Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Parkinson adalah salah satu penyakit neurodegeneratif yang bersifat


progresif. Penyakit ini merupakan penyakit neurodegeneratif tersering kedua
setelah Alzheimer. Penyakit Parkison paling banyak dialami pada usia lanjut dan
jarang ditemukan pada umur dibawah 30 tahun. Sebagian besar kasus ditemukan
pada usia 40-70 tahun, rata-rata pada usia 58-62 tahun dan kirakira 5% muncul
pada usia dibawah 40 tahun. (PERDOSSI, 2008).

Insiden lebih tinggi pada laki-laki, ras kulit putih dan didaerah industri tertentu,
insidensi terendah terdapat pada populasi Asia dan kulit hitam Afrika. Faktor
lingkungan memiliki peranan penting dalam menimbulkan penyakit ini (Sharma,
2008).

Angka prevalensi penyakit Parkinson di Amerika Utara diperkirakan sebesar 160


per 100.000 populasi dengan angka kejadian sekitar 20 per 100.000 populasi.
Prevalensi dan insidensi penyakit Parkinson semakin meningkat seiring
bertambahnya usia. Prevalensi berkisar antara 0,5-1% pada usia 65-69 tahun. Pada
umur 70 tahun prevalensi dapat mencapai 120 dan angka kejadian 55 kasus per
100.000 populasi pertahun. Prevalensi meningkat sampai 1-3% pada usia 80 tahun
atau lebih. Di Indonesia belum ada data prevalensi penyakit Parkinson yang pasti,
namun diperkirakan terdapat sekitar 400.000 penderita penyakit Parkinson.
Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada pria dari pada wanita dengan angka
perbandingan 3:2 (Joesoef, 2007).

Penyakit Parkinson mempunyai gejala yang khas berupa adanya tremor,


bradikinesia, rigiditas dan abnormalitas postural. Disamping itu terdapat pula
gejala psikiatri berupa depresi, cemas, halusinasi, penurunan fungsi kognitif,
gangguan sensorik, akathesia dan sindrom restless legs, gangguan penciuman,

1
gangguan otonom serta gangguan tidur yang disebabkan oleh efek samping obat
antiparkinson maupun bagian dari perjalanan penyakitnya. Perjalanan penyakit
atau derajat keparahan dari penyakit Parkinson diukur berdasarkan stadium Hoehn
dan Yahr atau Unified Parkinsons Disease Rating Scale (UPDRS) (PERDOSSI,
2008).

Patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit Parkinson antara lain adalah :


stres oksidatif, disfungsi mitokondria, eksitotoksisitas, inflamasi dan kelemahan
sistem ubiquitin proteasom (Seidl & Potashkin, 2011). Adanya peningkatan zat
besi yang terdeteksi pada substansia nigra pasien dengan penyakit Parkinson
meyakinkan pentingnya peranan stres oksidatif dalam patogenesis penyakit
Parkinson. Metabolisme dopamin endogen ternyata juga menyebabkan
peningkatan produksi racun yang mempertinggi terjadinya stres oksidatif pada
pasien penyakit Parkinson (Siderowf, 2003). Stres oksidatif di otak memiliki
peranan penting pada onset penyakit Parkinson dan menyebabkan peningkatan
kerusakan oksidatif di substansia nigra (Prasad, et al.,1999).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Susunan Saraf Pusat


Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Otak
terdiri dari :

1) Serebrum
2) Diencephalon : Talamus, hipotalamus
3) Trunkus serebri : Mesensefalon, pons, medulla oblongata
4) Serebellum

Serebrum terdiri dari 2 belahan besar terdiri atas badan sel saraf yang
berwarna kelabu dan serabut saraf yang berwarna putih. Substansi kelabu
serebrum disebut korteks serebri. Kedua hemisfer dipisahkan oleh celah
yang dalam, tapi bersatu kembali pada bagian bawahnya melalui korpus
kalosum, yaitu massa substansi putih. Dibagian bawah hemisfer terdapat
kelompok-kelompok substansi kelabu yang disebut ganglia basalis.

Ganglia Basalis

Perintah dari korteks motorik untuk inti motorik medulla spinalis


dipengaruhi oleh ganglia basalis dan serebellum lewat talamus. Dengan
demikian gerakan otot menjadi halus, terarah, dan terprogram. Ganglia
basalis terdiri dari : Nukleus kaudatus dan Nukleus lentiformis. Ganglia
basalis bersama dengan bagian dari kapsul interna disebut korpus striatum.

Sistem ekstrapiramidal terdiri dari : Ganglia basalis, Substansi nigra, dan


Nukleus subtalamus. Gangguan pada sistem ekstra piramidal
menyebabkan :

1) Hiperkinetik :
a) Korea
b) Atetosis
c) Balismus
2) Hipokinetik
a) Akinesia

3
b) Bradikinesia

Gangguan yang terjadi pada Ganglia basalis dapat menyebabkan gangguan


ekstra piramidal dengan gejala seperti disebutkan sebelumnya. Pada
keadaan tertentu dimana terjadi gangguan pada substansia nigra pars
compacta yang menyebabkan terganggunya atau hilangnya kemampuan
daerah tersebut membentuk neurotransmitter dopamin dapat menyebabkan
keadaan dengan gejala gangguan ekstrapiramidal atau disebut parkinson.

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis


progresif, merupakan penyakit terbanyak kedua setelah demensia
Alzheimer. Penyakit ini memiliki dimensi gejala yang sangat luas sehingga
baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas hidup
penderita maupun keluarga.1 Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter
inggris yang bernama James Parkinson pada tahun 1887. Penyakit ini
merupakan suatu kondisi ketika seseorang mengalami ganguan pergerakan
yang memiliki karakteristik yang khas yakni tremor, kekakuan dan
gangguan dalam cara berjalan (gait difficulty).

2.2 Definisi
Penyakit parkinson adalah gangguan neurodegerative yang progresif dari
sistem saraf pusat. Penyakit Parkinson merupakan gejala kompleks yang
dimanifestasikan oleh 6 tanda utama : tremor saat beristirahat, kekakuan,
bradikinesia-hipokinesia, posisi tubuh fleksi, kehilangan refleks postural,
freezing phenomena.

Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh degenerasi neuron-


neuron berpigmen neuromelamin, terutama di pars kompakta substansia
nigra yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies), atau
disebut juga parkinsonisme idiopatik atau primer (Sjahrir, 2007).

Sedangkan Parkinonisme adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor


waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural, atau
disebut juga sindrom parkinsonisme (Sudoyo, 2007).

4
2.3 Klasifikasi

Pada umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan, tetapi


harus diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapat gambaran tentang
etiologi, prognosis dan penatalaksanaannya.

1) Parkinsonismus primer/ idiopatik/paralysis agitans.


Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi
penyebabnya belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson
termasuk jenis ini.
2) Parkinsonismus sekunder atau simtomatik.
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain :
tuberkulosis, sifilis meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced,
misalnya golongan fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain,
misalnya perdarahan serebral petekial pasca trauma yang berulang-
ulang pada petinju, infark lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid
dan kalsifikasi.
3) Sindrom paraparkinson (Parkinson plus)
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari
gambaran penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada
penyakit Wilson (degenerasi hepato-lentikularis), hidrosefalus
normotensif, sindrom Shy-drager, degenerasi striatonigral, atropi
palidal (parkinsonismus juvenilis) (Price, 2006).

2.4 Etiologi

Etiologi Parkinson primer masih belum diketahui. Terdapat beberapa


dugaan, di antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional
(belum diketahui), reaksi abnormal terhadap virus yang sudah umum,
pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui, terjadinya penuaan
yang prematur atau dipercepat.

Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi


nigra. Suatu kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak

5
dikehendaki (involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa
mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak disadarinya.
Mekanisme bagaimana kerusakan itu belum jelas benar, akan tetapi ada
beberapa faktor resiko ( multifaktorial ) yang telah diidentifikasikan :
1) Usia
Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50
sampai 200 dari 10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini
berkaitan dengan reaksi mikrogilial yang mempengaruhi kerusakan
neuronal, terutama pada substansia nigra pada penyakit parkinson.
2) Genetik
Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada
penyakit parkinson. Yaitu mutasi pada gen a-sinuklein pada lengan
panjang kromosom 4 (PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism
autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif
parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin
(PARK2) di kromosom 6. Selain itu juga ditemukan adanya
disfungsi mitokondria. Adanya riwayat penyakit parkinson pada
keluarga meningakatkan faktor resiko menderita penyakit
parkinson sebesar 8,8 kali pada usia kurang dari 70 tahun dan 2,8
kali pada usia lebih dari 70 tahun. Meskipun sangat jarang, jika
disebabkan oleh keturunan, gejala parkinsonisme tampak pada usia
relatif muda. Kasus-kasus genetika di USA sangat sedikit, belum
ditemukan kasus genetika pada 100 penderita yang diperiksa. Di
Eropa pun demikian. Penelitian di Jerman menemukan hasil nol
pada 70 penderita. Contoh klasik dari penyebab genetika
ditemukan pada keluarga-keluarga di Italia karena kasus penyakit
itu terjadi pada usia 46 tahun.
3) Faktor Lingkungan
a) Xenobiotik : Berhubungan erat dengan paparan pestisida
yang dapat menimbulkan kerusakan mitokondria.
b) Pekerjaan : Lebih banyak pada orang dengan paparan
metal yang lebih tinggi dan lama.
c) Infeksi : Paparan virus influenza intrautero diduga turut
menjadi faktor predesposisi penyakit parkinson melalui
kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan

6
menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh
infeksi Nocardia astroides.
d) Diet : Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan
stress oksidatif, salah satu mekanisme kerusakan neuronal
pada penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi merupakan
neuroprotektif.
4) Ras
Angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih
dibandingkan kulit berwarna.
5) Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson,
meski peranannya masih belum jelas benar.
6) Stress dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala
motorik. Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit
parkinson karena pada stress dan depresi terjadi peningkatan
turnover katekolamin yang memacu stress oksidatif (Sudoyo,
2007).

2.5 Patofisiologi
Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena
penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta
substansia nigra sebesar 40 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik
eosinofilik ( Lewy bodies ) dengan penyebab multifaktor (Harsono, 2008).
.Lewy bodies adalah inklusi sitoplasmik eosinofilik konsentrik dengan
halo perifer dan dense cores . Adanya Lewy bodies dengan neuron pigmen
dari substansia nigra adalah khas , akan tetapi tidak patognomonik untuk
Penyakit Parkinson , karena terdapat juga pada beberapa kasus
parkinsonism atipikal. Untuk lebih memahami patofisiologi yang terjadi
perlu diketahui lebih dahulu tentang ganglia basalis dan sistem
ekstrapiramidal.

7
1) Ganglia Basalis
Dalam menjalankan fungsi motoriknya , inti motorik medula
spinalis berada dibawah kendali sel piramid korteks motorik,
langsung atau lewat kelompok inti batang otak . Pengendalian
langsung oleh korteks motorik lewat traktus piramidalis, sedangkan
yang tidak langsung lewat sistem ekstrapiramidal, dimana ganglia
basalis ikut berperan. Komplementasi kerja traktus piramidalis
dengan sistem ekstapiramidal menimbulkan gerakan otot menjadi
halus , terarah dan terprogram.
Ganglia Basalis tersusun dari beberapa kelompok inti , yaitu :
a) Striatum ( neostriatum dan limbic striatum )
Neostriatum terdiri dari putamen ( Put ) dan Nucleus
Caudatus ( NC )
b) Globus Palidus ( GP )
c) Substansia Nigra ( SN )
d) Nucleus Subthalami ( STN )
Pengaruh Ganglia Basalis (GB) terhadap gerakan otot dapat
ditunjukkan lewat peran sertanya GB dalam sirkuit motorik yang
terjalin antara korteks motorik dengan inti medula spinalis .
Terdapat jalur saraf aferen yang berasal dari korteks motorik,
korteks premotor dan supplementary motor area menuju ke GB
lewat Putamen. Dari putamen diteruskan ke GPi ( Globus Palidus
internus ) lewat jalur langsung ( direk ) dan tidak langsung ( indirek
) melalui GPe ( Globus Palidus eksternus ) dan STN. Dari GPe
diteruskan menuju ke inti inti talamus ( antara lain : VLO :
Ventralis lateralis pars oralis , VAPC : Ventralis anterior pars
parvocellularis dan CM : centromedian ). Selanjutnya menuju ke
korteks dari mana jalur tersebur berasal. Masukan dari GB ini
kemudian mempengaruhi sirkuit motorik kortiko spinalis ( traktus
piramidalis ). Kelompok inti yang tergabung didalam ganglia
basalis berhubungan satu sama lain lewat jalur saraf yang berbeda
beda bahan perantaranya (neurotransmitter/NT). Terdapat tiga jenis
neurotransmitter utama didalam ganglia basalis , yaitu : Dopamine
( DA ) ,Acetylcholin ( Ach ) dan asam amino ( Glutamat dan
GABA)

8
2) Patofisiologi Ganglia Basalis
Agak sulit memahami mekanisme yang mendasari terjadinya
kelainan di ganglia basalis oleh karena hubungan antara kelompok
kelompok inti disitu sangat kompleks dan saraf penghubungnya
menggunakan neurotransmitter yang bermacam macam . Namun
ada dua kaidah yang perlu dipertimbangkan untuk dapat mengerti
perannya dalam patofisiologi kelainan ganglia basalis.
a) Satu unit fungsional yang dipersarafi oleh lebih dari satu
sistem saraf maka persarafan tersebut bersifat reciprocal
inhibition ( secara timbal balik satu komponen saraf
melemahkan komponen yang lain ). Artinya yang satu
berperan sebagai eksitasi dan yang lain sebagai inhibisi
terhadap fungsi tersebut. Contoh klasik reciprocal inhibition
adalah dalam fungsi saraf otonom antara saraf simpatik
dengan NT noradrenalin ( NA ) dan saraf parasimpatik
dengan NT asetilkolin ( Ach ).
b) Fungsi unit tersebut normal bilamana kegiatan saraf eksitasi
sama atau seimbang dengan saraf inhibisi . Bilamana oleh
berbagai penyakit atau obat terjadi perubahan
keseimbangan tersebut maka timbul gejala hiperkinesia atau
hipokinesia tergantung komponen saraf eksitasi atau
inhibisi yang kegiatannya berlebihan.
Patofisiologi GB dijelaskan lewat dua pendekatan , yaitu
berdasarkan cara kerja obat menimbulkan perubahan keseimbangan
saraf dopaminergik dengan saraf kolinergik , dan perubahan
keseimbangan jalur direk ( inhibisi ) dan jalur indirek ( eksitasi ).
Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf
yang mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya
di substansia nigra pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat
dengan mata telanjang. Dalam kondisi normal (fisiologik),
pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan merangsang
reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang berada
di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke
globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis

9
lewat 2 jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek
berkaitan dengan reseptor D2 . Maka bila masukan direk dan
indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan.
Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan
substansia nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik
nigrostriatum sehingga tidak ada rangsangan terhadap reseptor D1
maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum muncul sampai lebih
dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang
80%. Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur
direk dengan neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi.
Reseptor D2 yang inhibitorik tidak terangsang, sehingga jalur
indirek dari putamen ke globus palidus segmen eksterna yang
GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi
inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan.
Fungsi inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen
ekstena ke nucleus subtalamikus melemah dan kegiatan neuron
nukleus subtalamikus meningkat akibat inhibisi.
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus
segmen interna / substansia nigra pars retikularis melalui saraf
glutaminergik yang eksitatorik akibatnya terjadi peningkatan
kegiatan neuron globus palidus / substansia nigra. Keadaan ini
diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung
,sehingga output ganglia basalis menjadi berlebihan kearah
talamus. Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke
talamus adalah GABAnergik sehingga kegiatan talamus akan
tertekan dan selanjutnya rangsangan dari talamus ke korteks lewat
saraf glutamatergik akan menurun dan output korteks motorik ke
neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokinesia.

10
Gambar 1 : Skema teori ketidakseimbangan jalur langsung dan tidak
langsung
Keterangan Singkatan
D2 : Reseptor dopamin 2 bersifat inhibitorik
D1 : Reseptor dopamin 1 bersifat eksitatorik
SNc : Substansia nigra pars compacta
SNr : Substansia nigra pars retikulata
GPe : Globus palidus pars eksterna
GPi : Globus palidus pars interna
STN : Subthalamic nucleus
VL : Ventrolateral thalamus = talamus

2.6 Gejala Klinis


1) Gejala Motorik
a) Tremor

11
Salah satu ciri khas dari penyakit parkinson adalah tangan
tremor (bergetar) jika sedang beristirahat. Namun, jika
orang itu diminta melakukan sesuatu, getaran tersebut tidak
terlihat lagi. Itu yang disebut resting tremor, yang hilang
juga sewaktu tidur.
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi
metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti
menghitung uang logam atau memulung-mulung (pill
rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-
supinasi pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi
atau menggeleng, mulut membuka menutup, lidah terjulur-
tertarik. Tremor ini menghilang waktu istirahat dan
menghebat waktu emosi terangsang (resting/ alternating
tremor). Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki,
tetapi bisa juga terjadi pada kelopak mata dan bola mata,
bibir, lidah dan jari tangan (seperti orang menghitung
uang). Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar.
Bahkan, kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak
sedang melakukan aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika
disadari, tremor tersebut bisa berhenti. Pada awalnya tremor
hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat penyakit,
tremor bisa terjadi pada kedua belah sisi (Duus, 1996).
b) Rigiditas/kekakuan
Tanda yang lain adalah kekakuan (rigiditas). Jika kepalan
tangan yang tremor tersebut digerakkan (oleh orang lain)
secara perlahan ke atas bertumpu pada pergelangan tangan,
terasa ada tahanan seperti melewati suatu roda yang bergigi
sehingga gerakannya menjadi terpatah-patah/putus-putus.
Selain di tangan maupun di kaki, kekakuan itu bisa juga
terjadi di leher. Akibat kekakuan itu, gerakannya menjadi
tidak halus lagi seperti break-dance. Gerakan yang kaku
membuat penderita akan berjalan dengan postur yang
membungkuk. Untuk mempertahankan pusat gravitasinya

12
agar tidak jatuh, langkahnya menjadi cepat tetapi pendek-
pendek.
Adanya hipertoni pada otot fleksor ekstensor dan hipertoni
seluruh gerakan, hal ini oleh karena meningkatnya aktifitas
motorneuron alfa, adanya fenomena roda bergigi (cogwheel
phenomenon) (Duus, 1996).
c) Akinesia/Bradikinesia
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat
perhatian sehingga tanda akinesia/bradikinesia muncul.
Gerakan penderita menjadi serba lambat. Dalam pekerjaan
sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang
semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi
pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga
penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu.
Wajah menjadi tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan mata
berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang,
sehingga sering keluar air liur. Gerakan volunter menjadi
lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif, misalnya
sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan,
lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah
dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia mengakibatkan
berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan
spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng,
kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan
ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut (Duus, 1996).
d) Tiba-tiba Berhenti atau Ragu-ragu untuk Melangkah
Gejala lain adalah freezing, yaitu berhenti di tempat saat
mau mulai melangkah, sedang berjalan, atau berputar balik;
dan start hesitation, yaitu ragu-ragu untuk mulai
melangkah. Bisa juga terjadi sering kencing, dan sembelit.
Penderita menjadi lambat berpikir dan depresi. Hilangnya
refleks postural disebabkan kegagalan integrasi dari saraf
propioseptif dan labirin dan sebagian kecil impuls dari

13
mata, pada level talamus dan ganglia basalis yang akan
mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini
mengakibatkan penderita mudah jatuh (Duus, 1996).
e) Mikrografia
Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada
beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini (Duus, 1996).
f) Langkah dan gaya jalan (sikap Parkinson)
Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin
menjadi cepat, stadium lanjut kepala difleksikan ke dada,
bahu membengkok ke depan, punggung melengkung bila
berjalan (Duus, 1996).
g) Bicara monoton
Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan,
pita suara, otot laring, sehingga bila berbicara atau
mengucapkan kata-kata yang monoton dengan volume
suara halus (suara bisikan) yang lambat (Duus, 1996).
h) Dimensia
Adanya perubahan status mental selama perjalanan
penyakitnya dengan defisit kognitif (Harsono, 2008).
i) Gangguan behavioral
Lambat-laun menjadi dependen (tergantung kepada orang
lain), mudah takut, sikap kurang tegas, depresi. Cara
berpikir dan respon terhadap pertanyaan lambat
(bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban
yang betul, asal diberi waktu yang cukup (Harsono, 2008).
j) Gejala Lain
Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada
pengetukan diatas pangkal hidungnya (tanda Myerson
positif) (Harsono, 2008).
2) Gejala Non Motorik
a) Disfungsi Otonom
Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan
sfingter terutama inkontinensia dan hipotensi
ortostatik
Kulit berminyak dan infeksi kulit seboroik
Pengeluaran urin yang banyak

14
Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai
dengan melemahnya hasrat seksual, perilaku,
orgasme.
b) Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi
c) Gangguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat
d) Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur
(insomnia)
e) Gangguan sensasi
Kepekaan kontras visual lemah, pemikiran
mengenai ruang, pembedaan warna
Penderita sering mengalami pingsan, umumnya
disebabkan oleh hypotension orthostatic, suatu
kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan
penyesuaian tekanan darah sebagai jawaban atas
perubahan posisi badan
Berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa
bau (microsmia atau anosmia) (PERDOSSI, 2003).

2.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit Parkinson ditegakkan berdasarkan kriteria :
1) Secara klinis
Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik :
tremor, rigiditas, bradikinesia atau
3 dari 4 tanda motorik : tremor, rigiditas, bradikinesia dan
ketidakstabilan postural.
2) Kriteria Koller
Didapati 2 dari 3 tanda cardinal gangguan motorik : tremor
saat istirahat atau gangguan refleks postural, rigiditas,
bradikinesia yang berlangsung 1 tahun atau lebih.
Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai
perbaikan sedang (minimal 1.000 mg/hari selama 1 bulan)
dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih.
3) Kriteria Gelb & Gilman
a) Gejala kelompok A (khas untuk penyakit Parkinson) terdiri
dari :
Resting tremor
Bradikinesia
Rigiditas

15
Permulaan asimetris
b) Gejala klinis kelompok B (gejala dini tak lazim), diagnosa
alternatif, terdiri dari :
Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun
pertama
Fenomena tak dapat bergerak sama sekali (freezing)
pada 3 tahun pertama
Halusinasi (tidak ada hubungan dengan pengobatan)
dalam 3 tahun pertama
Demensia sebelum gejala motorik pada tahun
pertama.
Diagnosis possible : terdapat paling sedikit 2 dari gejala
kelompok A dimana salah satu diantaranya adalah tremor atau
bradikinesia dan tak terdapat gejala kelompok B, lama gejala
kurang dari 3 tahun disertai respon jelas terhadap levodopa atau
dopamine agonis.
Diagnosis probable : terdapat paling sedikit 3 dari 4 gejala
kelompok A, dan tidak terdapat gejala dari kelompok B, lama
penyakit paling sedikit 3 tahun dan respon jelas terhadap levodopa
atau dopamine agonis.
Diagnosis pasti : memenuhi semua kriteria probable dan
pemeriksaan histopatologis yang positif (Harsono, 2008).

2.8 Skoring Parkinson


Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya
penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and
Yahr (1967) yaitu :

1) Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang
ringan, terdapat gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan
kecacatan, biasanya terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala
yang timbul dapat dikenali orang terdekat (teman)
2) Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal,
sikap/cara berjalan terganggu

16
3) Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai
terganggu saat berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang
4) Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya
untuk jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri
sendiri, tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya
5) Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total,
tidak mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu (PERDOSSI,
2003).

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil
klinis,karena tidak memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi
untuk penyakit Parkinson. Pengukuran kadar NT dopamine atau
metabolitnya dalam air kencing , darah maupun cairan otak akan
menurun pada penyakit Parkinson. Lebih lanjut , dalam keadaan
tidak ada penanda biologis yang spesifik penyakit, maka diagnosis
definitive terhadap penyakit Parkinson hanya ditegakkan dengan
otopsi. Dua penelitian patologis terpisah berkesimpulan bahwa
hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria patologis aktual,
sedangkan yang 24% mempunyai penyebab lain untuk
parkinsonisme tersebut (Sjahrir, 2007).
2) Neuroimaging :
a) Magnetik Resonance Imaging ( MRI )
Baru baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI , didapati
bahwa hanya pasien yang dianggap mempunyai atropi multi
sistem memperlihatkan signal di striatum.
b) Positron Emission Tomography ( PET )
Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan
telah memberi kontribusi yang signifikan untuk melihat
kedalam sistem dopamine nigrostriatal dan peranannya
dalam patofisiologi penyakit Parkinson. Penurunan
karakteristik pada pengambilan fluorodopa , khususnya di
putamen , dapat diperlihatkan hampir pada semua penderita
penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini.Pada saat
awitan gejala , penderita penyakit Parkinson telah

17
memperlihatkan penurunan 30% pada pengambilan
fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat
membedakan antara penyakit Parkinson dengan
parkinsonisme atipikal. PET juga merupakan suatu alat
untuk secara obyektif memonitor progresi penyakit ,
maupun secara obyektif memperlihatkan fungsi implantasi
jaringan mesensefalon fetus (Sjahrir, 2007).

Gambar . PET pada penderita Parkinson pre dan prost transplantasi

c) Single Photon Emission Computed Tomography ( SPECT )


Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan
post sinapsis oleh SPECT , suatu kontribusi berharga untuk
diagnosis antara sindroma Parkinson plus dan penyakit
Parkinson, yang merupakan penyakit presinapsis murni.
Penempelan ke striatum oleh derivat kokain [123]beta-CIT,
yang juga dikenal sebagai RTI-55, berkurang secara
signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis
terkena maupun tidak terkena pada penderita
hemiparkinson. Penempelan juga berkurang secara
signifikan dibandingkan dengan nilai yang diharapkan
sesuai umur yang berkisar antara 36% pada tahap I Hoehn
dan Yahr sampai 71% pada tahap V. Marek dan yang
lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan
sebesar 11% pada pengambilan [123]beta-CIT striatum
pada 34 penderita penyakit Parkinson dini yang dipantau

18
selama 2 tahun. Sekarang telah memungkinkan untuk
memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel saraf
nigrostriatal pada penyakit Parkinson.

Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-


sinapsis yang menggunakan ligand ini atau ligand baru
lainnya mungkin terbukti berguna dalam mendeteksi orang
yang beresiko secara dini. Sebenarnya, potensi SPECT
sebagai suatu metoda skrining untuk penyakit Parkinson
dini atau bahkan presimptomatik tampaknya telah menjadi
kenyataan dalam praktek. Potensi teknik tersebut sebagai
metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi
farmakologis baru, sekarang sedang diselidiki (Sjahrir,
2007).

2.10 Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit parkinson dapat dikelompokan ,sebagai berikut :
1) Farmakologik
a) Bekerja pada sistem dopaminergik
b) Bekerja pada sistem kolinergik
c) Bekerja pada Glutamatergik
d) Bekerja sebagai pelindung neuron
e) Lain lain .
2) Non Farmakologik
a) Perawatan
b) Pembedahan
c) Deep-Brain Stimulasi
d) Transplantasi (Sudoyo, 2007).

Farmakologik
1) Bekerja pada sistem dopaminergik
a) L-dopa
Sampai sekarang l-dopa masih merupakan obat paling
menjanjikan respon terbaik untuk penyakit parkinson
,namun masa kerjanya yang singkat , respon yang fluktuatif
dan efek oxidative stress dan metabolitnya menyebabkan
para peneliti mencari bahan alternatif . Cara kerja obat
kelompok ini dapat dijelaskan lewat alur metabolisme dari
dopamin sebagai berikut : Tyrosin yang berasal dari

19
makanan akan diubah secara beruntun menjadi l-dopa dan
dopamin oleh enzimya masing-masing . Kedua jenis enzim
ini terdapat diberbagai jaringan tubuh , disamping
dijaringan saraf . Dopamin yang terbentuk di luar jaringan
saraf otak , tidak dapat melewati sawar darah otak . Untuk
mencegah jangan sampai dopamin tersintesa diluar otak
maka l-dopa diberikan bersama dopa-decarboxylase
inhibitor dalam bentuk carbidopa dengan perbandingan
carbidopa : l-dopa = 1 : 10 ( Sinemet ) atau benzerazide : l-
dopa = 1 : 4 ( Madopar). Efek terapi preparat l-dopa baru
muncul sesudah 2 minggu pengobatan oleh karena itu
perubahan dosis seyogyanya setelah 2 minggu . Mulailah
dosis rendah dan secara berangsur ditingkatkan . Drug
holiday sebaliknya jangan lebih lama dari 2 minggu , karena
gejala akan muncul lagi sesudah 2 minggu obat dihentikan.
(De Long, 2006)
b) MAO dan COMT Inhibitor
Pada umumnya penyakit parkinson memberi respon yang
cepat dan bagus dengan l-dopa dibandingkan dengan yang
lain ,namun ada laporan bahwa l-dopa dan dopamin
menghasilkan metabolit yang mengganggu atau menekan
proses pembentukan energi dari mitokondria dengan akibat
terjadinya oxidative stress yang menuntun timbulnya
degenerasi sel neuron. Preparat penghambat enzim MAO
( monoamine oxydase ) dan COMT ( Catechol-O-methyl
transferase ) ditambahkan bersama preparat l-dopa untuk
melindungi dopamin terhadap degradasi oleh enzim tersebut
sehingga metabolit berkurang ( pembentukan radikal bebas
dari dopamin berkurang ) sehingga neuron terlindung dari
proses oxidative stress (De Long, 2006).

c) Agonis Dopamin

20
Preparat lain yang juga dapat menghemat pemakaian l-dopa
adalah golongan dopamin agonis . Golongan ini bekerja
langsung pada reseptor dopamin, jadi mengambil alih tugas
dopamin dan memiliki durasi kerja lebih lama dibandingkan
dopamin. Sampai saat ini ada 2 kelompok dopamin agonis ,
yaitu derivat ergot dan non ergot . Keuntungan terapi
dengan agonis dopamin dibandingkan l-dopa antara lain
Durasi kerja obat lebih lama
Respon fluktuatif dan diskinesia lebih kecil
Dapat dipilih agonis dopamin yang lebih specifik
terhadap reseptor dopamin tertentu disesuaikan
kondisi penderita penyakit parkinson.
Kerugian terapi agonis dopamin adalah onset terapeutiknya
rata rata lebih lama dibandingkan DA ergik.

2) Bekerja pada sistem kolinergik


Obat golongan antikolinergik memberi manfaat untuk penyakit
parkinson , oleh karena dapat mengoreksi kegiatan berlebihan dari
sistem kolinergik terhadap sistem dopaminergik yang mendasari
penyakit parkinson . Ada dua preparat antikolinergik yang banyak
digunakan untuk penyakit parkinson , yaitu thrihexyphenidyl
( artane ) dan benztropin ( congentin ). Preparat lainnya yang juga
termasuk golongan ini adalah biperidon ( akineton ) , orphenadrine
( disipal ) dan procyclidine ( kamadrin ). Golongan anti kolinergik
terutama untuk menghilangkan gejala tremor dan efek samping
yang paling ditakuti adalah kemunduran memori.
3) Bekerja pada sistem Glutamatergik
Diantara obat obat glutamatergik yang bermanfaat untuk
penyakit parkinson adalah dari golongan antagonisnya , yaitu
amantadine , memantine, remacemide dan L 235959. Antagonis
glutamatergik diduga menekan kegiatan berlebihan jalur dari inti
subtalamikus sampai globus palidus internus sehingga jalur indirek
seimbang kegiatannya dengan jalur direk , dengan demikian out
put ganglia basalis ke arah talamus dan korteks normal kembali .
Disamping itu, diduga antagonis glutamatergik dapat

21
meningkatkan pelepasan dopamin, menghambat reuptake dan
menstimulasi reseptor dopamin. Obat ini lebih efektif untuk
akinesia dan rigiditas daripada antikolinergik.
4) Bekerja sebagai pelindung neuron
Berbagai macam obat dapat melindungi neuron terhadap ancaman
degenerasi akibat nekrosis atau apoptosis. Termasuk dalam
kelompok ini adalah :
a) Neurotropik faktor yaitu dapat bertindak sebagai pelindung
neuron terhadap kerusakan dan meningkatkan pertumbuhan
dan fungsi neuron. Termasuk dalam kelompok ini adalah
BDNF ( brain derived neurotrophic factor ), NT 4/5
( Neurotrophin 4/5) , GDNT ( glia cell line-derived
neurotrophic factorm artemin ), dan sebagainya . Semua belum
dipasarkan.
b) Anti-exitoxin , yang melindungi neuron dari kerusakan akibat
paparan bahan neurotoksis ( MPTP , Glutamate ) . Termasuk
disini antagonis reseptor NMDA , MK 801 , CPP , remacemide
dan obat antikonvulsan riluzole.
c) Anti oksidan, yang melindungi neuron terhadap proses
oxidative stress akibat serangan radikal bebas. Deprenyl
( selegiline ) , 7-nitroindazole , nitroarginine methyl-ester ,
methylthiocitrulline , 101033E dan 104067F , termasuk
didalamnya . Bahan ini bekerja menghambat kerja enzim yang
memproduksi radikal bebas.Dalam penelitian ditunjukkan
vitamin E ( -tocopherol ) tidak menunjukkan efek anti
oksidan.
d) Bioenergetic suplements , yang bekerja memperbaiki proses
metabolisme energi di mitokondria . Coenzym Q10 ( Co
Q10 ) , nikotinamide termasuk dalam golongan ini dan
menunjukkan efektifitasnya sebagai neuroprotektant pada
hewan model dari penyakit parkinson.
e) Immunosuppressant , yang menghambat respon imun sehingga
salah satu jalur menuju oxidative stress dihilangkan . Termasuk
dalam golongan ini adalah immunophillins , CsA
( cyclosporine A ) dan FK 506 ( tacrolimu) . Akan tetapi

22
berbagai penelitian masih menunjukkan kesimpulan yang
kontroversial.
5) Bahan lain yang masih belum jelas cara kerjanya diduga
bermanfaat untuk penyakit parkinson , yaitu hormon estrogen dan
nikotin. Pada dasawarsa terakhir , banyak peneliti menaruh
perhatian dan harapan terhadap nikotin berkaitan dengan
potensinya sebagai neuroprotektan . Pada umumnya bahan yang
berinteraksi dengan R nikotinik memiliki potensi sebagai
neuroprotektif terhadap neurotoksis , misalnya glutamat lewat R
NMDA , asam kainat , deksametason dan MPTP . Bahan nikotinik
juga mencegah degenerasi akibat lesi dan iskemia .

Non Farmakologik

1) Perawatan Penyakit Parkinson


Sebagai salah satu penyakit parkinson kronis yang diderita oleh
manula , maka perawatan tidak bisa hanya diserahkan kepada
profesi paramedis , melainkan kepada semua orang yang ada di
sekitarnya.
a) Pendidikan
Dalam arti memberi penjelasan kepada penderita , keluarga
dan care giver tentang penyakit yang diderita.Hendaknya
keterangan diberikan secara rinci namun supportif dalam

23
arti tidak makin membuat penderita cemas atau takut.
Ditimbulkan simpati dan empati dari anggota keluarganya
sehingga dukungan fisik dan psikik mereka menjadi
maksimal.
b) Rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup penderita dan menghambat bertambah
beratnya gejala penyakit serta mengatasi masalah-masalah
sebagai berikut :
Abnormalitas gerakan
Kecenderungan postur tubuh yang salah
Gejala otonom
Gangguan perawatan diri ( Activity of Daily Living
ADL )
Perubahan psikologik
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas dapat dilakukan
tindakan sebagai berikut :
Terapi fisik : ROM ( range of motion )
Peregangan
Koreksi postur tubuh
Latihan koordinasi
Latihan jalan ( gait training )
Latihan buli-buli dan rectum
Latihan kebugaran kardiopulmonar
Edukasi dan program latihan di rumah
Terapi okupasi
Memberikan program yang ditujukan terutama
dalam hal pelaksanaan aktivitas kehidupan sehari-
hari .
Terapi wicara
Membantu penderita Parkinson dengan memberikan
program latihan pernapasan diafragma , evaluasi
menelan, latihan disartria , latihan bernapas dalam
sebelum bicara. Latihan ini dapat membantu
memperbaiki volume berbicara , irama dan
artikulasi.
Psikoterapi

24
Membuat program dengan melakukan intervensi
psikoterapi setelah melakukan asesmen mengenai
fungsi kognitif, kepribadian , status mental ,keluarga
dan perilaku.
Terapi sosial medik
Berperan dalam melakukan asesmen dampak
psikososial lingkungan dan finansial , untuk maksud
tersebut perlu dilakukan kunjungan rumah/
lingkungan tempat bekerja.
Orthotik Prosthetik
Dapat membantu penderita Parkinson yang
mengalami ketidakstabilan postural , dengan
membuatkan alat Bantu jalan seperti tongkat atau
walker.
Diet
Pada penderita parkinson ini sebenarnya tidaklah
diperlukan suatu diet yang khusus , akan tetapi diet
penderita ini yang diberikan dengan tujuan agar
tidak terjadi kekurangan gizi , penurunan berat
badan , dan pengurangan jumlah massa otot , serta
tidak terjadinya konstipasi. Penderita dianjurkan
untuk memakan makanan yang berimbang antara
komposisi serat dan air untuk mencegah terjadinya
konstipasi, serta cukup kalsium untuk
mempertahankan struktur tulang agar tetap baik .
Apabila didapatkan penurunan motilitas usus dapat
dipertimbangkan pemberian laksan setiap beberapa
hari sekali . Hindari makanan yang mengandung
alkohol atau berkalori tinggi.

2) Pembedahan :
Tindakan pembedahan untuk penyakit parkinson dilakukan bila
penderita tidak lagi memberikan respon terhadap pengobatan /
intractable , yaitu masih adanya gejala dua dari gejala utama
penyakit parkinson ( tremor , rigiditas , bradi/akinesia, gait/postural

25
instability ) , Fluktuasi motorik , fenomena on-off, diskinesia
karena obat, juga memberi respons baik terhadap pembedahan .
Ada 2 jenis pembedahan yang bisa dilakukan :
a) Pallidotomi , yang hasilnya cukup baik untuk menekan
gejala :
Akinesia / bradi kinesia
Gangguan jalan / postural
Gangguan bicara
b) Thalamotomi , yang efektif untuk gejala :
Tremor
Rigiditas
Diskinesia karena obat.

3) Stimulasi otak dalam


Mekanisme yang mendasari efektifitas stimulasi otak dalam untuk
penyakit parkinson ini sampai sekarang belum jelas , namun
perbaikan gejala penyakit parkinson bisa mencapai 80% .
Frekwensi rangsangan yang diberikan pada umumnya lebih besar
dari 130 Hz dengan lebar pulsa antara 60 90 s . Stimulasi ini
dengan alat stimulator yang ditanam di inti GPi dan STN.
4) Transplantasi
Percobaan transplantasi pada penderita penyakit parkinson dimulai
1982 oleh Lindvall dan kawannya , menggunakan jaringan medula
adrenalis yang menghasilkan dopamin. Jaringan transplan ( graft )
lain yang pernah digunakan antara lain dari jaringan embrio ventral
mesensefalon yang menggunakan jaringan premordial steam atau
progenitor cells , non neural cells ( biasanya fibroblast atau
astrosytes ) , testis-derived sertoli cells dan carotid body epithelial
glomus cells. Untuk mencegah reaksi penolakan jaringan diberikan
obat immunosupressant cyclosporin A yang menghambat
proliferasi T cells sehingga masa idup graft jadi lebih panjang.
Transplantasi yang berhasil baik dapat mengurangi gejala penyakit
parkinson selama 4 tahun kemudian efeknya menurun 4 6 tahun
sesudah transplantasi. Sampai saat ini , diseluruh dunia ada 300
penderita penyakit parkinson memperoleh pengobatan transplantasi
dari jaringan embrio ventral mesensefalon.

26
2.11 Prognosis
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,
sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini.
Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang
hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress
hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan
fungsi otak general, dan dapat menyebabkan kematian (Sjahrir, 2007).

Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-berbeda.


Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala
berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping
pengobatan terkadang dapat sangat parah. Penyakit Parkinson sendiri tidak
dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang sejalan dengan
waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien Parkinson pada umumnya
lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita Parkinson. Pada tahap
akhir, penyakit Parkinson dapat menyebabkan komplikasi seperti tersedak,
pneumoni, dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian (Sjahrir,
2007).

Progresifitas gejala pada Parkinson dapat berlangsung 20 tahun atau lebih.


Namun demikian pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara
yang tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-
masing individu. Dengan treatment yang tepat, kebanyakan pasien
Parkinson dapat hidup produktif beberapa tahun setelah diagnosis (Sjahrir,
2007).

BAB III
PENUTUP

27
Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis
progresif, merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia
basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia
nigra ke globus palidus/ neostriatum (striatal dopamine deficiency). Di Amerika
Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan
jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000
penderita
Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan
secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi untuk
menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi
gejala yang timbul . Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala
parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat
ini. Sekali terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang
hidupnya.
Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total
disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat
menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien berbeda-
berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan gejala
berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping
pengobatan terkadang dapat sangat parah.

DAFTAR PUSTAKA

28
Clarke CE, Moore AP., Parkinson's Disease, diakses dari
http://www.aafp.org/afp/20061215/2046.html, 18 Februari 2017.

De Long, Mahlon.Harrison Neurology in Clinical Medicine. First edition.


McGraw-Hill Professional.2006

Duus Peter. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda dan Gejala
Edisi II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996. Hal 231-243.

Fahn, Stanley. Merrits Neurology. Tenth edition. Lippincott Williams &


Wilkins.2000.

Harsono. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Neurologis Klinis. Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia dan UGM. 2008. Hal 233-243.

Joesoef, Aboe Amar, dkk. Konsensus tatalaksana penyakit parkinson.


PERDOSSI.2003. Hal : 8-17

John C. M. Brust, MD, Current Diagnosis & Treatment In Neurology, McGraw-


Hill 2007, hlm 199 206.

Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal 1139-1144

Sjahrir H, Nasution D, Gofir A. Parkinsons Disease & Other Movement


Disorders. Pustaka Cedekia dan Departemen Neurologi FK USU Medan.
2007. Hal 4-53.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. FKUI. 2007. Hal 1373-1377.

29

Anda mungkin juga menyukai