia. Gunungan yang miring
makhluk-makhluk lain. Setelah kayon ditarik ke kanan melambangkan kecenderungan
ke bawah muncullah wayang pertama yang sifat manusia yang semakin suka berbuat
menandakan dimulainya cerita sekaligus benar dan semakin tidak suka berbuat
merupakan lambang kelahiran manusia di salah. Cerita diakhiri dengan tancep kayon
dunia. (menancapkan gunungan di tengah) yang
Begitu pertunjukan wayang dimulai, melambangkan bahwa kehidupan manusia
waktu historis terhenti dan waktu fiktif yang telah berakhir, telah kembali ke pangkuan
Tuhan, dari tiada menjadi ada, dan kembali besar dan doktor dari universitas ternama
ke tiada. di negeri ini, dan berbagai kasus lainnya
Tancep kayon menandakan bahwa cerita seolah-olah memperkuat dugaan tersebut.
wayang telah selesai, tetapi pertunjukan Hal itu belum lagi berbagai kasus yang kini
itu sendiri belum selesai. Dalang masih menimpa para pelaku kerah putih seperti
menarikan tarian wayang golek yang dibuat kejahatan makelar kasus perpajakan dan
dari kayu tiga dimensi. Golek dalam bahasa perbankan. Keadaan itu semua menunjukkan
Jawa berarti mencari, jadi maksudnya betapa urgennya pendidikan karakter
adalah mengharapkan penonton untuk menjadi isu nasional.
mencari sendiri nilai-nilai yang bermanfaat
lewat pertunjukan wayang. Wayang Tentang Karakter dan Pendidikan
kemudian dikukut (dicabuti dan dimasukkan Karakter
kembali ke kotak) sehingga pendapa tempat Karakter adalah tabiat, kepribadian,
pertunjukan kembali menjadi kosong seperti identitas diri, jatidiri. Karakter adalah
sediakala. Sang Dalang (lambang pelaksana jatidiri, kepribadian, dan watak yang melekat
perintah Tuhan) bertemu dengan tuan rumah pada diri seseorang yang berkaitan dengan
yang menanggap (lambang Tuhan) untuk dimensi psikis dan fisik. Pada tatanan
menerima upah (pahala atau hukuman) mikro karakter adalah (i) kualitas dan
atas jerih payahnya mendalang semalam kuantitas reaksi terhadap diri sendiri, orang
suntuk (sebagai pertanggungjawaban atas lain, dan situasi tertentu, dan (ii) watak,
karmanya). akhlak, dan ciri psikologis. Ciri psikologis
yang dimiliki oleh individu pada lingkup
Nilai-nilai Cerita Wayang sebagai Cermin pribadi secara evolutif akan berkembang
Jatidiri dan Pengembangan Karater lebih luas menjadi ciri sosial. Ciri psikologis
Bangsa individu akan memberi warna dan corak
Ketika di hadapan kita tersaji berita identitas kelompok yang pada tatanan makro
carut-marutnya kehidupan berbangsa akan menjadi ciri psikologis atau karakter
ini yang tiada habis-habisnya, baik lewat bangsa. Pembentukan karakter suatu bangsa
pemberitaan televisi, internet, surat kabar, berproses secara dinamis sebagai sebuah
maupun media massa yang lain, kita fenomena sosio-ekologis (Gufron, 2010).
mungkin setuju bahwa keadaan itu semua Karakter bangsa merupakan akumulasi
lebih disebabkan oleh kurang mengenanya dari karakter-karakter warga masyarakat
pendidikan karakter anak bangsa. Lembaga bangsa itu. Karakter merupakan nilai
pendidikan yang seharusnya berada di ujung dasar perilaku yang menjadi acuan tata
tombak selaku penjaga ketangguhan karakter, nilai interaksi antarmanusia, yang when
bahkan tidak jarang menampilkan sosok character is lost then everything is lost. Secara
yang lebih mencerminkan kurangnya status universal karakter dirumuskan sebagai
berkarakter itu. Bocornya soal ujian nasional nilai hidup bersama berdasarkan pilar:
di berbagai pelosok tanah air, usaha guru kedamaian (peace), menghargai (respect),
dan peserta didik untuk menempuh segala kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom),
cara asal lulus, kasus plagiat yang baru saja kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty),
membelalakkan mata yang menimpa guru kerendahhatian (humility), kasih sayang
benar dan dengan tujuan yang benar pula. orang tidak boleh mengabaikan kehidupan
Kedua kelompok kategori substansial sosial. Kehidupan pribadi harus dikalahkan
dan pragmatis tersebut digabungkan dalam demi kepentingan sosial, sebagaimana
satu kesatuan. Kategori yang pertama tercermin dalam ungkapan ramai ing gawe
misalnya, menjadi nilai-nilai wayang yang sepi ing pamrih rajin bekerja tetapi tidak
menyangkut kehidupan pribadi untuk tujuan untuk kepentingan pribadi. Filosofi tersebut
melangsungkan, mempertahankan, dan tercermin dalam tingkah laku kehidupan
mengembangkan hidup. Demikian juga untuk para Pandawa.
kategori kedua dan ketiga. Pengategorian Secara umum cerita wayang
tersebut lebih bersifat teoretis konstruktif menampilkan dua kepentingan dari
karena pada kenyataannya nilai-nilai itu dua kelompok yang bertentangan, yaitu
saling berkaitan erat, tidak dapat dipisahkan, kelompok baik dan jahat. Kelompok baik
dan merupakan satu kesatuan yang utuh. ditokohi oleh para tokoh yang berkarakter
Tujuan melangsungkan hidup berkaitan baik, sedang kelompok jahat ditokohi oleh
dengan tindakan manusia mengupayakan para tokoh berkarakter jahat. Ada banyak
kebutuhan primer khususnya yang berupa tokoh pada kedua kelompok itu masing-
kebutuhan pangan, sandang, dan papan. masing dengan karakter khasnya, tetapi
Tujuan mempertahankan hidup merupakan tokoh-tokoh kelompok baik (putih), tetaplah
tindakan manusia untuk mempertahankan berupa karakter baik, tokoh-tokoh kelompok
diri dari kekuatan-kekuatan destruktif, jahat (hitam) tetap saja berupa karakter
baik yang berasal dari dalam maupun jahat. Tokoh-tokoh baik inilah yang pantas
dari luar. Tujuan mengembangkan hidup dijadikan teladan dalam bertingkah laku,
berkaitan dengan tindakan manusia untuk dijadikan sumber pencarian nilai-nilai luhur,
mengembangkan potensi diri baik yang dan dijadikan inspirasi pendidikan karakter.
menyangkut unsur jasmaniah maupun Di pihak lain, sebagai sebuah cerita, tokoh-
rokhaniah untuk mencapai derajat kehidupan tokoh hitam dengan karakter jahatnya juga
yang lebih baik dan kesempurnaan hidup. dibutuhkan karena tanpa mereka cerita
Demikian juga halnya dengan nilai-nilai tidak akan berkembang dan tidak menarik.
wayang yang menyangkut kehidupan sosial Selain itu, eksistensi karakter baik justru
dan kehidupan religius. Nilai wayang terlihat akan semakin terlihat jika berada dalam
kental terkait dengan nilai kegotongroyongan, pertentangannya dengan yang jahat.
kerukunan hidup, kedamaian, kepedulian Karakter tokoh-tokoh baik inilah yang
kepada sesama, solidaritas sesama, dan banyak mengilhami dan dijadikan tuntunan
lain-lain dengan muara akhir ketenteraman dalam pengembangan karakter. Tokoh
dan kedamaian hidup bersama. Hal itu Pandawa (lima orang bersaudara), anak
juga terlihat dalam nilai-nilai yang terkait keturunan, dan kerabatnya biasa dijadikan
dengan unsur religius. Bahkan, dalam rujukan pencarian nilai-nilai. Para penonton
cerita wayang nilai religius amat kental pertunjukan wayang akan berpihak kepada
karena kehidupan religius memperoleh para tokoh baik ini dan mudah dimengerti
penekanan utama, dan tujuan hidup yang kalau mereka membenci para tokoh Kurawa
berupa kesempurnaan hidup merupakan karena mereka tidak mau dihubungkan
hal terpenting dalam cerita wayang, walau dengan tokoh jahat, tamak, dan merebut hak
Padmosoekotjo, S. 1992. Silsilah Wayang Purwa Sudjarwo, Heru S, Sumari, dan Undung
Mawa Carita, jilid I-VII, Surabaya: Citra Wiyono. 2010. Rupa & Karakter Wayang
Jaya Murti. Purwa. Jakarta: Kakilangit Kencana
Pujirianto. 2010. Pendidikan Karakter Prenada Media Group.
melalui Keteladanan para Figur Kunci, Sumukti, Tuti. 2006. Semar, Dunia Batin Orang
dalam Dinamika Pendidikan, Majalah Jawa. Yogyakarta: Galang Press.
Ilmu Pendidikan. No.1/Th.XVI, hlmn. Sutrisno, Muji. 2010. Sukma di Balik
60-69. Rupa Wayang, Pengantar dalam
Rajagopalachari, C. 2008. Mahabharata, Rupa & Karakter Wayang Purwa (Heru
Yogyakarta: IRCiSod. S. Sudjarwo, Sumari, dan Undung
Sardiman. 2009. Membangun Karakter Wiyono).
Bangsa melalui Pembelajaran Sejarah Suwandono, Dhaniswara, dan Mujiyono.
dalam Darmiyati Zuhdi (ed) Pendidikan 1993. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta:
Karakter, Grand Design dan Nilai-nilai Balai Pustaka.
Target. Yogyakarta: UNY Press, hlm. Wibisono, Singgih. 2009. Wayang, Karya
71-82. Agung Dunia. http://www.Sastra-
Sucipto, Mahendra. 2010. Ensiklopedi Indonesia.com/ 2009/12/Wayang,
Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya. Karya Agung Dunia/. Diunduh 20
Yogyakarta: Narasi. Mei 2011.