Anda di halaman 1dari 12

(1)

ETIKA POSMODERNISME
Telaah Kritis terhadap Pandangan Sygmunt Bauman
tentang Etika Posmodernisme

Tugas UAS Seminar Media & Posmodernisme


A N T A R . B (6904010303)

PENGANTAR

Zygmunt Bauman adalah seorang sosiolog dari Polandia. Ia lahir di Poznan, Polandia.
Pada tahun 1950-an ia bersama isterinya, Janina, datang ke Inggris. Janina juga seorang
penulis yang mempunyai jalan pemikiran sendiri. Sebelum menjadi profesor sosiologi di
Universitas Leeds, Yorkshire, ia adalah seorang pengajar. Selain itu ia juga dikenal
sebagai seorang pengarang yang produktif. Banyak karya yang ia tulis sejak ia secara
resmi pensiun dan menjadi profesor emeritus di bidang sosiologi. Setidaknya, Anthony
Giddens seorang sosiolog Inggris mengakui Bauman sebagai seorang teoritikus
mengenai postmodernitas. Ia telah membangun sebuah posisi di mana setiap orang akan
memperhitungkannya Bauman juga dikenal sebagai analis yang cerdik dengan gagasan-
gagasannya yang tajam. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain: Legislator and
Interpreters (1987), Modernity and the Holocaust (1989), Modernity and Ambivalence
(1991), Intimations of Postmodernity (1992), Postmodern Ethics (1993), Life in
Fragments: Essays in Postmodern Morality (1995)

Sebagai seorang sosiolog, Bauman menampilkan fenomena-fenomena sosial yang ada


pada jaman ini. Bauman juga tertarik untuk melihat kedudukan sebuah kode etik di era
postmodern yang secara inheren bertentangan dengan sistem kode etik lama yang dikenal
sebagai suatu rumus-rumus yang harus ditaati oleh setiap individu yang bermoral.
Sistem etika yang lama ini dipandangnya tidak kuat. Etika postmodern telah membuka
kemungkinan pemahaman baru mengenai kebiasaan moral.

MODERNISME DAN POSTMODERNISME

Sebelum kita membedah lebih jauh tentang posmodernisme, ada beberapa hal yang mesti
diperhatikan berkenaan dengan prinsip-prinsip dasar yang merupakan ciri khas dari
modernisme, dimana ciri tersebut dijadikan kritik sekaligus menjadi asumsi mendasar
perkembangan posmodernisme. Pertama, subyektifitas yang relatif, yaitu pengakuan atas
(2)

pemikiran atau kesadaran rasional yang dianggap mampu menjawab masalah kehidupan
masyarakat. Kedua, subyektifitas kritis/reflektif, yaitu kemampuan untuk memunculkan
reaksi atas kebebasan. ketiga, kesadaran historis yang dimunculkan oleh subyek,
modernitas percaya dengan perkembangan masa depan yang berjalan linier, unik dan
tidak akan terulang. Keempat, universialisme, dimana modernitas bersifat normatif yang
berlaku untuk semua masyarakat yang ingin melakukan modernisasi. Lebih lanjut prinsip
modernitas yang rasional akan menciptakan iklim masyarakat yang terpenjara dalam
sebuah sistem yang totaliter dan berpotensi besar berujung pada tindakan penguasa/negara
yang sangat refresif1 Masyarakat modern cenderung sekuler berdasarkan struktur yang
terbangun dalam sistem kenegaraan menuju sebuah grandnarrative yang bersembunyi
dibalik kepentingan kekuasaan. Pada situasi seperti itu, legitimasi kekuasaan akan diuji
melalui kritik, kesahihan kitab diperhadapkan dengan rasionalitas, begitu juga tegangan
yang terjadi antara realitas masa depan dengan tradisi masyarakat.

Apakah postmodernisme itu? Bolehkah kita mengajukan pertanyaan ini? Bukankah


pertanyaan ini menjurus pada pencarian esensi dari postmodernisme? Ini berarti
berusaha mencari suatu pengertian definitif atau suatu kesatuan representasi atas referent
yang kemudian diberi nama postmodernisme?

Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme dari postmodernitas.


Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk
menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat post-industri adalah
masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa di
mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral. Postmodernitas ini ditandai dengan
fenomena-fenomena : negara bangsa pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau
melebur ke unit yang lebih besar, partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh
gerakan-gerakan sosial (LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke
kelompok-kelompok kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau
orientasi seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang
menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan
panggilan spiritual (kerja = ibadah). Sementara itu postmodernisme dimengertinya
sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme

1 Foucault, M, Madness and Civilization, London: Tavistock, 1967


(3)

meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan
otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier (Adian, 2001).

Senada dengan Gahral Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan


postmodernisme (postmodernism) dari postmodernitas (postmodernity). Postmodernisme,
jika sungguh-sungguh ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau
gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini
memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu
postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi-
institusi modernitas. Namun, alih-alih menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih
suka menggunakan istilah modernitas yang teradikalisasi (radicalized modernity) untuk
menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju kencang
bak Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu dunia yang mrucut (runaway
world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas yang mewartakan berakhirnya
epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah
modernitas yang sadar diri (Giddens, 1990).

Pada paper ini penulis mencoba untuk membedah secara kritris tentang etika
posmodernisme, berbagai fenomena manusia modern sebagai makhluk sosial tidak lepas
dari proses interaksi yang menuntut manusia untuk tetap menunjukkan moral sebagai
simbol dari eksistensi mereka. Dalam berbagai konteks manusia akan diperhadapkan
pada persoalan moral, baik interaksi sosial, hubungan bilateral sampai pada penerapan
teknologi mutakhir. Menurut Bauman manusia itu secara moral pada hakikatnya bukan
baik ataupun buruk, melainkan ambivalen2. Fenomena moral itu secara inheren non-
rasional. Oleh karena itu moralitas bersifat aporetic dan tak dapat diuniversalisasikan.
Klaim filsafat modern akan adanya dasar-dasar moral (foundation) yang rasional dan
rumus-rumus etis (peraturan) yang bersifat normatif-universal tak dapat diterima.
Moralitas perlu dilepaskan dari peraturan yang memaksa dan dikembalikan tanggung
jawab individu. Manusia perlu menjadi bermoral bukan karena being with other
melainkan karena being for other (relasi asimetri). Kita hidup dalam persilangan
sosialisasi dan sosialitas, ruang kognitif dan ruang moral di mana seni moralitas
merupakan seni ambivalensi moral. Dalam kondisi ini stranger atau the other yang lemah
dan yang mungkin menjadi korban (teknologi) perlu dirawat dan diperhatikan.

2 Bauman, Zygmunt, Postmodern Ethics, Oxford: Blackwell Publishers Ltd., 1993.


(4)

Kurang dari empat tahun yang lalu, dunia dikejutkan oleh suatu peristiwa yang bagi
sejarah Amerika maupun dunia sangat mengerikan. Menara kembar World Trade Center
hancur ditabrak pesawat American Airlines flight 11 yang dibajak oleh para teroris.
Diperkirakan 6000 jiwa melayang akibat serangan tersebut. Tragedi tanggal 11 September
2001 ini dinilai lebih buruk daripada penyerangan yang dilakukan oleh Jepang dalam
peristiwa Pearl Harbour. Amerika Serikat menginvasi Afganistan yang dituduh
melindungi Osama Bin Laden, tersangka utama dalam tragedi 11 September. Serangan
yang diklaim oleh pihak AS sebagai perang melawan terorisme internasional ini
ternyata juga menimbulkan banyak korban jiwa dan harta. Dalam perang tersebut AS
dan koalisinya mengandalkan serangan udara dengan jet-jet tempur mutakhir dan rudal
berteknologi canggih. Dengan keunggulan teknologinya AS menjanjikan suatu serangan
yang tepat sasaran, yaitu pada daerah-daerah konsentrasi pasukan Taliban. Namun
demikian, kecanggihan itu ternyata masih juga mengakibatkan banyak nyawa masyarakat
sipil melayang.

Perkembangan kehidupan modern yang tak kalah menggetirkannya adalah perilaku


manusia modern yang termanjakan oleh perkembangan teknologi informasi yang sangat
pesat. Teknologi komputerisasi dan mobilephone telah merubah wajah dunia yang tanpa
batas. Individu-individu akan terhubung satu dengan yang lain tanpa jarak ruang dan
waktu diseluruh dunia melalui bank-bank data yang disiapkan oleh perusahaan yang
memproduksi barang teknologi maupun informasi melalu situs-situs internet. Networking
life sudah menjadi gaya hidup yang jauh dari norma-norma universala yang berlaku dalam
masyarakat, tetapi mereka hanya mengenal norma-norma virtual reality. Semua orang
dapat melampiaskan hasratnya melalui fasilitas yang telah disiapkan oleh tutor. Sebuah
ruang baru yang menyediakan kebebasan yang lebih ekspresif tanpa batasan nilai dan
norma. Virtual reality juga telah mengantarkan manusia hidup dalam bayang-bayang
realitas yang semu. Kebebasan yang semu, cinta yang semu, kehadiran diri yang semu.
Teknologi telah memakasa manusia masuk kedalam ruang ilusi virtual, Mark Zlauka
menyebutnya mimpi dalam keadaan sadar.

Berkaca dari dua peristiwa tersebut kiranya tak dapat dipungkiri bahwa ada
penyalahgunaan teknologi tinggi yang memakan begitu banyak korban. Perkembangan
teknologi yang makin mengarah pada kesempurnaan dan hasil yang maksimal ternyata
cenderung membahayakan sesama. Semakin tinggi teknologi, semakin tinggi pula
dampak negatif yang mungkin muncul. Teknologi yang diyakini sebagai buah dari rasio
(5)

manusia di sini menjadi salah satu perhatian etika Zygmunt Bauman. dihadapkan pada
masalah modernitas hubungannya dengan teknologi dan ilmu pengetahuannya, teknologi
menjadi ironi dan buah simalakama. lalu bagaimanakah etika dewasa ini
menanggapinya? Betulkah kritik etika posmodernisme adalah ujung dari kebuntuan
masyarakat modern dalam menjawab problem moral para teknokrat sehubungan dengan
hasil karya mereka ?.

ETIKA POSMODERNISME

Bauman mencoba memotret permasalahan seputar etika abad ini. Etika di sini perlu
diartikan secara luas: sebagai tingkah laku manusia pada zaman ini; sedangkan
postmodern sendiri dimaksudkan sebagai cara memandang modernitas secara telanjang
terutama berkaitan dengan kebobrokan-kebobrokannya. Pandangan Bauman mengenai
etika postmodern dibangun atas sejumlah publikasi, berawal dari Legislators And
Interpreters (1988) sampai dengan Life in Fragments: Essays in Postmodern Morality
(1995). Menurut Bauman, pluralisasi telah meruntuhkan klaim kaum absolutis tentang
filsafat Barat dan teori-teori sosial. Filsafat Barat yang mengikuti Locke dan Kant,
mengklaim telah menemukan metode yang benar (epistemologi) untuk menentukan the
Truth. Kebenaran tersebut bersifat tunggal dan berlaku universal. Klaim universalisme
Barat sekarang tampak tidak lebih dari pada sebuah pretensi. Menurut Bauman, pretensi
tersebut tak lain adalah sebuah topeng dari motivasi ideologis untuk melindungi dan
membangun budaya dan rasionalitas masyarakat Barat3. Jika kepastian filsafat Barat
diruntuhkan, kedudukan para intelektual juga terancam. Ia mengeluhkan pretensi
mengenai universalitas seluruh filsafat dan teori sosial kaum modernis.

Namun demikian, sementara menegaskan bahwa teori kaum modernis telah kehilangan
cara untuk menghadapi pluralisme yang baru tersebut, Bauman menemukan bahwa
postmodernisme dapat menanggapi problematika itu secara seimbang. Postmodernisme,
menurutnya, dapat menghadapi universalisme filsafat kaum modernis dengan benar.
Dalam bukunya yang berjudul Postmodern Ethics, Bauman mencoba menawarkan
semacam alternatif bagaimana menempatkan etika dalam kehidupan saat ini yang ditandai
dengan pluralisasi dan ambivalensi moral.

Etika postmodern menolak banyak hal yang dianggap sebagai pandangan etika modern.
Etika postmodern menolak atau lebih tepatnya mempertanyakan kembali hal-hal seperti:
1) peraturan normatif yang memaksa; 2) pencarian dasar-dasar etika dan bentuk-bentuk

3 http://www.sociologyonline.co.uk/PopBauman.htm
(6)

universal serta mutlak dari etika; 3) pencarian sebuah kode etik modern yang non
ambivalen dan tidak mengandung kontradiksi sama sekali. Pendekatan postmodern
terhadap moralitas sering diasosiasikan dengan perayaan kematian etika, penggantian
etika dengan estetika. Lipovetsky misalnya saja menyatakan bahwa kita sekarang sudah
memasuki era pasca kewajiban moral. Perilaku kita dibebaskan dari kewajiban mutlak.
Era kita adalah era individulisme yang murni-tak terpalsukan (unadulterated) serta
pencarian kehidupan yang lebih baik (good life), yang hanya dibatasi oleh tuntutan untuk
bertoleransi. Pandangan semacam ini dinilai oleh Bauman sebagai suatu kesalahan.
Lipovetsky dianggap mengacaukan antara topik investigasinya dengan sumber-sumber
investigasinya. Menjelaskan kebiasaan yang ada tidak berarti telah membuat suatu
statement moral. Karena pola perilaku manusia dalam interaksi sosial tidak serta merta
dapat diasosiakan sebagai suatu tindakan amoral. Bisa jadi tindakan itu adalah bentuk
perlawanan atas norma-norma yang mengikat dan cenderung dipaksakan oleh struktur
masyarakat setempat. Ini adalah bentuk nyata dari tarian manusia modern menyambut
kematian etika.

Meskipun etika postmodern mempertanyakan kembali berbagai hal yang dipandang


sebagai etika modern, isu besar dalam etika tidak kehilangan nilai pentingnya. Bahkan
dalam sebuah dunia postmodern kita ditatapkan dengan isu-isu yang signifikan seperti hak
asasi, keadilan sosial dan berbagai konflik. Konflik tersebut bisa jadi antara usaha kerja
sama yang damai bertentangan dengan penegasan individu. Bisa juga terjadi konfrontasi
antara tingkah laku individu dan kesejahteraan kolektif. Isu-isu tersebut tetap ada tetapi
harus dihadapi dan dilihat dengan cara pandang yang baru. Kebaruan pendekatan etika
postmodern tidak terletak pada usahanya untuk meninggalkan apa yang menjadi perhatian
(concern) moral modern, melainkan pada penolakannya terhadap cara-cara modern
menghadapi masalah moral. Menghadapi masalah-masalah moral, pendekatan modern
memproduksi peraturan-peraturan normatif yang memaksa-yang diintegrasikan dalam
praktik politik. Selain itu juga dihasilkan pencarian filosofis akan teori moral yang
absolut, universal, dan memiliki foundation.

Dalam pandangan modern meskipun orang itu bebas, namun orang yang bersangkutan
baru sungguh bebas apabila ia menggunakan kebebasannya itu untuk memilih yang benar.
Oleh karena itu, alih-alih memandang moralitas sebagai sikap alamiah manusia, para
legislator dan pemikir modern memandang moralitas sebagai sesuatu yang harus diajarkan
kepada manusia. Atas dasar inilah mereka mencoba menyusun suatu etika yang
(7)

komprehensif, dapat diajarkan dan memaksa untuk ditaati (wajib). Otonomi subyek yang
rasional dan heteronomi manajemen (masyarakat) yang rasional ini saling mengandaikan,
namun keduanya tak dapat eksis secara damai pula. Inilah aporia itu, suatu kontradiksi
yang tak dapat diatasi. Pemikiran etika modern mencoba mengatasi kontradiksi ini dengan
univesalitas dan foundation guna menghasilkan suatu kode etik yang non-ambivalen dan
non-aporetic. Namun kode etik yang semacam itu tak pernah dapat ditemukan.

Berbeda dengan pandangan modern, dalam perspektif postmodern hukum moral memang
mengandung berbagai macam ambivalensi dan kontradiksi. Aspek-aspek kondisi moral
menurut perspektif postmodern4 adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat secara moral pada hakekatnya tidak baik maupun buruk tetapi ambivalen.
tidak ada kode etik yang secara logis dapat cocok dengan kondisi moralitas yang
secara esensial ambivalen ini.

2. Fenomena moral secara inheren adalah non-rasional; fenomena moral ini tidak teratur,
tidak berulang, tidak monoton, tidak dapat diprediksi sehingga tidak dapat dirumuskan
dalam suatu pedoman tertentu (rule-guided). Bagaimanapun juga tidak ada kode etik
yang mungkin dapat menghadapi fenomena moral dalam sebuah cara yang mendalam,
lengkap dan dapat menyelesaikan segala masalah etika dengan lengkap dan
menyeluruh.

3. Moralitas secara inheren penuh dengan kontradiksi yang tidak teratasi.


Ini berarti bahwa masalah moral mengandung konflik yang tidak dapat dipecahkan
(aporia).

4. Tidak ada sesuatu atau satupun yang merupakan sebuah moralitas yang berlaku secara
universal.

5. Dari perspektif perintah rasional, moralitas terikat untuk tetap irasional.

6. Karena Bauman menolak sistem etika-yang memaksa, yang keluar dari masyarakat
sebagai suatu yang universal, dia berargumen bagi sebuah sistem etika yang
memancar dari Sang Diri individu. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa being for the
Other mendahului being with the Other.

7. Meskipun perspektif postmodern mengenai moralitas menolak bentuk moralitas yang


memaksa dari perspektif modern, tidak berarti menerima ide apa saja, misalnya ide

4 Ketujuh butir ini merupakan ringkasan perspektif postmodern dari bukunya Zygmunt Bauman, op.cit.,
hlm. 10-15.
(8)

relativisme moral. Yang dilihat oleh postmodernisme adalah adanya relativisme kode
etis.

Lebih jauh Bauman mencoba mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dipandang dari sudut etika. Ilmu Pengetahuan dan teknologi di sini tentu dimaksudkan
sebagai hasil dari rasionalitas yang merupakan elemen terpenting dalam modernitas.
Bauman mencoba menempatkan sisi positif dan negatif dari sudut yang berimbang.
Dalam hal etika mengenai teknologi, Bauman mencoba mendasarkan pendapatnya pada
etika Hans Jonas5.

Pertama-tama, Bauman melihat bahwa teknologi telah menjadi sistem yang tertutup. Ini
berarti, teknologi menjadikan dunia ini sebagai sumber bahan mentah sekaligus tempat
sampah. Semakin banyak masalah yang ditimbulkan oleh teknologi semakin banyak lagi
kemampuan dan ketrampilan teknologi yang dibutuhkan untuk memecahkannya. Dengan
kata lain, hanya teknologilah yang dapat memperbaiki teknologi. Ini adalah agenda jangka
panjang para teknokrat penyembah modernitas untuk tetap mempertahankan dominasi
teknologi dalam kehidupan modern. Hal ini biasanya ditopang oleh dukungan penguasa,
karena disatu sisi teknologi adalah media yang paling efektif untuk mensosialisasikan
ideologi tersembunyi kepada mayarakat; (Foucault : 1967). Teknologi sendiri tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari sejarahnya. Perkembangan tersebut secara garis besar dapat
dikatakan sejak manusia masih tergantung pada kekuatan diri dan alam (otot manusia,
tenaga binatang, sungai dan angin) sampai pada manusia yang menguasai alam. Dengan
teknologi, manusia mampu mengatasi alam secara baru. Teknologi membuat manusia
mampu mendominasi, mengontrol, dan mengatur sesuatu termasuk menjadikan manusia
lain menjadi obyek teknologi itu sendiri. Tentu saja teknologi tersebut melibatkan
kalkulasi rasional, kegunaan praktis, dan rasa kesenangan. Kemampuan manusia dan
sistem tertutup dari teknologi tersebut semakin kentara dengan fenomena para spesialis
yang menguasai secara mendalam suatu bidang tertentu.

Menurut Bauman, teknologi justru hanya menciptakan ruang-ruang bagi homo ludens
(para penjudi), homo oeconomicus (para pengusaha) dan homo sentimentalis (kaum
hedonis). Pertanyaannya adalah di manakah ruang moral? Menurut Bauman, diri moral
paling nampak jelas dan mencolok di antara korban-korban teknologi. Seperti disebutkan
dalam tragedi WTC dan Afganistan, diri moral nampak dalam mereka yang menjadi

5 (Magnis-Suseno, Franz, 2000, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 176
(9)

korban, baik yang di WTC maupun penduduk Afganistan. Hal yang sama dirasakan oleh
para aktivis perempuan, net-tecnology dianggap sebagai media yang mengeksplorasi
perempuan tanpa batas tertentu. Isu pornografi atau pornoaksi adalah bentuk reaksi moral
dari dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi komputerisasi. Namun
demikian, tidak ada tempat bagi subyek moral. Dalam semesta teknologi, diri moral yang
mengabaikan kalkulasi rasional, kegunaan praktis dan rasa kesenangan merupakan yang
asing yang tidak dikehendaki kehadirannya.

Teknologi sendiri dengan berbagai bentuk menghasilkan risiko-risiko dan bahaya. Logika
untuk menghasilkan kesejahteraan secara berangsur-angsur digantikan oleh logika
menghindari dan mengatur risiko. Muncullah apa yang dinamakan dalam istilah Ulrich
Beck sebagai Risk Society. Menurut Ulrich Beck sebagaimana yang dikutip oleh
Bauman, bahaya atau risiko tersebut tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan tidak
dapat secara langsung dikenali terutama oleh masyarakat pada umumnya. Masyarakat
inilah yang merupakan calon korban dari teknologi tersebut. Namun demikian
peperangan melawan risiko itu sendiri berhadapan dengan berbagai macam tantangan
yang tidak mudah.

Bauman menegaskan bahwa kasus yang dekat secara typical dapat ditemukan dalam
masyarakat yang berteknologi tinggi. Korban risiko teknologi yang tidak diketahui cocok
dengan gambaran Levinas mengenai the Other yang lemah, rapuh dan tanpa kekuatan.
Mereka sungguh-sungguh tanpa kekuatan karena mereka tidak dapat membalas apa yang
telah dilakukan orang lain terhadap dirinya. Apapun bentuknya, moralitas pertama-tama
dan terutama haruslah sebuah etika mengenai pembatasan diri (self-elimination) sebagai
mana terjadi dalam moralitas kedekatan (proximity). Dalam konteks moral kelompok,
etika bertugas untuk menggambarkan akibat-akibat dari sebuah tindakan dalam hal ini
tindakan yang berhubungan dengan teknologi. Ramalan mengenai malapetaka atau
kemungkinan munculnya bencana kemanusian karena teknologi diberi porsi lebih besar
daripada ramalan mengenai kebahagiaan, kemajuan maupun kesempurnaan. Yang menjadi
dorongan pertama dan terutama adalah sebuah etika yang menjaga dan mencegah
seperlunya, bukan atas dorongan kemajuan dan kesempurnaan. Dengan demikian etika
tersebut mempunyai dua tugas utama yaitu menvisualisasikan bahaya-bahaya yang dapat
terjadi dengan munculnya teknologi sekaligus melindungi mereka yang karena
kesederhanaan dan keterbatasannya menjadi korban teknologi itu sendiri.
(10)

Di bidang moral dibayangkan bahwa modernisme akan melahirkan pribadi-pribadi moral


yang otonom, manusia sejati yang mampu mempertanggungjawabkan tindakan-
tindakannya sendiri secara rasional, dengan mengikuti prinsip-prinsip etika universal.
Dalam prakteknya justru tidak terjadi demikian karena kontrol, birokrasi, bisnis, dan
fragmentasi.

PENUTUP

Kecenderungan modernisme untuk mengontrol dan mengendalikan segala hal akhirnya


menuntut agar kehidupan manusia dan semesta dirancang dan direkayasa. Universalitas
adalah dalih ampuh. Atas nama universalitas dilegitimasikan upaya rekayasa dan
penyeragaman besar-besaran hingga skala global. Kendati proyek ini menampilkan nilai-
nilai universal melalui rasionalitas ilmiah, secara bertahap makin terasa bahwa dalam
praksis modernisasi di berbagai belahan dunia intoleran terhadap nilai-nilai lokal sehingga
universalitas dicurigai sebagai krisis serius. Intoleransi tersebut tidak hanya terjadi di
negara berkembang saja, tetapi juga di negara maju. Kejahatan kemanusiaan jangan-
jangan bukan sekedar akibat sampingan atau penyimpangan dari proyek luhur
modernisme melainkan justru produk langsung dan inheren dari modernisme itu. Di
bidang moral seolah-olah tentang apa yang sesungguhnya "baik", "adil " dan wajib
haruslah didiktekan oleh mereka yang berotoritas dan ahli, dalam hal ini para filsuf.
Proyek besar modernisme beserta misi universalnya ternyata hanya bisa berjalan dengan
logika kekuasaan dan dominasi. Hasil dari proyek humanisasi justru inhumanitas. Ada
kecurigaan terhadap unsur-unsur ideologis yang tersembuyi di dalam prinsip-prinsip etik
universal.

Rasionalitas modern berinkarnasi juga dalam sosok birokrasi. Yang berperan adalah
aturan sehingga seluruh pola perilaku harus disesuaikan dengan aturan itu. Sikap
impersonal adalah syarat agar segala kegiatan itu bersifat rasional.

Dengan cara kerja demikian proyek-proyek modernisasi bergerak bagai sistem-sistem


rekayasa yang anonim dan hadir bagai tuntutan-tuntutan alamiah, kodrati, universal yang
mewajibkan dan tak terelakkan. Pemujaan otonomi individu mengakibatkan individu
menjadi impoten dan sangat tergantung pada institusi, pada sistem-sistem rekayasa
modern.

Rasionalitas modern juga berinkarnasi dalam wujud rasionalitas instrumental yang


merupakan sukma kehidupan bisnis. Segala sarana alat dan aset harus digunakan
(11)

seoptimal mungkin agar mendapat keuntungan sebanyak mungkin sehingga hubungan


menjadi impersonal, rasional dan efisien. Aliansi pola birokrasi dan kepentingan bisnis
semakin memaksa individu tidak mendengarkan suara hati moralnya. Yang harus
diperhatikan hanyalah pekerjaannya: dilakukan secara "betul" atau "salah" alias tak ada
hubungan antara pekerjaan dan moral. Bauman dengan etika postmodernnya juga
menyadarkan kita untuk bertanggung jawab terhadap generasi masa depan. Hal ini
ditunjukkan dengan memperlihatkan berbagai macam bahaya yang ditimbulkan oleh
teknologi yang menimpa manusia serta membahayakan generasi berikutnya.
Keberpihakannya pada yang lemah, tak berdaya, dan tak mempunyai kuasa merupakan
salah satu nilai yang ditawarkan oleh etika postmodern. Teknologi yang menimbulkan
berbagai macam dampak dalam lingkungan mendorong etika postmodern menjadi suatu
sarana untuk memelihara dan melestarikan alam ini. Oleh karena itu perlu pembatasan
teknologi yang berpotensi mempunyai dampak perusakan lingkungan. Etika ini juga
menempatkan manusia harus sebagai subyek teknologi bukan obyek atau justru korban
teknologi.

Memang harus diakui bahwa pembahasan etika postmodern ini tidak akan memberikan
aturan-aturan etika yang baku. Bahkan "insight-insight" yang telah dibahas inipun tidak
akan memberikan aturan etis apapun. Bauman tidak memberikan sebuah kode etik untuk
menggantikan kode etik modern yang sedang dibongkar. Postmodernisme hendak
menyatakan bahwa pemahaman kondisi-kondisi moral itu sendiri dapat membuat hidup
moral itu lebih mudah dipahami. Yang sedang paling diimpikan sebenarnya adalah
membuat hidup lebih bermoral Tanpa sebuah sistem etika yang lebih besar untuk
menuntun mereka, etika untuk individu-individu menjadi materi-materi dari diskresi
individu, pengambilan resiko, ketidakpastian yang kronis dan rasa cemas yang tidak
pernah terdamaikan. Akhirnya, Bauman mengakui bahwa pemetaannya mengenai etika
postmodern tersebut hanyalah salah satu kemungkinan dari banyak kemungkinan
pemahaman mengenai fenomena kehidupan sosial saat ini.

Daftar Pustaka
Bauman, Zygmunt, Postmodern Ethics, Oxford: Blackwell Publishers Ltd., 1993.
Donny Gahral Adian, Dunia Yang Dilipat, Mizan, Bandung
(12)

Magnis-Suseno, Franz, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000.


Sugiharto, Bambang & Agus Rahmat. W, Wajah Baru Etika dan Agama, Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Ritzer, George, Postmodern Social Theory, New York (etc): The McGraw-Hill, Inc., 1997.
Foucault, M, Madness and Civilization, London: Tavistock, 1967

Sumber Acuan:
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
http://belharz.20m.com/cgi-bin/framed/2011/books.htm
http://www.hsc.sunysb.edu/apap/archives/1999/2467.html
http://www.sociologyonline.co.uk/PopBauman.htm
http://Shaunbest.tripod.com/shaunbest/ids.html

Anda mungkin juga menyukai