Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Infeksi pada otak dapat disebabkan oleh berbagai etiologi, diantaranya bakteri,
virus ataupun jamur. Diantara etiologi tersebut, infeksi yang disebabkan oleh virus
merupakan etiologi yang palinng banyak dan dapat menyebabkan infeksi yang luas.
Beberapa jenis virus yang dapat menginfeksi susunan saraf pusat (SSP) manusia,
diantaranya HIV, Herpes Simplex Virus (HSV), Cytomegalovirus (CMV), Varicella
Zoster Virus, dan Japanesse Encephalitis Virus (JEV).
Infeksi virus pada SSP ini dapat menimbulkan gejala yang bervariasi, antara
lain dapat berupa demam, nyeri kepala, dan tanda-tanda disfungsi serebral difus.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa beberapa infeksi virus yang menyerang SSP
dapat menimbulkan gejala psikiatri. Gejala tersebut dapat berupa gangguan
kepribadian, gangguan memori, skizofrenia ataupun demensia. Hal ini dihubungkan
dengan infeksi yang menyerang lobus frontalis, lobus temporalis, ataupun system
limbic. Selain itu virus yang menginfeksi SSP juga dapat menyebabkan gangguan
pada neurotransmitter dopamine dimana terjadi ketidakseimbangan dari produksi
neurotransmitter tersebut. Dalam penulisan referat ini, penulis mencoba menjelaskan
tentang infeksi virus otak yang menyebabkan gejala psikiatri.

TINJAUAN PUSTAKA

OTAK
Otak terbagi dalam 3 bagian besar, yaitu neokortek atau kortex serebri, system
limbik dan batang otak, yang berkerja secara simbiosis. Bila neokortex berfungsi

1
untuk berfikir, berhitung, memori, bahasa, maka sistek limbik berfugsi dalam
mengatur emosi dan memori emosional, dan batang otak mengarur fungsi vegetasi
tubuh antara lain denyut jantung, aliran darah, kemampuan gerak atau motorik,
Ketiganya bekerja bersama saling mendukung dalam waktu yang bersamaan, tapi juga
dapat bekerja secara terpisah. 10

ANATOMI LOBUS OTAK


1. Lobus frontalis
Lobus frontal berfungsi sebagai "Senior Eksekutif" dari otak yang
berperan untuk memproses, mengintegrasikan, menghambat, mengasimilasi,
dan mengingat persepsi dan impuls yang diterima dari sistem limbik, striatum,
lobus temporal, dan neokortek. Selain itu, melalui asimilasi dan perpaduan
proses persepsi, kehendak, kognitif, dan emosional, lobus frontal terlibat
dalam pengambilan keputusan dan pembentukan tujuan, memodulasi dan
membentuk karakter dan kepribadian dan mengarahkan perhatian, menjaga
konsentrasi, dan berpartisipasi dalam penyimpanan informasi dan
pengambilan memori.
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih
tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di
hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat
pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer) dan
terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah
broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar,
perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif. Lobus frontalis merupakan
sepertiga bagian dari kortek serebri manusia. Setiap bagian lobus
frontalis dibagi menjadi 3 daerah, yaitu kortek motor primer, kortek
premotor dan kortek prefrontal .1,2,3
Kortek motor primer terutama untuk gerakan-gerakan voluntary.
Kerusakan pada daerah ini akan menyebabkan kelumpuhan pada sisi tubuh
yang berlawanan. Kortek premotor berhubungan dengan kortek motor primer
dan penting untuk integrasi dan program-program gerakan yang berurutan.
Kortek prefrontal dibagi menjadi 3 regio yaitu , region orbito-frontal (anterior
lobus frontal) , region dorsolateral, serta cingulum anterior .
Terdapat lima sirkuit yang diketahui , yaitu :
a. Sirkuit motorik pada area motorik
b. Sirkuit okulomotor pada lapangan penglihatan frontal

2
c. Tiga sirkuit pada daerah kortek prefrontal
Setiap sirkuit mempunyai serabut proyeksi ke struktur striata
(nucleus caudatus, putamen, dan striatum anterior), dan dari striata
berhubungan ke globus pallidus dan substansia nigra, proyeksi ke
nucleus thalamus dan kembali ke lobus frontal.
Sirkuit tersebut antara lain:
- Sirkuit dorsolateral prefrontal
Sirkuit dorsolateral dimulai dari korteks prefrontal dorsolateral
nucleus kaudatus dorsolateral globus pallidus
dorsomedial lateral nucleus thalamus dorsomedial dan
anteroventral regio dorsolateral prefrontal. Kerusakan pada
sirkuit ini menyebabkan gangguan fungsi eksekutif, diantaranya
kesulitan mempelajari informasi baru, gangguan program
gerakan motor, gangguan kelancaran verbal dan non verbal,
gangguan untuk menyusun kembali bentuk yang kompleks.
Sirkuit ini menerima impuls dari serabut afferent area yang
berperan dalam proses penglihatan. Serabut aferen dari sistim
limbic diterima melalui proyeksi dopamine dari substansia
nigra.
- Sirkuit orbitofrontal prefrontal
Sirkuit orbitofrontal dimulai dari kortek orbitolateral nucleus
caudatus ventromedial globus pallidus dorsomedial medial
nucleus thalamus ventroanterior dan mediodorsal kortek
orbitolateral. Kerusakan pada sirkuit ini menyebabkan
gangguan disinhibisi, berupa gangguan perilaku berupa emosi
yang labil dan obsesif kompulsif. Sirkuit ini menerima serabut
aferen dari area temporal dan orbito frontal yang terdiri dari
bagian sensorik heteromodal dan para limbic.
- Cingulatum anterior
Sirkuit cingulatum anterior dimulai dari kortek cingulatum
anterior nucleus akumbens globus pallidus rostrolateral
thalamus medio dorsal kortek cingulatum anterior.
Kerusakan pada sirkuit ini ditandai dengan apatis, penurunan
kemauan dan tidak adanya emosi. Sirkuit ini menerima serabut
afferent hipokampus.1

3
Lobus frontalis memiliki fungsi yang sangat luas dan saling
berhubungan, maka jika terdapat kelainan pada lobus ini dapat mengakibatkan
gangguan kepribadian dan emosi, kesulitan untuk memulai aktivitas, kesulitan
untuk memusatkan perhatian, sulit berkonsentrasi, apatis, euphoria, gangguan
kognitif, skizofrenia, catatonic, mania, depresi, obsesif kompulsif.

2. Lobus temporalis
Lobus temporal adalah salah satu regio dari kortex serebri yang terletak
dibawah sulcus lateralis di kedua hemisfer otak manusia. Lobus temporal
terlibat dalam retensi memori visual, proses input sensorik, memahami
bahasa, penyimpanan memori baru, emosi dan memahami makna. Lobus
temporal berisi hippocampus dan memainkan peran kunci dalam pembentukan
eksplisit memori jangka panjang yang dimodulasi oleh amigdala. Tiga fungsi
basis dari korteks temporal adalah memproses input auditori, mengenali objek
visual dan penyimpanan memori jangka lama dari input sensori, ditambah
dengan fungsi amigdala, yaitu afeksi (emosi). 11

3. Lobus parietalis
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran. 11

4. Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain
& memori. 11

Lobus dari cerebrum, dilihat dari atas dan samping

4
SISTEM LIMBIK10
Bagian limbik yang menjadi pusat emosi yang berada di amygdala dan
hippocampus berfungsi mengatur emosi manusia dan memori emosi, menunjukan
seorang penderita epilepsi yang mendapat terapi operasi otak dengan diangkatnya
amigdala dan hypocampus memperlihatkan gejala hiperseks dan rakus setelah operasi.
Istilah Limbik berarti perbatasan aslinya limbik digunakan untuk menjelaskan
struktur tepi sekeliling regio basal serebrum, dan pada perkembangan selanjutnya
diperluas artinya keseluruh lintasan neuronal yang mengatur tingkah laku emosional
dan dorongan motivasional.
Bagian utama sistem limbik adalah hipotalamus dengan struktur berkaitan,
selain mengatur prilaku emosional juga mengatur kondisi internal tubuh seperti suhu
tubuh, osmolalitas cairan tubuh, dan dorongan untuk makan dan minum serta
mengatur berat badan Fungsi internal ini secara bersama-sama disebut fungsi vegetatif
otak yang berkaitan erat pengaturannya dengan perilaku.

NEUROTRANSMITTER PADA SISTEM SARAF PUSAT10


Neurotransmitter Lokasi/Fungsi Implikasinya pada
penyakit jiwa
Kolinergik: Sistem saraf otonom simpatis dan Meningkatkan derajat
Asetil kolin parasimpatis, terminal saraf presinapsis depresi
parasimpatik, terminal postsinapsis
Sistem saraf pusat : korteks serebral Menurunkan derajat

hipokampus, struktur limbik, basal penyakit alzeimer, korea

ganglia hutington, penyakit

Fungsi : tidur, bangun persepsi nyeri , parkinson.

pergerakan memori

Monoamin Menurunkan derajat depresi


Norepinefrin Sistem syaraf otonom terminal saraf Meningkatkan derajat
post sinapsis simpatis mania, keadaan kecemasan,
skizofrenia.
Sistem saraf pusat: talamus, sistem
limbik, hipokampus, serebelum,
korteks serebri
Fungsi pernafasan, pikiran, persepsi,
daya penggerak, fungsi kardiovaskuler,
tidur dan bangun
Dopamin Frontal korteks, sistem limbik, basal Menurunkan derajat
ganglia, talamus, hipofisis posterior, penyakit parkinson dan

5
medula spinalis depresi
Fungsi: pergerakan dan koordinasi, Meningkatkan derajat mania
emosional, penilaian, pelepasan dan skizofrenia
prolaktin
Serotonin Hipotalamus, talamus, sistem limbik, Menurunkan derajat depresi
korteks serebral, serebelum, medula Meningkatkan derajat
spinalis kecemasan
Fungsi : tidur, bangun, libido, nafsu
makan, perasaan, agresi persepsi nyeri,
koordinasi dan penilaian
Histamin Hipotalamus Menurunkan derajat depresi
Asam amino Hipotalamus, hipocampus, korteks,
GABA (gamma- serebelum, basal ganglia, medula Menurunkan derajat korea

amino butyric acid) spinalis, retina huntington, gangguan

Fungsi kemunduran aktivitas tubuh ansietas, skizofrenia, dan


berbagai jenis epilepsi

Glisin Medula spinalis, batang otak Derajat toksik/keracunan


glycine encephalopaty
Fungsi: menghambat motor neuron
berulang
Glutamat dan Sel-sel piramid/kerucut dari korteks, Menurunkan tingkat derajat
aspartat serebelum dan sistem sensori aferen yang berhubungan dengan
primer, hipocampus, talamus, gerakan motor spastik
hipotalamus, medula spinalis
Fungsi: menilai informasi sensori,
mengatur berbagai motor dan reflek
spinal
Neuropeptida Hipotalamus , talamus, struktur limbik Modulasi aktivitas dopamin
Endorfin dan dan batang otak, enkedalin juga oleh opiod peptida dapat
enkefalin ditemukan pada traktus gastrointestinal menumpukkan berbagai
Fungsi modulasi (mengatur) nyeri dan ikatan terhadap gejala
mengurangi peristaltik (enkefalin) skizofrenia
Substansi P Hipotalamus struktur limbik otak Menurunkan derajat korea
tengah, batang otak, talamus, basal hutington
ganglia, dan medula spinalis, juga
ditemukan pada traktus gastrointestinal
dan kelenjar saliva
Fungsi: pengaturan nyeri
Somatostatin Korteks serebral, hipokampus, talamus, Menurunkan derajat

6
basal ganglia, batang otak, medula penyakit alzeimer
spinalis Meningkatkan derajat korea
Fungsi: menghambat pelepasan hutington
norepinefrin, merangsang pelepasan
serotonin, dopamin dan asetil kolin

Pada pasien penyakit jiwa seperti skizofrenia terdapat berbagai keadaan yang diyakini
disebabkan oleh salah satu atau lebih dari tiga kemungkinan berikut: 12
1. Terjadi hambatan terhadap sinyal-sinyal saraf di berbagai area pada lobus
prefrontalis atau disfungsi pada pengolahan sinyal-sinyal
2. Perangsangan yang berlebihan terhadap sekelompok neuron yang mensekresi
dopamin dipusat-pusat perilaku otak, termasuk di lobus frontalis
3. Abnormalitas fungsi dari bagian-bagian penting pada pusat-pusat sistem
pengatur tingkah laku limbik di sekeliling hipokampus otak

ETIOLOGI GANGGUAN PSIKOTIK9


Faktor biokimia
Adanya gangguan pada neurotransmitter dimana terjadi
ketidakseimbangan produksi neurotransmitter dopamine di otak, bila kadar
dopamine berlebihan atau kurang, penderita dapat mengalami gejala positif
atau gejala negatif.
Infeksi virus
Gangguan psikotik dapat disebabkan oleh infeksi virus pada otak.
Ketidaknormalan otak
Pengaruh genetic

INFEKSI VIRUS PADA OTAK


HERPES SIMPLEKS ENSEFALITIS (HSE)
o Definisi
Herpes simpleks ensefalitis (HSE) adalah penyakit akut atau subakut,
tanda-tanda yang menyebabkan baik umum dan fokus disfungsi serebral.
Meskipun adanya demam, sakit kepala, perubahan perilaku, kebingungan,
temuan neurologis fokal, dan abnormal CSF temuan sugestif HSE, tidak ada
temuan klinis patognomonik andal untuk membedakan HSE dari gangguan
neurologis lainnya dengan presentasi serupa (misalnya, non-HSV ensefalitis,
abses otak, tumor). 4
o Etiologi5,6

7
Virus herpes simplex I (HSV I) merupakan penyebab tersering dari
encephalitis. HSV merupakan double-stranded DNA virus. HSV I dan HSV
II termasuk ke dalam family herpesvirus (HHV).
o Patofisiologi
Patogenesis HSE pada manusia kurang dipahami. HSV akan secara
laten tinggal di ganglia serabut dorsalis. Sementara proses reaktivasi virus
akan ditransport secara neural secara anterograd melalui kulit yang
mengalami lesi. Atau virus itu akan secara rotrograd ke susunan saraf pusat
dan menyebabkan ensefalitis, yaitu melewati sepanjang saraf akson dan
secara bertahap menuju ke otak. Infeksi virus tersebut akan menyebabkan
proses hemoragik yang menyerang seluruh inferior lobus frontal dan medial
temporal.
Wasay dkk melaporkan keterlibatan lobus temporal dalam 60%
pasien, lima puluh lima persen pasien menunjukkan patologi pada temporal
dan extratemporal, dan 15% dari pasien menunjukkan patologi extratemporal
secara. eksklusif. Keterlibatan basal ganglia, serebelum, dan batang otak
jarang terjadi. Mekanisme yang tepat dari kerusakan sel tidak jelas, tetapi
mungkin melibatkan baik proses langsung yang dimediasi virus dan proses
tidak langsung yang dimediasi proses kekebalan. Kemampuan HSV-1 untuk
menginduksi apoptosis dalam sel saraf, sebuah properti yang tidak dimiliki
oleh HSV-2, mungkin menjelaskan mengapa virus ini menjadi penyebab
hampir semua kasus ensefalitis herpes simpleks pada anak yang lebih tua dan
orang dewasa yang imunokompeten. 4,7,8
Sebuah deskripsi yang jelas dari kerusakan jaringan temporal
diberikan dalam studi otopsi immunohistologic pasien yang meninggal
karena HSE selama periode hari sampai minggu di era sebelum asiklovir:
Kesan dari penyebaran yang cepat infeksi virus dalam struktur limbik,
mungkin dimulai di salah satu sisi otak dan menyebar di dalamnya dan pada
sisi lain, berlangsung sekitar 3 minggu dan meninggalkan di belakangnya
suatu jejak nekrosis yang sangat parah dan radang pada bagian otak yang
terinfeksi. 4,7,8
Infeksi otak diduga terjadi dengan cara transmisi saraf langsung virus
dari situs perifer ke otak melalui saraf trigeminal atau saraf olfaktori. Faktor-
faktor yang memicu HSE tidak diketahui. Prevalensi HSE tidak meningkat
pada immunocompromis, tetapi presentasi mungkin subakut atau atipikal

8
pada pasien ini. HSV-2 dapat menyebabkan HSE pada pasien dengan HIV-
AIDS. 4,7,8
HSE merupakan infeksi HSV primer pada sekitar sepertiga kasus;
kasus sisanya terjadi pada pasien dengan bukti serologis infeksi HSV yang
sudah ada sebelumnya dan karena reaktivasi dari infeksi laten perifer di
bulbus olfactori atau ganglion trigeminal atau reaktivasi dari infeksi laten di
otak itu sendiri. Sejumlah besar individu asimtomatik neurologis mungkin
telah laten HSV pada otak. Dalam sebuah penelitian postmortem, HSV hadir
dalam otak 35% dari pasien dengan tidak ada bukti penyakit neurologis pada
saat kematian.HSE neonatus dapat terjadi sebagai infeksi SSP terisolasi atau
sebagai bagian dari penyakit multiorgan yang menyebar luas. 4,7,8
o Manifestasi klinis8
Demam
Sakit kepala
Gejala psikiatri
Kejang
Muntah
Kelemahan focal
Kehilangan memori
o Penegakan diagnosis5,7,8
- Pemeriksaan fisik:
Temuan khas pada pemeriksaan fisik meliputi penurunan kesadaran,
demam, dysphasia, ataksia, kejang (fokal 28%, umum 10%),
hemiparesis, kelainan saraf kranial, visual loss, papil edema.
- Pemeriksaan lab:
Pada saat akut, "profil virus" yang khas dapat diidentifikasi. Sel darah
merah (sel darah merah) dan xanthochromia dapat dilihat. Pasien
biasanya memiliki pleositosis mononuklear dari 10-500 sel darah putih
(leukosit) / uL (rata-rata, 100 leukosit / uL). Sebagai akibat dari sifat
hemoragik dari proses patologis yang mendasari, jumlah RBC mungkin
meningkat (10-500/μL). Tingkat protein diangkat ke kisaran 60-700
mg / dL (rata-rata, 100 mg / dL). Nilai glukosa mungkin normal atau
sedikit menurun (30-40 mg / dL).
- Pemeriksaan penunjang:
o PCR
Deteksi DNA virus HSV pada LCS menggunakan PCR. PCR sangat
sensitif (94-98%) dan spesifik (98-100%). Hasil menjadi positif
dalam waktu 24 jam dari timbulnya gejala dan tetap positif
setidaknya 5-7 hari setelah dimulainya terapi antivirus. Keparahan

9
klinis dan hasil tampaknya berkorelasi dengan viral load
sebagaimana dinilai dengan teknik PCR kuantitatif. Temuan negatif
palsu dapat terjadi pada awal perjalanan penyakit ketika tingkat
DNA virus yang rendah (dalam waktu 72 jam dari timbulnya gejala)
atau ketika darah hadir dalam CSF, karena hemoglobin dapat
mengganggu PCR. Probabilitas pretest harus dipertimbangkan
dalam interpretasi hasil. Sebuah hasil negatif yang diperoleh kurang
dari 72 jam setelah timbulnya gejala pada pasien dengan
probabilitas pretest tinggi (berdasarkan demam, kelainan neurologis
fokal, atau pleositosis CSF) pemeriksaan harus diulang. Hasil positif
palsu sangat langka dan biasanya mencerminkan kontaminasi
spesimen di laboratorium.
o Biopsi otak
Biopsi otak pernah dianggap satu-satunya alat mendiagnosa HSE
definitif. Hasil biopsi otak juga dapat menetapkan diagnosis
alternatif, baik yang dapat diobati (misalnya, tumor otak) dan
nontreatable (misalnya, non-HSV ensefalitis virus). Saat ini, dengan
munculnya teknologi PCR, peran biopsi otak berkurang.
o Imaging
MRI cranial lebih baik disbanding CT scan untuk deteksi awal
tanda-tanda nekrosis pada ensefalitis, yang dapat terdeteksi dalam
48 jam pertema
o Penatalaksanaan8
- Pengobatan edema otak
Deksametason (0,5 mg/Kg BB/ 24 jam) diberikan intramuskular.
Setengahnya diberikan dalam bentuk injeksi bolus sebagai dosis
inisial. Jika terdapat perabaikan, dosis ini sebaiknya diturunkan
secara berangsur-angsur.
Manitol 20% (0,5-1 g/kg BB) diberikan intravena selama 30-60
menit. Kemudian pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam. Atau
dapat diberikan Gliserol (0,5-1,0 ml/Kg BB) melalui pipa
nasogastrik. Zat ini dapat diberikan setiap 6 jam dalam jangka waktu
yang lama. Kedua bahan ini dapat menurunkan tekanan intrakranial.
- Asiklovir adalah obat pilihan untuk HSE. Ketika diagnosis HSE
dicurigai atau telah ditegakkan, asiklovir (biasanya 30 mg / kg / hr
intravena [IV] pada orang dewasa) harus dimulai segera. Melalui

10
serangkaian reaksi in vivo yang dikatalisis oleh sel virus dan enzim dari
host, asiklovir diubah menjadi asiklovir trifosfat, inhibitor poten HSV
DNA polimerase, yang tanpa ini replikasi virus tidak dapat terjadi. Sel-
sel manusia tidak terpengaruh. Acyclovir memiliki relatif sedikit efek
samping yang serius. Karena pH yang tinggi, asiklovir IV dapat
menyebabkan flebitis dan peradangan lokal jika terjadi ekstravasasi.
Gangguan Gastrointestinal (GI), sakit kepala, dan ruam adalah salah satu
reaksi merugikan lebih sering muncul.
Obat diekskresikan oleh ginjal, dan dosis harus dikurangi pada pasien
dengan disfungsi ginjal. Kristal-nefropati dapat terjadi jika kelarutan
maksimum obat bebas terlampaui. Faktor risiko untuk hal ini adalah
pemberian IV, infus yang cepat, dehidrasi, penggunaan bersamaan obat-
obat nefrotoksik, penyakit ginjal, dan dosis tinggi. Risiko toksisitas
ginjal berkurang dengan hidrasi pasien cukup (misalnya, 1 mL / hr cairan
untuk setiap 1 mg / hr asiklovir). Karena relaps paling banyak terjadi
dalam waktu 3 bulan pemberian awal asiklovir IV, maka pengobatan
lanjutan dengan antivirus oral (misalnya, valacyclovir) telah disarankan
setelah pengobatan awal. Jika terapi jangka panjang diperlukan, asiklovir
atau famsiklovir dapat digunakan secara oral.
- Peran steroid dalam pengobatan HSE masih belum jelas. Kerusakan
seluler pada HSE adalah hasil dari kekebalan yang memediasii proses
peradangan yang dipicu oleh infeksi virus, sehingga efek anti-inflamasi
steroid mungkin bermanfaat. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa
steroid dapat menekan respon imun dari host yang diperlukan untuk
membatasi replikasi virus. Penelitian pada hewan telah menunjukkan
efek menguntungkan dari steroid tanpa bukti replikasi virus meningkat
atau penyebaran. Steroid telah digunakan untuk mengurangi edema
serebral pada pasien dengan HSE berat.

Infeksi HIV pada otak


Demensia terkait HIV secara langsung disebabkan oleh infeksi HIV pada
otak. Pasien mungkin mengalami kegelisahan, depresi, paranoid, demensia,
delirium, kebingungan, halusinasi, perilaku yang tidak normal, malaise dan mania
akut. HIV cenderung menyerang daerah subkortikal pada system saraf pusat. HIV

11
memasuki sistem saraf pusat dengan bermigrasi dari limfosit yang terinfeksi
dalam sirkulasi lalu masuk menembus sawar darah otak, lalu menetap di
mikroglia dan makrofag perivaskular. HIV tampaknya berpenetrasi ke dalam
sistem saraf pusat setelah terjadi infeksi sistemik perifer. Di dalam
makrofag/monosit dan sel mikroglia, HIV melakukan infeksi yang produktif dan
hal tersebut merupakan suatu cara penyebaran virus di dalam sistem saraf pusat,
tetapi di dalam sel lain seperti astrosit, HIV hanya menetap tidak melakukan
infeksi produktif. Dengan mengaktivasi atau menginfeksi mikroglia, makrofag
dan astrosit, HIV menginduksi aktivasi mediator inflamasi, sitokin, reseptor
kemokin,, enzim degradatif maktriks ekstraseluler dan autotoksisitas yang
dimediasi oleh reseptor glutamat, terlebih lagi protein HIV yang terdiri atas
glikoprotein 160 yang memiliki efek neurotoksik. Semua faktor di atas dapat
mengganggu fungsi glial dan saraf, dan dapat berperan dalam mencetuskan
neurodegenerasi dan kematian neuron, dimana akan terjadi modifikasi struktur
sinaptik di area yang terkena. 13
Manifestasi psikiatri dari infeksi HIV
1. Depresi
Manifestasi psikiatri tersering. Gangguan depresi berat lebih banyak
ditemukan pada pasien dengan HIV dibanding dengan populasi normal.
Dimana hal ini disebabkan oleh efek langsung HIV di SSP, reaksi
terhadap stigma dan konsekuensi emosi atau akibat ketiganya.
2. Sindrom cemas dan gangguan stress paska trauma
3. Mania

JAPANESE ENCEPHALITIS
o Definisi
Japanese encephalitis (JE) adalah penyakit yang menyerang susunan
saraf pusat (otak, medulla spinalis dan meningens) yang disebabkan oleh
Japanese Encephalitis Virus yang ditularkan dari binatang melalui gigitan
nyamuk (arthropod borne viral disease).14
o Etiologi
Penyebab dari JE adalah Japanesse Encephalitis Virus yang termasuk
ke dalam Arbovirus tipe B, genus Flavivirus dann family Flaviviridae. Virus
ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Culex yang terinfeksi.
Nyamuk ini lebih suka menggigit di luar ruangan dan sangat aktid pada
malam hari. Nyamuk aedes juga dilaporkan terlibat dalam infeksi virus JE.
14.15

12
Babi dan burung air (misalnya bangau) merupakan sel inang yag
menjadikan virus ini menjadi persisten, high grade viremia, dan mereka
merupakan host vertebrata utama untuk virus japanes encephalitis. 14
o Patofisiologi14
Setelah nyamuk yang terinfeksi JEV menggigit manusia, virus awalnya
menyebar di tempat gigitan dan di kelenjar getah bening regional. Dua
karakteristik selular sangat penting untuk patogenesis: (1) M protein, yang
berisi domain hidrofobik yang membantu untuk virus masuk ke sel inang,
dan (2) protein E, yang merupakan fitur imunogenik pokok dan yang
diekspresikan pada membran sel yang terinfeksi. Protein E memediasi fusi
membran amplop virus dan membran sel, mempromosikan virus masuk ke
dalam sel inang. Siklus virus ensefalitis replikasi Jepang termasuk interaksi
reseptor sel inang awal virus diikuti oleh endositosis reseptor-mediated, fusi
membran sel virus dan tuan rumah, rilis sitoplasma berikutnya dari genom
virus, dan beberapa transkripsi dan pretranslation lainnya langkah.
Pematangan partikel virus terjadi di kompleks Golgi, diikuti oleh rilis akhir
dari virus.
Selanjutnya, viremia berkembang, menyebabkan perubahan inflamasi
pada jantung, paru-paru, hati, dan sistem retikuloendotelial. Sebagian besar
infeksi dibersihkan sebelum virus dapat menyerang SSP, yang mengarah ke
penyakit subklinis, bentuk subklinis akan sembuh dalam beberapa hari jika
SSP tidak terlibat. Dalam kasus tersebut, infeksi mungkin tidak menunjukkan
gejala dan karena itu, infeksi ini tidak terdeteksi. Namun, mengingat karakter
neurotropik virus Japanese Encephalitis, invasi neurologis dapat terjadi
melalui pertumbuhan virus di sel endotel vaskular, yang mengarah ke
keterlibatan otak, termasuk thalamus, ganglia basal, batang otak, otak kecil
(terutama penghancuran sel-sel Purkinje cerebellum), hippocampus, dan
korteks serebral.
Secara keseluruhan, virus Japanese Encephalitis diyakini
mengakibatkan peningkatan patologi SSP karena efek neurotoksik langsung
di sel-sel otak dan kemampuan untuk mencegah perkembangan sel-sel baru
dari sel induk / progenitor saraf (NPC). virus Japanese Encephalitis
kemungkinan merupakan patogen virus pertama yang ditransmisikan oleh
nyamuk yang mempengaruhi sel-sel induk saraf. Sel-sel ini dapat memiliki
peran penting dalam pemulihan cedera; akibatnya, Japanese ensefalitis

13
menyebabkan gangguan pertumbuhan sel induk saraf mungkin sangat
penting untuk morbiditas lebih lanjut dan kematian.
Berdasarkan studi, selain neuron, sel-sel SSP lainnya seperti astrosit
dan sel mikroglia juga dapat berfungsi sebagai reservoir untuk replikasi
virus, sehingga potensi kerusakan pada sawar darah otak.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa matriks metaloproteinase dan
inhibitor metalloproteinase mungkin memainkan peran dalam patogenesis
selama ensefalitis viral oleh modulasi penghalang darah-otak dan
mempengaruhi masuknya sel-sel kekebalan ke dalam SSP. Sebuah studi 2016
menemukan bahwa matriks metalloproteinase naik-diatur pada tikus yang
terinfeksi dengan virus ensefalitis Jepang, dan inhibitor metalloproteinase
yang turun-diatur pada tikus yang terinfeksi
o Manifestasi klinis
Masa inkubasi Japanese Encephalitis adalah 4 14 hari. Perjakabab
pebyakit JE terbagi menjadi 3 stadium: 14
1. Stadium prodromal
Stadium prodromal berlangsung sejak timbulnya keluhan sampai
timbul gejala terserangnya SSP yaitu sekitar 2 4 hari. Gejala pada
stadium ini adalah berupa demam yang tidak mudah turun dengan
pemberian antipiretik, nyeri kepala hebat yang tidak dapat hilang
dengan pemberian analgetik, menggigil, anoreksi, malaise, batuk,
pilek, mual, muntah dan nyeri epigastrium.
2. Stadium akut
Gejala yang muncul pada stadium akut adalah gejala peningkatan
tekanan intracranial yaitu nyeri kepala, mual, muntah, kejang dan
penurunan kesadaran. Terdapat gejala iritasi meningens yang
ditandai dengan adanya kaku kuduk 1-3 hari setelah sakit. Selain
itu juga terdapat manifestasi klinis berupa demam yang tinggi, kaku
otot atau dapat jua terjadi kelemahan otot, penurunan berat badan
dan gejala-gejala neurologis.
3. Stadium konvalesens
Stadium ini dimulai saat menghilangnya inflamasi. Pada stadium
ini gejala neurologi cenderung membaik. Pada penyakit JE yang
berlangsung lama, akan meninggalkan gejala sisa seperti gangguan
mental (emosi tidak stabil), paralisis upper atau lower motor
neuron, afasia dan psikosis organik
o Penegakan diagnosis

14
Anamnesis
- Tinggal di daerah endemis JE
- Demam tinggi sulit turun dengan antipiretik
- Nyeri kepala hebat yang tidak dapat hilang dengan analgetik
- Kejang
Gejala klinis yang mendukung diagnosis JE :
- Keluhan dini berupa demam, sakit kepala, mual, muntah, lemas,
kesadaran menurun, dan gerakan abnormal (tremor hingga kejang).
- Gejala yang timbul 3-5 hari kemudian berupa kekakuan otot, koma,
pernapasan yang abnormal, dehidrasi, dan penurunan berat badan.
- Gejala lain yang menyertai : refleks tendon meningkat, paresis,
suara pelan dan parau.
Pemeriksaan lab
- LED meningkat
- Leukositosis ringan 13.000/ml
- Pemeriksaan serologic Immune Adherence Hemaglutination
(IAHA)
Serum dari stadium akut dan konvalesens
Positif peningkatan titer antibody 4x atau lebih
Lumbal punksi
- LCS
- Pleositosis 20-5000/ml neutrophil dan limfosit limfosit
dominan
- Glukosa normal atau meningkat
- Kadar protein 50 100 mg/dl
MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan dalam mendeteksi kelainan
otak karea JE
CYTOMEGALOVIRUS
Cytomegalovirus merupakan contoh infeksi lain yang berhubungan dengan
gangguan mental spesifik seperti skizofrenia. CMV terjadi di seluruh dunia dan
menyebar melalui kontak fisik, seperti air liur, darah, urin, sekresi genital dan ASI.
CMV dengan mudah menyebar pada daerah dengan higienitas yang buruk.
Dua manifestasi klinik tersering dari infeksi CMV adalah infeksi kongenital
dan infeksi sistemik. Infeksi kongenital dapat menyebabkan retardasi mental, tuli,
gangguan penglihatan dan gangguan lain pada bayi baru lahir. Setelah terinfeksi
oleh CMV, maka indivisu tersebut akan selamanya memiliki CMV yang dorman
atau laten dalam tubuhnya, meskipun dapat terinfeksi kedua kali oleh strain CMV
yang berbeda. Adanya supresi dari sistem imun seperti pada transplantasi atau
infeksi HIV, dapat mengaktifkan kembali CMV yang dapat menyebabkan

15
terjadinya beberapa konsekuensi seperti ensefalitis, pneumonia, hepatitis, dan lain
sebagainya.
Pada individu yang imunokompeten, sebagian besar infeksi CMV tidak
menimbukan gejala, kalaupun simtomatik maka gejala yang terjadi berupa
demam, pembesaran kelenjar getah bening. Neupatologi CMV diketahui semiliki
afinitas terhadap sistem limbik, dan menyebabkan sel glia memproduksi sitokin
dan kemokin. Tetapi masih belum diketahui apakah efek virus ini secara langsung
maupun tidak langsung melalui peran sistem imun. Pada percobaan hewan
menunjukkan bahwa infeksi CMV dapat menyebabkan celah sensorimotor
terhadap stimulasi dopamin.16

DAFTAR PUSTAKA

1. Cummings JL, Miller BL . The human Frontal Lobe ; function and disorder
1st ed. New York : The Guilford Press : 1999.
2. Cummings JL, Vinters H, Felix J. The neuropsychiatry of Alzheimer disease
and related dementia .1st ed. United Kingdom : Martin Dunitz Press: 2003 p
217-20
3. Waxman SG. Correlative neuroanatomy.23 ed.New York: Lange Med. Publ:
1996 p.195-200

4. Pritz et al, 2010. Herpes Simplex Ensefalitis dalam Presentasi Darurat Clinical
Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/342150-
overview

5. Anderson WE, 2011. Herpes Simplex Encephalitis. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/1165183-overview#showall

16
6. Kaneshiro NK, 2010. Encephalitis. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002388/

7. Lazoff M, 2011. Encephalitis. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/791896-overview#showall

8. Health-disease, 2006. Encephalitis - Causes, Symptoms and Treatment.


Available from: http://www.health-diseases.org/diseases/encephalitis.htm

9. Vevid, JS, 2005, Psikologi Abnormal jilid II. Jakarta.

10. Liza, 2007, Otak manusia, neurotransmitter, dan stress. Available from:
https://adiwarsito.files.wordpress.com/2010/03/6224830-otak-manusia-
neurotransmiter-dan-stress-by-dr-liza-pasca-sarjana-stain-cirebon.pdf

11. Pearce, EC, Anatomi dan fisiologi untuk paramedic. Jakarta.

12. Guyton, AC, Hall, JE, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta.

13. National Institute of Neurogical Disorders and Stroke, 2007, Komplikasi Saraf
Terkait AIDS. Available from: http://spiritia.or.id/cst/bacacst.php?artno=1089

14. Clomaco, AB, 2016, Japanese Encephalitis. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/233802-overview#showall

15. Sendow, I, Bahri, S, 2005, Perkembangan Japanese encephalitis di Indonesia,


Bogor.

16. Yolken, Torrey. 2008. Are some cases of psychosis caused by microbial agent?
A review of the evidence. Molecular Psychiatri ; 13 ; 470-479, USA

17

Anda mungkin juga menyukai