Anda di halaman 1dari 4

Musim di Rambut Ibu (Majalah Sastra Horison, edisi Maret 2012)

Pancaroba. Aku melihat musim yang tak menentu di rambut ibu. Datang dan
pergi. Silih berganti. Dan kini, setelah hari-hari ibu terperangkap dalam kasur
dan kursi roda, musim-musim itu, kian tampak nyata. Jadi, semenjak itu, di
mataku, kepala ibu telah menjelma rupa menjadi hamparan tanah kecil yang
penuh misteri.
Ketika kuceritakan itu kepada ayah, ayah melulu tersenyum dan mengatakan,
bahwa ibu, hanya sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik. Ayah tak pernah
menjelaskan lebih apa nama sakit yang diderita ibu. Ayah hanya mengatakan,
bahwa sesuatu yang tidak diinginkan telah bertumbuh di batok kepala ibu.
Tepatnya di otak. Agaknya nama sakit itu terlalu sulit untuk ia jelaskan padaku,
sehingga ia cukup mengatakan, bahwa ibu sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik.
Dan semenjak ibu sakit itulah, aku menyaksikan berbagai musim singgah dan
berganti di rambutnya.
***

Musim pdrtama yang kusaksikan di rambut ibu adalah musim semi. Sambil
menemani ibu yang terbaring lemah di kasurnya, aku selalu memerhatikan
rambutnya yang hitam mengkilat, seperti hamparan rumput di malam pekat.
Apa yang kau lihat? Tanya ibu ketika itu, ketika aku memelototi rambutnya
seperti menyaksikan pertunjukan sirkus, tanpa berkedip.
Ada musim semi di rambut ibu, balasku. Ibu tersenyum.
Itu bukan musim semi, Nak. Itu rambut ibu yang mulai ditunasi uban.
Uban?
Iya, uban. Uban itu rambut berwarna putih. Rambut yang akan tumbuh jika
seseorang sudah tua. Seperti ibumu. Seperti juga ayahmu. Seperti rambut
eyangmu dulu. Ingat, kan? Rambut eyangmu putih semua.
Aku mengangguk, mengingat-ingat rupa rambut eyang yang berwarna putih
seperti serabut bunga dandleon. Kalau sudah demikian, aku akan terdiam di
hadapan ibu, menunggu ibu lelah dan kembali memejamkan matanya. Selepas
ibu terlelap, aku kembali memelototi rambutnya. Menyaksikan musim semi
bertumbuh kembang dengan indah di sana. Tunas-tunas, kuncup-kuncup, begitu
sejuk. Rasanya aku ingin menjelma menjadi kutu di rambut ibu, supaya bisa
menikmati musim semi di sana.
Ibumu sudah tidur, kenapa kau tidak ikut tidur, ayah menghampiriku yang
masih membeku di hadapan ibu.
Aku masih mau di sini, Yah. Aku mau menyaksikan musim semi di rambut ibu.
Ha, musim semi? Musim semi apa? Ada-ada saja, ayah berlalu setelah
mengacak-acak rambutku.
***
Aku tak sanggup menghisab berapa lama musim semi bertahan di rambut ibu,
hingga tiba-tiba kusaksikan musim penghujan datang berdentangan. Mengguyur
rambut ibu. Rambut ibu kuyup seperti mandi. Musim hujan di rambut ibu
memang sedikit aneh, tanpa mendung dan tanpa petir. Hujan itu luruh begitu
saja. Rambut ibu yang hitam mengkilat tiba-tiba berubah menjadi juntaian air
yang mengalir. Membasahi keningnya, matanya, sampai lehernya. Ibu menggigil.
Kedinginan. Seperti arca. Tak berkata apa-apa.
Mengapa kau pelototi ibumu begitu? Ayah terheran-heran.
Ibu kedinginan, Yah! Ada hujan lebat di rambutnya.
Hus, itu keringat, bukan hujan. Seperti yang Ayah bilang, ibumu berkeringat
karena menahan sakit yang sangat di kepalanya.
Tapi airnya sampai mata, Yah! Lihatlah!
Itu air mata, bukan hujan, ayah menyeka air di mata ibu dengan mata berkilat,
seperti kaca tertempa sinar.
Tapi kasihan ibu, Yah. Ibu kedinginan.
Berdoalah untuk kesembuhan ibumu. Percayalah, doamu akan membuatnya
sedikit hangat dan nyaman, balas ayah.
Aku menatap ibu dan ayah bergantian, sebelum akhirnya terdiam, memejamkan
mata. Melabuhkan segala permohonan. Permohonan supaya ibu lekas sembuh
seperti sedia kala. Permohonan supaya musim di rambut ibu berganti dengan
musim yang lebih indah, untuk waktu yang lama. Beberapa detik kemudian aku
beramin. Mengusap wajah dengan telapak tangan yang mulai terasa dingin.
***
Musim di kepala ibu memang sangat aneh dan berubah-ubah semaunya. Selepas
musim penghujan, kini, kusaksikan getir air di rambut ibu membeku, menjelma
salju. Musim salju telah sampai di rambut ibu. Butiran-butiran putih berserakan
di kepala ibu, di antara juntaian rambutnya yang hitam. Acapkali butiran salju itu
luruh terkulai di pundak ibu, dan terkadang di bantal tempat kepala ibu
bersandar. Tentu saja ibu kedinginan. Salju beku menyelimuti kepalanya.
Beberapa kali aku meniupi butiran salju itu supaya lekas luruh dan mencair. Tapi
ayah melarangku.
Mengapa kau tiupi rambut ibumu? ayah mengernyitkan dahi.
Ada salju di rambut ibu, Yah! balasku.
Itu ketombe, bukan salju. ayah menatapku dengan tatapan aneh, kepalanya
menggeleng beberapa kali. Kulirik ibu yang terpingkal-pingkal dengan bahu
berguncang, tanpa suara. Ayah ikut menahan tawa.
Tapi itu salju, Yah. Lihatlah! Ibu kedinginan.
Sakit ibumu memang membuat ibumu kedinginan. Jadi, ibumu bukan
kedinginan karena salju, tapi karena ibumu sedang sakit. Sakit yang sedikit
pelik.
Tapi butiran putih itu sangat dingin, Yah. Lihatlah! Aku juga menggigil.
Baiklah, nanti, kalau ibumu bersedia, ayah akan membersihkan rambutnya
dengan air hangat, dengan shampo anti ketombe. Ehm, maksud ayah, shampo
anti salju. Tawa ayah tersedak di tenggorokkan. Ibu kembali terbahak dengan
pundak berguncang, tanpa suara. Silih aku yang mengernyitkan dahi. Tapi aku
tetap bersikeras. Bahwa itu salju, bukan ketombe.
***
Kini, rambut ibu seperti ditumpahi cahaya. Cerah. Bersiluet. Penuh kilat. Sekilas
kutilik, ada pelangi membentang di dahinya. Terkadang di ulas bibirnya, kala
tersenyum. Aku senang melihat rambut ibu segar berkilat. Subur. Dengan tunas
berkilau di beberapa ujungnya. Beberapa rambut memang sudah ada yang
tampak layu, kecoklatan. Sambil menunggui ibu, aku acap bertanya, masih
adakah musim baru yang akan bersalam ke rambut ibu. Aku berharap tidak. Aku
ingin rambut ibu tetap subur, sejuk. Dengan pelangi yang melingkar di kening
dan bibirnya.
Namun, cahaya itu tidak berlangsung lama. Pada waktu yang tak pernah
kunyana, musim baru menjalar di rambut ibu. Musim gugur. Dan tampaknya,
musim kali ini akan berlangsung lama.
Seiring melesatnya waktu, kusaksikan rambut ibu mulai berguguran satu per
satu. Ketika ayah menyisiri rambut ibu, rambut ibu akan menggumpal memenuhi
gigi sisir. Terkadang rambut itu pun luruh begitu saja, berserakan di bantal,
selimut, dan kasur. Seperti serakan daun kering yang mati. Bahkan, bukan hanya
rambutnya yang gugur. Bulu di mata ibu pun tiba-tiba menipis dan habis. Ibu
semakin tak berdaya. Seperti arca. Terdiam. Tak berkata apa-apa. Dan musim
inilah yang membuat ayah ditimpa lebih banyak gerimis.
Mengapa Ayah menangis? dadaku terasa sesak ketika menanyakan itu.
Ayah cuma takut kehilangan ibumu, ungkapnya liris.
Musim gugur telah sampai di rambut ibu, ya, Yah?
Kali ini ayah mengangguk, tidak menyangkalku.
Apakah nanti, musim semi akan datang lagi di rambut ibu?
Ayah tak tahu, Nak.
Kulihat mata ayah penuh kabut. Tampaknya ia ingin sendiri. Aku pun berlalu, aku
ingin melabuhkan kembali permohonan. Permohonan yang sangat kepada Tuhan.
Supaya musim yang indah kembali bercokol di rambut ibuku. Amin.
***
Musim gugur mengaum sedikit panjang. Melunasi rambut ibu satu persatu.
Hingga kini, kepala ibu mengkilat. Bersih. Tanpa sehelai rambut pun. Bulu
matanya pun habis. Kini, kepala ibu tampak kerontang. Dan aku yakin, musim
kemarau telah datang, menjerang kepala ibu. Aku sering menangis sembunyi-
sembunyi. Tak sampai hati melihat keadaan ibu yang demikian. Seiring kemarau
itu, dokter mulai sering berkunjung ke rumah. Memasukan jarum ke selang kecil
yang terhubung ke perban yang tersembunyi di balik baju ibu. Aku tak mau tahu
lebih banyak. Karena, aku selalu merinding bila melihat jarum-jarum itu
disuntikkan ke ibu. Kata ayah, memang itulah makanan ibu. Itulah yang
membuat ibu bertahan.
Kemarau, Yah, kemarau!
Apanya yang kemarau?
Rambut ibu habis, Yah, kini musim kemarau mendatangi kepala ibu.
Itu bukan kemarau, Nak. Sakit yang diderita ibumu mengharuskan rambut-
rambutnya tanggal. Jadi rambut ibumu habis bukan karena kemarau, tapi karena
ibumu memang sedang sakit. Sakit yang sedikit pelik.
Tapi itu kemarau, Yah. Lihatlah. Kelopak mata ibu menghitam. Pucat.
Orang sakit memang begitu, Nak.
Tapi kemarau itu membuat tubuh ibu kering. Lihatlah, ibu semakin kurus.
Ayah terdiam agak lama, sebelum akhirnya meyakinkanku, Percayalah, ibumu
akan baik-baik saja.
Dari cara ayah berkata, aku tak yakin bahwa ibu akan baik-baik saja. Itu terbukti.
Beberapa hari setelah kemarau menjalari kepala ibuku, ayah melarikan ibu ke
rumah sakit. Handai tolan berdatangan menjenguk. Aku semakin khawatir.
Akankah kemarau yang singgah di kepala ibu menjadi kemarau panjang.
Tampaknya iya. Berhari-hari ibu memejamkan mata. Ayah menyebutnya koma.
Ibu terdiam seperti arca. Tak berkata apa-apa. Dan kemarau di kepalanya
semakin garang melanda.
Semenjak ibu dirawat di rumah sakit. Ayah menitipkanku pada nenek. Sesekali
saja nenek mengajakku menjenguk ibu. Ketika menjenguk ibu, kusaksikan musim
kemarau masih bertengger di sana. Musim kemarau yang panjang. Tak
berkesudahan.
***
Berkalang waktu, kabar ibu semakin buntu. Hingga suatu ketika, nenek
mengajakku ke rumah sakit, dengan wajah panik dan terburu-buru. Ada
mendung bergelayutan di wajah nenek kala itu. Ketika kutanya ada apa, nenek
hanya menjawab, bahwa ia ingin mengantar ibu. Ketika kutanya lagi, mengantar
ibu ke mana, nenek memintaku untuk tidak banyak bertanya. Aku pun diam.
Aku tak sabar untuk berjumpa dengan ibu, untuk menyaksikan musim-musim
baru berkuncup di kepalanya, di rambutnya. Musim-musim yang indah. Namun,
tampaknya, musim kemarau adalah musim terakhir yang kusaksikan di kepala
ibu, di rambut ibu. Karena selepas itu, sesampainya kami di rumah sakit, tubuh
ibu telah ditutupi kain berwarna awan. Di hadapan ibu, musim penghujan luruh
ke mata ayah dan ke mata nenek.
Ibu kenapa, Yah?
Ayah mendekapku erat. Membisikkan sesuatu di telingaku. Hujan di matanya
turut membasahiku.
Ibumu telah memetik musim yang baru. Musim di surga yang tak kutahu
namanya. Apa kau ingin melihat wajah ibumu?
Aku mengangguk. Ayah menyingkap kain awan yang menutupi wajah ibu. Dan di
sana, di kepala ibu, aku menyaksikan sebuah musim baru. Musim paling indah
yang pernah kusaksikan. Musim paling tenang yang tak pernah kutahu
namanya.***
Malang, 7 September 2011

Anda mungkin juga menyukai