Fixx Peb
Fixx Peb
Disusun Oleh :
Pembimbing :
RSUD ARJAWINANGUN
2016
BAB I
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. Y
Usia : 22 Thn
Agama : Islam
Pendidikan : SLTP
Anamnesis
Keluhan utama :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien G1P0A0 merasa hamil 9 bulan datang dengan keluhan sesak napas, sesak napas
dirasakan 7 hari yang lalu dan semakin memberat sejak 4 hari yang lalu. Keluhan disertai
tekanan darah yang tinggi dan bengkak diseluruh tubuh sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga
mengeluh mules sejak 1 hari yang lalu beserta keluar air-air dan lendir, darah (-) sejak 8 jam
yang lalu. gerak janin masih dirasakan. Pasien juga merasa lemas dan pusing, pandangan
Riwayat menstruasi :
Menarche : 15 tahun
Siklus : Teratur
1
Keluhan saat haid : Disangkal, 2 kali ganti pembalut
Riwayat obstetri :
Riwayat KB :
Tidak menggunakan KB
Riwayat Pernikahan :
HT (-), DM (-), Asma (-), Alergi (-), Peny.Jantung (-), Peny.Paru (-).
HT (-), DM (-), Asma (-), Alergi (-), Peny.Jantung (-), Peny.Paru (-).
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Composmentis
Nadi : 120x/menit
Pernafasan : 43x/menit
Suhu : 36,5C
Spo2 : 69 %
palpebra +/+
2
Abdomen : Status Obstetrikus
Status Obstretikus
Abdomen
Palpasi
His : -
Auskultasi
Genitalia
VT : 2 cm
Diagnosa
3
G1P0A0 Parturien aterm Kala 1 fase laten dengan KPD +PEB + udem pulmo + udem anasarka
dan fetal distress.
Rencana
Sectio caesaria cyto
Rehidrasi RL 20 tpm
Cek labor (darah rutin, SGOT/PT, protein urine, GDS, Ureum Kreatinin, HbsAg,
HIV)
Cefotaxim 2 x 1 gr (skin test)
Furosemid 2 Amp
Kalnex 3 x 1 Amp
Dexamethasone 3 x 1 Amp
Metronidazole 3 x 1 fl
Protab PEB
o MgSo4 4 gr bolus IV pelan
o MgSo4 6 gr drip dalam RL 500 CC, 20 tpm/ menit
o Injeksi Cefotaxim 2 x 1 gr
o Kalnex 1 Amp (extra) IV
o Injeksi furosemid 1 Amp (extra) jika TDS > 180
o Injeksi Dexamethasone 1 Amp (extra) jika TDS < 160
o Vit C 3 x 1 tab jika TDS > 180
o Dopamet 3 x 250-500 mg
o Nifedipin 3 x 10 mg
Konsul anastesi untuk SC
Hasil laboratorium :
Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin : 8,8 gr/dl
Hematokrit : 32,6 %
Leukosit : 19,41 103/ul
Trombosit : 802 103/ul
Eritrosit : 4.46 mm3
Index Eritrosit
MCV : 73.1 fl
MCH : 19.8 pg
MCHC : 27,1 g/dl
RDW : 20.6 fl
MPV : 9.7 fl
4
PDW : 35.8 fl
Hitung Jenis (Diff)
Eosinofil : 0.2 %
Basofil : 0.9 %
Segmen : 72.7 %
Limfosit : 20.2 %
Monosit : 4.6 %
Stab : 1,4 %
Golongan darah B
Imunologi
HBsAg : 0,01
Anti HIV : Non reaktif
Kimia klinik
SGOT : 82 U/L
SGPT : 26 U/L
GDS : 107 mg/dl
Ureum : 9.4
Creatinin : 0.74
Protein Urine : +3
Pemeriksaan USG
BPD 38w1d
AC 36w3d
Pemeriksaan EKG
5
Jam 14.05 WIB
SC dan persiapan ke OK
Jam 14.15 WIB
Di OK, RR (-)/ Apneu HR (-), sianosis (+), TD tidak teraba,
Jam 14.20 WIB
Resusitasi jantung paru
HR: 112
R: kontrol intubasi (20 x/ menit)
O2 : 24 % compresi dada 30 x/ menit
Intruksi dr,sp.An :
- Injeksi Sulfas Atropine (SA) 2 Amp dan Adrenaline 2 Amp
Jam 14.25 WIB
HR: 103
SpO2 : 40 %
TD : 140/90
Intruksi dr,sp.An :
- Injeksi Sulfas Atropine (SA) 2 Amp dan Adrenaline 2 Amp
Jam 14.35 WIB
RJP + kontrol ventilasi
SpO2 : 32
HR : 42
R : komtrol (20 x/ menit)
Intruksi dr,sp.An :
- Injeksi Sulfas Atropine (SA) 2 Amp dan Adrenaline 2 Amp
Jam 14.45 WIB
RJP + kontrol ventilasi
HR : 60
TD tidak terdeteksi
Intruksi dr,sp.An :
- Injeksi Sulfas Atropine (SA) 2 Amp dan Adrenaline 2 Amp
Jam 14.50 WIB
HR asistole
RJP stop
6
Keluarga diberitahu
BAB II
PEMBAHASAN
1. Apakah kasus pada pasien ini memenuhi syarat sebagai pre-eklampsi berat?
2. Apakah penyebab terjadi udem pulmo pada pasien PEB dalam kasus ini ?
3. Apakah penatalaksaan pada pasien ini sudah tepat?
1. Apakah kasus pada pasien ini memenuhi syarat sebagai pre-eklampsi berat?
Preeklampsia adalah kelainan malafungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang
menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu,
mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang
menimbulkan terjadinya hipertensi, edema nondependen, dan dijumpai proteinuria
300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick) dengan nilai sangat fluktuatif saat
pengambilan urin sewaktu (Brooks MD, 2011). Semakin berat hipertensi atau
proteinuria, semakin pasti diagnosis pre eklamsia.
o Klasifikasi Preeklampsia
7
Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, terjadi setelah kehamilan
20 minggu.
Proteinuria >300 mg/24 jam atau > 1 + pada pemeriksaan carik celup.
N - nyeri kepala
N - mata kabur
N - nyeri epigastrium
Pasien pada kasus ini saat masuk RS, memiliki tekanan darah di atas normal yaitu
170/120 yang mencapai kriteria tekanan darah pada pre-eklampsi berat. Disertai
protein urin + yaitu +3, ini juga memenuhi syarat pre-eklampsi berat. Tidak
terdapat gangguan visus saat pasien datang ke RS, nyeri epigastrium (-),
trombositopeni (-) trombosit pasien ini adalah 802.000 dimana masih dalam
keadaan trombositosis, sindrom HELLP tidak dapat diperiksa karena tidak
memadainya pemeriksaan lab di RS tersebut untuk menegakkan diagnosis
sindrom HELLP. Karena tekanan darah 170/120 dan protein urin +3 disertai
gejala pre-eklampsi berat maka pasien ini memenuhi kriteria pre-eklampsi berat.
2. Apakah penyebab terjadi udema pulmo pada pasien PEB dalam kasus ini ?
8
Pathogenesis edema paru pada preeclampsia berat
Disfungsi endotel ditandai peningkatan kadar sVCAM-1, vWF dan fibrin monomer
sebagai petanda aktivasi koagulasi
Peningkatan permeabilitas kapiler akibat timbulnya mediator inflamasi (tromboksan
dan endothelin)
Ketidakseimbangan Starling Force akibat hipertensi dan hemodilusi, menyebabkan
Peningkatan tekanan vena pulmonalis Penurunan tekanan onkotik plasma
Peningkatan negativitas tekanan interstisial
Akibat hal tersebut menyebabkan tertumpuknya cairan pada ruang interstisial paru-
paru akibat ekstravasasi cairan ke jaringan ekstraseluler menyebabkan edema paru
Proses terjadinya edema paru, yaitu :
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area yang
langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong-
kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara
diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam
alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis
yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali
dinding-dindig ini kehilangan integritasnya. Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi
dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru
sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas
(oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah
yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai air dalam paru-paru ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh
banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung, disebut
cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-
cardiogenic pulmonary edema.
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran
gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas
menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya
saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur,
demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis kerley B).
Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran
nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda
gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe
9
sehingga penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia
dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas
vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right to left intrapulmonary
shunt.
Pada kasus ini, udema paru pada pasien PEB terlihat pada beberapa manifestasi berupa:
o Anamnesis:
o Sesak napas semakin memberat.
o timbul perlahan dan tiba-tiba, dalam kasus ini gejalanya mulai
dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
o Takipneu
o Kelemahan
o Pusing
o Pemeriksaan fisik:
o Tekanan darah meningkat 170/120
o Terdengar ronkhi pada kedua lapang paru
o Terdengar suara vesikular meningkat pada paru sinistra.
Pada kasus ini terdapat kekurangan dalam menengakkan diagnosis udem paru:
- Anamnesis belum digali seluruhnya untuk menegakkan diagnosis udem paru
- Tidak terdapat data menunjukkan dilakukannya pemeriksaan fisik paru secara
lengkap
- Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya untuk menegakkan diagnosis
pasti udema paru (radiologi dan test pungsi) karena keterbatasan waktu
dikarenakan kondisi pasien memburuk.
10
tanpa ada penundaan. Pada beberapa tahun terakhir, sebuah pendekatan yang berbeda pada
wanita dengan PEB mulai berubah. Pendekatan ini mengedepankan penatalaksanaan
ekspektatif pada beberapa kelompok wanita dengan tujuan meningkatkan luaran pada bayi
yang dilahirkan tanpa memperburuk keamanan ibu.
Adapun terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien dengan PEB antara lain adalah :
a. Tirah baring
b. Oksigen
c. Kateter menetap
d. Cairan intravena. Cairan intravena yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid maupun
koloid dengan jumlah input cairan 1500 ml/24 jam dan berpedoman pada diuresis,
insensible water loss, dan central venous pressure (CVP). Balans cairan ini harus selalu
diawasi.
e. Magnesium sulfat (MgSO4). Obat ini diberikan dengan dosis 20 cc MgSO4 20% secara
intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40%
sebanyak 30 cc dalam 500 cc ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Magnesium
sulfat ini diberikan dengan beberapa syarat, yaitu:
1. refleks patella normal
2. frekuensi respirasi >16x per menit
3. produksi urin dalam 4 jam sebelumnya >100cc atau 0.5 cc/kgBB/jam
4. disiapkannya kalsium glukonas 10% dalam 10 cc sebagai antidotum. Bila nantinya
ditemukan gejala dan tanda intoksikasi maka kalsium glukonas tersebut diberikan
dalam tiga menit.
f. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik >110 mmHg. Pilihan antihipertensi
yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih
tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 10 mg dengan interval satu jam, dua jam, atau
tiga jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah pada PEB tidak boleh terlalu agresif
yaitu tekanan darah diastol tidak kurang dari 90 mmHg atau maksimal 30%. Penggunaan
nifedipin ini sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat, dan mudah
mengatur dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
g. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan pada semua wanita usia kehamilan 24-34
minggu yang berisiko melahirkan prematur, termasuk pasien dengan PEB.
Preeklampsia sendiri merupakan penyebab 15% dari seluruh kelahiran prematur. Ada
11
pendapat bahwa janin penderita preeklampsia berada dalam keadaan stres sehingga
mengalami percepatan pematangan paru. Akan tetapi menurut Schiff dkk, tidak terjadi
percepatan pematangan paru pada penderita preeklampsia.
12
kematian pada ibu hamil dengan preeklamsi berat serta komplikasinya udem
paru.
Adapun tatalaksana pada pasien ini berupa:
DAFTAR PUSTAKA
13
Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. Pedoman Diagnosis dan
Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2000; 208
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653
Winknjosastro H. Ilmu Kebidanan Edisi III,cetakan lima. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 1999. 357-8, 785-790.
14