DAFTAR ISI............................................................................................................................. 1
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kamihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
rahmat-Nya dalam penyelesaian referat berjudul Dermatitis Atopik sebagai salah satu
tugas dalam kepaniteraan klinik ilmu penyakit kulit dan kelamin di RS Mardi Rahayu,
Kudus.
Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Endang S, Sp.KK selaku
dosen pembimbing dalam penyusunan referat ini. Saya menyadari bahwa referat ini masih
jauh dari sempurna maka dari itu saya mohon maaf atas segala kekurangan dalam pembuatan
referat ini. Saya juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki
kekurangan saya dalam pembuatan referat dikemudian hari.
Akhir kata semoga referat ini bisa dimengerti dan dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Atas perhatian yang diberikan, saya ucapkan terima kasih.
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan salah satu dari
sistem indra, yaitu indra peraba. Kulit yang memiliki luas kurang lebih 1,5 m 2 pada orang
dewasa dengan berat 15% berat badan terdiri dari lapisan-lapisan. Secara garis besar kulit
manusia tersusun dari 3 lapisan, yaitu lapisan epidermis, dermis dan subkutis. Lapisan
epidermis terdiri dari 5 lapis, yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum,
stratum spinosum dan stratum basale. Tiap-tiap lapisan dari epidermis terdiri dari sel-sel yang
berbeda. Lalu lapisan dermis juga terdiri dari 2 lapis, yaitu pars papilare dan pars retikulare.
Pada dermis mulai ada ujung-ujung serabut saraf dan pembuluh darah. Sedangkan lapisan
subkutis terdiri dari jaringan ikat longgar yang berisi sel-sel lemak.
Kulit memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah sebagai proteksi. Baik stratum
korneum, sel melanosit, bantalan lemak, dan juga hasil ekskresi dari kelenjar-kelenjar di kulit
yang membentuk lapisan keasaman memiliki peranannya masing-masing dalam memberikan
proteksinya. Selain itu kulit juga memiliki fungsi absorpsi dan fungsi ekskresi. Adanya papil-
papil saraf seperti badan Ruffini, badan Krause, badan Meissner dan badan Paccini membuat
kulit memiliki fungsi persepsi. Selain itu, kulit juga berfungsi mengatur suhu tubuh,
membentuk pigmen dan vitamin D. Dan yang tidak kalah penting, kulit bertugas dalam
proses keratinisasi.
Dermatitis adalah peradangan kulit, yaitu pada lapisan epidermis dan dermis, sebagai
respon terhadap pengaruh dari faktor eksogen ataupun faktor endogen. Peradangan kulit yang
dipengaruhi faktor endogen salah satunya adalah dermatitis atopik (DA). Dermatitis atopik
ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif yang terutama dialami oleh bayi dan anak-
anak. Kata atopi dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai
riwayat kepekaan dalam keluarganya. Banyak istilah yang menjadi sinonim dermatitis atopik
tetapi biasanya dermatitis atopik disebut juga dengan ekzema.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 EPIDEMIOLOGI
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat, maka untuk menginpretasi hasil
penelitian epidemiologik harus berhati-hati. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia,
dan negara industri lain, pravelensi Dermatitis Atopik pada anak mencapai 10-20%,
sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia
Tengah, pravelensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita DA, daripada pria
dengan rasio 1,3:1.1
Angka kejadian DA cenderung meningkat 2-3 kali pada 30 tahun terakhir; pada anak-
anak prevalensinya 5-15% sedangkan pada dewasa 2-10%. Di Amerika Serikat, prevalensi
DA pada dewasa 0,9%.2 Penelitian yang dilakukan Williams et al. terhadap 463.801 anak-
anak dari 56 negara mendapatkan prevalensi DA bervariasi dari 0,6% sampai 20,5%. 2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2005,
didapatkan kelompok usia terbanyak 25-44 tahun (22%).2 Dermatitis atopik sangat jarang
terjadi pada usia tua (>50 tahun).2
Dari hasil penelitian di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof Dr. R. D. Kandou
Manado periode 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2012 didapatkan kasus
dermatitis atopik tersering dialami oleh perempuan dibandingkan laki-laki dengan
perbandingan 1,7:1. Kasus terbanyak ditemukan pada kelompok usia lebih dari 12 tahun,
pekerjaam pelajar atau mahasiswa dan tidak disertai penyakit lainnya.2
DA cenderung diturunkan. Lebih lagi dari seperempat anak dari seorang ibu yang
menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu
orangtua menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai
usia 2 tahun dan akan meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita atopi. Resiko
mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila
4
DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka resiko untuk mewariskan kepada
anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.1
II.2 ETIOPATOGENESIS
DA sering disertai dengan riwayat atopi pada pasien sendiri atau keluarganya (DA,
rinitis alergi, dan atau asma bronkial) disertai peningkatan IgE dalam serum. Etiologi pasti
dari DA belum diketahui tetapi berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis DA,
misalnya faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. Terdapat 2
teori yang menjelaskan etiologi DA, teori pertama menyatakan DA merupakan akibat
defisiensi imunologik yang didasarkan pada kadar Imunoglobulin E (Ig E) yang meningkat
dan indikasi sel T yang berfungsi kurang baik. Sedangkan teori kedua menyatakan adanya
blokade reseptor beta adrenegik pada kulit. Namun, kedua teori tersebut tidak adekuat untuk
menjelaskan semua aspek penyakit DA.
Sampai saat ini patologi maupun mekanisme yang pasti dari DA belum semuanya
diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat
ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal,
yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya
diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan,
superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan
berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri.
5
Gambar 1. Patogenesis DA
Ada hipotesis yang menyatakan kelainan pada kulit, baik lapisan epidermis maupun
dermis dikarenakan faktor genetik dan memegang peranan penting terhadap faktor imunologi
yang berlangsung pada DA.3 Dan seperti yang diketahu bahwa ada disfungis dari stratum
korneum pada kulit penderita DA.3 Disfungsi tersebut menyebabkan fungsi barier kulit
menurun, kulit menjadi kering, sekresi sebum dan keringat juga menurun sehingga pH kulit
berubah.3 Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik.4
1. Faktor imunologik
Multifaktor: DA mempunyai penyebab multi faktorial antara lain faktor genetik,
emosi, trauma, keringat, imunologik.
Respon Imun Sistemik: terdapat IFN- yang menurun. Interleukin spesifik
alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-
13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE.
Imunopatologi Kulit: Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+.
Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan
menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien
DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda
CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel
yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab
6
apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka
diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut
mensekresi IFN- yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan
menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinocyte
diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang
berada di microenvironment.
Respon imun kulit: sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang
diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti
mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan
dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut
didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh
ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN- serta infiltrasi makrofag dan eosinofil.
Genetik: pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33,
kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang
independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan
HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma
dan rhinitis. Resiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya
menderita DA adalah 86%
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya
faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara
yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun.
Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan
rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan
mengakibatkan rasa gatal.
Rekurensi dari DA dipicu oleh beberapa hal, contohnya penderita usia muda lebih
sensitif pada beberapa jenis makanan. Tungau debu rumah (TDR) juga dilaporkan
menyebabkan eksaserbasi pada lesi lama. Karena sensitifitas tinggi pada kulit penderita DA,
maka infeksi oleh bakteri, virus dan jamur juga lebih mudah dialami.1
7
Gambar 2. Tabel Daftar Pencetus Gatal pada DA3
II.3 DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan fisik kulit secara lengkap
seperti biasa. Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik ini ada 2, yaitu lokalisasi lesi
dan efloresensi dari lesi. Berdasarkan lokalisasi lesi didapatkan pada bayi banyak di kedua
pipi, kepala, badan, serta ekstremitas terutama bagian ekstensor. Pada anak-anak ditemukan
di tengkuk, lipat siku, lipat lutut, leher, pergelangan tangan serta bagian fleksor. Sedangkan
pada dewasa lesi terdapat pada tengkuk, lipat lutut, lipat siku, leher dan dapat mengenai
kelopak mata. Untuk efloresensi dan sifatnya, pada bayi berupa eritema berbatas tegas,
8
papupa dan vesikula milier disertai erosi dan eksudasi serta krusta. Pada anak berupa papula-
papula millier, likenifikasi, sedikit skuama, kulit kering dan tidak eksudatif sedangkan pada
dewasa biasanya hiperpigmentasi, kering dan terdapat likenifikasi.
1. Dermatografisme Putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan 3 respon, yakni akan tampak
garis merah di lokasi penggoresan selama 15 menit, selanjutnya mennyebar ke daerah
sekitar, kemudian timbul edema setelah beberapa menit. Namun, pada penderita DA
bereaksi lain, garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi timbul kepucatan dan
tidak timbul edema.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. IgE serum
IgE serum dapat diperiksa dengan metode ELISA. Ditemukan 80% pada
penderita DA menunjukkan peningkatan kadar IgE dalam serum terutama bila
disertai gejala atopi (alergi).
b. Eosinofil
Eosinofil dapat ditemukan meningkat dalam darah perifer penderita DA.
c. Sel T
Limfosit T di daerah tepi pada penderita DA mempunyai jumlah absolut yang
normal atau berkurang. Dapat diperiksa dengan pemeriksaan imunofluouresensi
terlihat aktifitas sel T-helper menyebabkan pelepasan sitokin yang berperan pada
patogenesis dermatitis atopik.
3. Percobaan Asetilkolin
Suntikan secara intrakutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan
hiperemia pada orang normal. Pada orang DA akan timbul vasokontriksi, terlihat
kepucatan selama 1 jam.
4. Percobaan Histamin
9
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita DA, eritema akan berkurang,
jika disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit yang normal.
1 Kriteria mayor:
Pruritus (gatal) Bersifat kronik eksaserbasi
Morfologi sesuai umur dan Ada riwayat atopi individu atau
distribusi lesi yang khas (bayi dan keluarga
anak pada wajah atau ekstensor,
dewaa pada fleksura)
2 Kriteria minor:
Tanda Dennie-Morgan
10
Biasanya timbul pada usia 2 bulan sampai usia 2 tahun, tetapi dapat pula
terjadi pada usia 2-3 minggu. Bentuk yang paling sering adalah bentuk basah. Mula-
mula berupa papula milier kemudian timbul eritem, papulovesikel yang bila pecah akan
menimbulkan erosi dan eksudasi. Biasanya terjadi pada muka terutama pipi, dapat
meluas ke dahi, kulit kepala, leher, pergelangan tangan, ekstremitas bagian ekstensor
dan bokong. Bentuk lain yang jarang terjadi adalah bentuk kering. Kelainan dapat
berupa papula kecil, skuama halus, likenifikasi dan erosi. Biasanya terjadi pada anak
yang lebih besar. Eksaserbasi bisa terjadi karena tindakan vaksinasi, makanan, bulu
binatang atau perubahan suhu.
Kelainan dapat berupa papula, likenifikasi, skuama, erosi dan krusta. Biasanya
terjadi pada fossa poplitea, antekubiti, pergelangan tangan, muka dan leher. Eksaserbasi
tipe anak lebih sering karena iritasi dan kadang-kadang karena makanan.
11
ekstremitas bagian fleksor, leher, dahi dan mata. Eksaserbasi pada DA tipe dewasa
sering terjadi karena tekanan mental, iritasi dan makanan.
12
13
Gambar 5. Bagan Alur Diagnosis dan Tatalaksana DA3
Pengobatan Topikal:
a Hidrasi kulit: pada kulit diberikan pelembab misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat
pula ditambahkan hidrokortison 1% didalamnya.1
b Kortikosteroid topikal: pengobatan yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi
lesi kulit. Potensi salep kortikosteroid yang diberikan harus sesuai dengan usia dan
besarnya lesi.1
c Preparat ter: sebagai antipruritus dan anti-inflamasi yang digunakan pada lesi kronis,
tidak boleh untuk lesi akut.1
d Cairan normal salin (NS): digunakan untuk membersihkan lesi DA yang basah (adanya
darah, pus atau krusta akibat garukan).5
Pengobatan Sistemik:1
14
Pada pasien DA juga perlu dilakukan edukasi mengenai beberapa hal, seperti:1
a. Menghindari bahan iritan: bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi karena
penderita DA mempunyai nilai ambang rendah dalam merespon berbagai iritan.
Baiknya pakaian baru dicuci terlebih dahulu, bila mencuci dengan detergen juga harus
dibilas dengan bersih.
b. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti: pemicu kekambuhan yang telah terbukti
misal makanan, debu rumah, bulu binatang dan sebagainya harus disingkirkan.
c. Mengurangi stress: stress pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan, bukan
sebagai penyebab.
d. Pemberian pelembab kulit dan menghilangkan pengeringan kulit: pemakaian
pelembab dapat mempebaiki barier stratum korneum.
e. Menjaga kebersihan kulit dengan baik, terutama pada bayi yang menggunakan popok
harus diperhatikan kelembapannya. Baiknya menggunakan sabun mandi bayi dan
tidak menggunakan sabun antiseptik karena memmbuat kulit semakin kering.
Ada juga beberapa rekomendasi dari IDAI untuk penatalaksanaan dabn pencegahan
umum DA berulang pada anak, seperti:6
1. Mandi memakai sabun dengan pH netral dan yang mengandung pelembab; hindari
pembersih antibakterial.
2. Mandi air hangat 1-2 kali sehari dan tidak lebih dari 10 menit setiap kalinya.
3. Mengoleskan krim steroid diberikan sesuai resep dokter dan bila sudah sembuh kulit
harus dijaga kelembabannya dengan mengoleskan krim pelembab segera setelah
mandi.
7. Bayi dan anak jangan terlalu sering dimandikan, cukup dua kali sehari, jangan
menggosok terlalu kuat.
15
8. Jangan memakai pakian terlalu tebal, ketat, atau kotor, atau yang bersifat iritan (wol
atau sintetik); bahan katun kebih baik.
10. Hindari makanan yang dicurigai menyebabkan kekambuhan dan lakukan diet sesuai
petunjuk dokter.
Barier kulit yang rusak, respon imun yang abnormal, penurunan produksi
peptida anti mikroba endogen, semua presdiposisi mempengaruhi penderita DA terkena
infeksi sekunder, khususnya pada pasien dengan kondisi berat. Infeksi kutan ini biasa
disebabkan golongan stafilokokus dan dapat menimbulkan lebih resiko yang serius pada bayi
yang pada waktu mendatang akan berpotensi untuk infeksi sistemik. Penderita DA juga
sangat rentan dengan infeksi virus, diantaranya varisela dan yang paling berbahaya adalah
herpes simpleks dengan penyebaran luas dapat mengakibatkan ekzema hepetikum yang dapat
terjadi pada semua usia.
Komplikasi lain yang dapat timbul adalah pada mata. Komplikasi pada mata
juga dihubungkan dengan dermatitis kelopak mata dan blefaritis kronis yang umumnya
terkait dengan DA dan dapat mengakibatkan gangguan penglihatan dari jaringan parut
kornea. Keratokonjungvitis atopik biasanya bilateral dan dapat memiliki simptom seperti rasa
gatal dan terbakar pada mata, mata merah, berair dan mengeluarkan diskret yang mukoid.
Selain itu kelopak mata bengkak dan menebal, dan bila kornea terlibat pasien akan
mengalami fotofobia. Keratokonus, pembengkakan ringan kornea sentralis, diduga karena
gosokan berulang pada mata, dan katarak merupakan komplikasi dari hal tersebut.
16
gejalanya. Lebih dari setengah DA remaja yang telah diobati, kambuh kembali setelah
dewasa.1
Dermatitis Kontak1
Dermatitis kontak adalah respon peradangan kulit akut atau kronik terhadap
paparan bahan iritan eksternal yang mengenai kulit. Dermatitis kontak terbagi 2 yaitu:
a Dermatitis kontak iritan / DKA (mekanisme non imunologik)
Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel
yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan
merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan
tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria
komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka
fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan membebaskan
prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan
transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen dan system kinin.
Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan
keluarnya mediator-mediator. Sehingga perbedaan mekanismenya dengan dermatis
kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis kontak iritan tidak melalui fase
sensitisasi.
Ada dua jenis bahan iritan yaitu:
Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada
hampir semua orang.
17
Iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak
berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan,
gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut.
Gambar 6. Dermatitis Kontak Iritan
1) Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini
terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan
kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten
menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan
jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal).
18
2) Fase Elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari
antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam
kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang
INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung
beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid
akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin
sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya
timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis.
19
Dermatitis Numularis1
Psoriasis7
20
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan
Kobner. Psoriasis ini disebut juga psoriasis vulgaris berarti psoriasis yang biasa, karena
ada psoriasis lain, misalnya psoriasis pustulosa. Insidennya lebih tinggi pada orang kulit
putih daripada kulit yang berwarna dan pada pria lebih banyak daripada wanita.
Terdapat faktor-faktor pencetus pada psoriasis, yaitu stres psikis, infeksi fokal (oleh
Streptococcus), trauma (fenomena Kobner), endokrin, gangguan metabolik, obat,
alkohol, dan merokok.
Gambar 9. Psoriasis
21
Psoriasis inversa atau fleksura: predileksi di daerah fleksor.
Psoriasis eksudat: sangat jarang, kelainan psoriasis kering tetapi pada bentuk ini
kelainannya eksudatif seperti dermatitis akut.
Psoriasis seborik: gabungan antara psoriasis dan dermatitis seborik, skuama agak
berminyak dan agak lunak.
Psoriasis pustulosa: terdapat dua bentuk, yaitu lokalisata dan generalisata.
Eritrodema psoriatik: disebabkan pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh
penyakitnya sendiri yang meluas.
Dermatitis seboroik7
22
berupa papul-papul. Terdapat sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Onset
invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang. Dermatitis
seboroik pada bayi memiliki ciri-ciri axillary patches, kurang oozing dan weeping, dan
kurang gatal.
23
BAB III
PENUTUP
24
klinis DA yang tidak khas, diagnosis banding DA cukup beragam, termasuk
diantaranya dermatitis kontak, dermatitis numularis, dermatitis seboroik dan psoriasis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sularsito S.A dan Djuanda S. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2010. ed.6. h.138-47.
2. Febriansyah JPE, Kapantow GM dan Hariyanto A. Profil dermatitis atopik di
poliklinik kulit dan kelamin RSUP Prof. Dr. R.D Kandaou Manado periode januari
2010 desember 2012. Jurnal Biomedik (JBM): November 2015. vol.7, no.3.
hal.S23-8.
3. Schneider et al. Atopic dermatitis: a practice parameter update 2012. J Allergy Clin
Immunol: February 2013. 131:295-9.
4. Stawiski MA. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2005. ed.6. vol.2. 1430-2.
5. Wahyuni TD. Pembersihan luka dermatitis atopik dengan cairan normal salin. Jurnal
Keperawatan: Januari 2014. vol.5. no.1. hal.79-91.
25
6. Munazir Z dan Komala K. Pentingnya perawatan kulit pada anak dengan dermatitis
atopik. Dikutip dari: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/pentingnya-
perawatan-kulit-pada-anak-dengan-dermatitis-atopik pada tanggal 26 Juli 2016.
7. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2010. ed.6. h.189-95 dan 200-2
26