Anda di halaman 1dari 13

Burung-burung Cenderawasih

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Cenderawasih

Jantan dewasa Cenderawasih


Kuning-kecil,
Paradisaea minor
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Aves
Ordo: Passeriformes
Famili: Paradisaeidae
Genera

13, lihat daftar dibawah

Burung-burung Cenderawasih merupakan anggota famili Paradisaeidae dari ordo


Passeriformes. Mereka ditemukan di Indonesia timur, pulau-pulau selat Torres, Papua Nugini,
dan Australia timur. Burung anggota keluarga ini dikenal karena bulu burung jantan pada
banyak jenisnya, terutama bulu yang sangat memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh,
sayap atau kepalanya. Ukuran burung Cenderawasih mulai dari Cenderawasih raja pada 50
gram dan 15 cm hingga Cenderawasih paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan Cenderawasih
manukod jambul-bergulung pada 430 gram.

Spesimen
Burung Cenderawasih yang paling terkenal adalah anggota genus Paradisaea, termasuk
spesies tipenya, Cenderawasih kuning-besar, Paradisaea apoda. Jenis ini dideskripsikan dari
spesimen yang dibawa ke Eropa dari ekpedisi dagang. Spesimen ini disiapkan oleh pedagang
pribumi dengan membuang sayap dan kakinya agar dapat dijadikan hiasan. Hal ini tidak
diketahui oleh para penjelajah dan menimbulkan kepercayaan bahwa burung ini tidak pernah
mendarat namun tetap berada di udara karena bulu-bulunya. Inilah asal mula nama bird of
paradise ('burung surga' oleh orang Inggris) dan nama jenis apoda - yang berarti 'tak berkaki'.

Banyak jenis mempunyai ritual kawin yang rumit, dengan sistem kawin jenis-jenis
Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk bersaing memperlihatkan
keelokannya pada burung betina agar dapat kawin. Sementara jenis lain seperti jenis-jenis
Cicinnurus dan Parotia memiliki tari perkawinan yang beraturan. Burung jantan pada jenis
yang dimorfik seksual bersifat poligami. Banyak burung hibrida yang dideskripsikan sebagai
jenis baru, dan beberapa spesies diragukan kevalidannya.

Jumlah telurnya agak kurang pasti. Pada jenis besar, mungkin hampir selalu satu telur. Jenis
kecil dapat menghasilkan sebanyak 2-3 telur (Mackay 1990).

Cukup beralasan apabila burung cenderawasih disebut-sebut sebagai bird of paradise.


Bagaimana tidak, burung yang menjadi maskot Papua ini memang memiliki keindahan
dengan warna bulu yang indah. Karena kemolekan warnanya, burung cenderawasih disebut
sebagai burung dari surga atau bird of paradise. Bahkan, kabarnya karena keindahannya itu
juga burung ini jarang turun ke tanah atau seringnya terbang di udara dan hinggap di dahan
pohon.

Warna bulu cenderawasih yang mencolok biasanya merupakan kombinasi beberapa warna
yang lain seperti hitam, cokelat, oranye, kuning, putih, biru, merah, hijau, dan ungu. Burung
ini semakin molek dengan keberadaan bulu memanjang dan unik yang tumbuh dari paruh,
sayap, atau kepalanya.

Burung cendrawasih yang berbulu indah ini biasanya adalah pejantan. Bulu indah tersebut
menjadi modal cenderawasih jantan untuk menarik perhatian betina pada musim kawin.
Selain memamerkan keindahan bulu mereka, cenderawasih jantan bahkan melakukan
gerakan-gerakan atraktif serupa tarian yang dinamis dan indah untuk merebut perhatian
betina. Tiap jenis cenderawasih memiliki jenis tarian dan atraksi yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Cenderawasih betina cenderung berukuran lebih kecil dengan warna bulu yang
tidak seindah dan sesemarak warna cenderawasih jantan.

Warna yang dimiliki burung surga ini bermacam-macam dan menjadi salah satu indikator
pengelompokan jenis mereka. Burung cendrawasih dikelompokkan dalam famili
Paradisaeidae; terdiri dari 13 genus dan sekira 43 spesies (jenis). Habitat aslinya di hutan-
hutan lebat yang umumnya terletak di daerah dataran rendah dan hanya dapat ditemukan di
Indonesia bagian timur terutama pulau-pulau selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur.

Kabarnya, Indonesia adalah negara dengan jumlah spesies cendrawasih terbanyak. Diduga
terdapat sekira 30 jenis cendrawasih di Indonesia, 28 jenis diantaranya dapat ditemukan di
Papua. Burung cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleuca) adalah jenis yang menjadi
maskot atau identitas Provinsi Papua. Selain menjadi maskot Papua, masyarakat di Papua
juga sering menggunakan bulu cenderawasih sebagai pelengkap atau hiasan dalam pakaian
adat mereka.
Sebab keindahan bulunya, keberadaan burung cenderawasih ini kian lama kian terancam.
Perburuan dan penangkapan liar untuk tujuan perdagangan serta kerusakan habitat hidup di
alam bebas menjadi beberapa penyebab utama kian langkanya burung ini. Bahkan di akhir
abad 19 dan awal abad 20, bulu cenderawasih marak diperdagangkan karena menjadi trend
penghias topi wanita di Eropa. Tapi kini burung cantik yang eksotis ini dikategorikan sebagai
jenis satwa yang dilindungi.

Di Indonesia sendiri, beberapa jenis cenderawasih diantaranya cendrawasih kuning kecil,


cendrawasih botak, cendrawasih raja, cendrawasih merah, dan toowa telah masuk dalam
daftar jenis satwa yang dilindungi berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 dan PP No 7 Tahun
1999. Pemanfaatan bulu burung cenderawasih masih diperbolehkan hanya untuk kepentingan
masyarakat lokal dalam menghiasi pakaian adat mereka. Itu pun tentu tidak secara berlebihan
dan untungnya masyarakat Papua memiliki kearifan lokal dan adat untuk turut menjaga
kelestarian burung ini.

Berikut adalah beberapa jenis dan karakteristik burung cenderawasih.

Lesser bird of paradise (Paradisaea minor)

Di antarasekian banyak jenis cenderawasih, mungkin burung ini yang paling dikenal
kebanyakan orang. Burung ini memiliki warna merah kecoklatan dengan mahkota kuning dan
punggung atas kuning kecoklatan. Burung jantan jenis ini memiliki tenggorokan berwarna
hijau zamrud tua, sepasang ekor yang panjang dan dihiasi dengan bulu hiasan sayap yang
berwarna kuning dan putih. Habitat asli burung ini terdapat hampir di seluruh hutan bagian
utara Papua Nugini dan juga pulau-pulau sekitar, seperti Pulau Misool dan Yapen.

Cenderawasih Merah atau Red bird of paradise (Paradisaea rubra)

Dinamakan cendrawasih merah sebab burung ini memiliki warna bulu dominan merah darah.
Kombinasi warna lain tampak pada bagian muka; bulu muka warna gelap, memiliki semacam
mahkota atau jambul berwarna hijau zamrud, paruh dan sedikit di bawah leher berwarna
kuning terang. Pada bagian ekornya terdapat dua buah bulu memanjang serupa tali atau pita
berbentuk pilin ganda berwarna hitam. Cenderawasih merah hanya terdapat di hutan dataran
rendah, di antaranya di Pulau Waigeo dan Batanta, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.

Di Desa Sawinggrai yang terletak di Distrik Meos Mansar, cenderawasih merah merupakan
ikon khas desa kecil ini. Di desa tersebut, Anda dapat menyaksikan langsung burung jenis ini
di habitat asli melakukan atraksi menari pada jam-jam tertentu, yaitu pada pagi dan petang
hari di musim kawin.

Lawess Parotia (Parotia Lawesii)

Sekilas postur burung jantan jenis ini mirip dengan perkutut, hanya saja ia berwarna hitam
dengan kening putih dan mata berwarna biru gelap. Tengkuknya berwarna biru; sedikit di
bagian dada atas (mulai dari bawah paruh) berwarna perpaduan hijau dan emas. Ciri khas
yang mencolok dari jantan burung jenis ini adalah adanya tiga bulu memanjang yang tumbuh
dari ujung tiap matanya (masing-masing 3 helai). Sementara itu, burung betinanya berwarna
coklat dan mata berwarna kuning gelap.

King of Saxony bird of paradise (Pteridophora alberti)

King of Saxony bird of paradise adalah jenis burung pengicau yang terbilang kecil sebab
memiliki panjang sekira 22 cm. Burung jantan berwarna hitam dan kuning tua. Bulu mantel
dan punggungnya tumbuh memanjang berbentuk serupa tudung berwarna hitam. Pada bagian
mulai dari dada hingga ke perut berwarna putih kekuningan. Iris matanya berwarna coklat tua
dan paruhnya berwarna hitam dengan bagian dalam mulut berwarna hijau laut. Yang
membuatnya atraktif dan eksotis adalah adanya dua helai bulu kawat bersisik yang berwarna
biru langit mengilap yang tumbuh mulai dari wajahnya. Panjangnya dapat mencapai 40 cm,
seolah tak seimbang dengan tubuhnya yang kecil.

Sementara burung betinanya berwarna abu-abu kecoklatan dengan garis-garis dan bintik
gelap. Burung betina tidak mengenakan mantel dan tidak memiliki bulu kawat yang
memanjang. Burung betina berukuran lebih kecil ketimbang burung jantan.

Wilsons bird of paradise (Cicinnurus respublica)

Jantan Wilsons Bird of Paradise yang berukuran kecil sekira 21 cm ini berwarna perpaduan
merah darah dan hitam. Ia mengenakan jubah kecil berwarna kuning terang di bagian
tengkuk. Pada bagian kepala, ia seolah memakai penutup kepala berwarna biru langit, sedikit
lebih terang dibandingkan warna kakinya yang juga biru. Selain perpaduan warna yang
menarik, keunikan burung ini adalah memiliki dua bulu ekor yang berwarna ungu dan
bentuknya melengkung serupa sulur. Sedangkan pada burung betina memiliki warna
kecoklatan dan bermahkota biru.

Selain burung cenderawasih di atas, masih banyak jenis lain dengan warna dan variasi
bulunya bermacam-macam dan tak kalah cantik. Semoga burung dari surga ini tidak akan
menjadi semacam dongeng untuk generasi penerus karena tindakan tidak bertanggung jawab
manusia yang mengancam kelestariannya.
Komodo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

"Komodo" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain, lihat Komodo (disambiguasi).
Komodo

Status konservasi

Rentan (IUCN 3.1)


Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Reptilia
Ordo: Squamata
Upaordo: Autarchoglossa
Famili: Varanidae
Genus: Varanus
Spesies: V. komodoensis
Nama binomial
Varanus komodoensis
Ouwens, 1912
Distribusi komodo

Komodo, atau yang selengkapnya disebut biawak komodo (Varanus komodoensis[1]), adalah
spesies kadal terbesar di dunia yang hidup di pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan
Gili Dasami di Nusa Tenggara.[2] Biawak ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga disebut
dengan nama setempat ora.[3]

Termasuk anggota famili biawak Varanidae, dan klad Toxicofera, komodo merupakan kadal
terbesar di dunia, dengan rata-rata panjang 2-3 m. Ukurannya yang besar ini berhubungan
dengan gejala gigantisme pulau, yakni kecenderungan meraksasanya tubuh hewan-hewan
tertentu yang hidup di pulau kecil terkait dengan tidak adanya mamalia karnivora di pulau
tempat hidup komodo, dan laju metabolisme komodo yang kecil.[4][5] Karena besar tubuhnya,
kadal ini menduduki posisi predator puncak yang mendominasi ekosistem tempatnya hidup.[6]

Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat mereka populer di kebun
binatang. Habitat komodo di alam bebas telah menyusut akibat aktivitas manusia dan
karenanya IUCN memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan.
Biawak besar ini kini dilindungi di bawah peraturan pemerintah Indonesia dan sebuah taman
nasional, yaitu Taman Nasional Komodo, didirikan untuk melindungi mereka.

Anatomi dan morfologi

Kulit komodo.

Di alam bebas, komodo dewasa biasanya memiliki berat sekitar 70 kilogram,[7] namun
komodo yang dipelihara di penangkaran sering memiliki bobot tubuh yang lebih besar.
Spesimen liar terbesar yang pernah ada memiliki panjang sebesar 3.13 meter dan berat sekitar
166 kilogram, termasuk berat makanan yang belum dicerna di dalam perutnya.[8] Meski
komodo tercatat sebagai kadal terbesar yang masih hidup, namun bukan yang terpanjang.
Reputasi ini dipegang oleh biawak Papua (Varanus salvadorii).[9]

Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan tubuhnya, dan sekitar 60 buah gigi yang
bergerigi tajam sepanjang sekitar 2.5 cm, yang kerap diganti.[10] Air liur komodo sering kali
bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan
jaringan ini tercabik selama makan.[11] Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan
yang ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka.[12]

Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning dan bercabang.[8] Komodo jantan
lebih besar daripada komodo betina, dengan warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah
batu bata, sementara komodo betina lebih berwarna hijau buah zaitun, dan memiliki potongan
kecil kuning pada tenggorokannya. Komodo muda lebih berwarna, dengan warna kuning,
hijau dan putih pada latar belakang hitam.

Fisiologi

Komodo yang berjemur.

Komodo tak memiliki indera pendengaran, meski memiliki lubang telinga.[13] Biawak ini
mampu melihat hingga sejauh 300 m, namun karena retinanya hanya memiliki sel kerucut,
hewan ini agaknya tak begitu baik melihat di kegelapan malam. Komodo mampu
membedakan warna namun tidak seberapa mampu membedakan obyek yang tak bergerak.[14]

Komodo menggunakan lidahnya untuk mendeteksi rasa dan mencium stimuli, seperti reptil
lainnya, dengan indera vomeronasal memanfaatkan organ Jacobson, suatu kemampuan yang
dapat membantu navigasi pada saat gelap.[15] Dengan bantuan angin dan kebiasaannya
menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri ketika berjalan, komodo dapat mendeteksi
keberadaan daging bangkai sejauh 49.5 kilometer.[11] Lubang hidung komodo bukan
merupakan alat penciuman yang baik karena mereka tidak memiliki sekat rongga badan.[16]
Hewan ini tidak memiliki indra perasa di lidahnya, hanya ada sedikit ujung-ujung saraf
perasa di bagian belakang tenggorokan.[15]

Sisik-sisik komodo, beberapa di antaranya diperkuat dengan tulang, memiliki sensor yang
terhubung dengan saraf yang memfasilitasi rangsang sentuhan. Sisik-sisik di sekitar telinga,
bibir, dagu dan tapak kaki memiliki tiga sensor rangsangan atau lebih.[11]

Komodo pernah dianggap tuli ketika penelitian mendapatkan bahwa bisikan, suara yang
meningkat dan teriakan ternyata tidak mengakibatkan agitasi (gangguan) pada komodo liar.
Hal ini terbantah kemudian ketika karyawan Kebun Binatang London ZSL, Joan Proctor
melatih biawak untuk keluar makan dengan suaranya, bahkan juga ketika ia tidak terlihat oleh
si biawak.[17]
Ekologi, perilaku dan cara hidup

Kaki dan ekor komodo.

Komodo secara alami hanya ditemui di Indonesia, di pulau Komodo, Flores dan Rinca dan
beberapa pulau lainnya di Nusa Tenggara.[18] Hidup di padang rumput kering terbuka, sabana
dan hutan tropis pada ketinggian rendah, biawak ini menyukai tempat panas dan kering ini.
Mereka aktif pada siang hari, walaupun kadang-kadang aktif juga pada malam hari. Komodo
adalah binatang yang penyendiri, berkumpul bersama hanya pada saat makan dan
berkembang biak.

Reptil besar ini dapat berlari cepat hingga 20 kilometer per jam pada jarak yang pendek;
berenang dengan sangat baik dan mampu menyelam sedalam 4.5 meter;[19] serta pandai
memanjat pohon menggunakan cakar mereka yang kuat.[7] Untuk menangkap mangsa yang
berada di luar jangkauannya, komodo dapat berdiri dengan kaki belakangnya dan
menggunakan ekornya sebagai penunjang.[17] Dengan bertambahnya umur, komodo lebih
menggunakan cakarnya sebagai senjata, karena ukuran tubuhnya yang besar menyulitkannya
memanjat pohon.

Untuk tempat berlindung, komodo menggali lubang selebar 13 meter dengan tungkai depan
dan cakarnya yang kuat.[20] Karena besar tubuhnya dan kebiasaan tidur di dalam lubang,
komodo dapat menjaga panas tubuhnya selama malam hari dan mengurangi waktu berjemur
pada pagi selanjutnya.[21] Komodo umumnya berburu pada siang hingga sore hari, tetapi tetap
berteduh selama bagian hari yang terpanas.[22] Tempat-tempat sembunyi komodo ini biasanya
berada di daerah gumuk atau perbukitan dengan semilir angin laut, terbuka dari vegetasi, dan
di sana-sini berserak kotoran hewan penghuninya. Tempat ini umumnya juga merupakan
lokasi yang strategis untuk menyergap rusa.[23]
Perilaku makan

Komodo di Rinca.

Komodo adalah hewan karnivora. Walaupun mereka kebanyakan makan daging bangkai,[4]
penelitian menunjukkan bahwa mereka juga berburu mangsa hidup dengan cara mengendap-
endap diikuti dengan serangan tiba-tiba terhadap korbannya. Ketika mangsa itu tiba di dekat
tempat sembunyi komodo, hewan ini segera menyerangnya pada sisi bawah tubuh atau
tenggorokan.[11] Komodo dapat menemukan mangsanya dengan menggunakan penciumannya
yang tajam, yang dapat menemukan binatang mati atau sekarat pada jarak hingga 9,5
kilometer.[11]

Komodo muda di Rinca yang makan bangkai kerbau.

Reptil purba ini makan dengan cara mencabik potongan besar daging dan lalu menelannya
bulat-bulat sementara tungkai depannya menahan tubuh mangsanya. Untuk mangsa
berukuran kecil hingga sebesar kambing, bisa jadi dagingnya dihabiskan sekali telan. Isi perut
mangsa yang berupa tumbuhan biasanya dibiarkan tak disentuh.[23]

Air liur yang kemerahan dan keluar dalam jumlah banyak amat membantu komodo dalam
menelan mangsanya. Meski demikian, proses menelan tetap memakan waktu yang panjang;
1520 menit diperlukan untuk menelan seekor kambing. Komodo kadang-kadang berusaha
mempercepat proses menelan itu dengan menekankan daging bangkai mangsanya ke
sebatang pohon, agar karkas itu bisa masuk melewati kerongkongannya. Dan kadang-kadang
pula upaya menekan itu begitu keras sehingga pohon itu menjadi rebah.[23]

Untuk menghindari agar tak tercekik ketika menelan, komodo bernapas melalui sebuah
saluran kecil di bawah lidah, yang berhubungan langsung dengan paru-parunya.[11]
Rahangnya yang dapat dikembangkan dengan leluasa, tengkoraknya yang lentur, dan
lambungnya yang dapat melar luar biasa memungkinkan komodo menyantap mangsa yang
besar, hingga sebesar 80% bobot tubuhnya sendiri dalam satu kali makan.[6][24]

Setelah makan, komodo berjalan menyeret tubuhnya yang kekenyangan mencari sinar
matahari untuk berjemur dan mempercepat proses pencernaan. Kalau tidak, makanan itu
dapat membusuk dalam perutnya dan meracuni tubuhnya sendiri. Dikarenakan
metabolismenya yang lamban, komodo besar dapat bertahan dengan hanya makan 12 kali
setahun atau kira-kira sekali sebulan.[11]

Setelah daging mangsanya tercerna, komodo memuntahkan sisa-sisa tanduk, rambut dan gigi
mangsanya, dalam gumpalan-gumpalan bercampur dengan lendir berbau busuk, gumpalan
mana dikenal sebagai gastric pellet. Setelah itu komodo menyapukan wajahnya ke tanah atau
ke semak-semak untuk membersihkan sisa-sisa lendir yang masih menempel, perilaku yang
menimbulkan dugaan bahwa komodo, sebagaimana halnya manusia, tidak menyukai bau
ludahnya sendiri.[11]

Dalam kumpulan, komodo yang berukuran paling besar biasanya makan lebih dahulu, diikuti
yang berukuran lebih kecil menurut hirarki. Jantan terbesar menunjukkan dominansinya
melalui bahasa tubuh dan desisannya; yang disambut dengan bahasa yang sama oleh jantan-
jantan lain yang lebih kecil untuk memperlihatkan pengakuannya atas kekuasaan itu.
Komodo-komodo yang berukuran sama mungkin akan berkelahi mengadu kekuatan, dengan
cara semacam gulat biawak, hingga salah satunya mengaku kalah dan mundur; meskipun
adakalanya yang kalah dapat terbunuh dalam perkelahian dan dimangsa oleh si pemenang.[11]

Mangsa biawak komodo amat bervariasi, mencakup aneka avertebrata, reptil lain (termasuk
pula komodo yang bertubuh lebih kecil), burung dan telurnya, mamalia kecil, monyet, babi
hutan, kambing, rusa, kuda, dan kerbau. Komodo muda memangsa serangga, telur, cecak, dan
mamalia kecil.[4][24] Kadang-kadang komodo juga memangsa manusia dan mayat yang digali
dari lubang makam yang dangkal.[17] Kebiasaan ini menyebabkan penduduk pulau Komodo
menghindari tanah berpasir dan memilih mengubur jenazah di tanah liat, serta menutupi
atasnya dengan batu-batu agar tak dapat digali komodo.[23]

Ada pula yang menduga bahwa komodo berevolusi untuk memangsa gajah kerdil Stegodon
yang pernah hidup di Flores.[25] Komodo juga pernah teramati ketika mengejutkan dan
menakuti rusa-rusa betina yang tengah hamil, dengan harapan agar keguguran dan bangkai
janinnya dapat dimangsa, suatu perilaku yang juga didapati pada predator besar di Afrika.[25]

Karena tak memiliki sekat rongga badan, komodo tak dapat menghirup air atau menjilati air
untuk minum (seperti kucing). Alih-alih, komodo mencedok air dengan seluruh mulutnya,
lalu mengangkat kepalanya agar air mengalir masuk ke perutnya.[11]
Badak
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Badak

Badak putih, Ceratotherium


simum
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Perissodactyla
Famili: Rhinocerotidae
Gray, 1821
Genus

Ceratotherium Dicerorhinus
Diceros
Rhinoceros
Coelodonta (punah)
Elasmotherium (punah)

Badak (bahasa Inggris: rhinoceros) adalah lima spesies hewan dari famili Rhinocerotidae,
ordo Perissodactyla yang kesemuanya berasal dari Afrika atau Asia.
Karakteristik
Badak memiliki karakteristik:

Berukuran besar.

Dapat mencapai bobot lebih dari satu ton.

Satu atau dua cula pada bagian tengah dahi. Jika berjumlah dua, salah
satu terletak di depan yang lainnya (tidak bersisian).

Termasuk hewan herbivora

Kulit dengan tebal berkisar 1.5 5 cm yang terbentuk dari lapisan


kolagen.

Memiliki indra pendengaran dan penciuman yang tajam, tetapi tidak dapat
melihat jauh.

Sebagian besar badak dapat hidup melebihi 40 tahun.

Walaupun termasuk herbivora, badak adalah hewan yang berbahaya. Di India dan Nepal,
badak merupakan penyebab utama kematian manusia, melebihi yang jumlah yang disebabkan
oleh harimau dan macan tutul. Badak bahkan diketahui pernah menyerang gajah pembawa
wisatawan.

Cula

Biksu Nepal dengan cula badak

Berbeda dengan tanduk yang memiliki inti berupa tulang, cula badak hanya terdiri dari
keratin. Cula badak telah dan masih digunakan di pengobatan tradisional Cina dan sebagai
pegangan pisau di Yaman dan Oman.[1]

Cula badak yang dihancurkan dan dijadikan bubuk dipercayai memiliki kemampuan
penyembuh penyakit demam dan efek afrodisiak, meski tidak ada bukti ilmiah mengenai hal
itu.[2][3] Cina telah menandatangani pakta CITES dan membuang cula badak dari daftar obat-
obatan Cina (Pharmacopoeia of the People's Republic of China), oleh kementrian kesehatan,
tahun 1993. Pada tahun 2011, Inggris juga melakukan hal yang sama dan mengutuk
penggunaan cula badak pada praktik pengobatan tradisional Cina.[4] Sejumlah paktisi
pengobatan tradisional Cina juga telah bersuara menentang penggunaan cula badak.[5]

Untuk mencegah perburuan cula badak, di berbagai kawasan perlindungan badak dibius dan
cula badak dibuang dari tubuh badak. Jagawana bersenjata api dikerahkan untuk melindungi
badak dan melawan pemburu badak, dan diizinkan untuk membunuh pemburu di tempat.
Pada tahun 2011, 448 badak dibunuh untuk culanya di Afrika Selatan.[6] Cula badak bernilai
tinggi dan dihargai rata-rata US$ 250000 di Vietnam.[7][8]

Namun perburuan cula badak masih terjadi akibat masih adanya permintaan dari Cina dan
Vietnam.[9]

Anda mungkin juga menyukai