Anda di halaman 1dari 13

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Lamun


Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada
kedalaman berkisar antara 2 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua
tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai
berbatu, namun pada umumnya padang lamun yang luas sering ditemukan di
substrat berpasir tebal dengan sedikit lumpur antara dua komunitas yaitu
mangrove dan terumbu karang (Mckenzie 2009).
Komponen dasar morfologi tumbuhan lamun terdiri dari rhizoma, daun,
akar, bunga dan buah (Gambar 2).

Sumber : Mckenzie (2009)


Gambar 2. Morfologi Lamun

Secara lengkap klasifikasi jenis lamun yang terdapat di perairan pantai


Indonesia (Gembong 2004) adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Anak Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
6

Bangsa : Helobiae
Suku : Jenis
Hydrocharitaceae : Enhalus acoroides
Halophila ovalis
H. decipiens
H. Minor
H. spinulosa
H. Thallasia hemprichii
Cymodoceaceae : Cymodocea rotundata
C. serrulata
Halodule pinifolia
H. uninervis
Syringodium isoetifolium
Thalassodendron ciliatum

2.2 Karakteristik tumbuhan lamun


Berdasarkan komposisi jenisnya pertumbuhan Padang lamun dapat
berbentuk vegetasi tunggal, tersusun atas satu jenis lamun yang tumbuh dapat
membentuk padang lebat, sedangkan vegetasi campuran terdiri dari 2 sampai 12
jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat. Spesies lamun yang
biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah Thallasia hemprichii, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan
Thalassodendrom ciliatum (Mckenzie et al. 2009).

2.3 Habitat dan Distribusi Lamun


Padang lamun di wilayah tropis memiliki tingkat variasi yang cukup tinggi
dan hidup di perairan dangkal, dengan substrat halus di sepanjang pantai dan
estuari. Spesies lamun di tropis banyak ditemukan di perairan dengan kedalaman
kurang dari 10 meter, hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, yaitu
pada substrat yang berlumpur sampai berbatu.
Di perairan Indonesia padang lamun adalah ekosistem yang umum terdapat
dan tumbuh di daerah pasang surut pulau pulau utama dan pulau pulau karang.
7

Daerah yang paling penting bagi lamun adalah mintakat pasang-surut bawah dan
mintakat subtidal atas, dimana suatu vegetasi yang kompleks dapat terbentuk dari
7-8 jenis yang tumbuh bersama sama (Hutomo et al. 1993)
Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di perairan pesisir Indonesia dapat
dikelompokan menurut :
a) Genangan air dan kedalaman (daerah dangkal yang selalu terbuka saat air
surut, daerah dengan kedalaman sedang atau di daerah pasang surut dan
daerah yang dalam dan selalu tergenang air)
b) Kecerahan air tempat tumbuhnya (air yang jernih, keruh dan sangat keruh)
c) Komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokan atas
vegetasi tunggal dan vegetasi campuran.
d) Karakteristik tipe substratnya padang lamun yang tumbuh di perairan
Indonesia dapat dikelompokan menjadi 6 kategori, yaitu : lumpur, lumpur
berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karag, dan batu karang.
e) Asosiasinya dengan ekosistem lain (terumbu karang, mangrove)
Berdasarkan karakteristik habitat dan sebaran lamun maka dapat
dikelompokan jenis lamun yang kosmopolitan (dapat tumbuh di hampir semua
kategori habitat), moderat (tumbuh pada kategori habitat antara 50-75%), dan
jenis lamun yang terbatas sebarannya (tumbuh pada kategori habitat<50%)
(Kiswara 1997)

2.4 Fungsi dan Manfaat Padang Lamun


Padang lamun yang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir
memiliki keanekaragaman-hayati yang kaya dan merupakan penyumbang nutrisi
yang sangat potensial bagi perairan disekitarnya mengingat produktivitasnya yang
tinggi.
Padang lamun merupakan habitat yang memegang peranan penting dalam
siklus kehidupan berbagai organisme. Biota yang hidup di padang lamun seperti
crustacea (seperti udang) dan ikan-ikan kecil yang merupakan kumpulan dari
larva dan juvenile, mengindikasikan bahwa padang lamun merupakan habitat
untuk perkembangan larva dan juvenile (Borum et al. 2004).
8

Perannya sebagai pelindung pantai, daerah asuhan bagi ikan, teripang,


kuda laut dan udang, stabilisator dan penangkap sedimen sangat penting bagi
ekosistem lainnya seperti ekosistem terumbu karang dan mangrove. Daun lamun
yang lepas akan mengendap di perairan sekitarnya dan dihanyutkan ke ekosistem
atau perairan lainnya, daun lamun yang mengendap akan didekomposisi oleh
bakteri dan biota bentik pemakan serasah.
Produktivitas primer padang lamun rata-rata cukup tinggi, hal ini
berhubungan dengan produktivitas rata-rata yang berasosiasi dengan perikanan di
sekitar padang lamun. Tumbuhan lamun mendukung rantai makanan kehidupan
sejumlah herbivora dan detrifora (Mckenzie 2009).
Biomassa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu
satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang
sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m(gbk/m), sedangkan
produksi lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa lamun dalam selang
waktu tertentu (Zieman dan Wetzel, 1980 dalam Supriadi, 2003). Besarnya
biomassa lamun bukan hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan tetapi juga
merupakan fungsi dari kerapatan (Fortes 1990).

2.5 Parameter Kualitas Perairan


Parameter yang berperan penting bagi pertumbuhan lamun antara lain
adalah salinitas, kedalaman, gelombang, arus, substrat dasar (McKenzie 2009).
Menurut Hemminga dan Duarte (2000), faktor yang paling mempengaruhi hidup
lamun adalah genangan air laut, substrat dan cahaya. Sebagian besar lamun
tumbuh dalam substrat pasir dan lumpur, bahkan pada bebatuan. Perbedaan tipe
substrat ini berkaitan dengan penetrasi akar lamun.
2.5.1 Suhu
Secara geografis padang lamun dapat tersebar secara luas, hal ini
mengindikasikan bahwa adanya kisaran toleransi yang luas terhadap suhu, tetapi
pada kenyataanya jenis lamun di daerah tropis mempunyai toleransi yang rendah
terhadap perubahan suhu. Bagi lamun suhu dapat mempengaruhi proses proses
fisiologis seperti fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi.
Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap
9

kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan


unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Marsh et al. (1986) melaporkan bahwa
pada kisaran suhu 25-30 C fotosintesis bersih akan meningkat dengan
meningkatnya suhu.
2.5.2 Salinitas
Jenis lamun memiliki toleransi yang berbeda terhadap salinitas, tetapi
sebagian besar memiliki kisaran yang lebar. Penurunan salinitas akan
menyebabkan laju fotosintesis dan pertumbuhan lamun menurun dan dapat
berpengaruh terhadap proses perkecambahan dan pembentukan bunga (McRoy &
McMilan 1977).
2.5.3 Sedimen dasar
Padang lamun umumnya dapat hidup pada berbagai tipe sedimen, mulai
dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus, namun
mereka membutuhkan dasar yang lunak agar mudah ditembus oleh akar-akar dan
rhizomanya untuk menyokong tumbuhan. Kesesuaian substrat yang paling utama
bagi perkembangan dan pertumbuhan lamun ditandai dengan kandungan sedimen
yang cukup. Semakin tipis substrat perairan akan menyebabkan lamun tidak
stabil, sebaliknya semakin tebal substrat lamun akan tumbuh dengan subur
(Berwick 1983 diacu dalam Paskalina 2008)
2.5.4 Kecerahan dan Kekeruhan
Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun
karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk
berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya
partikel partikel tersuspensi, baik oleh partikel partikel hidup seperti plankton
maupun partikel partikel mati seperti bahan bahan organik, sedimen dan
sebagainya sedangkan kecerahan perairan ditunjukan dengan kemampuan cahaya
menembus lapisan air sampai pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami,
kecerahan sangat penting karena erat kaitanya dengan proses fotosintesis.
Distribusi dan kelimpahan lamun juga dibatasi oleh ketersediaan cahaya, hal ini
dapat dilihat dari sebaran yang terbatas pada daerah yang masih dapat ditembusi
cahaya matahari.
10

2.6 Pemantauan lamun


Pemantauan lamun merupakan salah satu cara untuk mengontrol
keberadaan dan mengetahui status kondisi lamun. Pengamatan awal mengenai
perubahan kondisi lamun membantu dalam pengelolaan wilayah pesisir karena
keterkaitanya dengan kondisi ekosistem lainya seperti mangrove dan terumbu
karang (MzKenzie 2009).
Metode pemantauan lamun dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu :
berdasarkan observasi langsung dan metode tidak langsung melalui peralatan
penginderaan jauh. Berdasarkan instrumen yang digunakan, metode tidak
langsung dikelompokan menjadi penginderaan jauh optik dan penginderaan jauh
akustik.
Salah satu teknologi akustik yang dikembangkan untuk pemetaan vegetasi
bawah air adalah menggunakan narrow split beam sonar yang telah digunakan
untuk pemetaan topografi dasar perairan laut dangkal. Metode ini mampu
menampilkan gambaran secara horizontal dasar perairan sebaik menampilkan
topografi vertikal sehingga mampu menentukan densitas vegetasi berdasarkan
distribusi vertikal dan horizontal (Komatsu et al. 2003).

2.7 Metode hidroakustik


Prinsip dari pengoperasian alat akustik adalah dengan gelombang suara
yang ditransmisikan ke kolom perairan dalam bentuk pulsa yang jika mengenai
target maka target tersebut akan memantulkan sebagian pulsa yang diterimanya.
Prinsip dari pengoperasian instrumen hidroakustik (Gambar 3) adalah
sebagai berikut : dimulai dari timer yang berfungsi sebagai penanda pulsa listrik
untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter
melalui transducer.
11

Gambar 3. Prinsip hidroakustik (MacLennan and Simmonds, 2005)

Transducer berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika


suara akan dipancarkan ke medium. Gelombang akustik yang merambat di kolom
perairan akan mengenai target seperti ikan atau dasar perairan dimana gelombang
akustik ini akan dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan diterima oleh
transducer dan mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan ke receiver
amplifier yang berfungsi untuk menguatkan sinyal listrik sebelum diteruskan ke
unit peraga untuk ditampilkan dalam bentuk echogram (MacLennan dan
Simmonds, 2005).
Pengamatan terhadap suatu objek menggunakan metode akustik harus
memperhatikan nilai SNR (signal to noise ratio) yang diperoleh. Suatu objek
dapat terdeteksi jika nilai SNR yang didapat bernilai positfif, dimana :

SNR = EL-N ...(1)

dengan EL dan N masing-masing adalah total sinyal yang kembali (echo) dan
noise yang diperoleh, dalam satuan dB re 1 Pa. Echo merupakan sinyal pantulan
yang didapat dari target yang diharapkan, sedangkan noise merupakan gangguan
yang berasal dari berbagai faktor; termasuk ambient noise, gangguan yang berasal
dari lingkungan; self noise, gangguan yang berasal dari instrument itu sendiri;
serta reverberasi atau pantulan pulsa suara yang berasal dari objek yang tidak
12

diharapkan. Besarnya echo dituliskan dalam bentuk desibel (dB) merupakan


fungsi dari :
EL=SL+SV-2TL .....(2)

dimana SV adalah nilai volume backscattering dari target yang diharapkan dan SL
merupakan source level atau intensitas suara yang dihasilkan oleh echosounder,
dengan satuan dB re 1Pa pada 1 m. Nilai 2TL didapat dari dua arah transmission
loss, dari echosounder ke target dan target ke echosounder yang besarnya
dinyatakan dalam decibel (Urick 1983) .
Nilai backscattering strength tergantung dari sifat pantulan dari dasar laut
dan luas dari dasar yang memantulkan kembali sinyal yang telah dihamburbalikan
pada tiap waktu. oleh karena itu untuk mendefenisikan koefisien backscattering
dasar (bs) dalam dB/m, sebagai besaran nilai pantulan dasar.

...(3)

Beberapa parameter yang digunakan untuk menghitung luas area hambur


balik akustik adalah kecepata suara (c), panjang pulsa, lebar beam transmit ()
dan lebar beam penerima
Data hambur balik adalah pantulan kembali ke arah gelombang ketika
ditransmisikan. Analisa amplitudo dari gelombang suara yang kembali
memungkinkan untuk mengekstrak informasi mengenai struktur dan kekerasan
dari target, selanjutnya digunakan untuk identifikasi target di perairan. Sifat dari
pantulan dasar bergantung dari kekerasan dan kekasaran dari permukaan dasar
laut. Secara sederhana dapat disimpulkan sinyal kuat yang kembali menunjukan
permukaan yang keras seperti rock dan gravel dan sinyal yang lemah menunjukan
permukaan yang lebih halus seperti silts dan clay (Medina et al. 2010)
13

(Sumber : Medina 2010)


Gambar 4. Sudut koordinat pada proses scattering dan reflection

Persamaan yang terbaik untuk menggambarkan nilai target strength


bergantung dari sudut datang (incident angle) dan bergantung pada beam
geometri. Secara umum sudut datang yang lebih kecil akan memberikan hambur
balik yang lebih kuat dibanding sinyal dari sudut datang yang lebih besar.
..................(4)

2.8 Akustik untuk vegetasi bawah air


Akustik bawah air pada dasarnya merupakan karakteristik suara di air.
Suara yang dipancarkan di dalam air adalah gelombang akustik yang memiliki
komponen dasar yaitu amplitudo, frekuensi, panjang gelombang dan gelombang
suara terhadap waktu.
Sifat fisik air laut sepertis suhu dan salinitas dipengaruhi oleh perubahan
kedalaman, sehingga densitasnya pun mengalami perubahan dengan semakin
tinggi kedalamanya maka semakin besar densitasnya, sehingga selama penjalaran
gelombang akustik selama melintasi lapisan lapisan air laut mengalami
pemantulan dan pembiasan (Mazel 1985)
Dalam perambatan akustik terjadi transmission loss akibat adanya
absorpsi dari medium dan adanya kehilangan akibat penyebaran di dalam medium
air. Perjalanan gelombang akustik sesaat setelah ditembakan oleh transmitter akan
mengalami proses absorpsi. Absorpsi pada kolom perairan terjadi akibat energi
dari gelombang akustik dirubah menjadi energi panas (Urick 1983).
14

Saat suara merambat juga terjadi penyebaran energi suara mengikuti


prinsip spherical spreading. Energi dari sumber suara akan tersebar pada medium
perambatan dimana intensitas suara setelah merambat akan berkurang seiring
bertambahnya jarak dari sumber suara, yaitu dengan mengikuti persamaan :
.. .(6)
Jika r1 adalah jarak satu meter, maka transmission loss pada jarak r2
adalah :
...(7)

(Sumber : Urick 1983)


Gambar 5. Proses spherical dan cylindrical spreading pada perambatan
suara di dalam air laut.

Pelemahan sinyal akustik disebabkan oleh penyerapan energi akustik oleh


media air. Pelemahan ini biasa dinyatakan dalam decibel per meter (dB/m).
Besarnya pelemahan karena penyerapan media air sangat tergantung dari
frekuensi gelombang dan tingkat salinitas media air.
Menurut Kloser et al. (2001) yang diacu dalam Siwabessy (2001), refleksi
sinyal akustik dipengaruhi oleh :
15

a) impedansi akustik pada medium permukaan air laut maupun pada


permukaan dasar perairan,
b) parameter akustik pada instrumen,
c) arah refleksi pada kolom air dan permukaan dasar perairan akibat
kekasaran dasar perairan,
d) respon dari scattering yang berasal dari second acoustic bottom pada
permukaan air, gelembung dalam kolom air dan kapal,
e) gaung (noise) yang disebabkan instrumen akustik,
f) absorpsi akustik air laut, dan
g) waktu tunda (time delay) yang kembali akibat spherical spreading terhadap
perubahan kedalaman atau jarak perambatan.
Informasi mengenai tipe dasar sedimen dan vegetasi perairan secara umum
dapat digambarkan pada sinyal echo dimana sinyal ini dapat disimpan dan
diperoleh secara bersamaan dengan menggunakan data GPS.
Sinyal echo ini dapat diuraikan sehingga informasi mengenai dasar perairan
dapat diproyeksikan dalam bentuk digital. Nilai dari sinyal echo selain tergantung
dari tipe dasar perairan khususnya kekasaran dan kekerasan tetapi tergantung juga
dari parameter alat misalnya frekuensi dan tranduser beamwidth (Burczynski
2002).
Menurut Sabol (2001), prinsip utama pelaksanaan survei batimetri dengan
akustik adalah mendeteksi dan melihat perbedaan waktu gema (echo) dari
orientasi vertikal pulsa. Proses deteksi pulsa sangat beragam dari masing masing
sistem, namun pada dasarnya tergantung dari intensitas minimum pembatas
(threshold) dan lebar puncak (peak width).

2.9 Hambur balik akustik pada vegetasi


Sinyal hambur balik yang berasal dari hamparan dasar perairan yang tanpa
vegetasi dan sinyal hamburan yang berasal dari vegetasi memliki pola yang
berbeda. Gema yang berasal dari area yang memiliki vegetasi memperlihatkan
lebar pulsa yang lebih lebar
16

Sumber : Stevens (2008)


Gambar 6. Contoh nilai backscatter pada ping 450 tanpa vegetasi

Sumber : Stevens (2008)


Gambar 7. Contoh nilai backscatter pada ping 330 dengan vegetasi

2.10 Instrumen Split Beam Echosounder


Instrumen split beam echosounder bekerja dengan memancarkan gelombang
suara (ping) dan merekam pantulan balik dalam bentuk echo. Nilai backscatter
(echo intensity) merupakan hasil perekaman dalam interval waktu, jarak antara
transduser dan objek dalam kolom perairan di tentukan oleh nilai kecepatan suara
dalam perairan. Transmitter mengirim daya akustik ke semua bagian transduser
pada waktu yang bersamaan.
17

Sinyal yang terpantul dari target di terima secara terpisah oleh masing-masing
kuadran. Selama penerimaan berlangsung keempat bagian transduser menerima
gema dan target, dimana target yang terdeteksi oleh transduser terletak pada pusat
dari sumbu sorot dan gema dari target akan dikembalikan dan diterima oleh
keempat bagian pada waktu yang bersamaan, tetapi jika target yang terdeteksi
tidak terletak tepat pada sumbu pusat surat suara, maka gema yang kembali akan
diterima lebih dulu oleh bagian transduser yang paling dekat dari target atau
dengan mengisolasi target dengan menggunakan output dari sorot penuh (full
beam) (SIMRAD 1993).
Echosounder split beam modern memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG)
didalam sistim perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk
mengeliminir pengaruh attenuation yang disebabkan baik oleh geometrical
spreading dan absorbsi suara ketika merambat dalam air. Koreksi TVG memiliki
dua modus, yaitu modus linear (20 log r) dan modus eksponensial (40 log r).
Modus linear memberikan keakuratan yang lebih baik pada pengukuran target
berkelompok, termasuk dasar perairan, sedangkan modus eksponensial digunakan
untuk mendeteksi target tunggal di kolom perairan (Biosonics 2004).

Anda mungkin juga menyukai