Anda di halaman 1dari 7

SISTEM DELTA

disarikan dari
Davis, R.A., 1992, Depositional Systems: An Introduction to Sedimentology and Stratigraphy, Englewood-Cliffs, Prentice-
Hall, hlm. 253-293.

Delta adalah akumulasi sedimen pada muara sungai. Istilah delta diambil dari huruf Yunani "delta" (D) dan pertama
kali digunakan oleh orang-orang Yunani purba untuk menamakan akumulasi sedimen yang ada di muara Sungai Nil. Delta
mungkin merupakan sistem pengendapan yang paling kompleks, karena pada sistem ini terdapat lebih dari selusin
lingkungan pengendapan. Delta memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena delta-delta purba sering berperan sebagai
tempat dimana bahan bakar fosil seperti migas dan batubara banyak ditemukan.
Pemelajaran geologi terhadap delta masa kini sebenarnya baru dilakukan pada beberapa dekade terakhir. Sebelum
Perang Dunia II, hanya ada delapan makalah mengenai delta yang diterbitkan di Amerika Utara: dua mengenai Delta
Fraser, tiga mengenai Delta Mississippi, dan dua mengenai Delta Colorado (LeBlanc, 1975). Ledakan penelitian terhadap
delta masa kini dan delta purba, pada tahun 1960- dan 1970-an, telah mendorong terbitnya sejumlah besar karya tulis
mengenai delta. Banyak materi simposia dan kursus singkat, misalnya karya Shirley (1976), Fisher dkk (1969), Morgan
dan Shaver (1979), Broussard (1975), Weimer (1976), dan Coleman (1976), kemudian menjadi literatur dasar mengenai
delta.

PENYEBARAN
Faktor utama yang menentukan terbentuk tidaknya suatu delta pada muara suatu sungai adalah pola kesetimbangan
antara pasokan sedimen dengan fluks energi di muara sungai. Jika sedimen yang dikirimkan ke muara sungai lebih
banyak dibanding volume sedimen yang dapat didistribusikan oleh arus pasut, arus pesisir, dan gelombang maka di
tempat tersebut akan terbentuk delta.
Meskipun delta ditemukan hampir di setiap sudut belahan bumi, namun ada batasan iklim, morfologi, dan tektonik
yang mempengaruhi terbentuk tidaknya sistem delta. Pembentukan delta memerlukan adanya sistem penyaliran yang
besar dan aktif sedemikian rupa sehingga akan dihasilkan luah air dan sedimen yang banyak. Secara umum, delta tidak
ditemukan pada daerah-daerah yang dewasa ini ditutupi oleh es kutub (Antartika dan Greenland) (gambar 1).
Pengamatan selintas terhadap peta penyebaran delta masa kini mengindikasikan bahwa tektonik global merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan delta, dimana delta tidak terbentuk pada tempat-tempat benturan
lempeng. Salah satu alasan yang menyebabkan tidak terbentuknya delta pada tempat-tempat itu adalah karena pada
tempat-tempat seperti itu biasanya tidak ditemukan paparan yang cukup luas dan dangkal. Walau demikian, perlu
diketahui bahwa ada lima delta yang terbentuk pada tempat-tempat benturan lempeng yaitu Delta Columbia dan Delta
Colorado (Amerika Serikat), Delta Fraser (Kanada), Delta Ebro (Spanyol), dan Delta Po (Itali).

KARAKTER SISTEM DELTA


Delta merupakan suatu kompleks lingkungan pengendapan yang mencakup lingkungan-lingkungan pengendapan
terestris, pesisir, dan bahari. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila proses-proses dan morfologi delta dipengaruhi
oleh banyak faktor yang satu sama lain saling berkaitan. Hal ini pula yang menyebabkan sangat bervariasinya karakter
sistem delta. Walau demikian, ada beberapa karakter dan proses yang umum terjadi dalam sistem delta. Karakter dan
proses umum tersebut tidak tergantung pada ukuran maupun posisi tektoniknya.
Secara umum, delta dapat dibagi ke dalam tiga lingkungan utama yaitu:
Dataran delta (delta plain), yaitu bagian delta yang terletak paling dekat dengan daratan. Dataran delta ini umumnya
terletak di atas muka air. Hanya sebagian kecil yang terletak di bawah muka air.
Perenggan delta (delta front), yaitu bagian delta yang berdampingan dengan dataran delta, namun terletak lebih ke arah
laut.
Prodelta, yaitu bagian delta yang terletak paling jauh dari daratan.
Pada perenggan delta dan prodelta terdapat kecendungan penghalusan sedimen ke arah laut (Wright, 1978). Ujung delta
yang paling jauh (di laut) disusun oleh lumpur halus.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa delta merupakan sistem konstruktif. Sebenarnya, dalam sistem ini juga
terdapat fasa destruktif. Pengerosian terjadi pada tempat tertentu atau pada rentang waktu tertentu, ketika suplai sedimen
rendah. Arus, baik yang ditimbulkan oleh gelombang maupun pasut, merupakan agen utama bagi erosi delta. Penaikan
muka air laut juga dapat menyebabkan terjadinya erosi delta. Fasa destruktif terutama terjadi pada delta pasif, yang
mungkin terbentuk akibat avulsi alur, di tempat mana suplai sedimen rendah. Di lain pihak, pada delta aktif, proses yang
terjadi praktis besifat konstruktif. Gisik, beach ridge, dan gumuk dapat terbentuk pada pesisir delta alahan. Delta aktif
memperlihatkan progradasi dataran delta, dengan laju maksimum terjadi pada alur sungai utama.

1
PROSES-PROSES DELTA
Walaupun manusia telah cukup lama mengetahui morfologi dan stratigrafi delta, namun pengetahuannya mengenai
proses-proses yang bekerja dalam sistem delta relatif baru. Gilbert (1885, 1890) sebenarnya telah mengemukakan arti
penting proses-proses yang bekerja dalam delta untuk memahami sistem delta secara keseluruhan, namun gagasannya
kurang mendapat sambutan yang cukup hangat dari para ahli geologi yang hidup pada awal hingga pertengahan abad 20,
kecuali Barrell (1912). Penelitian terhadap proses-proses delta baru dilakukan pada tahun 1950-an oleh Bates (1953).
Sejak itu, banyak usaha dilakukan untuk memahami kompleksitas proses-proses delta.
Sejumlah proses secara bersama-sama menjadi faktor pengontrol perkembangan delta. Sebagian diantaranya bekerja
di dalam, atau di dekat, lingkungan delta; sebagian yang lain terletak relatif jauh dari sistem deltanya sendiri. Faktor-faktor
yang mem-pengaruhi perkembangan delta, namun tidak berada di dalam atau di dekat lingkungan delta, adalah iklim,
relief cekungan penyaliran, sedimen, dan rezim luah air (Coleman dan Wright, 1975). Dalam banyak hal, iklim menjadi
faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan delta. Iklim tidak hanya mengontrol jumlah dan penyebaran luah
air, namun juga vegetasi, pelapukan, pembentukan tanah, dan (hingga tahap tertentu) juga mempengaruhi relief cekungan
penyaliran. Relief cekungan penyaliran mempengaruhi khuluk dan volume sedimen yang dipasok menuju muara sungai
dan, pada gilirannya, menentukan bentuk delta itu sendiri.
Sebagian dari proses-proses di atas telah dijelaskan sewaktu kita membahas sistem fluvial. Dalam tulisan ini kita
hanya akan menekankan pembahasan pada proses-proses yang bekerja dalam deltanya sendiri, yaitu proses-proses
sungai dan proses-proses bahari, termasuk didalamnya pasut, gelombang, dan arus pantai.

Proses-Proses Sungai
Untuk memudahkan pembahasan, pertama-tama kita akan menganalisa kondisi muara sungai sederhana, di tempat
mana pengaruh pasut dan gelombang dapat diabaikan. Dengan demikian, asumsi ini menghasilkan kondisi yang
didominasi oleh sungai. Kondisi seperti itu mirip dengan kondisi danau, estuarium, dan laut tertutup, atau pada daerah
dimana terdapat lereng lepas pantai yang lebar dan datar (Wright, 1977). Di bawah kondisi seperti ini ada tiga gaya utama
yang bekerja: inersia, gesekan dasar (bed friction), dan apungan (bouyance). Faktor-faktor seperti luah, kecepatan aliran,
kedalaman, ukuran dan jumlah partikel sedimen, serta perbedaan densitas antara air sungai dan air cekungan
menentukan faktor mana yang akan mengontrol proses-proses sungai dalam delta.
Kecepatan aliran yang tinggi, pertambahan kedalaman ke arah laut, dan kecilnya perbedaan densitas antara air
sungai dengan air cekungan akan menyebabkan inersia berperan sebagai gaya pengontrol utama. Keadaan ini pada
gilirannya menyebabkan muatan yang ada dalam air itu menjadi pecah dan tersebar seperti sedimen yang ada dalam jet
turbulen untuk kemudian membentuk gosong muara sungai (gambar 2) (Wright, 1978). Sedimen penyusun gosong ini
menunjukkan gejala penghalusan ke arah laut (gambar 3).Kondisi ini umumnya hanya terjadi pada sungai bergradien
tinggi yang masuk ke dalam paparan yang dalam, atau pada tempat-tempat dimana aktivitas pasut bersifat homogen di
seluruh bagian massa air.
Jika pergesekan di dasar sungai merupakan gaya pengontrol utama bagi aliran, maka akan terjadi penurunan
kecepatan aliran dan sedimen yang diangkut akan menyebar membentuk gosong muara sungai (gambar 4). Gosong ini
memiliki lebar sekitar empat hingga enam kali lebar dari alur pemasoknya. Sebagaimana sedimen penyusun gosong yang
terbentuk di bawah pengaruh gaya inersia, sedimen penyusun gosong ini juga memperlihatkan gejala penghalusan ke
arah laut. Kedua gosong tersebut berbeda dalam hal bentuk dan posisinya terhadap muara sungai.
Sebagian besar sungai besar yang ada di dunia ini bermuara ke laut. Densitas air tawar lebih kurang 1,00 gr/cm3,
sedangkan densitas air laut umumnya sekitar 1,026 - 1,028 gr/cm3. Walaupun air sungai banyak dimuati oleh sedimen,
namun densitasnya jarang yang sama, apalagi melebihi, densitas air laut. Akibatnya, sewaktu air sungai memasuki laut,
massa air itu akan "mengambang" di atas air laut. Dalam kondisi seperti ini dikatakan bahwa aliran berada di bawah
pengaruh apungan. Aktivitas pasut atau gelombang dapat menyebabkan turunnya efek-efek apungan tersebut sedemikian
rupa sehingga kondisi aliran dapat berubah menjadi berada di bawah pengaruh gaya inersia atau gesekan dasar (Wright,
1977). Dalam sungai-sungai yang laju luahnya tinggi, dan selama jejang banjir, efek apungan berpengaruh.
Adanya konvergensi aliran di dekat dasar menyebabkan material-material berbutir kasar terkonsentrasi dalam daerah-
daerah yang sempit dan membentuk tangkis-tangkis bawah air yang lurus (gambar 3) (Wright, 1977). Ketika muara sungai
berprogradasi, gosong-gosong tersebut tumbuh menjadi bar-finger sands (Fisk, 1961).

Proses-Proses Bahari
Pada kebanyakan muara sungai, biasanya terjadi interaksi antara proses-proses sungai dengan proses-proses
cekungan. Meskipun pembahasan ini diberi judul proses-proses bahari, namun prinsip-prinsip disini (dengan pengecualian
untuk prinsip-prinsip pasut) juga dapat diterapkan pada lingkungan-lingkungan dimana sungai memasuki massa air
nonbahari.

2
Pasut
Beberapa delta besar sangat dipengaruhi atau didominasi oleh aktivitas pasut. Salah satu delta besar yang termasuk
ke dalam kategori ini adalah Delta Amazon. Delta Gangga-Brahmaputra (Bangladesh) dan Delta Ord (Australia) juga
merupakan delta yang mendapat pengaruh pasut cukup tinggi.
Pada dasarnya, ada tiga pengaruh pasut terhadap proses-proses delta, yaitu:
Menghancurkan gradien densitas dan memperkecil efek-efek pengapungan.
Menjadi agen sedimentasi utama, sewaktu luah sungai rendah.
Memperluas wilayah interaksi sungai-bahari (Wright, 1977).
Dominansi pasut menyebabkan adanya proses dua arah yang pada gilirannya akan dicerminkan oleh karakter
gosong-gosong muara sungai. Gosong itu umumnya berbentuk linier dengan sumbu panjang terletak sejajar dengan arah
aliran (gambar 5).
Dalam sungai yang didominasi oleh pasut, alur mengalami perlebarkan di dekat muara dengan membentuk
konfigurasi seperti lonceng (gambar 5). Karena arus pasut relatif kuat, zona ini umumnya dipenuhi oleh pasir. Lebih ke
arah hilir dari zona itu dapat ditemukan sungai meander dengan gosong-gosong tanjungnya.

Gelombang
Delta biasanya tidak terbentuk dengan baik, bahkan tidak terbentuk sama sekali, pada pesisir bergelombang aktif.
Walau demikian, ada beberapa delta yang terbentuk pada pesisir berlereng cukup curam dan di bawah kondisi energi
gelombang tinggi.
Ketika gelombang datang dan menumbuk suatu delta aktif, sedimen penyusun delta itu akan tercerai-berai. Selain itu,
gelombang itu akan bertumbukan dengan aliran sungai sedemikian rupa sehingga kedua aliran itu menjadi terganggu. Hal
ini pada gilirannya menyebabkan penurunan kompetensi aliran sungai sedemikian rupa sehingga sedimen yang
diangkutnya akan terakumulasi di sekitar muara sungai. Endapan itu terutama berukuran pasir dan terletak hampir sejajar
dengan garis pantai (gambar 6).
Arus Pantai
Meskipun arus-arus dangkal yang dihasilkan oleh angin, gelombang, pasut, atau arus samudra dapat mempengaruhi
tepian benua, namun efek totalnya terhadap sedimentasi delta umumnya hanya bersifat sekunder (Coleman, 1976). Arus-
arus itu umumnya memiliki komponen yang sejajar dengan garis pantai. Komponen inilah yang mempengaruhi
sedimentasi muara sungai. Arus yang paling kuat diantara arus-arus itu adalah arus sepanjang pantai yang ditimbulkan
oleh gelombang.
Meskipun arah arus yang bekerja pada suatu tempat berubah-ubah dari waktu ke waktu, namun biasanya ada satu
arah dominan. Arus dominan itulah yang bertanggung-jawab terhadap pengubahan morfologi muara sungai melalui proses
pembentukan spit dan bermigrasinya alur-alur yang ada di muara sungai. Perlu diingat bahwa unsur-unsur tubuh sedimen
dasar yang ada dalam sistem ini sama dengan unsur-unsur tubuh sedimen yang ada di muara sungai yang didominasi
oleh gelombang, walaupun di tempat ini tidak ada arus sepanjang pantai yang cukup kuat (gambar 7).

SEDIMEN DELTA
Sistem delta terdiri dari sejumlah lingkungan pengendapan. Setiap lingkungan tersebut dicirikan oleh kumpulan sedimen
dan struktur sedimen tertentu. Bagian sistem delta yang paling kompleks adalah bagian atas dari dataran delta. Di daerah
ini terdapat daerah transisi dari lingkungan fluvial, yang didominasi oleh proses-proses daratan, ke lingkungan muara
sungai yang relatif banyak dipengaruhi oleh proses-proses bahari. Apabila kita melihat bagian-bagian dari sistem delta,
mulai dari perenggan delta hingga prodelta, akan tampak bahwa pola pengendapannya relatif sederhana dan seragam.

Dataran Delta
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bagian atas dari sistem delta bersifat kompleks dan terdiri dari sejumlah
lingkungan pengendapan. Sebagian dari lingkungan tersebut didominasi oleh proses-proses permukaan; sebagian yang
lain didominasi oleh proses-proses bawah air; dan sebagian yang lain dipengaruhi oleh pasut (paling tidak sebagian
diantaranya).
Lingkungan-lingkungan utama yang ada di dataran delta adalah:
Alur penebar (distributary channels) beserta tangkis alam, gosong tanjung, dan crevasse splay yang berasosiasi
dengannya. Semua lingkungan ini sering sukar dipisahkan dari sistem fluvial.
Endapan antar alur (interdistributary deposits) yang mencakup teluk dan rawa-rawa. Endapan ini menutupi ceruk yang
sama dengan tempat dimana endapan banjir dari sistem fluvial diendapkan.
Dataran delta dikenai oleh berbagai proses fisika yang memiliki tingkat energi yang bervariasi dalam kerangka ruang
dan waktu. Kondisi-kondisi ekstrim terjadi pada saat banjir di sungai (pada waktu mana proses-proses fluvial bekerja
dominan) dan pada saat terjadi badai (pada waktu mana proses-proses bahari bekerja dominan).

3
Alur Penebar
Berbagai proses seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya menyebabkan terbentuknya alur-alur
penebar pada dataran delta. Alur-alur itu menjadi lintasan utama dimana air sungai pengangkut sedimen bergerak menuju
cekungan. Proses-proses dan endapan yang terbentuk di sekitar alur-alur itu mirip dengan proses-proses dan endapan
yang terbentuk dalam sistem fluvial. Alur-alur penebar merupakan tempat dimana sedimen-sedimen berbutir kasar, yang
diangkut sungai, diendapkan. Pembahasan mengenai proses-proses dan endapan dalam alur ini akan dipersingkat untuk
menghindarkan terjadinya pengulangan karena kesemuanya itu analog dengan proses-proses dan endapan yang
terbentuk dalam sistem fluvial.
Banyak alur penebar memperlihatkan kecenderungan untuk bermigrasi ke arah lateral. Walau demikian, perlu disadari
bahwa tidak semua alur penebar memperlihatkan gejala ini. Akibat dari proses migrasi tersebut adalah terbentuknya
sejumlah gosong tanjung pasiran, di dalam mana terdapat lapisan silang-siur yang umumnya miring ke arah hilir atau ke
arah cekungan. Lapisan silang-siur dalam gosong tanjung di daerah yang didominasi oleh proses pasut menunjukkan
kemiringan ke dua arah (Wright, 1985). Pasir pembentuk gosong tanjung itu juga memiliki struktur stratifikasi silang-siur
gelembur dan struktur keruk-isi serta dapat mengandung lensa-lensa lempung yang tipis dan tidak menerus dan lapisan-
lapisan yang terdistorsi sebagai akibat nendatan (Coleman dkk, 1974). Tubuh-tubuh pasir itu biasanya kecil dan tidak
menerus. Alahan-alahan yang ada di daerah ini terisi dengan lambat karena tempat-tempat tersebut hanya akan
memperoleh muatan sedimen pada waktu terjadi banjir atau badai. Alahan-alahan tersebut diisi oleh material campuran
antara lanau, lempung, dan material organik serta memiliki dasar yang merupakan bidang kerukan (Wright, 1985).
Gosong-gosong yang ada di muara alur-alur penebar terutama disusun oleh pasir, dengan sisipan lapisan lanau
berstratifikasi silang-siur. Material rombakan organik umumnya terperangkap dalam sedimen-sedimen yang terakumulasi
dengan cepat, namun material-material tersebut cenderung teroksidasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan sejumlah
gas yang kemudian akan keluar dan menyebabkan terbentuknya struktur escaping gas (Coleman dkk, 1964).
Tangkis alam yang ada di daerah ini mungkin terbentuk di atas air maupun di bawah muka air. Tangkis-tangkis alam
yang terbentuk di bawah muka air berasosiasi dengan muara alur-alur penebar. Tangkis-tangkis alam yang terbentuk di
atas muka air dapat terbentuk di semua bagian dataran delta dan mengindikasikan jenjang aktivitas sungai yang berbeda-
beda. Sedimen penyusun tangkis alam yang terbentuk di bawah muka air adalah pasir halus yang disisipi oleh sejumlah
laminae lempung atau material organik rombakan (Coleman, 1976). Stratifikasi silang-siur yang ada dalam tangkis alam ini
memperlihatkan orientasi yang sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh arus dan gelombang yang kompleks (Wright,
1985).
Walaupun morfologi umum dari tangkis alam yang terbentuk di atas muka air mirip dengan tangkis alam yang
terbentuk di bawah muka air, tapi proses pembentukan lintap sedimennya berbeda. Tangkis alam yang terbentuk di atas
muka air terbentuk akibat material yang terangkut sewaktu terjadi banjir sedemikian rupa sehingga material penyusunnya
lebih halus dibanding material penyusun tangkis alam yang terbentuk di bawah muka air. Tangkis alam ini memperlihatkan
gejala penghalusan ke atas dan dicirikan oleh kehadiran stratifikasi silang-siur gelembur kecil dan laminasi terganggu
yang terbentuk akibat adanya gangguan oleh vegetasi.
Pemasokan sedimen ke dalam teluk-teluk alur penebar berlangsung ketika terjadi banjir. Kondisi banjir itu juga dapat
mendorong terbentuknya crevasse splay di sepanjang alur penebar. Crevasse splay yang terbentuk di daerah ini analog
dengan crevasse splay yang terbentuk dalam sistem fluvial, walaupun ukurannya mungkin dapat demikian besar. Kadang-
kadang crevasse splay itu berkembang menjadi delta-delta kecil yang masing-masing memiliki sistem alur penebar sendiri
serta sewaktu-waktu dapat aktif kembali (gambar 8) (Coleman dan Gagliano, 1964; Coleman, 1976).

Lingkungan Antar Alur Penebar


Lingkungan antar alur penebar (interdistributary environments) merupakan bagian utama penyusun dataran delta.
Lingkungan ini tidak sekompleks lingkungan alur penebar. Dengan pengecualian untuk alahan, semua bagian dari
lingkungan ini merupa-kan lingkungan kecepatan rendah. Teluk antar alur penebar merupakan daerah perairan yang
dangkal dan hampir tidak memiliki relief sama sekali. Di tempat ini sedimentasi berlangsung lambat. Kedalaman perairan
ini berkisar dari beberapa meter hingga kedalaman yang biasa dimiliki oleh wilayah supratidal. Sedimen masuk ke daerah
ini terutama selama terjadi banjir di sungai atau ketika terjadi badai (Coleman, 1976).
Sebagian besar sedimen pengisi lingkungan antar alur penebar adalah lanau, lempung, dan sejumlah kecil material
rombakan cangkang organisma bentonik yang hidup di perairan dangkal. Lapisan tipis pasir atau lensa material cangkang
dapat terbentuk di daerah ini sebagai akibat proses perombakan sewaktu terjadi badai (Wright, 1985). Laminasi sejajar
dan lubang galian organisma juga dapat ditemukan dalam endapan lingkungan ini.

Khuluk dan penyebaran daerah antar alur penebar terutama dipengaruhi oleh rezim pasut di wilayah delta. Kisaran
pasut yang pendek akan menyebabkan terbentuk-nya teluk yang terbuka, agak lebar, dan bagian tepinya ditempati oleh
rawa-rawa. Contoh teluk antar alur penebar seperti ini adalah teluk-teluk di Delta Mississippi. Di lain pihak, jika kisaran
pasutnya lebar, maka akan terbentuk teluk yang lebar namun tidak memiliki dataran pasang surut yang ditutupi oleh
vegetasi. Contoh teluk antar alur penebar seperti ini adalah teluk-teluk di Delta Ord (Coleman dan Wright, 1975).

4
Perenggan Delta
Bagian topset delta yang terletak lebih ke arah laut dan berada dalam wilayah subtidal biasa disebut perenggan delta
(delta front) atau batur perenggan delta (delta front platform) (Allen, 1970). Lebar dari zona ini biasanya tidak lebih dari
beberapa kilometer dengan kedalaman hingga sekitar 10 meter. Sedimen penyusun perenggan delta umumnya berukuran
pasir dan memperlihatkan gejala penghalusan ke arah laut. Zona ini didominasi oleh proses-proses bahari seperti
gelombang dan arus sepanjang pantai. Walau demikian, pada delta-delta di wilayah kisaran pasut lebar, pasut menjadi
faktor dominan di sepanjang pesisir perenggan delta. Perenggan delta ini praktis berupa paket lapisan pasir dengan
sejumlah gosong pasir tersebar disana-sini (Wright, 1985).
Sedimen yang diangkut menuju muara sungai biasanya kemudian digerakkan kembali oleh gelombang atau arus
sepanjang pantai. Energi fisika yang relatif tinggi di daerah ini menyebabkan terjadinya pemilahan dan penghalusan.
Sedimen pasiran itu biasanya memperlihatkan gejala stratifikasi silang-siur dengan berbagai skala dan arah orientasi,
disertai dengan sedikit struktur bioturbasi (Allen, 1970). Struktur bioturbasi tersebut terbentuk pada waktu relatif tenang,
pada saat mana laju pengendapan rendah. Dengan pengecualian untuk bagian-bagian puncak gosong muara sungai dan
gisik, lingkungan perenggan delta merupakan bagian dari sistem delta yang berenergi paling tinggi (Allen, 1970).
Meskipun progradasi ke arah laut merupakan gejala yang umum terjadi dalam sistem delta, namun hal itu tidak selalu
terjadi. Pada waktu-waktu tertentu tidak terjadi progradasi akibat pasokan sedimen yang rendah. Di bawah kondisi seperti
itu, pasir perenggan delta umumnya terrombakkan menuju beach ridge yang ada di tepi luar dari tubuh delta yang terletak
di atas muka air (gambar 9). Proses seperti itu merupakan tipe fasa destruksi dalam sedimentasi delta.
Tubuh pasir yang memanjang atau berbentuk seperti bulan sabit biasa ditemukan dalam perenggan delta. Gosong-
gosong muara sungai sebenarnya terletak di daerah perenggan delta, namun tubuh-tubuh sedimen itu didominasi oleh
proses sungai. Di bawah kondisi mikrotidal, sand ridge pasut berbentuk memanjang akan menggantikan kedudukan
gosong muara sungai yang ada di bagian atas dari perenggan delta. Sand ridges itu umumnya disusun oleh pasir dan
memperlihatkan struktur silang-siur (Wright dkk, 1975). Gosong-gosong dekatan terletak dekat dengan batas luar
perenggan delta dan tersusun oleh perselingan pasir halus dan lumpur (Wright, 1985). Gosong-gosong itu dapat memiliki
ketinggian beberapa meter dan dicirikan oleh gejala stair-step. Coleman dkk (1974) menyimpulkan bahwa bongkah-
bongkah nendatan di daerah ini terbentuk akibat adanya lereng terjal yang terbentuk akibat laju sedimentasi yang tinggi.

Prodelta
Lingkungan delta yang paling lebar dan homogen adalah prodelta. Lingkungan ini merupakan bagian dominan pada
kebanyakan delta. Prodelta disusun oleh lanau dan lempung, dimana lempung merupakan material dominan. Sedimen
prodelta menunjuk-kan gejala penghalusan ke arah laut dan bersambung dengan lumpur paparan. Beberapa prodelta juga
mengandung lapisan-lapisan tipis pasir yang tersisip diantara lumpur (gambar 9). Pengendapan dari suspensi
menyebabkan terbentuknya laminasi-laminasi yang demikian halus sehingga tidak terdeteksi oleh mata telanjang, namun
dengan jelas terlihat pada radiograf sinar-X. Pada waktu laju sedimentasi lambat, proses pengeboran oleh organisma
bentonik yang hidup di daerah ini dapat menyebabkan hancurnya gejala laminasi tersebut. Material cangkang yang
selama ini ditemukan dalam lumpur prodelta merupakan milik organisma bahari sehingga dapat disimpulkan bahwa
lingkungan ini bebas dari pengaruh proses-proses air tawar.
Walaupun kemiringan aktual dari prodelta rendah, sekitar 1-2 derajat (gambar 10), namun kemiringan sebesar itu
cukup untuk menyebabkan terjadinya konvolusi perlapisan serta terjadinya pensesaran sedimen lunak yang ada di
lingkungan ini, hal mana mengindikasikan ketidakstabilan lereng. Kantung-kantung pasir yang ada dalam lumpur prodelta
ditafsirkan terbentuk karena terangkut dari bagian delta yang lebih dangkal menuju lingkungan ini, sewaktu terjadi
nendatan seperti itu (Wright, 1985).

MORFOLOGI DELTA
Morfologi delta bervariasi. Morfologi itu ditentukan oleh kaitan antara pasokan sedimen dengan proses-proses yang
bekerja dalam sistem delta. Walaupun pembahasan disini terutama ditujukan pada proses konstruktif, namun morfologi
delta sebenarnya juga mencerminkan fasa destruktif dari sedimentasi delta. Fasa destruktif berlangsung ketika terjadi
avulsi suatu alur atau terjadi rendahnya pasokan sedimen sedemikian rupa sehingga di tempat ini tidak terjadi
pengendapan, melainkan erosi.
Efek-efek primer yang mempengaruhi morfologi delta adalah proses-proses sungai beserta beban sedimen yang
berasosiasi dengannya, fluks energi gelombang, arus sepanjang pantai, dan fluks energi pasang-surut. Secara garis
besar, morfologi delta merupakan bentuk tanggapan terhadap interaksi antara proses-proses yang bekerja di daerah
muara alur penebar dengan proses-proses yang bekerja di daerah antar alur penebar.

Penggolongan Delta
Ada suatu model yang sederhana, namun berguna, dalam menggambarkan mekanisme proses-produk yang bekerja
di pesisir delta dan menggambarkan secara umum bagaimana proses-proses sungai berinteraksi dengan proses-proses
bahari. Gambar 11 melukiskan tiga morfologi dasar dari delta. Delta yang didominasi oleh proses-proses sungai memiliki
bentuk elongate, sistem mana dicirikan oleh sejumlah alur penebar yang masing-masing menjorok ke arah laut. Contoh

5
klasik dari delta dengan morfologi seperti ini adalah Delta Mississippi. Di lain pihak, delta yang didominasi oleh proses-
proses bahari memiliki bentuk cuspate, sistem mana dicirikan oleh tidak berkembangnya alur penebar dan adanya strand
plain berbentuk bulan sabit. Contoh dari delta seperti ini adalah Delta Sao Fransisco (Brazil). Bentuk pertengahan antara
delta elongate dan delta cuspate dicirikan oleh adanya alur-alur penebar, namun masing-masing tidak menjorok jauh ke
arah laut, melainkan secara bersama-sama membentuk suatu tonjolan besar. Delta seperti itu dikatakan memiliki
morfologi lobate. Contoh dari delta seperti ini adalah Delta Niger (Afrika).
Setiap model morfologi delta tersebut di atas dapat dibedakan menjadi dua subtipe yaitu delta konstruktif dan delta
destruktif.
Delta konstruktif didominasi oleh proses sungai, memiliki sistem penyaliran yang besar dan berkembang baik
sedemikian rupa sehingga mampu memasok sedimen dalam jumlah besar, serta dicirikan oleh fase-fase kontruksi dan
destruksi yang jelas (Fisher dkk, 1969). Dalam delta ini, sedimen umumnya berupa partikel berukuran lempung. Delta ini
biasanya berkembang di tepian paparan yang lebar dan dangkal, di tempat mana aktivitas gelombang rendah. Fasa
destruktif dalam delta berlangsung secara terbatas pada bagian dekatan dan hanya memberi pengaruh sekunder
terhadap sistem delta secara keseluruhan.
Delta destruktif lebih jauh menjadi dua subtipe, yakni delta yang didominasi oleh gelombang dan delta yang
didominasi oleh pasut. Delta yang didominasi oleh gelombang memiliki sistem penyaliran yang sempit dan bersifat lokal
serta hanya mampu memasok sedimen dalam jumlah yang terbatas. Fasa kontruksi hanya memberi pengaruh sekunder
dalam sistem delta ini. Tingginya persentasi material berukuran pasir dalam sistem delta ini terjadi karena material-
material yang diangkut menuju sistem delta ini terus menerus digerakkan oleh gelombang. Dalam sistem delta ini
biasanya berkembang gisik dan strandplain dengan arah lebih kurang sejajar dengan garis tepi delta (gambar 12). Delta
yang didominasi oleh pasut memiliki sejumlah besar gejala linier yang terletak lebih kurang tegak lurus terhadap arah
umum dari garis pantai yang ada di sekitar delta tersebut serta lebih kurang sejajar dengan arah arus pasut. Secara
umum, sebagaimana delta yang didominasi oleh gelombang, sedimen penyusun delta ini sebagian besar berukuran pasir.
Perbedaannya terletak dari pola endapan pasirannya. Pola endapan inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya
perbedaan morfologi antara delta yang didominasi oleh gelombang dengan delta yang didominasi oleh pasut (gambar 12).
Dengan menggunakan diagram segitiga, di dalam mana pasokan sedimen (proses-proses sungai), energi gelombang,
dan energi pasut menjadi anggota tepinya, kita dapat menggolongkan delta ke dalam sejumlah tipe (gambar 13; tabel 1).

RINGKASAN KARAKTER SISTEM DELTA


Sistem delta merupakan salah satu sistem pengendapan transisi yang paling mudah dikenal keberadaannya. Berikut akan
dikemukakan sejumlah karakter dari sistem delta.

Tatanan tektonik
Secara teoritis, delta dapat terbentuk di daerah pantai yang ada pada semua tatanan tektonik. Walau demikian, sistem ini
lebih cenderung terbentuk di daerah dataran pantai atau trailing-edge coast. Kondisi seperti itu menyebabkan
berkembangnya sistem penyaliran yang lebar dan mampu memasok sedimen dan air dalam jumlah besar. Selain itu, delta
cenderung terbentuk di daerah paparan yang miring landai karena daerah seperti ini menunjang terjadinya akumulasi
sedimen di sekitar muara sungai serta terjadinya pengurangan daya erosi dari gelombang. Sebaliknya, delta cenderung
tidak terbentuk di daerah paparan yang miring curam karena morfologi dan tingginya aktivitas gelombang di daerah seperti
ini tidak menunjang terjadinya akumulasi sedimen untuk membentuk delta.

Bentuk
Secara umum, bentuk delta adalah segitiga. Walau demikian, penyimpangan dari bentuk seperti itu dapat saja terjadi,
terutama dalam sistem delta yang didominasi oleh proses-proses fluvial dan delta yang didominasi oleh proses-proses
pasut. Delta umumnya berbentuk membaji atau seperti lensa yang tebal.

Ukuran
Lebar delta sangat bervariasi, mulai dari ukuran yang relatif kecil sehingga mungkin tidak tampak dalam peta berskala
kecil hingga ribuan kilometer persegi. Ketebalannya juga berkisar mulai dari beberapa meter hingga ribuan meter.

Tekstur
Delta yang berprogradasi memperlihatkan gejala pengkasaran ke atas dan ke arah darat. Walau demikian, pola tekstur
seperti ini hanya merupakan sifat umum. Penyimpangan dari gejala umum ini dapat terjadi, hal mana terutama
dipengaruhi oleh tipe deltanya sendiri serta oleh tempat dimana pengukuran kolom stratigrafinya dilakukan. Secara umum,
sistem delta merupakan campuran dari pasir dan lumur. Perenggan delta didominasi oleh pasir, sedangkan prodelta
didominasi oleh lumpur.

6
Litologi
Tidak banyak hal yang dapat dikemukakan mengenai litologi sistem delta karena begitu bervariasinya litologi sistem ini,
hal mana ditentukan oleh tipe material yang dipasok ke dalam sistem ini. Walau demikian, ada beberapa jenis litologi yang
agak spesifik untuk sistem delta seperti lapisan batubara yang terbentuk pada dataran delta. Selain itu, banyak endapan
delta kaya akan partikel mikaan dan mengandung serat-serat kayu.

Struktur Sedimen
Tidak ada satupun jenis struktur sedimen yang bersifat diagnostik untuk sistem delta atau untuk setiap jenis lingkungan
pengendapan yang ada dalam sistem ini. Hal yang perlu diketahui adalah bahwa dalam lintap prodelta dapat ditemukan
sejumlah struktur gangguan seperti perlapisan konvolut, struktur diapir, struktur beban, dsb.
Paleontologi
Walaupun tidak ada taxa yang bersifat diagnostik untuk sistem delta, namun kombinasi antara variasi litologi dan
paleontologi mungkin dapat digunakan sebagai indikator dari sistem delta.

Asosiasi
Sistem delta kemungkinan besar akan terapit diantara sistem fluvial dengan sistem paparan laut terbuka. Dalam sistem
delta sendiri terdapat sejumlah asosiasi fasies. Dataran delta merupakan bagian dari sistem delta yang kompleks dan
terdiri dari sejumlah lingkungan pengendapan. Oleh karena itu, endapan dari dataran delta juga memperlihatkan asosiasi
fasies yang kompleks. Rawa, teluk antar alur penebar, dataran pasut, dan alur penebar masing-masing menghasilkan
fasies yang khas, namun dapat tersusun dalam lintap stratigrafi yang berbeda-beda. Fasies perenggan delta dapat
bervariasi, tergantung pada pengaruh relatif dari proses-proses sungai, pasut, dan gelombang. Akibatnya lintap stratigrafi
di daerah ini juga bervariasi. Lumpur prodelta banyak memperlihatkan kemiripan dengan lumpur paparan dan memang
ada gejala transisi diantara keduanya. Pembedaan antara kedua paket lumpur tersebut terutama didasarkan pada
ketebalan dan laju akumulasinya, dimana lumpur delta lebih tebal dan diendapkan dengan laju akumulasi yang lebih tinggi
dibanding lumpur paparan.

Gambar 1 = Fig. 8-1 Gambar 2 = Fig. 8-2 Gambar 3 = Fig. 8-3


Gambar 4 = Fig. 8-4 Gambar 5 = Fig. 8-5 Gambar 6 = Fig. 8-6
Gambar 7 = Fig. 8-7 Gambar 8 = Fig. 8-9 Gambar 9 = Fig. 8-13
Gambar 10 = Fig. 8-15 Gambar 11 = Fig. 8-16 Gambar 12 = Fig. 8-17
Gambar 13 = Fig. 8-18

Gambar 1. Peta penyebaran sistem-sistem delta utama di muka bumi. Perhatikan bahwa sistem delta tidak terbentuk pada pantai barat Amerika yang
merupakan tepian lempeng aktif (Wright dkk, 1974)
Gambar 2. Pola stratifikasi pada sistem muara sungai yang didominasi oleh proses pergesekan dasar (Wright, 1977)
Gambar 3. Model akumulasi delta yang disederhanakan sebagaimana dikemukakan oleh Gilbert (1885)
Gambar 4. Pembentukan plane jet danpengendapan gosong muara alur penebar dalam sistem delta (Morgan, 1970; Wright, 1977)
Gambar 5. Muara sungai berbentuk seperti lonceng yang berasosiasi dengan tubuh endapan dangkalan linier merupakan karakteristik dari pantai yang
didominasi oleh pasut (Wright, 1977)
Gambar 6. Muara sungai yang didominasi oleh gelombang serta gosong-gosong pasir yang berasosiasi dengannya (Wright, 1977)
Gambar 7. Pola pengendapan pada muara sungai yang didominasi oleh arus sejajar pantai yang dihasilkan oleh gelombang (Wright, 1977)
Gambar 8. Crevasse splay yang berukuran besar, atau subdelta, pada Delta Mississippi (Coleman, 1976)
Gambar 9. Penampang skematis dari Delta Niger serta paparan yang berdampingan dengannya memperlihatkan tipe dan penyebaran sedimen serta
morfologi delta ini secara keseluruhan (Allen, 1970)
Gambar 10. Diagram yang memperlihatkan lereng prodelta yang umumnya hanya miring beberapa derajat
Gambar 11. Pengaruh relatif dari proses-proses sungai dan bahari terhadap morologi delta (Scott, 1969; Fisher dkk, 1969)
Gambar 12. Bentuk-bentuk dasar dari delta: konstruktif dan destruktif (Fisher dkk, 1969)
Gambar 13. Diagram segitiga yang memperlihatkan pengaruh gelombang dan pasut terhadap delta (Galloway, 1975)

Anda mungkin juga menyukai