TINJAUAN PUSTAKA
Kanker payudara adalah karsinoma yang berasal dari epitel duktus atau lobulus payudara
(Suyatno & Pasaribu, 2014). Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal
diubah oleh mutasi genetik dari DNA seluler. Sel abnormal ini membentuk klon dan mulai
berpoliferasi secara abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan dalam lingkungan
sekitar sel tersebut (Smeltzer & Bare, 2002). Kanker payudara merupakan tumor malignan yang
muncul di dalam sel pada payudara. Tumor malignan adalah sekelompok sel-sel kanker yang
tumbuh di dalam (terinvasi) di seluruh jaringan atau menyebar (metastasis) di beberapa area pada
tubuh (American Cancer Society, 2015).
Penyebab kanker payudara secara pasti belum diketahui. Penyakit ini adalah penyakit heterogen
yang kemungkinan besar berkembang sebagai hasil dari banyak faktor (Newton et. al., 2009).
Faktor risiko kanker payudara adalah:
a. Jenis kelamin wanita. Insiden kanker payudara pada wanita dibanding pria lebih dari 100:1.
Secara umum 1 dari 9 wanita Amerika akan menderita kanker payudara sepanjang hidupnya.
b. Usia menurut National Cancer Institutes Surveillance Epidemiology and End Result
Program, insiden kanker payudara meningkat cepat selama dekade keempat kehidupan.
Setelah menopause insiden terus meningkat tapi lebih lambat, puncak insiden pada dekade
kelima dan keenam dan level terendah pada dekade keenam dan ketujuh. Satu dari 8
penderita kanker payudara berusia kurang dari 45 tahun dan berkisar 2/3 penderita kanker
payudara berusia lebih dari 55 tahun.
c. Riwayat keluarga: pasien dengan riwayat keluarga tingkat pertama (ibu dan saudara
kandung) mempunyai resiko 4-6 kali dibanding wanita yang tidak mempunyai faktor risiko
ini. Pasien dengan keluarga tingkat pertama pre menopause menderita bilateral breast
cancer, mempunyai risiko 9 kali. Pasien dengan keluarga tingkat pertama post menopause
menderita bilateral breast cancer mempunyai risiko 4-5,4 kali.
d. Usia melahirkan anak pertama, jika usia 30 atau lebih risiko 2 kali dibanding wanita yang
melahirkan usia kurang dari 20 tahun.
e. Riwayat menderita kanker payudara, juga merupakan faktor risiko untuk payudara
kontralateral. Risiko ini meningkat pada wanita usia muda.
f. Predisposisi genetikal. Risiko ini berjumlah kurang dari 10% kanker payudara.
2.1.3 Tanda dan Gejala
a. Ditemukannya benjolan pada payudara yang tidak hilang dan permanen biasanaya tidak
sakit dan terasa keras bila disentuh atau penebalan pada kulit payudara atau sekitar
ketiak. Menurut American Cancer Society, gejala awal yang signifikan dan sering dialami
wanita ialah benjolan yang biasanya ditandai rasa sakiy bila dipegang atau ditekan.
b. Perubahan pada payudara, biasanya gejala yang terjadi ialah berubahnya ukuran, bentuk
payudara dan puting. Dimana gejala itu awalnya ditandai dengan permukaan payudara
akan berwarna merah, kemudian perlahan kulit mengerut seperti kulit jeruk, kemudian
perlahan kulit mengerut seperti kulit jeruk. Adapula dalam kasus lain, warna payudaranya
berubah orange.
c. Putting mengeluarkan cairan Pada puting seringkali mengeluarkan cairan (nipple
discharge) seperti darah, tetapi juga terkadang juga berwarna kuning, kehijau-hijauan
berupa nanah.
d. Pembengkakan pada payudara, gejala kanker payudara juga ditandai dengan
pembengkakan payudara tanpa ada benjolan, yang merupakan gejala umumnya. Bahkan,
kadang kadang salah satu payudara pembuluh darah jadi tlebih terlihat.
Prosedur diagnosis pada kanker payudara terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (Suyatno & Pasaribu, 2014).
Stadium kanker payudara ditentukan berdasarkan sistem TNM dari AJCC (American Joint
Committee on Cancer) terbaru. Klasifikasi cTNM klinis:
a. Tumor Primer
T : kanker primer
TX : kanker primer tak dapat dinilai (missal telah direksesi)
T0 : tak ada bukti lesi primer
Tis : karsinoma in situ.mencakup karsinoma in situ duktal atau karsinoma in situ lobular,
penyakit Paget papila mamae tanpa nodul (penyakit Paget dengan nodul
diklasifikasikan menurut ukuran nodul).
T1 : diameter tumor <= 2 cm
Tmic : infiltrasi mikro <= 0,1 cm
T1a : diameter terbesar > 0,1 cm, tapi <= 0,5 cm
T1b : diameter terbesar > 0,5 cm, tapi <= 1 cm
T1c : diameter terbesar > 1 cm, tapi <=2 cm
T2 : diameter tumor terbesar > 2 cm, tapi <= 5 cm
T3 : diameter tumor terbesar > 5 cm
T4 : berapapun ukuran tumor, menyebar langsung ke dinding toraks atau kulit (dinding
toraks termasuk tulang iga, m.interkostales dan m.seratus anterior, tak termasuk m.
pektorales).
T4a : menyebar ke dinding toraks
T4b : udem kulit mamae (termasuk peau dorange) atau ulserasi, atau nodul satelit di
mamae ipsilateral. T4c : terdapat 4a dan 4b sekaligus
T4d : karsinoma mamae inflamatorik
b. Kelenjar getah bening regional
N : kelenjar limfe regional
NX : kelenjar limfe regional tak dapat dinilai (missal sudah diangkat sebelumnya)
N0 : tak ada metastasis kelenjar limfe regional
N1 : di fosa aksilar ipsilateral terdapat metastasis kelenjar limfe mobil
N2 : kelenjar limfe metastatic fosa aksilar ipsilateral saling konfluen dan terfiksasi dengan
jaringan lain; atau bukti klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar limfe
mamaria interna namun tanpa metastasis kelenjar limfe aksilar
N2a : kelenjar limfe aksilar ipsilateral saling konfluen dan terfiksasi dengan jaringan lain
N2b : bukti klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar limfe mamaria interna namun
tanpa metastasis kelenjar limfe aksilar
N3b : bukti klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar limfe mamaria interna dan
metastasis kelenjar limfe aksilar N3c : metastasis kelenjar limfe supraklavikular
c. Patologi
pT- : tumor primer (sama dengan klasifikasi T, pada tepi irisan seputar specimen harus tak
terlihat tumor secara makroskopik, adanya lesi ganas yang hanya tampak secara microskopik
pada tepi irisan tidak mempengaruhi klasifikasi)
N- : kelenjar limfe regional
pNx : kelenjar limfe regional tak dapat dinilai (misal sudah diangkat sebelumnya)
pN0 : secara histologik tak ada metastasis kelenjar limfe, tapi tidak dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk kelompok sel tumor terisolasi (ITC)
pN0(i-) :histologis tak ada metastasis kelenjar limfe, imunohistologi ITC positif
pN0 (mol-) : histologist tak ada metastasis kelenjar limfe, pemeriksaan molekuler ITC
negatif (RT-PCR)
pN0 (mol+): histologist tak ada metastasis kelenjar limfe, pemeriksaan molekuler ITC
negatif (RT-PCR)
pN1mi : mikrometastasis (diameter terbesar >0,2 mm, tapi 2 mm).
pN : di aksila ipsilateral terdapat 1-3 kelenjar limfe metastatic, atau dari diseksi kelenjar
limfe sentinel secara mikroskopik ditemukan metastasis kelenjar limfe mamaria interna
ipsilateral, tapi tanda bukti klinis
pN1a : di aksila ipsilateral terdapat 1-3 kelenjar limfe metastatic, dan minimal satu kelenjar
limfe metastatic berdiameter maksimal >2 mm.
pN1b : dari diseksi kelenjar limfe sentinel secara mikroskopik ditemukan metastasis kelenjar
limfe mamaria interna ipsilateral, tapi tanpa bukti klinis
pN1c : pN1a disertai pN1b
pN2 :di aksila ipsilateral terdapat 4-9 kelenjar limfe metastatik, atau bukti klinis
menunjukkan metastasis kelenjar limfe mamaria interna ipsilateral tapi tanpa
metastasis kelenjar limfe aksilar
pN2a : di aksila terdapat 4-9 kelenjar limfe metastatic berdiameter maksimal >2 mm.
pN2b : bukti klinis menunjukkan metastasis kelenjar limfe mamaria interna ipsilateral tapi
tanpa metastasis kelenjar limfe aksilar.
pN3 : di aksila ipsilateral terdapat 10 atau lebih kelenjar limfe matastatik; atau metastasis
kelenjar limfe infraklavikular ipsilateral; atau bukti klinis menunjukkan matastasis
kelenjar limfe mamaria interna disertai metastasis kelenjar limfe aksilar ipsilateral;
atau secara klinis negative, dari diseksi kelenjar limfe sentinel secara mikroskopik
ditemukan metastasis kelenjar limfe mamaria interna ipsilateral, tapi tanpa bukti klinis,
namun terdapat lebih dari 3 kelenjar limfe aksilar metastatic kelenjar limfe
supraklavikular ipsilateral. pN3a : di aksila terdapat 10 atau lebih kelenjar limfe
metastatik, dan minimal satu kelenjar limfe metastatik berdiameter terbesar >2 mm,
atau metastasis kelenjar limfe infraklavikular.
pN3b : bukti klinis menunjukkan metastasis kelenjar limfe mamaria interna disertai
metastasis kelenjar limfe aksilar ipsilateral, atau secara klinis negatif, dari diseksi
kelenjar limfe sentinel secara mikroskopik ditemukan metastasis kelenjar limfe
mamaria interna ipsilateral, tapi tanda bukti klinis, namun terdapat lebih dari 3
kelenjar limfe aksilar metastatic.
pN3c : metastasis kelenjar limfe supraklavikular
M metastasis jauh
Klafikasi stadium klinis:
Stadium 0 : TisN0M0
Stadium 1 : T1N0M0
Stadium IIA : T0N1M0, T1N1M0, T2N0M0
Stadium IIB : T2N1M0, T3N0M0
Stadium IIIA : T0N2M0, T1N2M0, T2N2M0, T3N1-2M0
Stadium IIIB : T4, N apapun, M0; IIIC : T apapun, N3 M0
Stadium IV : T apapun, N apapun, M1
2.1.7 Penatalaksanaan
Modalitas terapi kanker payudara secara umum meliputi: operasi (pembedahan), kemoterapi,
radioterapi, terapi hormonal dan terapi target (Suyatno & Pasaribu, 2014).
Kemoterapi adalah penggunaan obat anti kanker (sitostatika) untuk menghancurkan sel
kanker. Regimen yang sering digunakan mengandung kombinasi siklofosfamid (C), metotreksat
(M), dan 5-FU (F). Oleh karena doksorubisin merupakan salah satu zat tunggal yang paling aktif,
zat ini sering digunakan dalam kombinasi tersebut.
c. Radioterapi
Mekanisme utama kematian sel karena radiasi adalah kerusakan DNA dengan gangguan
proses replikasi dan menurunkan risiko rekurensi lokal dan berpotensi untuk menurunkan
mortalitas jangka panjang penderita kanker payudara.
d. Terapi hormonal
Adjuvan hormonal terapi diindikasikan hanya pada payudara yang menunjukkan ekspresi
positif dari estrogen reseptor (ER) dana atau progesterone reseptor (PR) tanpa memandang usia,
status menopause, status kgb aksila maupun ukuran tumor.
Terapi ini ditujukan untuk menghambat proses yang berperan dalam pertumbuhan sel-sel
kanker. Terapi untuk kanker payudara adalah tra stuzumab (Herceptin), Bevacizumab (Avastin)
dan Lapatinib ditosylate (Tykerb).
Luka kanker dikenal pula dengan sebutan fungating malignant wound atau malignant
cutaneus wound. Luka kanker merupakan infiltrasi sel tumor yang merusak lapisan epidermis
dan dermis yang disebabkan oleh deposisi dan atau proliferasi sel ganas dengan bentuk menonjol
atau tidak beraturan, biasanya seringkali muncul berupa benjolan (nodul) yang keras, non
mobile, bentuknya menyerupai jamur(caulli flower), mudah terinfeksi, mudah berdarah,nyeri,
mengeluarkan cairan yang berbau tidak sedap dan sulit sembuh (Gitaraja, 2004). Normalnya
sebuah luka akan sembuh dalam waktu maksimal 14 hari, tetapi luka akibat pertumbuhan sel
kanker sulit diharapkan sembuh dalam jangka waktu tersebut (Anonim, 2009). Luka kanker
payudara termasuk jenis luka kronik yang sukar sembuh. Menurut Potter&Perry, (2001) luka
kronik adalah luka yang gagal melewati proses perbaikan untuk mengembalikan integritas fungsi
dan anatomi sesuai dengan tahap dan waktu yang normal. Seperti luka kronik lainnya, luka
kanker payudara juga mengalami tahapan proses penyembuhan luka. Luka kanker ada pada
tahapan proliferasi yang memanjang, dimana terjadi penurunan fibroblas, penurunan produksi
kolagen, dan berkurangnya angiogenesis kapiler. Oleh karena itu luka kanker terus ada pada
kondisi hipoksia panjang yang kemudian menjadi jaringan nekrotik. Jaringan nekrotik
merupakan fasilitator terhadap perkembangbiakan bakteri aerob dan anaerob (Gitaraja, 2004).
Ada beberapa cara untuk membuat klasifikasi luka. Namun yang umum luka dapat
diklasifikasikan atas dasar:
Saat kita menentukan usia sebuah luka maka pertama harus ditentukan apakah luka tersebut
akut atau kronik. Penentuan dapat menjadi sulit bila hanya berpatokan pada kurun waktu. Selain
pertimbangan waktu maka perlu diingat bahwa luka disebut akut bila luka tersebut baru atau
mencapai kemajuan penyembuhan luka sesuai yang diharapkan. Sementara luka kronik adalah
luka yang tidak sembuh dalam waktu yang diharapkan. Hal ini yang penting adalah pada luka
kronik proses penyembuhan melambat atau berhenti dan luka tidak bertambah kecil atau tidak
bertambah dangkal. Meskipun dasar luka tampak merah, lembab dan sehat tetapi bila proses
penyembuhan luka tidak mengalami kemajuan maka dikatagorikan sebagai luka kronik.
Pada luka kronik perlu melakukan pendekatan holistik dalam melakukan pengkajian.
Pengkajian tidak hanya berpusat pada luka, melainkan reaksi psikologis maupun efek luka
terhadap kehidupan sosial individu juga perlu dikaji. Penting diingat bahwa pada beberapa kasus,
tindakan paliatif merupakan upaya yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup klien dengan
luka kanker. Manajemen luka yang dapat diterima perlu didiskusikan dengan pasien (Price, 1996,
dalam Naylor, 2002). Identifikasi gejala dan masalah psikososial yang menyebabkan distres bagi
pasien juga perlu dikaji (Naylor, 2002).
Pengkajian yang akurat pada area luka merupakan dasar yang penting untuk merencanakan
tindakan dan menilai keefektifan tindakan. Parameter yang perlu dinilai pada luka kanker
meliputi lokasi, ukuran/kedalaman/bentuk, jumlah eksudat, jenis jaringan yang ditemukan
(nekrotik, pus, granulasi, epitelisasi), tanda-tanda infeksi, nyeri (termasuk nyeri saat pencucian
luka dan penggantian balutan), kondisi kulit sekitar luka, dan perdarahan (Naylor, 2002). Jumlah
eksudat juga dapat diukur dengan menggunakan alat ukur yang diambil dari Bates-Jensen wound
assessment tool (Bates-Jensen & Sussman, 1998). Hasil pengukuran dikategorikan berdasarkan
proporsi balutan yang terpapar eksudat. Jumlah eksudat diukur dengan menggunakan pengukur
transparan yang membagi area menjadi 4 bagian (25%) second dressing. Kategori pengukuran
digambarkan sebagai berikut:
a. Letak dan luas luka Pengkajian luka kanker terutama untuk menilai lokasi luka dan
kemungkinan letak penyebaran. Kemudian ukur besarnya luka meliputi panjang, lebar dan
ketinggian karena biasanya luka kanker menonjol /keatas.
b. Warna dasar luka. Luka kanker memiliki bentuk menonjol sehingga cukup sulit membaginya
ke dalam stadium luka. Kemudahan untuk menilai derajat keseriusan luka kanker adalah
menilai warna dasar luka. System ini bersifat konsisten, mudah dimengerti dan sangat tepat
guna dalam membantu memilih tindakan dan terapi perawatan luka serta mengevaluasi
kondisi luka.
Menurut Netherland Woundcare Consultant Society, (1984) dikutip dari Gitaraja, (2004)
penggolongan berdasarkan warna dasar luka meliputi:
a. Red / Merah Luka dengan dasar warna luka merah tua atau merah terang dan selalu tampak
lembab. Merupakan luka bersih dengan banyak vaskularisasi, karenanya mudah
berdarah.Tujuan perawatan luka adalah mempertahankan lingkungan luka dalam keadaan
lembab dan mencegah terjadinya trauma/perdarahan.
b. Yellow/Kuning Luka dengan dasar warna luka kuning/kuning kecoklatan/kuning kehijauan /
kuning pucat adalah jaringan nekrosis. Merupakan kondisi luka yang terkontaminasi atau
terinfeksi dan avaskularisasi. Luka pada kanker payudara stadium lanjut berwarna kuning
yang menunjukkan adanya jaringan nekrosis dan buruknya vaskularisasi. Tujuan
perawatannya adalah meningkatkan sistem autolysis debridemen agar luka berwarna merah,
absorb eksudat, menghilangkan bau tidak sedap dan mengurangi kejadian infeksi.
c. Black/Hitam Luka dengan dasar warna luka hitam adalah jaringan nekrosis, merupakan
jaringan avaskularisasi. Tujuan perawatannya sama dengan dasar warna luka kuning.
Menurut Gitaraja , (2004) masalah khas pada luka kanker payudara adalah:
a. Bau tidak sedap Bau tidak sedap disebabkan karena terjadinya penurunan vaskularisasi
jaringan/hipoksia sehingga jaringan granulasi menjadi nekrosis. Jaringan nekrotik yang
dibiarkan tak terawat sangat mudah terkontaminasi dengan bakteri aerob dan anaerob dan
sangat cepat berkembang biak sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Pengkajian
masalah bau tidak sedap masih tergolong subyektif karena tergantung dari penilaian
seseorang untuk mengenal bau dengan lebih baik. Menurut Gitaraja, (2004) beberapa
kriteria yang dapat memonitor bau dan dapat membantu dalam pengkajian dan evaluasi
perawatan yaitu ; Bau kuat : bau tercium kuat dalam ruangan (6-10 langkah dari pasien)
dengan balutan tertutup. Bau sedang : bau tercium kuat dalam ruangan (6-10 langkah dari
pasien) dengan balutan terbuka. Bau ringan : bau tercium bila dekat dengan penderita pada
saat balutan dibuka. Bau tidak ada : bau tidak tercium saat disamping penderita dengan
balutan terbuka.
b. Cairan yang berlebihan Cairan yang berlebihan disebabkan karena terjadinya peningkatan
permeabilitas fibrinogen dan plasma sehingga luka menjadi sangat eksudatif.
c. Perdarahan Kelainan hemostasis dapat berupa perdarahan yang disebabkan oleh infiltrasi sel
tumor sekitar pembuluh darah, gangguan fungsi dan jumlah trombosit turun atau defisiensi
faktor koagulasi.
d. Nyeri Nyeri pada kanker terbagi menjadi dua katagori yaitu nyeri timbul oleh karena sel
tumor yang bermetastase atau nyeri timbul sebagai akibat dari pemberian pengobatan
kanker. Hampir sebagian klien mengeluh nyeri yang timbul berhubungan dengan saat
mengganti balutan. Balutan yang menempel kuat pada luka tentulah sulit untuk dibuang
sehingga pada saat dicabut menimbulkan perdarahan dan nyeri.
e. Maserasi pada kulit sekitar luka Ketidakmampuan balutan luka menyerap cairan luka
menyebabkan cairan luka menggenang dan mengenai kulit sehat sekitar luka, jika balutan
tidak segera diganti dapat menyebabkan lecet/maserasi seringkali menimbulkan rasa tidak
nyaman terutama gatal dan nyeri.
f. Infeksi Kejadian infeksi pada luka kanker dapat diidentifikasikan dengan adanya eritema
yang makin meluas, edema, cairan berubah purulen, nyeri yang lebih sensitif, peningkatan
temperatur tubuh, peningkatan jumlah sel darah putih dan timbul bau yang khas.
Pseudomonas aeruginase dan staphylococcus aureus merupakan organisme patogenik yang
sering muncul, namun selama komponen sistemik tubuh mampu mengatasi hal ini dan
kolonisasi bakteri tidak melebihi jumlah normal, teknik pencucian dan perawatan yang tepat
cukup mampu mengatasi hal tersebut.
Ada dua prinsip utama dalam perawatan luka kanker payudara, yang pertama menyangkut
pembersihan/pencucian luka , prinsip kedua menyangkut pemilihan balutan. Luka kering
dibersihkan dengan teknik swabbing yaitu ditekan dan digosok pelan-pelan menggunakan kassa
steril yang dibasahi dengan air steril atau NaCl 0,9%. Sedang luka basah dan mudah berdarah
dibersihkan dengan teknik irigasi yaitu disemprot lembut dengan air steril atau NaCl 0,9%
(Ganiswara, 2005). Tujuan perawatan luka kanker payudara dengan bau adalah membuang
jaringan mati dan mengeliminasi kontaminasi bakteri. Autolitik atau enzymatic debridement
merupakan metode yang cukup dianjurkan untuk membuang jaringan mati. Penggunaan therapy
antibiotic topikal pada luka kanker payudara seperti metronidazole sangat efektif untuk
membunuh bakteri yang dapat menimbulkan bau (Gitaraja, 2004). Pembalut luka merupakan
sarana vital untuk mengatur kelembaban kulit, menyerap cairan yang berlebihan, mencegah
infeksi, dan membuang jaringan mati pada luka kanker (Keast, 2007). Nistatin yang
dikombinasikan dengan metronidazole dan tepung maizena digunakan untuk mengurangi
iritasi/lecet, menyerap cairan dan mengurangi bau yang tidak sedap pada luka kanker payudara.
Sedangkan prinsip perawatan luka kanker yang lain adalah tidak boleh membuat luka
menjadi sebuah luka baru (berdarah lagi), dan juga harus bias mengontrol bau yang tidak sedap,
mengatasi cairan yang berlebih, mencegah infeksi, mengurangi nyeri, dan merawat kulit di
sekitar luka (Anonim, 2008). Pada penelitian yang dilakukan oleh Kalinski, (2005) penggunaan
metronidazol topikal sangat efektif mengatasi bau pada luka kanker, dari 16 pasien yang
dilakukan perawatan luka dengan metronidazole gel 0,75% dilaporkan 10 pasien bau busuk pada
luka hilang dan 6 pasien bau menjadi berkurang.
Penyembuhan luka adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringan yang berhubungan dengan
regenerasi jaringan. Menurut Kozier, (1995) dikutip dari Potter & Perry, (2001) fase/tahap
penyembuhan luka meliputi:
a. Fase Inflamatory terjadi segera setelah luka dan berakhir 3-4 hari. Dua proses utama yang
terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan)
akibat fase konstriksi pembuluh darah besar didaerah luka, retraksi pembuluh darah,
endapan fibrin dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Selama sel berpindah, lekosit
(terutama netrofil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati makrofag yang
keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah luka. Makrofag ini menelan
mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis.
b. Fase proliferasi berlangsung dari hari ke 3 atau 4 sampai hari ke 21 setelah pembedahan.
Fibroblast yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan.
Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira
5 hari setelah terjadi luka. Seiring perkembangan kapilarisasi jaringan berwarna merah.
Jaringan ini disebut granulasi, jaringan yang lunak dan mudah pecah.
c. Fase maturasi dimulai hari ke 21 dan berakhir 1-2 tahun setelah pembedahan. Fibroblast
terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin dirinya, menyatukan srtuktur yang lebih kuat.
Bekas luka menjadi lebih kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih.
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis karena merupakan
suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling berkesinambungan. Setiap kejadian
luka mekanisme tubuh akan mengupayakan pengembalian komponen jaringan yang rusak
tersebut dengan membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya
(Gitaraja, 2004). Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses regenasi yang
bersifat lokal saja pada luka, namun dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Dengan
mengenal kedua faktor penghambat tersebut diharapkan agar dapat mengoreksi/ mengevaluasi
proses penyembuhan luka. Faktor intrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh
dalam proses penyembuhan luka, yang cukup berpengaruh pada luka kanker payudara meliputi :
usia, status nutrisi dan hidrasi, oksigenasi dan perfusi jaringan, nyeri, status imunologi dan
penyakit penyerta (hipertensei, DM, arteriosclerosis). Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor
yang didapat dari luar penderita meliputi : pengobatan (kemoterapi), radiasi, psikososial positif
dan negative seperti pengetahuan klien tentang penyakit/kondisi sakit, metode koping yang
fleksibel, hubungan social suportif yang baik, infeksi, iskemi dan trauma jaringan (Potter &
Perry, 2001).
Metode perawatan luka yang berkembang saat ini adalah menggunakan prinsip moisture
balance, yang disebutkan lebih efektif dibandingkan metode konvensional. Perawatan luka
menggunakan prinsip moisture balance ini dikenal sebagai metode modern dressing.
Selama ini, ada anggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika luka tersebut telah
mengering. Namun faktanya, lingkungan luka yang kelembapannya seimbang memfasilitasi
pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen dalam matriks nonseluler yang sehat. Pada luka akut,
moisture balance memfasilitasi aksi faktor pertumbuhan, cytokines, dan chemokines yang
mempromosi pertumbuhan sel dan menstabilkan matriks jaringan luka. Jadi, luka harus dijaga
kelembapannya. Lingkungan yang terlalu lembap dapat menyebabkan maserasi tepi luka,
sedangkan kondisi kurang lembap menyebabkan kematian sel, tidak terjadi perpindahan epitel
dan jaringan matriks.
Perawatan luka modern harus tetap memperhatikan tiga tahap, yakni mencuci luka,
membuang jaringan mati, dan memilih balutan. Mencuci luka bertujuan menurunkan jumlah
bakteri dan membersihkan sisa balutan lama, debridement jaringan nekrotik atau membuang
jaringan dan sel mati dari permukaan luka.
Perawatan luka konvensional harus sering mengganti kain kasa pembalut luka, sedangkan
perawatan luka modern memiliki prinsip menjaga kelembapan luka dengan menggunakan bahan
seperti hydrogel. Hydrogel berfungsi menciptakan lingkungan luka tetap lembap, melunakkan
serta menghancurkan jaringan nekrotik tanpa merusak jaringan sehat, yang kemudian terserap ke
dalam struktur gel dan terbuang bersama pembalut (debridemen autolitik alami). Balutan dapat
diaplikasikan selama tiga sampai lima hari, sehingga tidak sering menimbulkan trauma dan nyeri
pada saat penggantian balutan.
Jenis modern dressing lain, yakni Ca Alginat, kandungan Ca-nya dapat membantu
menghentikan perdarahan. Kemudian ada hidroselulosa yang mampu menyerap cairan dua kali
lebih banyak dibandingkan Ca Alginat. Selanjutnya adalah hidrokoloid yang mampu melindungi
dari kontaminasi air dan bakteri, dapat digunakan untuk balutan primer dan sekunder.
Penggunaan jenis modern dressing disesuaikan dengan jenis luka.Untuk luka yang banyak
eksudatnya dipilih bahan balutan yang menyerap cairan seperti foam, sedangkan pada luka yang
sudah mulai tumbuh granulasi, diberi gel untuk membuat suasana lembap yang akan membantu
mempercepat penyembuhan luka.