Anda di halaman 1dari 17

18

WAYANG DAN PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA

Burhan Nurgiyantoro
FBS Universitas Negeri Yogyakarta
email: burhan@uny.ac.id

Abstrak: Wayang telah diakui UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity
(Karya-karya Agung Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia). Wayang diakui sebagai karya agung
karena wayang memunyai nilai tinggi bagi peradapan umat manusia. Wayang sarat nilai, baik yang
tercermin pada karakter tokoh, cerita, maupun berbagai unsur lain yang mendukung. Semua itu
baik dijadikan rujukan pengembangan karakter bangsa. Banyak orang tua yang menamai anaknya
dengan nama tokoh wayang yang berkarakter. Setelah diakui sebagai karya agung, wayang harus
dilestarikan eksistensinya, dan itu menjadi tugas seluruh bangsa di dunia khususnya bangsa Indonesia
yang memiliki budaya wayang tersebut. Kita harus memercayai bahwa eksistensi bangsa Indonesia
dewasa ini tidak lepas dari nilai-nilai luhur tradisional yang memiliki sejarah yang amat panjang dalam
mengawal pertumbuhan dan kemajuan bangsa ini yang salah satunya adalah budaya wayang. Dalam
era global dewasa ini keunggulan lokal amat dibutuhkan karena hal itulah yang membedakaannya
dengan etnis dan bangsa lain.

Kata Kunci: wayang, karakter wayang, pengembangan karakter bangsa

WAYANG AND THE DEVELOPMENT OF THE NATIONS CHARACTER

Abstract: Wayang (puppet) has been recognized by UNESCO as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage
of Humanity. It is recognized as a masterpiece because it has a high value for the human civilization. It is
loaded with values, as those reflected on the character of the wayang figures, stories, or other supporting
elements. All of these are good references for the development of the nations character. Many parents
name their children after the names of the wayang figures who represent their ideal characters. As the
consequence of its recognition as a masterpiece, wayangs existence must be preserved, and it is the
duty of all the nations the world over, especially the Indonesians, who own the wayang culture, to
preserve it. We have to believe that the existence of the current Indonesian nation is inseparable from
the traditional noble values, one of which is the wayang culture with its long history in ensuring the
growth and the progress of this nation. In todays global era, the local genius is highly demanded as it
is exactly what distinguishes it from other nations and ethnics.

Key words: wayang, wayangs character, the development of the nations character

Pendahaluan tumbuh dan berkembang pada masyarakat


Cerita wayang merupakan salah satu Jawa sejak zaman prasejarah, namun pada
jenis sastra tradisional yang masih populer perkembangannya yang kemudian, ia juga
dan memasyarakat hingga kini. Cerita dikenal, dimiliki, dan dikembangkan oleh
wayang disebut sebagai sastra atau cerita tradi berbagai etnis dengan berbagai bahasa
sional karena telah amat lama menjadi milik dan sastra daerah yang lain. Bahwa cerita
bangsa dan mewaris secara turun-temurun wayang mampu bertahan sepanjang masa,
kepada tiap generasi terutama secara lisan melewati zaman demi zaman dan tiap zaman
khususnya pada masyarakat Jawa. Wayang memiliki ciri khas, hal itu menunjukkan

18
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011
19

bahwa wayang merupakan sesuatu yang tumbuh kemudian dalam bahasa-bahasa


amat luar biasa. Jawa Kuna, Jawa Tengahan, Jawa Baru,
Wayang adalah sebuah wiracarita yang dan bahkan dewasa ini banyak yang ditulis
pada intinya mengisahkan kepahlawanan dalam Bahasa Indonesia dan asing.
para tokoh yang berwatak baik mengha Buku Mahabarata dan Ramayana tersebut
dapi dan menumpas tokoh yang berwatak dikadikan pakem berbagai lakon wayang
jahat. Kenyataan bahwa wayang yang telah yang dipentaskan dalam bentuk pertunjukan
melewati berbagai peristiwa sejarah, dari wayang kulit dan Wayang Wong (Wayang
generasi ke generasi, menunjukkan betapa Orang). Berbagai cerita carangan yang telah
budaya pewayangan telah melekat dan lama atau sering dipertunjukkan kemudian
menjadi bagian hidup bangsa Indonesia juga dianggap pula sebagai pakem. Dibanding
khususnya Jawa. Usia yang demikian pertunjukan Wayang Wong, pertunjukan
panjang dan kenyataan bahwa hingga wayang kulit jauh lebih populer dan lebih
dewasa ini masih banyak orang yang digemari masyarakat. Dengan demikian,
menggemarinya menunjukkan betapa tinggi walau cerita wayang diturunkan, diwariskan,
nilai dan berartinya wayang bagi kehidupan dan dikenal oleh masyarakat terutama lewat
masyarakat. Wayang merupakan sastra pertunjukan wayang kulit yang bersifat lisan
tradisional yang memenuhi kualifikasi karya sehingga mempunyai ciri sebagai folklore,
master piece, karya sastra dan atau budaya atau lewat Wayang Wong yang bersifat
adiluhung. teatrikal, sebenarnya cerita itu semula
Teks asli kitab (epos) Mahabharata dan merupakan sebuah karya sastra tulis. Selain
Ramayana ditulis dalam bahasa Sansekerta. itu, dewasa ini banyak ditemui penulisan
Setelah masuk ke Jawa teks itu kemudian berbagai teks sastra Indonesia modern
disadur dan disunting ke dalam bahasa Jawa yang menransformasikan cerita wayang
Kuna, sekaligus ditambah dan disesuaikan dalam konteks kehidupan masyarakat
dengan cerita dan legenda yang telah modern. Keadaan itu menunjukkan bahwa
merakyat pada waktu itu, maka jadilah cerita bahasa cerita wayang dapat berkembang
Mahabharata dan Ramayana versi Jawa. dan atau dikembangkan sesuai dengan
Namun, kepastian waktu cerita wayang perkembangan zaman. Hal itu berarti bahwa
masuk ke Indonesia tidak pernah diketahui cerita wayang juga diresepsi, ditanggapi,
karena kejadian itu telah berlangsung pada diterima, dan dijadikan sumber penulisan
masa prasejarah. Wayang sebagaimana sastra kesemuanya menunjukkan penerimaan
yang dikenal orang dewasa ini merupakan masyarakat akan budaya wayang.
sebuah warisan budaya nenek moyang Mengingat bahwa sejarah wayang
telah amat tua, asli budaya Indonesia, yang telah sedemikian panjang, tetapi hingga kini
diperkirakan telah bereksistensi kurang wayang dan pertunjukan wayang masih
lebih 1.500 SM (Sudjarwo, Sumari, Undung tetap menarik, menimbulkan masalah yang
Wiyono, 2010:47) jauh sebelum agama dan menggelitik tentang daya penyebabnya.
budaya luar masuk ke Indonesia. Teks dan Wayang pasti mengandung sesuatu yang luar
atau cerita wayang yang versi Jawa ini biasa. Dilihat dari kandungan makna, cerita
secara terus-menerus ditulis kembali, dengan wayang penuh ajaran moral yang tinggi.
disunting dan ditambah berbagai cerita yang Dilihat dari segi teknik pertunjukan, cerita

Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa


20

wayang disusun menurut konvensi dramatik memusatkan perhatian pada perlindungan


yang tidak pernah berubah. Perubahan- budaya tradisional termasuk di dalamnya
perubahan yang kecil memang terjadi tetapi budaya wayang di Indonesia. Pada tahun 1997
hal itu hanya varian saja, sedang perubahan UNESCO menyusun peraturan mengenai
besar yang benar-benar menyimpang dari Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of
pakem tidak pernah terjadi (Amir, 1994:50). Humanity (Karya-karya Agung Lisan dan Tak
Dilihat dari segi manfaatnya bagi kita, Benda Warisan Manusia). Tujuan peraturan
wayang pada hakikatnya merupakan simbol itu adalah untuk (i) meningkatkan kesadaran
atau cermin dari kehidupan kita sendiri masyarakat dunia terhadap warisan budaya
sehingga menonton pertunjukan wayang tak benda, (ii) mengevaluasi dan mendaftar
tidak berbeda dengan melihar diri sendiri situs dan warisan budaya tak benda, (iii)
lewat cermin. Cerita wayang sarat pesan, membangkitkan semangat pemerintah negara
tetapi berhubung semuanya disampaikan agar mengambil tindakan-tindakan hukum
secara simbolistis penonton tidak merasa dan administrasi untuk melestarikan warisan
digurui. budaya tak benda, dan (iv) mengikutsertakan
seniman setempat dalam dokumentasi
Wayang Karya Agung Dunia pelestarian dan pengembangan warisan
Sebagai sebuah karya yang semula budaya tak benda (Wibisono, 2009).
milik salah satu etnis di Nusantara, yaitu Setiap negara yang memiliki karya-karya
Jawa, meluas menjadi milik sejumlah daerah tradisional sebagaimana dimaksudkan di atas
(misalnya Bali dan Sunda), kemudian boleh mengajukan diri untuk diumumkan
menjadi milik bangsa secara nasional, dan sebagai karya agung dunia. Indonesia yang
dan akhirnya diakui dunia sebagai sebuah memiliki warisan budaya wayang dari
karya agung internasional, kita bangsa sejumlah daerah juga tidak ketinggalan
Indonesia pantas untuk berbangga. Di dunia mengajukan diri lewat Kementerian
internasional wayang kini telah tercatat Kebudayaan dan Pariwisata SENAWANGI
sebagai karya seni budaya adiluhung, yaitu (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia)
oleh UNESCO, sebuah lembaga di bawah untuk mempersiapkan pencalonan wayang
PBB yang menangani masalah pendidikan, sebagai salah satu karya agung dunia.
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Adapun persyaratan yang harus
Pada tahun 1972 UNESCO menggariskan terpenuhi untuk dinyatakan sebagai karya
sebuah konvensi yang berkaitan dengan agung dunia meliputi enam macam yang
warisan budaya yang kasatmata, situs, dan dapat disebutkan sebagai berikut. (i) Nilai
pemandangan alam, maka berkembanglah luar biasa sebagai karya agung ciptaan
kesadaran bahwa warisan budaya yang manusia. (ii) Berakar pada tradisi budaya
bersifat lisan dan tak benda juga penting atau sejarah budaya masyarakat yang
untuk dilestarikan. Hal itu didasari pemikiran bersangkutan. (iii) Berperan sebagai sarana
bahwa warisan budaya tersebut yang pernyataan jatidiri bangsa atau suku bangsa
terbukti sarat nilai dikhawatirkan punah yang bersangkutan yang berfungsi sebagai
terdesak oleh arus globalisasi atau perusakan sumber inspirasi pertukaran budaya, sebagai
lingkungan. sarana membuat rakyat semakin dekat satu
Maka, UNESCO kemudian juga dengan yang lain, dan peran sosialnya masa

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011


21

kini dalam masyarakat yang bersangkutan. Wayang Sebagai Fenomena Sastra, Budaya,
(iv) Kegunaan dalam penerapan keterampilan dan Pertunjukan
dan sifat teknik yang diperlihatkan. (v) Kehadiran cerita wayang dapat dilihat
Perannya sebagai tradisi budaya yang hidup. dari berbagai perspetif tergantung darimana
(vi) Risiko budaya yang bersangkutan bisa kita akan melihatnya dan semuanya tampak
punah karena kekurangan sarana untuk menarik. Budaya pewayangan merupakan
melestarikan dan melindunginya (Wibosono, salah satu wujud keunggulan lokal, yang
2009). kini telah menginternasional, yang memiliki
Akhirnya pada tanggal 7 November sejumlah keunikan yang dapat dilihat dari
2003 wayang Indonesia diumumkan oleh berbagai perspektif, misalnya perspektif
UNESCO sebagai karya agung dunia di bahasa, sastra, budaya, sejarah, pemikiran,
Paris. Ada lima jenis wayang yang diteliti, dan pertunjukan. Pembicaraan di bawah
yaitu (i) wayang kulit purwa Jawa dari Jawa akan melihat wayang dari perspektif sastra,
Tengah, (ii) wayang parwa Bali dari Bali, (iii) budaya, dan pertunjukan.
wayang golek Sunda dari Jawa Barat, (iv)
wayang Palembang dari Sumatra Selatan, Wayang dalam Perspektif Sastra
dan (v) wayang Banjar dari Kalimantan Kenyataan bahwa cerita wayang
Selatan (Wibisono, 2009). Hal itu sekali di pandang sebagai karya adhiluhung,
lagi menunjukkan bahwa wayang, sebagai menunjukkan betapa tingginya nilai literer
salah satu warisan budaya tradisional, telah karya itu sebagai sebuah fenomena sastra.
diakui dunia internasional sebagai sebagai Sebagai sebuah karya sastra cerita wayang
sebuah warisan budaya sarat nilai yang memiliki ciri kesastraan yang dominan,
berperan besar dalam pembentukan dan yaitu ciri estetik. Cerita wayang menganut
pengembangan jatidiri bangsa. prinsip-prinsip estetika Timur seperti prinsip
Wayang adalah sebuah mahakarya, keseimbangan, kesatuan, keteraturan,
salah satu karya agung dunia karena karya fokus, variasi, pola karakteristik, tidak
seni wayang mengandung berbagai nilai, membedakan pola struktur tragedi komedi,
mulai dari falsafah hidup, etika, spiritualitas, menekankan keindahan rasa, dan sekaligus
musik (gending-gending gamelan), hingga menjadi ensiklopedi hidup.
estetika bentuk seni rupa yang amat Prinsip keseimbangan misalnya,
kompleks. Sebagaimana dikemukakan menekankan keseimbangan antara
direktur UNESCO 2004 (Koitchiro Matsuura), mikrokosmos dengan makrokosmos, antara
karena wayang telah diakui sebagai salah satu yang di atas (dewa) dan yang di bawah
warisan budaya dunia, ia harus dilestarikan (manusia dan makhluk lain), antara raja
dan itu menjadi tugas seluruh bangsa, dan rakyat, antara unsur bentuk dan isi.
terutama bangsa Indonesia yang memiliki Prinsip kesatuan misalnya terlihat pada
produk yang sedemikian luhur ini. Jadi, kenyataan bahwa semua aspek yang terkait
bangsa Indonesia kini memiliki tugas berat dalam pertunjukan wayang merupakan satu
untuk menyelamatkan dan melestarikan kesatuan yang padu. Prinsip keteraturan,
produk budayanya ini (Kata Pengantar alam, terutama keteraturan dalam
buku Rupa dan karakter Wayang Purwo oleh keseimbangan. Prinsip pemfokusan terlihat
Sudjarwo, Sumari, Undung Wiyono, 2010). pada fokus didaktis lewat simbol-simbol.

Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa


22

Namun, cerita wayang menyangkut cerita, (913-929 Caka, 991-1007 Masehi) di Jawa
bahasa, dan lain-lain tergantung kreativitas Timur. Cerita pokok terdiri dari 24.000
dalang. Pola karakter tokoh wayang misalnya, sloka, namun dalam rangkaian cerita
walau sudah pasti, kadang-kadang juga pokok ditambah banyak sisipan, sehingga
dapat berubah tergantung lakonnya sehingga kemudian berkembang menjadi 100.000
karakter tokoh itu tidak lagi terlalu datar (flat sloka (Mulyono, 1989). Jadi, sesungguhnya
character). sulit untuk mengatakan siapa pengarang
Hingga dewasa ini belum didapatkan yang sebenarnya walau pada umumnya
kesepakatan apakah wayang berasal orang menganggap bahwa Wiyasa adalah
dari India atau asli Jawa karena terdapat pengarangnya (Amir, 1994). Sebagian besar
dua kubu yang saling mempertahankan kitab Mahabharata mengisahkan kehidupan
pendapatnya (Amir, 1994). Walau teks asli Pandawa (kepahlawanan, pembawa misi
kitab Mahabharata dan Ramayana berasal kebenaran) dan Kurawa (kejahatan), serta
dari Hindia, cerita wayang yang ada Jawa perang Bharatayuda. Kitab itu terdiri dari
tidak lagi sama dengan ada di Hindia 18 jilid (parwa).
(bandingkan dengan buku Mahabharata karya Selain kitab Mahabharata tersebut
P. Lal, 1992, atau karya C. Rajagopalachari, pada zaman kerajaan Daha, Kediri, dan
2008). Teks kedua karya itu yang ditulis Majapahit muncul kitab-kitab pewayangan
dalam bahasa Jawa Kuna merupakan yang ditulis berdasarkan kitab itu.
perpaduan antara yang asli budaya Jawa Misalnya, Empu Kanwa menulis Kakawin
dan budaya Hindu. Dengan kata lain, cerita Arjunawiwaha yang merupakan bagian
pewayangan pada waktu itu pun telah dari parwa ketiga Wana Parwa. Buku-
mengalami transformasi. Cerita wayang asli buku yang lain misalnya Kunjarakarna,
Hindu dengan bahasa Sansekerta itu sendiri Bhomakawya, Baratayuda, Hariwangsa Kakawin,
tidak pernah ditemukan. Masalah asal-usul Gatotkacasraya, Arjunawijaya, dan Partayadna
wayang dapat menjadi tidak penting jika yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, serta
dibandingkan dengan kenyataan bahwa kita Tantu Panggelaran, Korawasrama, Dewa Ruci,
kini telah memiliki wayang dalam bentuk Sudamala, dan lain-lain yang ditulis dalam
yang amat sempurna sebagai karya seni. Bahasa Jawa Tengahan (Mulyono, 1989).
Kesastraan lama tentang pewayangan Di Indonesia cerita Mahabharata lebih
yang berasal dari Hindu adalah Ramayana populer daripada Ramayana. Cerita carangan
dan Mahabharata (karya Wiyasa), namun dan sempalan dikembangkan dari cerita
kedatangannya di Indonesia lebih kemudian. Mahabharata. Pakem cerita wayang disusun
Kitab Ramayana ditulis pertama dalam bahasa oleh Mangkunegara VII, Serat Pendalangan
Jawa Kuna (825 Caka, Masehi), tetapi tidak Ringgit Purwa, yang pada mulanya juga
diketahui siapa pengarangnya. Kitab ini merupakan cerita carangan, jauh lebih banyak
berbentuk syair yang semuanya berjumlah mengisahkan Mahabharata. Pakem itu terdiri
24.000 sloka, dan terdiri dari 7 jilid (Kanda) dari 37 jilid, jilid 1-2 mengisahkan pada dewa
(Amir, 1994). sebelum Pandawa, jilid 3-34 mengisahkan
Kitab Mahabharata mula-mula ditulis siklus Pandawa, dan jilid 35-37, mengisahkan
dalam bahasa Jawa Kuna pada masa siklus Rama.
pemerintahan Dharmawangsa Teguh

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011


23

Selain buku tersebut yang sering yang dilakukan oleh seorang dalang dengan
dianggap sebagai pakem cerita wayang memergunakan peralatan sederhana, namun
adalah Serat Paramayoga dan Pustaka Raja prinsipnya mirip dengan yang ada sekarang.
Purwa (karya Ranggawarsita). Kedua buku Cerita wayang yang mengambil kisah
tersebut merupakan pakem cerita wayang petualang dan kepahlawanan nenek moyang
untuk versi Surakarta, sedang untuk versi dan diperkirakan sudah terjadi pada zaman
Yogyakarta adalah Serat Purwakandha Neolithikum, atau kurang lebih tahun 1500
(Partakusumo, 1992, prawacana untuk Serat SM. Karena kitab pewayangan belum ditulis,
Paramayoga). Namun, berbeda halnya dengan cerita itu menurun dan berkembang secara
Serat Pendalangan Ringgit Purwa, Pustakaraja lisan. Keadaan ini berlangsung sampai
Purwa dan Serat Paramayoga yang dikenal kurang lebih abad V ketika datangnya
banyak orang, termasuk yang bukan dalang, kebudayaan Hindu.
Serat Purwakandha yang disusun selama Masuknya kebudayaan Hindu ke Jawa
pemerintah Sultan Hamengku Buwana V membawa pengaruh pada pentas bayangan
(1822-1855) hampir tidak diketahui oleh dan cerita wayang. Kitab Mahabharata dan
kalangan di luar keraton, termasuk para Ramayana mulai dikenal setelah ditulis
dalang (Groenendael, 1987). dalam bahasa Jawa Kuna yang bercampur
dengan bahasa Sansekerta pada masa
Wayang dalam Persepktif Budaya pemerintahan Dyah Balitung Raja Mataram I
Dalam perspektif budaya wayang (892-910). Orang Jawa yang sudah memunyai
merupakan sinkretisme dan mozaikisme dari kepercayaan terhadap Tuhan yang Mahaesa
berbagai budaya yang memengaruhinya. Hal menerima pengaruh agama Hindu karena
itu menunjukkan bahwa budaya pewayangan berprinsip toleransi agama, maka terjadi
bersifat pluralistik dan eklektik, sebagai fusi kepercayaan. Pertunjukan wayang yang
akibat budaya Jawa yang terbuka dan semula menceritakan mitos nenek moyang
bertoleransi terhadap berbagai budaya lain. berganti ke epos Mahabharata dan Ramayana
Pengaruh dari berbagai kebudayaan lain itu karena ada kesamaan, yaitu memuja dewa-
dapat dilihat dari sejarah perkembangan dewa. Apalagi dewa pada kedua epos itu lebih
wayang sejak zaman prasejarah hingga konkret sehingga lebih mudah dirasakan.
dewasa ini (Mulyono, 1989; Amir, 1994). Orang Jawa mengadopsi dewa dan pahlawan
Pada zaman prasejarah nenek India itu dan mencampurnya dengan mitos
moyang masih berkeyakinan animisme kuna tentang asal-usul dan kepahlawanan
dan dinamisme. Mereka percaya pada nenek moyang, maka terjadi akulturasi
adanya kekuatan roh yang disebut Hyang, Hindu ke Jawa dan proses jawanisasi budaya
maka roh itu dipuja untuk dimintai restu Hindu. Cerita wayang yang merupakan fusi
atau pertolongan dalam sebuah upacara Jawa-Hindu inilah yang kemudian ditulis
magis-religius. Pemujaan itu dilakukan dan dikenal orang sebagai sumber cerita
dalam bentuk pentas bayangan yang wayang, dan belakangan sering disebut
dilakukan malam hari oleh seorang sakti sebagai wiracarita Mahabharata dan Ramayana
yang disebut Syaman karena pada malam versi Jawa (Groenendael, 1987).
hari roh-roh mengembara. Pentas bayangan Pada zaman Kerajaan Demak wayang
ini kemudian menjadi pertunjukan wayang kulit diperhalus dan ditambah jumlahnya.

Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa


24

Pertunjukan dipergunakan sebagai sarana kepada Arjuna dan Gatotkaca. Manusia


dakwah penyebaran agama Islam sekaligus berbudaya menurut budaya wayang adalah
sebagai hiburan dengan dipelopori oleh Wali manusia yang memiliki atau bertujuan untuk
Sanga khususnya Sunan Kalijaga. Cerita mencapai kesempurnaan hidup, baik secara
wayang yang semula sudah terpengaruh pribadi, sosial, maupun religius.
Hindu-Buda diubah untuk disesuaikan Cerita wayang yang sarat inti ajaran
dengan ajaran Islam. Agama Islam tidak Aliran Kepercayaan tersebut masih terlihat
mengenal Trimurti dan dewa-dewa yang menonjol pada pertunjukan wayang sampai
pantheistis, maka para dewa diubah dengan tahun 1970-an. Sesudah tahun itu
kedudukannya, bukan sebagai Tuhan cerita wayang lebih banyak dipergunakan
melainkan hanya sebagai pelaksana perintah sebagai corong pesan penanggap, atau
Tuhan, mirip dengan kedudukan malaikat. sebagai corong berbagai pesan pembangunan
Cerita carangan baru yang bernafaskan Islam oleh pemerintah.
juga ditulis, misalnya Dewa Ruci dan Jimat
Kalimasada. Pada

masa pemerintahan Sultan Wayang dalam Perspektif Pertunjukan
Agung zaman Kerajaan Mataram II, bentuk Permunculan wayang yang semula
wayang disempurnakan. Pada saat ini berupa pentas bayang-bayang yang berfungsi
diciptakan tokoh-tokoh buta prapatan seperti magis-religius dan dimaksudkan untuk
Cakil, Buta Terong, Buta Rambutgeni, dan menghormat dan minta restu kepada roh
lain-lain yang dimunculkan pada adegan leluhur, adalah berupa pertunjukan. Cerita
perang kembang. wayang diwariskan secara turun-menurun
Pada masa Kerajaan Surakarta Pujangga hingga dewasa ini terutama juga lewat
Ranggawarsita menulis banyak cerita media pertunjukan. Orang mengenal dan
wayang di antaranya adalah Pustaka Raja mengakrabi cerita wayang lebih banyak
Purwa yang dijadikan pakem. Buku tersebut lewat pertunjukan daripada lewat buku-
tampaknya tidak lagi bersumber pada buku cerita. Banyak orang yang tidak
kitab Mahabharata dan Ramayana di atas, pernah melihat buku cerita wayang, tetapi
melainkan lebih merupakan kumpulan dapat mengakrabi wayang secara total dan
cerita rakyat yang disusun dalam bentuk kental. Menonton pertunjukan wayang
jalan cerita wayang. Kitab itu seolah-olah hampir dalam segala hal lebih mengasyikkan
menampilkan sejarah nenek moyang dan daripada sekadar membaca buku cerita
raja-raja Jawa. Dengan diilhami oleh cerita wayang. Kesemuanya itu menunjukan
inilah lakon wayang berkembang menjadi kuatnya daya tarik pertunjukan wayang
model penyusunan cerita baru (Groenendael, sehingga kehadirannya sulit digantikan
1987). Selain itu, cerita wayang ditulis dengan media lain.
lebih dipadukan dengan unsur kepercayaan Cerita wayang banyak sekali, tetapi
Jawa yang kini lebih dikenal dengan sebutan konvensi dramatiknya sama dan tidak
Aliran Kepercayaan yang menempatkan pernah berubah. Konvensi dramatik wayang
Jatining Panembah (Tuhan Yang Mahaesa) terdiri dari struktur cerita, tokoh dengan
di atas para dewa. Kekuasaan para dewa pola karakternya yang telah pasti, dan
terbatas, bahkan mereka masih sering bahasa yang dipakai (bahasa wayang!).
minta tolong kepada manusia, misalnya Konvensi sentral wayang terdiri dari waktu

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011


25

dan tempat, peralatan yang dipakai, cara tenang dan damai lagi namun dengan
mendalang, dan gamelan (musik pengiring) perubahan (A1). Perubahan yang terjadi
yang dipakai (Amir, 1994). adalah tokoh yang menyebabkan konflik
Prinsip pentas bayang-bayang yang dan mengubah keadaan disingkirkan,
meliputi berbagai sarana pementasannya dikalahkan, atau mengisyafi kesalahannya.
pada waktu itu hingga kini inti dan Gamelan pengiring juga disesuaikan dengan
fungsinya masih dipertahankan, tetapi struktur cerita tersebut, yaitu babak pertama
dengan perubahan-perubahan (Mulyono, dengan pathet nem, babak kedua pathet sanga,
1989). Yang semula bayang-bayang (wujud dan babak ketiga pathet manyura (Amir,
roh) kini menjadi wayang kulit purwa, layar 1994).
menjadi kelir, syaman (medium) menjadi Bagian pertama yang berlangsung
dalang, saji-sajian menjadi sajen, lagu kurang lebih dari pukul 21.00-24.00 berjalan
pujian menjadi suluk, gerong, dan sindhenan, lambat. Bagian ini berisi deskripsi dan
bunyi-bunyian menjadi gamelan, tempat eksposisi tentang berbagai hal, misalnya
pertunjukan (tahta batu) menjadi batang yang menyangkut masalah kerajaan, raja,
pisang, blencong menjadi lampu penerangan, para punggawa, permasalahan yang mulai
dan sebagainya. Pertunjukan wayang dimunculkan, perang kecil-kecilan, dan
merupakan pertunjukan yang bersifat lain-lain. Ada beberapa jejeran pada bagian
multimedia. ini, tetapi jejeran pertama yang paling
Struktur cerita wayang diperkirakan panjang. Karena sifatnya yang lambat
hasil kreasi orang Jawa karena drama Hindu itulah maka gamelan pengiring sengaja
tidak mengenal struktur itu. Struktur cerita yang ber-pathet nem. Bagian kedua yang
wayang ternyata mirip dengan pembagian berlangsung kurang lebih dari pukul 00.00-
struktur drama menurut Aristoteles, yaitu 03.00 berjalan lebih cepat karena konflik
terdiri dari tiga bagian: permulaan (tahap semakin intensif dan peperangan mulai
perkenalan), pertengahan (tahap pertikaian), memakan korban, tetapi bukan perang
dan akhir (tahap penyelisaian). Pada babak besar yang menyelesaikan masalah. Pada
permulaan diperkenalkan deskripsi kerajaan, bagian ini dimunculkan adegan gara-gara
tokoh, hubungan antartokoh, permasalahan yang menampilkan adegan banyolan humor.
yang dibicarakan, muncul konflik, dan Bagian ketiga yang berlangsung kurang
konflik semakin meninggi untuk masuk ke lebih mulai pukul 03.00-05.00 berjalan cepat
babak pertikaian. Pada babak pertikaian dan merupakan tahap klimaks. Perang yang
berbagai konflik semakin meruncing, adegan terjadi melibatkan para pemimpin tertinggi
peperangan semakin berkualitas, dan dan menyelesaikan masalah, maka disebut
kemudian mencapai klimaks serta berbagai sebagai perang besar atau perang amuk-
permasalahan diselesaikan pada babak amukan, dan pasti dimenangkan oleh tokoh
akhir. Klimaks pada struktur pertunjukan (pihak) protagonis.
wayang ada pada bagian penyelesaian, Pelaku utama pertunjukan wayang
sedang pembagian Aristoteles ada pada adalah dalang. Dialah yang mengerjakan
bagian pertikaian. Cerita wayang dimulai hampir semua kerja pertunjukan. Dalang
dengan keadaan tenang dan damai (A) adalah seniman komplit dan menjadi
dan diakhiri atau kembali ke keadaan yang sutradara yang bertanggung jawab atas

Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa


26

jalannya seluruh pertunjukan, menjadi aktor mengikuti mitos dimulai (Sumukti, 2006;76).
yang memerankan dan memainkan seluruh Dalam kayon waktu yang mengalir detik
tokoh wayang, penata musik yang mengatur demi detik seakan tidak ada lagi. Di dalam
gending, narator, penyanyi, dan lain-lain. gunungan arus menit dan jam seakan-akan
Ia dibantu oleh penabuh gamelan (niyaga) diinterupsi dan distop (Muhamad, 2010:1).
dan penyanyi (pesindhen). Tetapi, fungsi Karena seolah tak mengenal waktu kapan,
keduanya hanya sebagai pengiring. ahistoris itu, wayang dapat diterima kapan
Pertunjukan wayang itu sendiri pada saja, bahkan seolah terjadi saat kini juga. Para
hakikatnya merupakan suatu lambang inisian yang diselamati dengan pertunjukan
yang bersifat religius-mistis, yaitu lambang wayang (misal pengantin) adalah tokoh
kehidupan manusia dari lahir sampai mati terpenting dalam upacara ini dan tidak
sebagaimana tercermin dalam struktur penting asal status sosialnya. Jika sepasang
wayang. Bahkan, hampir semua aspek pengantin, mereka ibarat putra-putri raja
pewayangan, seperti bentuk-bentuk fisik dan berpakaian ibarat raja. Mereka adalah
wayang dan berbagai peralatan yang tokoh utama yang diberi wejangan pelajaran
dipergunakan adalah berfungsi pelambangan moral, etika, bersosial, dan lain-lain untuk
(Mulyono, 1989; Amir, 1994). mengarungi kehidupan. Dalam konteks
Orang yang memunyai hajat menanggap inilah wayang secara kental dapat dipahami
wayang melambangkan Tuhan karena tanpa sebagai tontonan (hiburan) sekaligus tuntunan
kehendak-Nya pertunjukan wayang (pelajaran).
tidak akan terjadi. Selain itu, dialah yang Bagian pertama dengan gending-
berkuasa menentukan di mana tempat gending ber-pathet nem melambangkan
pertunjukan dilakukan, di mana letak kehidupan manusia ketika dalam masa
gamelan dan wayang, dan lain-lain. Dalang kanak-kanak sampai remaja. Gunungan
adalah lambang pelaksana perintah Tuhan. yang dicondongkan ke kiri melambangkan
Sebelum pertunjukan wayang dimulai, kecenderungan sifat anak yang masih suka
keadaan kelir (yang melambangkan alam mengerjakan hal-hal yang tidak benar.
semesta) masih kosong, yang ada hanyalah Bagian kedua dengan gending pathet sanga
gunungan (kayon) yang terdiri di tengah melambangkan masa dewasa manusia.
melambangkan jagad raya yang masih Letak gunungan yang tegak berdiri di
kosong dan yang ada hanyalah pepohonan. tengah melambangkan kecenderungan sifat
Gedebok tempat menancapkan kayon dan manusia dewasa yang suka berbuat benar
wayang adalah lambang bumi, gamelan dan salah. Bagian ketiga dengan gending
melambangkan harmoni kehidupan, dan pathet manyura melambangkan masa tua
wayang melambangkan manusia dan kehidupan manusia. Gunungan yang miring
makhluk-makhluk lain. Setelah kayon ditarik ke kanan melambangkan kecenderungan
ke bawah muncullah wayang pertama yang sifat manusia yang semakin suka berbuat
menandakan dimulainya cerita sekaligus benar dan semakin tidak suka berbuat
merupakan lambang kelahiran manusia di salah. Cerita diakhiri dengan tancep kayon
dunia. (menancapkan gunungan di tengah) yang
Begitu pertunjukan wayang dimulai, melambangkan bahwa kehidupan manusia
waktu historis terhenti dan waktu fiktif yang telah berakhir, telah kembali ke pangkuan

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011


27

Tuhan, dari tiada menjadi ada, dan kembali besar dan doktor dari universitas ternama
ke tiada. di negeri ini, dan berbagai kasus lainnya
Tancep kayon menandakan bahwa cerita seolah-olah memperkuat dugaan tersebut.
wayang telah selesai, tetapi pertunjukan Hal itu belum lagi berbagai kasus yang kini
itu sendiri belum selesai. Dalang masih menimpa para pelaku kerah putih seperti
menarikan tarian wayang golek yang dibuat kejahatan makelar kasus perpajakan dan
dari kayu tiga dimensi. Golek dalam bahasa perbankan. Keadaan itu semua menunjukkan
Jawa berarti mencari, jadi maksudnya betapa urgennya pendidikan karakter
adalah mengharapkan penonton untuk menjadi isu nasional.
mencari sendiri nilai-nilai yang bermanfaat
lewat pertunjukan wayang. Wayang Tentang Karakter dan Pendidikan
kemudian dikukut (dicabuti dan dimasukkan Karakter
kembali ke kotak) sehingga pendapa tempat Karakter adalah tabiat, kepribadian,
pertunjukan kembali menjadi kosong seperti identitas diri, jatidiri. Karakter adalah
sediakala. Sang Dalang (lambang pelaksana jatidiri, kepribadian, dan watak yang melekat
perintah Tuhan) bertemu dengan tuan rumah pada diri seseorang yang berkaitan dengan
yang menanggap (lambang Tuhan) untuk dimensi psikis dan fisik. Pada tatanan
menerima upah (pahala atau hukuman) mikro karakter adalah (i) kualitas dan
atas jerih payahnya mendalang semalam kuantitas reaksi terhadap diri sendiri, orang
suntuk (sebagai pertanggungjawaban atas lain, dan situasi tertentu, dan (ii) watak,
karmanya). akhlak, dan ciri psikologis. Ciri psikologis
yang dimiliki oleh individu pada lingkup
Nilai-nilai Cerita Wayang sebagai Cermin pribadi secara evolutif akan berkembang
Jatidiri dan Pengembangan Karater lebih luas menjadi ciri sosial. Ciri psikologis
Bangsa individu akan memberi warna dan corak
Ketika di hadapan kita tersaji berita identitas kelompok yang pada tatanan makro
carut-marutnya kehidupan berbangsa akan menjadi ciri psikologis atau karakter
ini yang tiada habis-habisnya, baik lewat bangsa. Pembentukan karakter suatu bangsa
pemberitaan televisi, internet, surat kabar, berproses secara dinamis sebagai sebuah
maupun media massa yang lain, kita fenomena sosio-ekologis (Gufron, 2010).
mungkin setuju bahwa keadaan itu semua Karakter bangsa merupakan akumulasi
lebih disebabkan oleh kurang mengenanya dari karakter-karakter warga masyarakat
pendidikan karakter anak bangsa. Lembaga bangsa itu. Karakter merupakan nilai
pendidikan yang seharusnya berada di ujung dasar perilaku yang menjadi acuan tata
tombak selaku penjaga ketangguhan karakter, nilai interaksi antarmanusia, yang when
bahkan tidak jarang menampilkan sosok character is lost then everything is lost. Secara
yang lebih mencerminkan kurangnya status universal karakter dirumuskan sebagai
berkarakter itu. Bocornya soal ujian nasional nilai hidup bersama berdasarkan pilar:
di berbagai pelosok tanah air, usaha guru kedamaian (peace), menghargai (respect),
dan peserta didik untuk menempuh segala kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom),
cara asal lulus, kasus plagiat yang baru saja kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty),
membelalakkan mata yang menimpa guru kerendahhatian (humility), kasih sayang

Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa


28

(love), tanggung jawab (responsibility), dengan sekian jumlah variannya. Tujuan


kesederhanaan (simplicity), toleransi pendidikan karakter adalah agar peserta
(tolerance),dan persatuan (unity) (Gufron, didik menjadi orang yang bermartabat,
2010). orang yang berkarakter dalam arti yang
Nilai karakter apa yang terkandung sebenarnya, dan bukan sekadar hafal secara
dalam karakter bangsa? Itu adalah nilai- kognitif apa itu pendidikan karakter dan ciri
nilai yang berkembang, berlaku, diakui, orang yang berkarakter.
diyakini, dan disepakati untuk dilaksanakan Orang pasti sependapat bahwa ada
oleh setiap warga masyarakat di sebuah banyak cara dan bahan yang dapat
negara. Nilai-nilai itu adalah nilai-nilai luhur dikreasikan untuk mendidik, memupuk dan
(supreme values) yang dijadikan pedoman mengembangkan, serta membentuk karakter
hidup (guiding principles) yang digunakan peserta didik. Cara yang dimaksudkan
untuk mencapai derajat kemanusiaan yang adalah proses dan strategi, sedang bahan
lebih tinggi, bermartabat, demi kedamaian adalah bahan ajar (baca: mata pelajaran,
dan kebahagiaan. Kemanusiaan yang pokok bahasan) yang dapat dimuati usaha
dimaksud antara lain meliputi solidaritas pendidikan karakter. Pendidikan karakter
sesama manusia, menghormati hakikat dalam usaha pembentukan karakter tidak
dan martabat manusia, kesetaraan dan diajarkan secara mandiri sebagai sebuah
tolong-menolong, menghormati perbedaan, bahan ajar sebagaimana halnya mata-mata
dan menciptakan kedamaian. Budi pekerti pelajaran yang lain, melainkan termuat
sebagai nilai luhur adalah perilaku yang dan diikutsertakan dalam pembelajaran
dibangun berdasarkan nilai-nilai yang berbagai mata pelajaran tersebut baik dalam
diyakini dan diposisikan sebagai instrumen proses dan strategi pembelajaran maupun,
untuk mencapai sesuatu. jika dimungkinkan, juga inklusif dalam
Pendidikan karakter dimaksudkan bahan ajar. Jadi, ia dapat masuk dalam
sekaligus sebagai pembentukan karakter. pembelajaran agama, kesenian, bahasa dan
Usaha pendidikan dan pembentukan karakter sastra, sejarah, dan lain-lain.
yang dimaksud tidak terlepas dari pendidikan Pembicaraan tentang sastra dalam
dan penanaman nilai-nilai moral kepada kaitannya dengan pembentukan karakter,
peserta didik. Pendidikan karakter itu sendiri termasuk sastra tradisional seperti
merupakan sebuah proses panjang, yaitu cerita wayang, atau mungkin dikatakan
proses pembelajaran untuk menanamkan pembentukan sikap dan perilaku, telah
nilai-nilai luhur, budi pekerti, akhlak mulia banyak dilakukan orang. Bahkan, tidak
yang berakar pada ajaran agama, adat- jarang timbul kesan bahwa pembelajaran
istiadat dan nilai-nilai keindonesiaan dalam sastra tidak lain adalah pembelajaran nilai-
rangka mengembangkan kepribadian nilai moral. Hal itu tidak sepenuhnya salah,
peserta didik supaya menjadi manusia yang tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Berbagai
bermatabat, menjadi warga bangsa yang teks kesastraan diyakini mengandung
berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur unsur moral dan nilai-nilai yang dapat
bangsa dan agama (Sardiman, 2009). Dari sini dijadikan bahan baku pendidikan dan
dapat dipahami bahwa pendidikan karakter pembentukan karakter. Teks-teks kesastraan
memfokus pada pendidikan nilai-nilai luhur diyakini mengandung suatu ajaran

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011


29

karena tidak mungkin pengarang menulis Sejarah bangsa-bangsa di dunia menunjukkan


tanpa pesan moral. Namun, penekanan bahwa bangsa yang maju dan besar memiliki
pada bahan tersebut bahkan tidak jarang akar tradisi mitologi yang amat panjang.
berakibat fatal: peserta didik hanya sekadar Di Indonesia, khususnya Jawa, mitologi
diminta menginditifikasi moral dan nilai- wayang merupakan tradisi dan budaya yang
nilai yang terkandung di dalam teks-teks telah mendasari dan berperan besar dalam
kesastraan itu. Padahal, semestinya hal-hal membentuk karakter dan eksistensi bangsa
yang bernuansa nilai luhur yang lazimnya Indonesia. Hal itu disebabkan mitologi
menjadi sikap dan perilaku tokoh cerita itu merupakan kristalisasi konsep-konsep,
adalah untuk dimengerti, direnungkan, dan nilai-nilai, dan norma-norma yang menjiwai
diteladani dalam sikap dan perilaku hidup sikap hidup masyarakat selama ini dan
keseharian. menyebabkan komunikasi antaranggota
Singkatnya, pendidikan karakter masyarakat menjadi efisien. Cerita wayang
haruslah bermakna, dalam arti memang merupakan hasil karya seni yang adiluhung,
dibutuhkan dalam tingkah laku hidup monumental, dan amat berharga, bukan
keseharian di mana pun berada. Subjek saja karena kehebatan cerita, keindahan
didik berkembang dalam konteks penyampaian, ketegasan pola karakter,
keluarga, sekolah, dan masyarakat (tiga melainkan juga nilai filosofi dan ajaran-
pusat pendidikan): inilah konteks nyata ajaran-nya yang tidak ternilai dan masih
pendidikan karakter bagi mereka. Di setiap saja relevan dengan keadaan kini (Mulyono,
konteks terdapat figur-figur yang dapat 1989). Berbagai cerita wayang dan karakter
memberikan teladan dan diteladani dalam para tokohnya banyak yang dijadikan
manifestasi manusia berkarakter. Maka, anutan, prinsip hidup, sumber pencarian
konteks haruslah menyediakan situasi yang nilai-nilai, atau paling tidak mempengaruhi
dapat menanamkan, memperkuat, dan sikap hidup masyarakat penggemar cerita
mengarahkan tindakan moral yang tepat. itu. Wayang bukan saja merupakan suatu
Konteks keteladanan akan menjadi katalisator bentuk kesenian yang digemari, namun
terjadinya internalisasi dan transformasi telah menjadi bagian hidup yang dibutuhkan
nilai-nilai moral mulai dari pengetahuan masyarakat.
moral, kesadaran moral, pemahaman Secara substansial nilai pewayangan
nilai-nilai moral, alasan tindakan moral, berkaitan dengan masalah kehidupan manusia
pengambilan keputusan moral, dan refleksi yang menyangkut kehidupan pribadi, sosial,
tindakan sebagai pengetahuan metakognisi dan religius. Secara pragmatis dilihat dari
(Pujirianto, 2010). aspek kebutuhan hidup manusia nilai-nilai
wayang berfungsi mendukung tujuan untuk
Nilai Cerita Wayang dan Pendidikan melangsungkan hidup, mempertahankan
Karakter hidup, dan mengembangkan hidup,
Sejarah membuktikan bahwa yang ketiganya bermuara untuk tujuan
pengembangan karakter dan atau mencapai kesempurnaan hidup. Tindakan
kebudayaan suatu bangsa tidak pernah manusia untuk tujuan melangsungkan,
dapat melepaskan diri dari nilai-nilai tradisi mempertahankan, dan mengembangkan
yang telah mendasari dan membesarkannya. hidup haruslah dicapai dengan cara yang

Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa


30

benar dan dengan tujuan yang benar pula. orang tidak boleh mengabaikan kehidupan
Kedua kelompok kategori substansial sosial. Kehidupan pribadi harus dikalahkan
dan pragmatis tersebut digabungkan dalam demi kepentingan sosial, sebagaimana
satu kesatuan. Kategori yang pertama tercermin dalam ungkapan ramai ing gawe
misalnya, menjadi nilai-nilai wayang yang sepi ing pamrih rajin bekerja tetapi tidak
menyangkut kehidupan pribadi untuk tujuan untuk kepentingan pribadi. Filosofi tersebut
melangsungkan, mempertahankan, dan tercermin dalam tingkah laku kehidupan
mengembangkan hidup. Demikian juga untuk para Pandawa.
kategori kedua dan ketiga. Pengategorian Secara umum cerita wayang
tersebut lebih bersifat teoretis konstruktif menampilkan dua kepentingan dari
karena pada kenyataannya nilai-nilai itu dua kelompok yang bertentangan, yaitu
saling berkaitan erat, tidak dapat dipisahkan, kelompok baik dan jahat. Kelompok baik
dan merupakan satu kesatuan yang utuh. ditokohi oleh para tokoh yang berkarakter
Tujuan melangsungkan hidup berkaitan baik, sedang kelompok jahat ditokohi oleh
dengan tindakan manusia mengupayakan para tokoh berkarakter jahat. Ada banyak
kebutuhan primer khususnya yang berupa tokoh pada kedua kelompok itu masing-
kebutuhan pangan, sandang, dan papan. masing dengan karakter khasnya, tetapi
Tujuan mempertahankan hidup merupakan tokoh-tokoh kelompok baik (putih), tetaplah
tindakan manusia untuk mempertahankan berupa karakter baik, tokoh-tokoh kelompok
diri dari kekuatan-kekuatan destruktif, jahat (hitam) tetap saja berupa karakter
baik yang berasal dari dalam maupun jahat. Tokoh-tokoh baik inilah yang pantas
dari luar. Tujuan mengembangkan hidup dijadikan teladan dalam bertingkah laku,
berkaitan dengan tindakan manusia untuk dijadikan sumber pencarian nilai-nilai luhur,
mengembangkan potensi diri baik yang dan dijadikan inspirasi pendidikan karakter.
menyangkut unsur jasmaniah maupun Di pihak lain, sebagai sebuah cerita, tokoh-
rokhaniah untuk mencapai derajat kehidupan tokoh hitam dengan karakter jahatnya juga
yang lebih baik dan kesempurnaan hidup. dibutuhkan karena tanpa mereka cerita
Demikian juga halnya dengan nilai-nilai tidak akan berkembang dan tidak menarik.
wayang yang menyangkut kehidupan sosial Selain itu, eksistensi karakter baik justru
dan kehidupan religius. Nilai wayang terlihat akan semakin terlihat jika berada dalam
kental terkait dengan nilai kegotongroyongan, pertentangannya dengan yang jahat.
kerukunan hidup, kedamaian, kepedulian Karakter tokoh-tokoh baik inilah yang
kepada sesama, solidaritas sesama, dan banyak mengilhami dan dijadikan tuntunan
lain-lain dengan muara akhir ketenteraman dalam pengembangan karakter. Tokoh
dan kedamaian hidup bersama. Hal itu Pandawa (lima orang bersaudara), anak
juga terlihat dalam nilai-nilai yang terkait keturunan, dan kerabatnya biasa dijadikan
dengan unsur religius. Bahkan, dalam rujukan pencarian nilai-nilai. Para penonton
cerita wayang nilai religius amat kental pertunjukan wayang akan berpihak kepada
karena kehidupan religius memperoleh para tokoh baik ini dan mudah dimengerti
penekanan utama, dan tujuan hidup yang kalau mereka membenci para tokoh Kurawa
berupa kesempurnaan hidup merupakan karena mereka tidak mau dihubungkan
hal terpenting dalam cerita wayang, walau dengan tokoh jahat, tamak, dan merebut hak

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011


31

orang yang merupakan karater tokoh-tokoh kejahatan, walau ditutup-tutupi kejahatan


Kurawa. Kecenderungan untuk memihak akan terungkap, siapa yang berbuat jahat
Pandawa inilah sebenarnya yang merupakan akhirnya memetik buah perilakunya. Nilai-
tujuan pertunjukan wayang (Sumukti, nilai kebaikan sebenarnya secara substansial
2006:78). tidak pernah berubah sepanjang masa
Pada keluarga Jawa merupakan hal yang sebagaimana yang tercermin dalam cerita
biasa jika orang tua menamai anak-anaknya dan karakter tokoh-tokoh wayang. Kalaupun
dengan nama-nama tokoh wayang yang ada perubahan, hal itu sebenaranya hanya
karakternya diidolakan. Misalnya, tokoh menyangkut manifetasinya saja yang sejalan
Yudhistira, Bima, Arjuna, Sadewa, Gatotkaca, dengan kemajuan zaman.
Kresna, dan lain-lain. Hal itu dimaksudkan Dewasa ini dapat ditemukan berbagai
agar anaknya tersebut memiliki karakter teks sastra Indonesia modern yang
dan kebijakan sebagaimana karakter yang menransformasikan nilai-nilai wayang baik
disandang para tokoh wayang itu. Di pihak yang bergenre fiksi, puisi, maupun drama
lain, rasanya tidak pernah dijumpai orang walau berbeda-beda tingkat intensitasnya.
tua menamai anaknya dengan tokoh-tokoh Hal itu menunjukkan bahwa nilai-nilai
jahat semacam Duryudana, Durna, Sengkuni, wayang tidak pernah ketinggalan zaman dan
Dasamuka, Sarpakenaka, dan lain-lain. sekaligus merupakan suatu ujian terhadap
Bahkan, gambar tokoh-tokoh baik tersebut nilai-nilai tersebut. Jika dianggap usang,
juga banyak dipasang untuk dijadikan tidak berguna, tidak ada signifikansinya,
hiasan seni di rumah atau perkantoran. atau dianggap tidak relevan lagi dengan
Kesemuanya itu tentu mengandung maksud kehidupan sekarang, nilai-nilai wayang
agar terjadi proses pendidikan karakter bagi pasti akan ditinggalkan dan tidak pernah
penghuninya walau sekadar mengenalkan, direvitalisasikan ke dalam teks-teks sastra
mengingatkan, dan menyadarkan. Tokoh modern. Hal itu sekaligus dapat dipandang
wayang yang sarat falsafah hidup merupakan sebagai suatu bentuk pemanfaatan nilai-nilai
rujukan perilaku sempurna dari kesantunan tradisional ke dalam kehidupan modern dan
sampai sistem etika. Maka, tokoh-tokoh sekaligus berperan dalam usaha pencarian
wayang diacu untuk dijadikan model of dan jatidiri dan pembentukan karakter bangsa.
model for bagi yang menghayati karakternya Jika dalam cerita wayang nilai
(Sutrisno, 2010:8). kehidupan religius dan sosial terlihat lebih
Demikian juga dalam hal alur cerita. intens daripada nilai kehidupan pribadi,
Alur cerita wayang amat banyak, apalagi dalam berbagai teks sastra Indonesia yang
dengan semakin banyaknya cerita carangan menransformasikannya justru terlihat
yang dapat dikembangkan secara terus- terbalik. Unsur kehidupan pribadi dan
menerus selama tidak bertentangan dengan sosial justru lebih dominan daripada unsur
cerita pokok (pakem). Pertentangan antara kehidupan religius. Dominannya tema cinta
kedua kelompok baik dan jahat tersebut dan percintaan (suami-istri dan kekasih)
selalu dimenangkan oleh kelompok baik, misalnya, menunjukkan dominannya unsur
kelompok pembela kebenaran. Hal inilah kehidupan pribadi, sedang tema-tema kritik
yang dewasa ini dikenal menjadi tema sosial dan kepahlwanan menunjukkan
tradisional, yaitu kebaikan pasti mengalahkan dominannya unsur kehidupan sosial. Lebih

Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa


32

dominannya unsur kehidupan pribadi dan kepahlawanan; untuk mendidik seorang


sosial daripada unsur religius tampaknya putra mahkota, raja memerintahkan seorang
disebabkan pengarang tidak berangkat dari pertapa mengajarnya dan pertapa memilih
ajaran-ajaran dan atau filosofi tertentu dalam mendidik lewat cerita. Masyarakat Jawa
cerita wayang dalam menulis sastra. Masalah masa lalu juga memunyai tradisi macapatan
kehidupan religius yang berdasarkan agama atau kegiatan bernuansakan keindahan-
tertentu dewasa ini juga berbeda dengan kesastraan-afektif yang lain yang juga berarti
kehidupan religius dalam dunia wayang nguri-uri kabudayan. Jadi, apakah keyakinan
sehingga aspek religius wayang hanya bahwa sastra mempunyai peran yang tidak
dijadikan referensi kultural. Selain itu, terlihat kecil bagi pembentukan kepribadian anak
bahwa pengarang ingin lebih menekankan itu meragukan?
aspek manusianya, manusia tokoh wayang Sastra merupakan budaya dalam tindak
yang memiliki kehidupan pribadi dan sosial (culture in action). Artinya, konsep sikap
yang dalam hal tertentu bisa jadi memunyai dan perilaku suatu budaya, suatu karakter
kesamaan dengan kehidupan pribadi dan yang mencerminkan budaya tertentu atau
sosial manusia dewasa ini. pandangan hidup tertentu, tidak disampaikan
Sastra bermain di wilayah afektif, di secara verbal dan abstrak, melainkan dalam
ranah emosi dan perasaan tanpa mengabaikan sikap dan perilaku yang konkret sebagaimana
rasio, di ranah sesuatu yang menekankan terlihat dalam hidup keseharian. Singkatnya,
pentingnya keindahan, di ranah metaforis sikap dan tingkah laku seseorang dalam
yang serba tidak langsung. Dilihat dari faktor keseharian sebenarnya mencerminkan
ini, dengan membaca dan merenungkan derajat karakter dan martabatnya. Cerita
nuansa makna sastra, tentunya ranah-ranah wayang menyajikan model kehidupan
yang tertuju menjadi terasah, seolah-olah dengan tokoh-tokoh berkarakter yang pantas
terbarukan, menjadi lebih peka dan kritis. diteladani. Jika melihat atau membaca
Semua anak memiliki bakat keindahan cerita wayang yang menampilkan oposisi
dan sastra memberi jalan untuk mengasah tokoh baik dan jahat, orang akan memilih
keindahan afektif itu, keindahan yang tokoh yang baik. Kehadiran tokoh hero
sekaligus berperan memerhalus emosi tersebut lengkap dengan karakternya yang
dan perasaan, cara bersikap, berpikir, dan mencerminkan orang yang berkarakter baik,
berperilaku. yang mengejawantahkan nilai-nilai moral
Sejarah masa lalu menunjukkan bahwa yang diidealkannya, biasanya akan ditiru
karya sastra (cerita!) banyak dipergunakan dan diteladani oleh anak-anak. Mereka ingin
sebagai sarana untuk mengajarkan dapat dan berkarakter seperti tokoh heronya,
berbagai keperluan hidup, memberikan dan antipati kepada tokoh antagonis yang
ajaran moral, etika kehidupan, mewariskan berbuat jahat yang tidak pantas ditiru. Lihat
pandangan hidup, nilai-nilai yang diyakini bagaimana resepsi dan reaksi anak-anak
kebenaraannya oleh masyarakat, serta terhadap tokoh-tokoh hero di komik atau
mempertahankan eksistensi masyarakat. film kartun seperti Kesatria Baja Hitam,
Misalnya, untuk memberikan semangat Kapten Tsubasa, dan bahkan juga Harry
juang membela negara, para tentara Potter.
kerajaan secara rutin dibacakan cerita-cerita

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011


33

Penutup lebih intensif untuk menggali potensi yang


Terkandung unsur sebab akibat dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
diakuinya wayang sebagai Masterpiece of Oral budaya dan bangsa. Dalam era global dewasa
and Intangible Heritage of Humanity (Karya- ini keunggulan lokal amat dibutuhkan
karya Agung Lisan dan Tak Benda Warisan karena hal itulah yang membedakaannya
Manusia) oleh UNESCO. Wayang diakui dengan etnis dan bangsa lain.
sebagai karya agung karena memunyai nilai
tinggi bagi peradaban umat manusia. Setelah Ucapan Terima Kasih
diakui sebagai karya agung, wayang harus Betapa sederhananya sebuah karya
dilestarikan eksistensinya, dan itu menjadi tulis ia tidak dapat dilepaskan dari bantuan
tugas seluruh bangsa di dunia khususnya sejawat lewat sumbang saran pikiran, baik
bangsa Indonesia yang memiliki budaya lewat diskusi, seminar, pembicaraan ringan
wayang tersebut. Kita harus memercayai sampai tulisan yang dipresentasikan dalam
bahwa eksistensi bangsa Indonesia dewasa berbagai forum. Untuk itu, saya mengucapkan
ini tidak lepas dari nilai-nilai luhur terima kasih kepada para sejawat dan
tradisional yang memiliki sejarah yang amat tokoh lain yang pemikirannya dirujuk
panjang dalam mengawal pertumbuhan dan dalam penulisan ini yang tentunya dapat
kemajuan bangsa ini yang salah satunya memperkaya wawasan yang dikemukakan.
adalah budaya wayang. Wayang sarat nilai, Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
baik yang tercermin pada karakter tokoh, kepada redaktur pembaca yang memberikan
cerita, maupun berbagai unsur lain yang saran perbaikan.
mendukung.
Dewasa ini terlihat makin intensif Daftar Pustaka
usaha pengenalan, pemopuleran, dan Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis dalam
pelestarian wayang lewat berbagai buku dan Wayang. Jakarta: Sinar Harapan.
ensiklopedi yang muncul baik yang ditulis Groenendael, Victoria M. Clara. 1987. Dalang
lewat penelitian akademik maupun secara di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama
sastra. Untuk menyebut sebagian misalnya, Grafiti.
buku Rupa & Karakter Wayang Purwa (Heru Gufron, Anik. 2010. Integrasi Nilai-nilai
S. Sudjarwo, Sumari, dan Undung Wiyono, Karakter Bangsa pada Kegiatan
2010), Ensiklopedi Tokoh-tokoh Wayang dan Pembelajaran, dalam Cakrawala
Silsilahnya (Mahendra Sucipto, 2010), Semar, Pendidikan, Jurnal Ilmiah Pendidikan,
Dunia Batin Orang Jawa (Tuti Sumukti, 2006), Th.XXIX, Mei, hlm. 13-24.
Ensiklopedi Wayang Purwa (Suwandono, Muhamad, Gunawan. 2010. Gunungan,
Dhaniswara, dan Mujiyono, 1993), dan lain- Pengantar dalam Rupa & Karakter
lain. Budaya, bahasa, dan sastra daerah wajib Wayang Purwa (Heru S. Sudjarwo,
dilindungi dan dipelihara kelangsungan Sumari, dan Undung Wiyono).
hidupnya tanpa mengurangi kesatuan kita Mulyono, Sri. 1989. Wayang, Asal-usul,
sebagai sebuah bangsa sekaligus untuk Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: CV
menyadarkan dari mana kita berasal. Nilai- Haji Masagung.
nilai budaya, bahasa, dan sastra daerah perlu
dijadikan bahan kajian dan penelitian secara

Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa


34

Padmosoekotjo, S. 1992. Silsilah Wayang Purwa Sudjarwo, Heru S, Sumari, dan Undung
Mawa Carita, jilid I-VII, Surabaya: Citra Wiyono. 2010. Rupa & Karakter Wayang
Jaya Murti. Purwa. Jakarta: Kakilangit Kencana
Pujirianto. 2010. Pendidikan Karakter Prenada Media Group.
melalui Keteladanan para Figur Kunci, Sumukti, Tuti. 2006. Semar, Dunia Batin Orang
dalam Dinamika Pendidikan, Majalah Jawa. Yogyakarta: Galang Press.
Ilmu Pendidikan. No.1/Th.XVI, hlmn. Sutrisno, Muji. 2010. Sukma di Balik
60-69. Rupa Wayang, Pengantar dalam
Rajagopalachari, C. 2008. Mahabharata, Rupa & Karakter Wayang Purwa (Heru
Yogyakarta: IRCiSod. S. Sudjarwo, Sumari, dan Undung
Sardiman. 2009. Membangun Karakter Wiyono).
Bangsa melalui Pembelajaran Sejarah Suwandono, Dhaniswara, dan Mujiyono.
dalam Darmiyati Zuhdi (ed) Pendidikan 1993. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta:
Karakter, Grand Design dan Nilai-nilai Balai Pustaka.
Target. Yogyakarta: UNY Press, hlm. Wibisono, Singgih. 2009. Wayang, Karya
71-82. Agung Dunia. http://www.Sastra-
Sucipto, Mahendra. 2010. Ensiklopedi Indonesia.com/ 2009/12/Wayang,
Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya. Karya Agung Dunia/. Diunduh 20
Yogyakarta: Narasi. Mei 2011.

Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun I, Nomor 1, Oktober 2011

Anda mungkin juga menyukai