Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

Kolostomi (colostomy) berasal dari kata colon dan stomy. Colon (kolon)
merupakan bagian dari usus besar yang memanjang dari sekum sampai rektum dan stomy
(dalam bahasa Yunani stoma berarti mulut). Kolostomi dapat diartikan sebagai suatu
pembedahan dimana suatu pembukaan dilakukan dari kolon (atau usus besar) ke luar dari
abdomen. Feses keluar melalui saluran usus yang akan keluar di sebuah kantung yang
diletakkan pada abdomen.1,2
Kolostomi merupakan prosedur pembedahan yang membawa porsio dari usus besar
melewati dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Kolostomi adalah kolokutaneostomi
yang disebut juga anus preternaturalis yang dibuat untuk sementara atau menetap. 3
Pembedahan kolostomi biasanya memakan waktu dua hingga empat jam, tergantung dari
tingkat kesulitan, adanya infeksi, atau beratnya trauma misalnya apabila penyebabnya adalah
trauma kolon.4
Kolostomi dapat dibuat sementara ataupun permanen. Kolostomi sementara dapat
digunakan ketika bagian kolon perlu diperbaiki/disembuhkan, misalnya setelah trauma atau
pembedahan. Setelah kolon membaik/sembuh, kolostomi dapat ditutup, dan fungsi usus dapat
kembali normal. Kolostomi permanen (disebut juga end colostomy) biasanya diperlukan pada
beberapa kondisi tertentu, termasuk sekitar 15% kasus kanker kolon. Jenis kolostomi ini
biasanya digunakan saat rektum perlu diangkat akibat suatu penyakit ataupun kanker.1
Tindakan kolostomi dilakukan untuk mengalirkan feses dari kolon ke kantung kolostomi.
Sebagian besar feses akan lebih lunak dan lebih encer dibandingkan feses yang keluar secara
normal lewat anus. Konsistensi feses tergantung dari letak segmen usus yang dipakai pada
tindakan kolostomi.2
Letak kolostomi pada abdomen bisa dimana saja sepanjang letak kolon, namun
biasanya dilakukan pada bagian kiri bawah, di daerah kolon sigmoid. Namun dapat pula
dibuat dilokasi kolon asendens, transversum, dan desendens. Letak kolostomi sebaiknya
dipilih dengan hati-hati sebelum tindakan operasi. Sebaiknya hindari lokasi yang memiliki
jaringan lemak yang tebal dan terdapat skar.5,6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI


Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki
(sekitar 1,5 m) yang mulai sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih
besar dari usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus
diameternya semakin kecil.7
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon
asendens, transversum, desenden dan sigmoid. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci
pertama dari usus besar. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis.
Kolon sigmoid mulai setinggi Krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk-S, lekukan
bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, yang
menjelaskan alasan anatomis meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi enema. Bagian
utama usus besar yang terakhir dinamakan rektum dan terbentang dari kolon sigmoid sampai
anus (muara ke bagian luar). Panjang rektum dan kanalis ani sekitar 5,9 inci (15 cm).7
Usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti juga bagian usus lainnya. Akan
tetapi, ada beberapa gambaran yang khas pada usus besar saja. Lapisan otot longitudinal usus
besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita yang dinamakan taenia koli. Lapisan
mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak
mengandung vili atau rugae. Kriptus Lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan
mempunyai lebih banyak sel goblet dari pada usus halus.7
Gambar 1. Usus Besar
Dikutip dari kepustakaan 8

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai
darah yang diterima. Arteria mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan
(sekum, kolon asendens dan dua pertiga proksimal kolon transversum), dan arteria
mesenterika inferior memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon
desendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rectum). Aliran balik vena dari kolon dan
rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior dan vena hemoroidalis
superior.9
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian
sfingter eksterna yang berada di bawah kontrol volunter. Perangsangan simpatis
menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.7
Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi
usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang
sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir
yang menampung massa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung.7
Kolon mengabsorpsi sekitar 600 ml air per hari, bandingkan dengan usus halus yang
mengabsorpsi sekitar 8.000 ml. Kapasitas absorpsi usus besar adalah sekitar 2.000 ml/hari.
Sedikitnya pencernaan yang terjadi di usus besar terutama diakibatkan oleh bakteri dan bukan
karena kerja enzim.7

2.2 TUJUAN KOLOSTOMI


Umumnya kolostomi dilakukan pada pembedahan kanker, namun kadang-kadang
diperlukan pada penyakit infeksi usus dan penyakit divertikulum, dan pada pembedahan yang
darurat untuk perforasi atau obstruksi pada usus.10,11 Indikasi kolostomi ialah dekompresi
usus pada obstruksi, stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang, atau perforasi,
dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis distal.3
Gambar 2. Konstruksi cara pembuatan kolostomi
Dikutip dari kepustakaan 6

Konstruksi atau cara pembuatan kolostomi untuk dekompresi usus:6,12


1. Sayatan dilakukan pada lokasi usus yang diinginkan. Sayatan yang dibuat sekitar 5-6
cm.
Setelah peritoneum ditemukan, identifikasi segmen usus. Usus ditutupi oleh
omentum,
2. namun beberapa pasien memiliki omentum yang cukup tipis sehingga kolon dapat
terlihat.
3. Kemudian dilakukan aspirasi pada kolon.
4. Dilakukan penjahitan seromuskular dan peritoneal.
5. Kolon dibuka dengan insisi 5-6 cm sepanjang dinding kolon, biasanya lebih dipilih
untuk melakukan sayatan pada taenia. Kemudian dilakukan aspirasi yang adekuat
pada usus. Selanjutnya lapangan operasi di irigasi dengan 0,1 % kanamycin solution.
6. Penjahitan kemudian dilakukan antara fasia dan lapisan neuromuskular dari dinding
usus.
7. Stoma selesai dengan menjahit dinding usus dan kulit.
8. Pembuatan stoma selesai
9.
Gambar 3. Konstruksi cara pembuatan kolostomi
Dikutip dari kepustakaan 6

Konstruksi atau cara pembuatan loop kolostomi:6


1. Memilih lokasi untuk membuat kolostomi. Sayatan yang dibuat sekitar 5-6 cm.
2. Identifikasi segmen usus. Usus ditarik keluar dari tempat insisi.
3. Dibuat jahitan pada fasia sehingga usus akan tertahan diluar dinding abdomen.
Kemudian diikuti dengan penjahitan kulit dinding abdomen.
4. Dibuat insisi pada kolon. Selanjutnya fiksasi dengan menjahit dinding usus pada
kulit..

2.3 PEMBAGIAN KOLOSTOMI


A. Berdasarkan Penggunaannya1,3,10
1. Kolostomi Permanen
Kolostomi permanen diperlukan ketika tidak terdapat lagi segmen usus bagian distal
setelah dilakukan reseksi atau untuk alasan tertentu usus tidak dapat disambung lagi.
Kolostomi dibuat untuk menggantikan fungsi anus bila anus dan rectum harus diangkat.
Kolostomi permanen harus hati-hati ditempatkan untuk memudahkan dalam penganganan
jangka panjang. Kolostomi permanen biasanya dibuat pada kolon kiri pada fossa iliaka kiri.
Kolostomi permanen dilakukan pada beberapa kondisi tertentu, termasuk sekitar 15% oleh
karena kasus kanker kolon. Kolostomi ini biasanya digunakan saat rektum perlu diangkat
akibat suatu penyakit ataupun kanker.
2. Kolostomi Sementara
Kolostomi sementara sering dilakukan untuk mengalihkan aliran feses dari daerah
distal usus. Setelah masalah pada usus bagian distal telah teratasi, maka kolostomi dapat
ditutup kembali.

Kolostomi sementara berguna untuk:


Mengatasi obstruksi pada operasi elektif maupun tindakan darurat. Kolostomi
dilakukan untuk mencegah obstruksi komplit usus besar bagian distal yang
menyebabkan dilatasi bagian proksimal.
Melakukan proteksi terhadap anastomosis kolon setelah reseksi. Kolostomi sementara
dibuat, misalnya pada penderita gawat abdomen dengan peritonitis yang telah
dilakukan reseksi sebagian kolon. Pada keadaan demikian, membebani anastomosis
baru dengan pasase feses merupakan tindakan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, untuk pengamanan anastomosis, aliran feses
dialihkan sementara melalui kolostomi dua stoma yang disebut stoma double barrel.
Dengan cara Hartman, pembuatan anastomosis ditunda sampai radang di perut telah
reda.
Kolostomi sementara dapat berguna untuk mengistirahatkan segmen usus bagian
distal yang terlibat pada proses inflamasi misalnya abses perikolik, fistula anorektal.

B. Tipe Kolostomi11,13
1. Kolostomi loop
Jenis kolostomi ini didesain sehingga baik segmen distal maupun proksimal usus
terdapat pada permukaan kulit.
Gambar 4. Loop kolon yang terbuka dan terdapat pada dinding abdomen.
Dikutip dari kepustakaan 6

2. Kolostomi double barrel


Pada kolostomi double barrel, dibuat dua stoma yang terpisah pada dinding abdomen.
Stoma bagian proksimal berhubungan dengan traktus gastrointestinal yang lebih atas dan
akan menjadi saluran pengeluaran feses. Stoma bagian distal berhubungan dengan rectum.
Kolostomi double barrel termasuk jenis kolostomi sementara. Kolostomi double barrel
mudah dan aman digunakan pada neonatus dan bayi.
3. Kolostomi devided
Kolostomi ini sering dibuat pada sigmoid pada karsinoma rektum yang tak dapat
diangkat, sehingga karsinoma tersebut tidak teriritasi oleh tinja.

4. Kolostomi terminal
Tipe ini dilakukan bila diperlukan untuk membuang kolon karena terlalu
membahayakan bila dilakukan anastomosis yang memudahkan timbulnya sepsis. Kontinuitas
dapat diperbaiki kemudian hari bila sepsis telah dapat diatasi dan kondisi penderita lebih
baik.
5. Sekostomi dengan pipa (tube)
Sekostomi merupakan kolostomi sementara. Berguna untuk dekompresi gas dalam
usus. Sekostomi tidak cocok untuk diversi aliran feses. Saat ini sekostomi jarang digunakan
karena stoma sering tersumbat oleh feses dan seringkali diperlukan irigasi untuk kembali
melancarkan.
Gambar 5. Konstruksi sekostomi dengan pipa (tube)
Dikutip dari kepustakaan 6

2.4 KOMPLIKASI3,9,10,11
1. Nekrosis kolostomi.
Hal ini diakibatkan tidak adekuatnya suplai darah. Komplikasi ini biasanya terlihat
12-24 jam setelah pembedahan dan biasa diperlukan pembedahan tambahan untuk
menanganinya.
2. Kolostomi retraksi.
Disebabkan karena tidak cukupnya panjang stoma. Komplikasi ini dapat ditangani
dengan menyediakan kantong khusus. Memperbaiki stoma dapat pula menjadi pilihan
penanganan.
3. Parastomal hernia.
Keadaan ini dapat timbul akibat letak stoma pada dinding abdomen yang lemah atau
dibuat terbuka terlalu besar pada dinding abdomen.
4. Prolaps.
Keadaan ini sering diakibatkan pembukaan yang terlalu besar pada dinding abdomen
atau fiksasi usus yang tidak cukup kuat pada dinding abdomen. Pembedahan ulang untuk
mengatasi prolaps dengan mengambil vaskularisasi yang melampaui segmen usus yang
disuplai.
5. Obstruksi
Obstruksi dapat terjadi akibat udem ataupun timbunan feses.

Beberapa pasien yang menggunakan kolostomi memilih untuk mengeluarkan feses ke


kantong stoma dengan menggunakan teknik irigasi kolon. Beberapa hari sekali, pasien
mengalirkan sekitar satu liter air melewati kolostomi dengan saluran/pipa khusus, dan air
akan lewat keluar dengan tujuan untuk mengosongkan dan membersihkan kolon.10
Pada kolostomi sigmoid biasanya pola defekasi sama dengan semula. Banyak
penderita mengadakan pembilasan sekali sehari sehingga mereka tidak terganggu oleh
pengeluaran feses dari stomanya. Kolostoma pada kolon tranversum mengeluarkan isi usus
beberapa kali sehari karena isi kolon transversum tidak padat, sehingga lebih sulit diatur.3
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de Jong dan R. Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC. 2005.
2. Zinner, M.J. and Stanley W.A. Maingots Abdominal Operation. 11th Edition. New
York: McGraw-Hill.
3. Price, S.A. and Lorraine M. Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995.
4. Van De Graft. Human Anatomy. Sixth Edition. New York: McGraw Hill. 2007.
5. Brunicardi, F.C. Schwartzs Manual of Surgery. Eighth Edition. New York: McGraw-
Hill Medical Publishing Division. 2006.
6. Burkitt, H.G. and Clive R.G.Q. Essential Surgery: Problems, Diagnosis and
Management. Third Edition. New York: Churchill Livingstone. 2002.
7. Scott-Conner, Carol. Chasins Operative Strategy in General Surgery: An Expositive
Atlas. Third Edition. USA: Springer. 2000.

Anda mungkin juga menyukai