Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable
diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit
ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases)
sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal dapat
menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya pencegahan
penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti
stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan
terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik
biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit
saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia.
Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan
pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit
ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal.
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak
bergantung pada etiologi, dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan
secara dini. Oleh karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan
pencegahan yang efektif terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan
karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.
Pada penyakit GGK stadium 5, terapi yang bisa dilakukan hanya pemberian
hemodialisis yang hanya bertujuan untuk mencegah kematian tetapi tidak dapat
menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi
hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari
gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.Tindakan hemodialisis ini
termasuk salah satu dalam perawatan paliatif pada penyakit GGK.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana konsep dasar penyakit
GGK serta bagaimana keperawatan paliatif pada klien GGK?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui keperawatan paliatif
pada klien dengan GGK.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini adalah untuk mengetahui:
a. Konsep dasar penyakit GGK
b. Upaya keperawatan paliatif terhadap GGK

1
BAB II

PEMBAHASAN

2
A. Konsep Dasar Penyakit Gagal Ginjal Kronis
1. Pengertian
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang persisten dan
irreversible (Mansjoer, 2000).
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner and Suddarth, 2002).
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun ( Price,Silvia Anderson, 1995).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Ini
dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus,
glomerulonefritis kronis,pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol,
obstruksi traktus urinarius, lesi herediter. Dan penyakit ginjal polikistik seperti
gangguan vaskuler, infeksi, medikasi, atau agens toksik. Lingkungan dan agens
berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, cadmium,
merkuri, dan kromium.

2. Etiologi
Menurut Mansjoer (2001) etiologi dari gagal ginjal kronik adalah
glomerulonefritik, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik,
nefropati, diabetik, penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi, gout.
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler
(nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen
nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes) (Doenges, 1999; 626).
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas,
antara lain:
Infeksi misalnya pielonefritis kronik
Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal
polikistik,asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbale
Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

3
3. Patofisiologi
Pada gagal ginjal terjadi penurunan fungsi renal yang mengakibatkan produk
akhir metabolisme protein tidak dapat diekskresikan ke dalam urine sehingga
tertimbun didalam darah yang disebut uremia. Uremia dapat mempengaruhi setiap
sistem tubuh, dan semakin banyak timbunan produk sampah uremia maka gejala
yang ditimbulkan semakin berat.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) mengakibatkan klirens kreatinin
akan menurun sehingga kreatinin darah akan meningkat. Kadar nitrogen urea
darah (BUN) biasanya juga meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang
paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan
oleh tubuh, sementara BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit ginjal tetapi
juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme jaringan medikasi seperti
steroid.
Ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara
normal dan sering terjadi retensi natrium dan cairan, meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat
terjadi akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron.
Asidosis sering terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mengeluarkan ion H+
(muatan basa) yang berlebihan, ketidakmampuan menyekresikan ammonia
(NH3+) dan mengabsorpsi bikarbonat (HCO3-).
Anemia terjadi akibat sekresi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik, terutama dari saluran gastrointentinal.
Penurunan GFR juga mengakibatkan peningkatan kadar fosfat serum sehingga
terjadi penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kadar kalsium menyebabkan
sekresi kadar parathormon, terjadi respon abnormal sehingga kalsium dalam
tulang menurun menyebabkan penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik.
Disamping itu penyakit tulang juga disebabkan penurunan produksi metabolit
aktif vitamin D (1,25 dehidrokolekalsiferol).

4. Klasifikasi gagal ginjal kronik


Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar
derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat
penyakit dibuat atas dasar LFG. Derajat Penjelasan LFG :
a. Derajat 1 : Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90
b. Derajat 2 : Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89
c. Derajat 3 : Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59
d. Derajat 4 : Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15- 29
e. Derajat 5 : Gagal ginjal < 15 atau dialysis

5. Gejala klinis
Pada GGK semua sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia. Keparahan
gejala klinis tergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain
yang mendasari, dan usia pasien. Gejala klinis yang muncul antara lain :

4
a. Manifestasi kardiovaskuler mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan
natrium dari aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron), piting edema,
edema periorbital, frikction rub pericardial dan pembesaran vena leher.
b. Gejala integumen mencakup : warna kulit abu-abu mengkilat, rasa gatal yang
parah (pruritus), kulit kering bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut
tipis dan kasar.
c. Gejala gastrointestinal mencakup : napas berbau ammonia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut, anoreksia, mual, muntah, cegukan, konstipasi dan
diare, perdarahan dari saluran GI.
d. Gejala Pulmoner mencakup : krekels, sputum kental, napas dangkal dan
pernapasan kussmaul.
e. Gejala neurologi mencakup : konfusi (perubahan tingkat kesadaran), tidak
mampu berkonsentrasi, kelemahan dan keletihan, disorientasi, kejang,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan perubahan
perilaku.
f. Gejala musculoskeletal mencakup : kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur
tulang dan foot drop.
g. Gangguan system reproduktif mencakup amenore dan atropi testikuler.

6. Keluhan atau masalah yang sering timbul pada pasien GGK


a. Fisik
Mual, muntah, nyeri, odema, lemas, sianosis, sering terjaga
b. Psikologi
Ansietas (cemas), binggung, putus asa
c. Sosial
Tidak mau bicara, tidak member respon terhadap pembicaraan
d. Spiritual
Kehilangan keyakinan nilai luhur atau yang maha kuasa (Tuhan)
e. Kultural
Persepsi pasien tentang penyakit yang dihadapinya dikaitkan dengan
kepercayaan yang dianut pasien, gelisah.

7. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : edema jaringan umum, kulit coklat kehijauan/kuning, distensi
abdomen, pruritus, petekie
b. Palpasi : pitting pada kaki, nadi kuat, hipertensi, pembesaran hati (tahap
akhir), perubahan turgor kulit
c. Auskultasi : disritmia jantung, takipnea, dispnea, peningkatan
frekuensi/kedalaman (pernafasan kusmaul)

8. Pemeriksaan penunjang/diagnostik
Pemeriksaan penunjang mencakup :
a. Pemeriksaan laboratorium :
1) Urine :
Volume : oligouria atau anuria, warna keruh, berat jenis kurang dari
1,015, osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg, klirens kreatinin mungkin
agak menurun, natrium > 40 mEq/L, proteinuria (3-4+).
2) Darah :

5
BUN/Kreatinin meningkat (kreatinin 10 mg/dl), Hematokrit menurun,
HB < 7-8 g/dL), Gas darah arteri : pH < 7,2 ,bikarbonat dan PCO2
menurun. Natrium mungkin rendah atau normal, kalium, magnesium/
fosfat meningkat, kalsium menurun, protein ( khususnya albumin)
menurun, osmolalitas serum > 285 mOsm/kg.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) USG Ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi
pada saluran kemih atas.
2) Biopsy ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan
sel jaringan untuk diagnosis histologist.
3) Endoskopi ginjal, nefroskopi : menentukan pelvis ginjal; keluar batu,
hematuri, pengangkatan tumor selektif.
4) EKG : mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa
5) KUB foto : menunjukkan ukuran ginjal/ ureter/ kandung kemih dan
adanya obstruksi batu.
6) Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan : menunjukkan
demineralisasi dan kalsifikasi.

B. Perawatan Paliatif Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis


1. Definisi perawatan paliatif
Perawatan Paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan
menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi.
Perawatan paliatif untuk mencegah, memperbaiki, mengurangi gejala-gejala
suatu penyakit, namun bukan berupaya penyembuhan.
Suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya
dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan,
penilaian, pengobatan nyeri dan masalah-masalah fisik lain, juga masalah
psikologis dan spiritual lainnya .

2. Prinsip perawatan paliatif


a. Menghilangkan nyeri & gejala-gejala yang menyiksa lain
b. Menghargai kehidupan & menghormati kematian sebagai suatu proses normal
c. Tidak bermaksud mempercepat atau menunda kematian
d. Perawatan yang mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual, sosial,
budaya dari pasien dan keluarganya, termasuk dukungan saat berkabung.
e. Memberi sistim dukungan untuk mengusahakan pasien sedapat mungkin tetap
aktif sampai kematiannya.
f. Memberi sistim dukungan untuk menolong keluarga pasien melalui masa sakit
pasien, dan sewaktu masa perkabungan

3. Karakteristik perawatan paliatif


a. Menggunakan pendekatan tim untuk mengetahui kebutuhan pasien dan
keluarganya, termasuk konseling kedukaan bila diperlukan.
b. Meningkatkan kwalitas hidup, dan juga secara positif mempengaruhi
perjalanan penyakit.

6
c. Perawaatan aktif, total bagi pasien yang menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
d. Pendekatan holistik : fisik, mental, spiritual, sosial
e. Pendekatan multi-disipliner : medis, non-medis, keluarga

4. Manfaat perawatan paliatif


a. Meningkatkan kualitas hidup Pasien GGK dan keluarganya
b. Mengurangi penderitaan pasien
c. Mengurangi frekuensi kunjungan ke rumah sakit
d. Meningkatkan kepatuhan pengobatan

5. Pelaksana perawatan paliatif


a. Petugas medis :
1) Perawat
2) Manajer kasus
3) Dokter, fisioterapis, nutrisionis
b. Keluarga pasien
c. Petugas sosial komunitas : lay support
d. Anggota KDS
e. Petugas LSM

6. Syarat perawatan paliatif yang baik


a. Menghargai otonomi dan pilihan pasien
b. Memberi akses sumber informasi yang adekuat
c. Ciptakan hubungan saling menghargai dan mempercayai antara pasien dengan
pemberi perawatan
d. Berikan dukungan bagi keluarga, anak, petugas sosial yang memberikan
perawatan.
e. Hormati dan terapkan nilai-nilai budaya setempat, kepercayaan / agama, dan
adat istiadat.

7. Jenis perawatan paliatif


a. Pengobatan medikamentosa terutama penatalaksanaan nyeri dan gejala-gejala
lain
b. Perawatan psikososial berupa :
1) psikologis
2) social
3) spiritual
4) kedukaan/berkabung

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh factor yang berperan pada gagal ginjal
tahap akhir dan factor yang dapat dipulihkan (mis : obstruksi) diidentifikasi dan
ditangani.
Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan
kolaboratif dalam perawatan mencakup :
a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan
masukkan diet berlebih

7
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-
angiostensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
marah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, kehilangan darah
selama hemodialisis
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar
aluminium.
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif,
eritropoetin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium.
Pasien juga perlu mendapat penanganan dialysis yang adekuat untuk
menurunkan kadar produk sampah uremik dalam darah.

9. Penanganan
a. Intervensi diet
Intervensi diet diperlukan pada gangguan fungsi renal dan mencakup
pengaturan yang cermat terhadap masukkan protein, masukkan cairan untik
mengganti cairan yang hilang, masukkan natrium untuk mengganti natrium
yang hilang, dan pembatasan kalium.
b. Hiperfosfatemia dan hipokalemia
Ditangani dengan antasida mengandung aluminum yang mengikat
fosfat makanan di saluran gastrointestinal.

c. Hipertensi
Ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif control volume
intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan
pennganan pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuretic, agens inotropik
seperti digitalis atau dobutamine, dan dialysis. Asidosis metabolic pada gagal
ginjal kronis biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan penanganan, namun
demikian, suplemen natrium karbonat atau dialysis diperlukan untuk
mengoreksi asidosis jika kondisi ini menimbulkan gejala.
d. Hiperkalemia
Biasanya dicegah dengan penanganan dialysis yang adekuat disertai
pengambilan kalium dan pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium
pada seluruh medikasi oral atau intravena.
e. Abnormalitas Neurologi
Dapat terjadi dan memerlukan observasi dini terhadap tanda-tanda
seperti kedutan, sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi
dari cedera dan menempatkan pembatas tempat tidur. Diazepam intravena
(Valium) atau fenitoin (Dilantin) biasanya diberikan untuk mengendalikan
kejang.
f. Anemia

8
Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan Epogen
(eritropoetin manusia rekombinan). Anemia pada pasien (hematokrit kurang
dari 30 %) muncul tanpa gejala spesifik seperti malaise, keletihan umum, dan
penurunan toleransi aktivitas.

10. Terapi GGK


a. Terapi Farmakologis
1) Kontrol tekanan darah
a) Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II evaluasi
kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35%
atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
b) Penghambat kalsium, Diuretik
2) Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk
DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
3) Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
4) Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
5) Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
6) Hiperkalemia
7) Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan
statin
8) Terapi ginjal pengganti
b. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
c. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus

9
segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20
mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
d. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Hemodialisis akan mencegah kematian tetapi tidak dapat
menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang
dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien. Pasien GGK harus menjalani terapi dialysis
sepanjang hidupnya (3x seminggu selama 3-4 jam per kali terapi) atau
sebelum melakukan operasi pencangkokan ginjal.
2) Dialisis peritoneal (DP)
Dalam 4 tahun terakhir mulai disosialisasikan sebuah alternatif dimana
penderita dapat melakukan cuci darah sendiri di rumah. Metode tersebut
dikenal dengan Peritoneal Dialysis (PD) yaitu metode pencucian darah
dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan
pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas
dan kayaakan pembuluh darah. Zat-zat dari darah dapat dengan mudah

10
tersaring melalui peritoneumke dalam rongga perut. Cairan dimasukkan
melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam
rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga
limbah metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan
tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan
yang baru.
Ada dua macam PD, yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) dan Automated Peritoneal Dialysis (APD). APD relatif masih
jarang digunakan oleh masyarakat Indonesia. CAPD dapat menciptakan
kualitas hidup yang lebih baik bagi penderita. Sebab, mereka dapat
menjalani hidupnya dengan normal, tanpa banyak batasan untuk
mengkonsumsi makanan. CAPD dipasang permanen di tubuh penderita,
tepatnya di bagian perut. Sebuah catheter (kateter) dipasang di bagian
perutnya dan disediakan sebuah kantong untuk menjamin kesterilannya.
Dengan CAPD, penderita cukup melakukan kontrol 1 kali dalam sebulan
ke rumah sakit. Pola kerja cuci darahnya, kateter disambungkan dengan
titanium adapter yang akan mengalirkan cairan dextrose.
Cairan inilah yang berfungsi untuk menarik racun dari dalam tubuh. Proses
pengaliran cairan ini hanya membutuhkan waktu10 menit. Dalam sehari
dilakukan sebanyak 3-4 kali. Jaraknya sekitar 4 sampai 6 jam dari satu
pencucian dengan pencucian berikutnya. Kalau transfer setnya bisa diganti
6 bulan sekali. Kunci dari CAPD harus disiplin tinggi. Karena tanpa
disiplin tidk bisa berhasil. Misalnya, saat melakukan pencucian
darahtangan mereka harus bersih, AC dan kipas angin tidak boleh menyala
serta lampu harus terang.
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan
yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin >
10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m,
mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis
di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup
baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala
yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-
pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke,

11
pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-
80% faal ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan
terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik
biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit
saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia.
Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan
pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit
ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal.
Pada penyakit GGK stadium 5, terapi yang bisa dilakukan hanya pemberian
hemodialisis yang hanya bertujuan untuk mencegah kematian tetapi tidak dapat
menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi
hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak
dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.Tindakan
hemodialisis ini termasuk salah satu dalam perawatan paliatif pada penyakit GGK.

12
DAFTAR PUSTAKA

Brenner BM, Lazarus JM. 2000.Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3


Edisi13. Jakarta: EGC.1435-1443.
Mansjoer A, et al. 2002.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi 3.Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001.Gagal Ginjal Kronik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.\
Suwitra K. 2006.Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.581-
584.
Brunner&Suddarth.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 vol
2.EGC:Jakarta
Drs. H. syaifuddin, B. AC. 1997. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif dkk, 2000. kapita Jilid I & II. Edisi ketiga. Jakarta : Media
Acsulapius.
R. syamsu Hidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta : EGC.
http://ezcobar.com/dokter online/dokter15/index.php?
option=com_content&view=article&id=305:pengertian-gagal-ginjal-
kronik&catid=53:perut&Itemid=68
http://hanif.web.ugm.ac.id/gagal-ginjal-kronik.html
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/16/gagal-ginjal-kronik/
http://indonesiannursing.com/2008/08/22/asuhan-keperawatan-gagal-ginjal-kronis
nursing-diagnosis-of-chronic-kidney-diseases/
http://nikomang-sugiartini.blogspot.co.id/2011/11/keperawatan-paliatif-pada-pasian-
gagal.html

13

Anda mungkin juga menyukai