Anda di halaman 1dari 54

1.

Memahami dan Menjelaskan Trauma Pelvis


Definisi fraktur tulang pelvis
Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang
tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur
yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang
signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian.
Etiologi
Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi
sendi panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu trauma hebat. Patah
tulang pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian bawah
atau apabila terdapat luka serut, memar, atau hematom di daerah pinggang, sacrum, pubis
atau perineum.
Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:
Kompresi Antero-Posterior (APC)
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki kendaraan. Ramus
pubis mengalami fraktur , tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna
disertai robekan simfisis . Keadaan ini disebut sebagai open book injury. Bagian
posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan parsial atau dapat disertai fraktur
bagian belakang ilium.
Kompresi Lateral (LC)
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan . Hal ini
terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro iliaka atau
fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
Trauma Vertikal (SV)
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai fraktur
ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi
apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
Trauma Kombinasi (CM)
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.

Tipe Cidera/ Klasifikasi Fraktur


Cidera pelvis dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh
a. Fraktur avulsi
Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat. Fraktur ini biasanya
ditemukan pada olahragawan dan atlet. Muskulus Sartorius dapat menarik spina iliaca
anterior superior, rektus femoris menarik spina iliaca anterior inferior , adductor longus
menarik sepotong pubis, dan urat-urat lurik menarik bagian-bagian iskium. Nyeri hilang
biasanya dalam beberapa bulan. Avulsi pada apofisis iskium oleh otot-otot lutut jarang
mengakibatkan gejala menetap, dalam hal ini reduksi terbuka dan fiksasi internal
diindikasikan.
b. Fraktur langsung

1
Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi, dapat
menyebabkan fraktur iskium atau ala ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan bed rest total
sampai nyeri mereda.
c. Fraktur-tekanan
Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering dirasakan yidak nyeri.
Pada pasien osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit didiagnosis adalah
fraktur-tekanan disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah penyebab nyeri sacroiliaca yang tak
lazim pada orangtua yang menderita osteoporosis.

2 Fraktur pada cincin pelvis


Telah lama diperdebatkan bahwa karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat cincin
pasti diikuti pada tempat yang lainnya, kecuali fraktur akibat pukulan langsung atau fraktur
pada anak-anak yang simfisis dan sendi sacroiliaca masih elastic. Tetapi, patahan kedua
sering tidak ditemukan, baik karena fraktur tereduksi segera atau karena sendi sacroiliaca
hanya rusak sebagian. Dalam hal ini fraktur yang kelihatan tidak mengalami pergeseran dan
cincin bersifat stabil. Fraktur atau kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur
cincin ganda yang jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada
klasifikasi kedalam fraktur cincin tunggal dan ganda.
Tekanan anteroposterior, cidera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan frontal saat
kecelakaan. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak terbelah dan berotasi
keluar disertai kerusakan simphisis. Fraktur ini biasa disebut open book. Bagian posterior
ligament sacroiliaca robek sebagian, atau mungkin terdapat fraktur pada bagian posterior
ilium. Tekanan lateral, tekanan dari sisi ke sisi pelvis menyebabkan cincin melengkung dan
patah. Di bagian anterior rami pubis, pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur dan di
bagian posterior terdapat strain sacroiliaca yang berat atau fraktur pada ilium, baik pada sisi
yang sama seperti fraktur rami pubis atau pada sisi yang sebaliknya pada pelvis. Apabila
terjadi pergeseran sendi sacroiliaca yang besar maka pelvis tidak stabil.
Pemuntiran vertical, tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertical,
menyebabkan fraktur vertical, menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah
sacroiliaca pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi tumpuan dengan salah satu kaki saat
terjatuh dari ketinggian. Cidera ini biasanya berat dan tidak stabil dengan robekan jaringan
lunak dan perdarahan retroperitoneal.
Tile (1988) membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang secara
rotasi tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.
Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau
tanpa pergeseran.
o A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
o A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi luar yang
mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis biasa disebut
fraktur open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral yang dapat
menyebabkan fraktur pada rami iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga
disertai cidera posterior tetapi tida ada pembukaan simfisis.
o B1 : open book
o B2 : kompresi lateral ipsilateral
o B3 : kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)

2
Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada ligament
posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran
vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum.
o C1 : unilateral
o C2 : bilateral
o C3 : disertai fraktur asetabulum
Klasifikasi fraktur menurut Cey dan Conwell :
a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin
Fraktur avulsi
o Spina iliaka anterior posterior
o Spina iliaka anterior inferior
o Tuberositas ischium
Fraktur pubis dan ischium
Fraktur sayap ilium
Fraktur sacrum
Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
b. Keretakan tunggal pada cincin panggul
Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
Fraktur dekat atau subluksasi simpisis pubis
Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka
c. Fraktur bilateral cincin panggul
Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
Fraktur ganda dan atau dislokasi
Fraktur multiple yang hebat
d. Fraktur asetabulum
Tanpa pergeseran
Dengan pergeseran

Gambaran Klinik
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yangdapat
mengenai organ-organ lain dalam panggul . Keluhan berupa gejala pembengkakan
,deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul . Penderita datang dalam keadaan
anemi dan syok karena perdarahan yang hebat. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak
bawah.
Dislokasi dan fraktur dislokasi sendi panggul dibagi dalam 3 jenis :
1. Dislokasi posterior
Tanpa fraktur
Disertai fraktur rim posterior yang tunggal dan besar
Disertai fraktur komunitif asetabulum bagian posterior dengan atau tanpakerusakan
pada dasar asetabulum.
Disertai fraktur kaput femur

3
Mekanisme trauma dislokasi posterior disertai adanya fraktur adalah kaput femur
dipaksa keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis
femur dimana sendi pinggul dalama posisi fleksi atau semi fleksi. Trauma biasanya terjadi
karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak
dengan keras yang berada dibagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu
mengendarai motor. 50% dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen
kecil atau besar. Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri dan
deformitas pada daerah sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol ke belakang dalam
posisi adduksi, fleksi dan rotasi interna .terdapat pemendekan anggota gerak bawah. Dengan
pemeriksaan rontgen akan diketahui jenis dislokasi dan apakahdislokasi disertai fraktur atau
tidak.
2. Dislokasi anterior
Obturator
Iliaka
Pubik
Disertai fraktur kaput femur
3. Dislokasi sentral asetabulum
Hanya mengenai bagian dalam dinding asetabulum
Fraktur sebagian dari kubah asetabulum
Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur asetabulum yang komunitif
Mekanisme trauma Fraktur dislokasi sentral adalah terjadi apabila kaput
femur terdorong ke dinding medial asetabulum pada rongga panggul. Disini kapsul tetap
utuh. Fraktur asetabulum terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh
dariketinggian pada satu sisi atau suatu tekanan yang melalui femur dimana keadaan abduksi.
Didapatkan perdarahan dan pembengkakan di daerah tungkai bagian proksimal tetapi posisi
tetap normal. Nyeri tekan pada daerah trokanter. Gerakan sendi panggul sangat terbatas.
Dengan pemeriksaan radiologis didapatkan adanya pergeseran dari kaput femur menembus
panggul.
Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila
berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera
pelvis. Foto polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur.
Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat
berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapt
bersifat local tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan
sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik sebagian karena mengalami
cidera saraf skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga membawa resiko tinggi terjadinya
kerusakan visceral, perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS.
Angka kematian juga cukup tinggi.(Apley, 1995).
Diagnosis :
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan gerakan
abnormal pada gelang panggul. Untuk itu pelvis ditekan ke belakang dan ke medial secara
hati-hati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial pada kedua trokanter mayor, ke
belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan
ini menyebabkan nyeri, patut dicurigai adanya patah tulang panggul. Kemudian dicari adanya
gangguan kencing seperti retensi urin atau perdarahan melalui uretra, serta dilakukan

4
pemeriksaan colok dubur untuk melakukan penilaian pada sakrum, atau tulang pubis dari
dalam.
Pada pemeriksaan penunjang, umumnya pemeriksaan radiologi diperlukan. Pada
patah tulang yang meliputi asetabulum, CT Scan amat berguna untuk melihat dengan tepat
posisi fraktur dan hubungan antara fragmen.

Penatalaksanaan :
Penanganan darurat yang perlu dilakukan terutama adalah terhadap perdarahan dalam
dan ekstravasasi urin. Fraktur yang merobek pembuluh darah dapat menyebabkan syok yang
segera harus diatasi. Bila terdapat trauma kandung kemih atau trauma multipel, tindakan yang
efektif pada fraktur pelvis yang tidak stabil adalah reposisi terbuka dengan fiksasi ekstern
atau intern. Patah tulang pelvis terisolasi yang tidak merusak cincin pelvis dan tidak merusak
kolom penunjang berat badan, tidak menggangu stabilitas pelvis dalam fungsinya sebagai
penyangga dan mobilisasi sehingga tidak diperlukan reposisi.Fraktur os ilium akibat trauma
langsung, menimbulkan rasa amat nyeri hanya diperlukan analgetik sampai nyeri hilang.
Untuk fraktur yang merusak gelang pelvis tanpa pergeseran fragmen patah tulang
yang terlampau hebat dan tidak merusak kontinuitas kolom penunjang berat badan,
dianjurkan istirahat selama penderita belum dapat mengatasi nyerinya. Fraktur ramus os
pubis akibat jatuh atau trauma kangkang bisa disertai robekan uretra atau ruptur buli-buli.
Fraktur yang merusak gelang pelvis dibedakan atas tiga jenis :
1) Fraktur tulang kompres antero-posterior akibat benturan keras dari arah depan
membuat kedua sendi sacroiliaca merekah. Perawatan yang dilakukan adalah
perawatan ayunan pelvis di dalam kain ambin memenuhi syarat imobilisasi secara
memadai.
2) Fraktur kompresi lateral akibat pukulan atau cedera keras pada 1 sisi pelvis yang
menyebabkan fraktur ramus pubis sehingga bergeser dan merusak sacrum, sendi
scaro-iliaca atau ala os ilium pada sisi trauma. Pada fraktur ini dapat terjadi
reposisi spontan pada saat berbaring dan pemasangan ayunan pelvis untuk
mendapatkan serta mempertahankan reposisi.
3) Fraktur trauma vertikal, tidak stabil dan memerlukan traksi skelet continue
dengan pin pada femur untuk mereposisi dan mempertahankan reposisi. Apabila
fraktur bawah terputar ke ventral, traksi diberikan dengan panggul extensi.
Sedangkan bila fragmen distal terputar ke belakang traksi diberikan dalam
panggul fleksi. Traksi harus dipertahankan dalam 3 bulan.

5
Komplikasi :
Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil. Cedera uretra
berat dapat menimbulkan striktur uretra, inkontinensia dan impotensi. Ruptur uretra posterior
paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau
simpisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan
uretra pars prostate membranacea. Ruptur uretra anterior, cedera dari luar yang sering
menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle injury (cedera selangkangan) yaitu
uretra terjepit di antara tulang pelvis dan benda tumpul.

Definisi Trauma Buli-buli


Trauma buli-buli sering disebabkan rudapaksa dari luar dan sering di dapatkan
bersama fraktur pelvis. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio/ruptur kandung
kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli dengan hematuria tanpa
ekstravasasi urin.
Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas yang disebabkan fragmen
patah tulang pelvis (90%) yang mencederai buli-buli. Trauma tumpul menyebabkan rupture buli-buli
terutama bila vesica urinaria penuh atau terdapat kelainan patologik seperti tuberculosis, tumor, atau
obstruksi sehingga trauma kecil sudah menyebabkan rupture.
Ruptur buli-buli dapat juga terjadi secara spontan, hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya
terdapat kelainan pada dinding vesica urinaria. Fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars
membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur,
sedangkan uretra membranasea terikat diafragma urogenital.

6
Bila buli-buli yang penuh dengan urine mengalami trauma, maka akan terjadi peningkatan
tekanan intravesikel yang dapat menyebabkan contosio buli-buli / buli-buli pecah. Keadaan ini dapat
menyebabkan ruptura intraperitoneal. Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsang peritonium termasuk defans muskuler dan sindrom ileus paralitik

Etiologi :
90% trauma tumpul buli-buli akibat fraktur pelvis. Robeknya buli-buli karena fraktur
pelvis bias pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis yang merobek dindingnya.
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic antara lain pada
reseksi buli-buli transurethral.
Partus yang lama atau tindakan operasi didaerah pelvis dapat menyebabkan trauma
iatrogenic pada buli-buli.
Dapat pula terjadi secara spontan, biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan
pada dinding buli-buli seperti tuberculosis, tumor buli-buli dll.
Klasifikasi :
Kontusio buli-buli, hanya terdapat memar pada dindingnya, mungkin didapatkan
hematoma vesikel, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urin ke luar buli-buli.
Cedera buli-buli ekstraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-buli kosong.
Dapat diakibatkan oleh fraktur pelvis.
Cedera buli-buli intraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-buli sedang terisi
penuh.

Patofisiologi :
Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan. Fraktur tulang panggul dapat
menimbulkan kontusio atau rupture kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi
memar pada dinding buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urin. Rupture kandung
kemih dapat bersifat ekstraperitonneal ataupun intraperitoneal. Rupture kandung kemih
ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis pada dinding dengan
kandung kemih yang penuh. Pada kejadian ini terjadi ekstravasasi urin di rongga perivesikel.
Trauma tumpul dapat menyebabkan rupture buli-buli terutama jika buli-buli sedang terisi
penuh atau terdapat kelainan patologik seperti TBC, sehingga trauma yang kecil bias
menyebabkan ruptur.

7
MANIFESTASI KLINIS

8
Tandatanda fraktur pelvis mudah didiagnosa dengan pemeriksaan fisik dengan
ditemukannya nyeri tekan dan krepitasi daerah fraktur.
Kadangkadang fraktur pelvis disertai perdarahan hebat sehingga penderita bisa
datang dengan anemia bahkan syok.
Pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom dan terdapat nyeri tekan di
daerah suprapubik tempat hematom.
Pada kontusio buli-buli nyeri terutama bila ditekan didaerah suprapubik dan
dapatditemukan hematurtia. Tidak terdapat rangsang peritoneum.
Pada ruptur intraperitoneal ditemukan tandatanda abdomen akut serta urin masuk
ke rongga peritoneum sehingga memberikan tanda ada cairan di abdomen dan ada
ransang peritoneum.
Pada ruptur ekstraperitoneal terdapat tanda adanya infitrasi urin dirongga
peritoneal yang sering menyebabkan septisemia serta penderita mengeluh tidak bisa
buang air kecil dan kadang keluar darah dari uretra.

DIAGNOSIS
Pemeriksaan sistogram, dapat memberikan keterangan ada tidaknya ruptur
kandung kemih dan lokasi ruptur apakah intra/ekstraperitoneal. Pemeriksaan
pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukkan kontras kedalam buli-buli sebanyak
300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian dibuat
beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam posisi anterior-posterior
(AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari
buli-buli.

Bila tidak dijumpai ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli-buli. Pada ruptur
ekstraperitoneal, gambaran ekstravasasi terlihat seperti nyala api pada daerah
perivesikel, sedangkan pada ruptur intraperitoneal terlihat kontras
m a s u k k e d a l a m rongga abdomen. Pada ruptur kecil sistokopi dapat membantu
diagnosis.

PENATALAKSANAAN

9
Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dulu dengan memberikan
resusitasi cairan intravena atau darah. Bila sirkulasi telah stabil, lakukan reparasi buli-
buli. dengan prinsip memulihkan ruptur VU:
a) Penyaliran ruang perivesikal
b) Pemulihan dinding, penyaliran VU, dan perivesikal
c) Jaminan arus urin melalui kateter
Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan
untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10
hari.
Pada ruptur intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari
robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera organ lain. Rongga intraperitoneum
dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi
yang dilewatkan di luar sayatan laparotomi.
Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana dianjurkan untuk memasang
kateter 7-10 hari tetapi dianjurkan juga untuk melakukan penjahitan disertai
pemasangan kateter sistostomi.
Untuk memastikan buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter
uretra/kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi untuk
melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin. Sistografi dibuat pada hari ke
10-14 pasca trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan
sampai 3 minggu.
Operasi dikerjakan dengan insisi mediana suprapubik. Pada ruptur ekstraperitoneal,
setelah buli-buli dibuka, dilakukan repair. Dilakukan juga inspeksi rongga peritoneum untuk
memastikan adakh cairan berdarah, yang merupakan indikasi untuk eksplorasi rongga
peritoneum lebih lanjut. Luka ditutup dengan meninggalkan sistosomi suprapubik dan juga
dipasang kateter uretra. Pada ruptur intraperitoneal operasi dilakukan dengan langsung
membuka peritoneum, dan repair buli-buli dilakukan dengan membuka buli-buli
Untuk luka yang lebih berat, biasanya dilakukan pembedahan untuk menentukan
luasnya cedera dan untuk memperbaiki setiap robekan. Selanjutnya air kemih dibuang dari
kandung kemih dengan menggunakan 2 kateter, 1 terpasang melalui uretra (kateter trans-
uretra) dan yang lainnya terpasang langsung ke dalam kandung kemih melalui perut bagian
bawah (kateters suprapubik). Kateter tersebut dipasang selama 7-10 hari atau diangkat setelah
kandung kemih mengalami penyembuhan yang sempurna.

KOMPLIKASI
a) Abses Pelvis, bila urin terinfeksi
b) Inkontinensia partial, bila laserasi sampai ke leher buli-buli
c) Peritonitis
Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongga pelvis yang
dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat
lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal. Jika tidak segera dilakukan operasi, dapat
menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urine pada rongga intra peritoneum. Kedua
keadaan ini dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. Kadang-kadang dapat
pula terjadi penyulit berupa gangguan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan
sembuh selama 2 bulan.

10
Memahami dan Menjelaskan Trauma Uretra

Definisi
Trauma uretra biasanya terjadi padapria jarang pada wanita. Sering ada hubungan dengan
fraktur pelvis dan straddle injury. Cedera menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa
robekan baik parsial/total.

Etiologi :
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar.
Cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra.
Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis yang menyebabkan ruptur uretra
pars membranasea.
Trauma tumpul pada selangkangan/straddle injury dapat menyebabkan ruptur uretra pars
bulbosa
Pemasangan kateter yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra
karena false route/salah jalan.

11
Klasifikasi :
a. Ruptura Uretra Posterior
Rupture uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur
yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis,
menyebabkan robekan uretra pars prostate-membranasea.

Klasifikasi
Colapinto dan McCollum (1976) membagi derjat cedera uretra dalam 3 jenis :
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan).
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, selanjutnya
diafragma urogenitalia masih utuh.
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal
ikut rusak.

Patofisiologi
Trauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau karena fraktur pelvis.
Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra
prostatica tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranosa terikat
di diafragma urogenital. Uretra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma
urogenital dan terjadi perubahan posisi prostat ke arah superior (prostat menjadi terapung /
floating prostat) dengan terbentuknya hematoma periprostat dan perivesical. Rupture uretra
posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan
ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.

Diagnosis
Rupture uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa: (1)
perdarahan per-uretram, (2) retensi urin, dan (3) pada pemeriksaan colok dubur didapatkan
adanya floating prostate (prostat melayang) di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan
uretrografi retrigrad mungkin terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi kontra pada pars
prostate-membranasea.

Tata Laksana
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain
(abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Oleh karena
itu sebaiknya di bidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang invasif pada uretra.
Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada
kavum pelvis dan prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur neovaskuler di

12
sekitarnya. Kerusakan neurovaskuler menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi
dan inkontinensia.
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi untuk
diversi urin. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary endoscopic
realignment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan
uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling
didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupture dan kateter uretra
dipertahankan selama 14 hari.
Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretoplasti) setelah 3 bulan pasca
trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga
tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.

Komplikasi
Penyulit yang terjadi pada rupture uretra adalah striktura uretra yang seringkali
kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urin. Disfungsi ereksi terjadi pada 13-30% kasus
disebabkan karena kerusakan saraf parasimpatik atau terjadinya insufisiensi arteria.
Inkontinensia urine lebih jarang terjadi, yaitu 2-4% yang disebabkan karena kerusakan
sfingter uretra eksterna.
Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura (12-15%) yang dapat
diatasi dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih bisa kambuh kembali, striktura
ini biasanya tidak memerlukan tindakan uretoplasti ulangan.
b. Rupture Uretra Anterior
Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle
injury (cedera selangkangan) yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul.
Jenis kerusakan urerta yang terjadi berupa: kontusio dinding uretra, rupture parsial, atau
rupture total dinding uretra.

Patofisiologi
Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari
uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang
terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya
dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding
abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga
disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria.
Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau
hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi.

13
Pemeriksaan uretrogafi retrograd pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya
ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras
di pars bulbosa.

Tata Laksana
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat
menimbulkan penyulit striktura uretra dikemudian hari, maka setelah 4 6 bulan perlu
dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada rupture uretra parsial dengan ekstravasasi
ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urin. Kateter sistostomi
dipertahankan sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan
uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra.
Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.Tidak jarang ruptur
uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan hematom yang luas sehingga diperlukan
debridement dan insisi hematoma untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan setelah
luka menjadi lebih baik.

2. Menjelaskan dan memahami kegawatdaruratan mata


Definisi
Kedaruratan mata adalah sikap keadaan yang mengancam tajam penglihatan
seseorang berupa penurunan tajam penglihatan sampai terjadinya kebutaan.
Kegawatdaruratan (emergency) di bidang oftalmologi (penyakit mata) diklasifikasikan
menjadi tiga macam, yaitu:
1. gawat sangat,
2. gawat, dan
3. semi gawat.

1. Gawat Sangat
Yang dimaksud dengan keadaan "gawat sangat" adalah keadaan atau kondisi pasien
memerlukan tindakan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa menit.
Terlambat sebentar saja dapat mengakibatkan kebutaan.Adapun keadaan atau kondisi
pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah: luka bakar kimia (luka bakar kerena
alkali/basa dan luka bakar asam)

2. Gawat
Yang dimaksud dengan keadaan "gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien
memerlukan penegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam
waktu satu atau beberapa jam.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:
1. Laserasi kelopak mata
2. Konjungtivitis gonorhoe
3. Erosi kornea
4. Laserasi kornea
5. Benda asing di kornea
6. Descemetokel
7. Tukak kornea
Tukak atau ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea.
8. Hifema
Hifema atau timbunan darah di dalam bilik mata depan. Terjadi akibat trauma tumpul

14
yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
9. Skleritis (peradangan pada sklera)
Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata.
Sklera bersama dengan jaringan uvea dan retina berfungsi sebagai pembungkus dan
pelindung bola mata.
10. Iridosiklitis akut
11. Endoftalmitis
Endoftalmitis merupakan infeksi intraokular yang umumnya melibatkan seluruh
jaringan segmen anterior dan posterior mata. Umumnya didahului oleh trauma
tembus pada bola mata, ulkus kornea perforasi, riwayat operasi intraokuler
(misalnya: ekstraksi katarak, operasi filtrasi, vitrektomi). Gejala klinis endoftalmitis
adalah penurunan tajam penglihatan (visus menurun), mata merah, bengkak, nyeri.
12. Glaukoma kongestif
13. Glaukoma sekunder
14. Ablasi retina (retinal detachment)
Yaitu suatu keadaan terpisahnya (separasi) sel kerucut dan batang atau lapisan
sensorik retina dengan sel epitel pigmen (retinal pigment epithelium atau RPE).
15. Selulitis orbita
16. Trauma tembus mata
17. Trauma radiasi

3. Semi Gawat
Yang dimaksud dengan keadaan "semi gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien
memerlukan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa hari atau
minggu.
Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:
1. Defisiensi (kekurangan) vitamin A.
Sinonim (nama lain) untuk kondisi ini adalah: vitaminosis A, hypovitaminosis A.
2. Trakoma yang disertai dengan entropion.
Entropion adalah keadaan kelopak mata yang terbalik atau membalik ke dalam tepi
jaringan, terutama tepi kelopak bawah. Namun pada trakoma, entropion terdapat
pada kelopak atas.
3. Oftalmia simpatika
Yaitu peradangan granulomatosa yang khas pada jaringan uvea, bersifat bilateral,
dan didahului oleh trauma tembus mata yang biasanya mengenai badan siliar, bagian
uvea lainnya, atau akibat adanya benda asing dalam mata.
4. Katarak kongenital
Yaitu kekeruhan lensa mata yang timbul sejak lahir, dan merupakan salah satu
penyebab kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Gejalanya: leukokoria
(bercak putih), fotofobia (silau, dapat disertai atau tanpa rasa sakit), strabismus
(juling), nystagmus (pergerakan bola mata yang involunter. Involunter maksudnya:
tanpa sengaja, diluar kemauan; dapat teratur, bolak-balik, dan tidak terkendali).
5. Glaukoma kongenital
6. Glaukoma simpleks
7. Perdarahan badan kaca
8. Retinoblastoma (tumor ganas retina)
Yaitu jenis tumor ganas mata yang berasal dari neuroretina (sel kerucut dan batang).
9. Neuritis optika / papilitis
10. Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus
(kelopak mata tidak dapat menutup sempurna).

15
11. Tumor intraorbita
12. Perdarahan retrobulbar
Klasifikasi
Berdasarkan konsep penanganan masalah gawat darurat maka kedaruratan mata dapat
dikelompokkan menjadi beberapa keadaan :
1) Sight threatening condition. Dalam situasi ini mata akan mengalami kebutaan
atau cacat yang menetap dengan penurunan penglihatan yang berat dalam waktu
beberapa detik sampai beberapa menit saja bila tidak segera mendapatkan
pertolongan yang tepat. Cedera mata akibat bahan kimia basa (alkali) termasuk
dalam keadaan ini. Oklusi arteria sentralis retina merupakan keadaan bukan
trauma yang termasuk dalam kelompok ini.
2) Mayor condition. Dalam situasi ini pertolongan harus diberikan tetapi dengan
batasan waktu yang lebih longgar, dapat beberapa jam sampai beberapa hari. Bila
pertolongan tidak diberikan maka penderita akan mengalami hal yang sama
seperti disebutkan pada sight threatening condition.
3) Monitor condition. Situasi ini tidak akan menimbulkan kebutaan meskipun
mungkin menimbulkan suatu penderitaan subyektif pada pasien bila terabaikan
pasien mungkin dapat masuk kedalam keadaan mayor condition. (Sidarta Ilyas,
ed.3 2008)
Etiologi
Kedaruratan mata dapat terjadi karena dua hal :
1) Tidak ada hubungannya denga trauma mata, misalnya :
glaukoma akuta
oklusi arteria sentralis retina
2) Disebabkan trauma
Ada 2 macam trauma yang dapat mempengaruhi mata, yaitu:
trauma langsung terhadap mata
trauma tidak langsung, dengan akibat pada mata, misalnya
- trauma kepala dengan kebutaan mendadak
- trauma dada dengan akibat kelainan pada retina
Pembagian sebab-sebab trauma langsung terhadap mata adalah sbb:
1) Trauma mekanik
o Trauma tajam
Biasanya mengenai struktur diluar bola mata (tulang orbita dan kelopak mata) dan
mengenai bola mata (ruptura konjungtifa, ruptura kornea)
o Trauma tumpul
Fraktura dasar orbita ditandai enoftalmus. Dapat terjadi kebutaan pasca trauma
tumpul pada orbita. Hematoma palpebra biasanya dibatasi oleh rima orbita, selalu
dipikirkan cedera pada sinus paranasal.
o Trauma ledakan/ tembakan
Ada 3 hal yang terjadi, yaitu :
- Tekanan udara yang berubah
- Korpus alineum yang dilontarkan kearah mata yang dapat bersifat mekanik maupun
zat kimia tertentu
- Perubahan suhu/ termis
2) Trauma non mekanik
o Trauma kimiaDibedakan menjadi 2, trauma oleh zat yang bersifat asam dan trauma
yang bersifat basa.
o Trauma termik

16
Trauma ini disebabkan seperti panas, umpamanya percikan besi cair, diperlukan sama seperti
trauma kimia
o Trauma radiasi
Trauma radiasi disebabkan oleh inframerah dan ultraviolet.
(Sidarta Ilyas, ed.3 2008)

Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinisnya adalah sebagai berikut:
Lebam
Edema
Nyeri
Lakrimasi
Adanya benda asing
Pupil bergeser (T10 meningkat)
Adanya zat kimia
Perubahan visus
(Sidarta Ilyas, ed.3 2008)

Tatalaksana
1. Trauma oftalmik
Bila ada kecurigaan adanya laserasi, cedera tembus, ruptur bola mata, jangan lakukan
penekanan
Penekanan dapat diakibatkan ekstrusi isi intraokule dan kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki
Robekan kelopak mata , letakkan ibu jari dan jari telunjuk pada atas dan bawah orbita
2. Cedera bola mata
Hindari manipulasi mata sampai saat perdarahan
Pasang balutan ringan (tanpa tekanan) dan perisai logam yang bersandar pada tulang
orbita diplester kedahi dan pipi
Pembalutan bilateral, jaga jarak bola mata minimal
Kolaborasi, antibiotik, analgesik, anti tetanus dll
Bila ruptur bola mata sudah teratasi periksakan struktur lain dapat dilakukan
Laserasi kelopak mata, penjahitan
3. Benda asing
Benda asing tidak menembus dibawah kelopak mata atas
Angkat kelopak mata atas keatas kelopak mata bawah, sehingga memungkinkan kelopak
mata bawah menyapu benda asing untuk keluar
Lakukan irigasi, hati-hati jangan sentuh kornea
Jika benda asing gagal keluar, tutup mata, rujuk
Benda asing supervisial kornea , irigasi
Benda asing tertanam, pembedahan
Ambil benda asing, alat berujung tumpul hindari gunakan aplikator beraujung kapas
karena dapat bergesek epitel terlalu banyak
4. Abrasi kornea
Beri balut tekan mata, mengimobilisasi kelopak mata
Kolaborasi pemberian antibiotik, anastesi, dll

17
Monitor efeki anastesi, terlambat penyembuhan
Pembalutan sebelah (24 jam) untuk abrasi ekstensif berlapisan bagian bawah tidak
terkena, penyembuhan tanpa jaringan parut (24 s/d 48 jam)
Monitor epitelisasi dan penyembuhan
5. Luka bakar kimia
Irigasi segera dengan air bersih atau larutan NaCl
Cuci mata dibawah aliran air keran
Memasukkan mata kedalam air mengejap-ngejapkan mata
Bilas terus selama 20 mnt atau sampai bersih
Lain-lain, kolaborasi
Balut mata bilateral
6. Trauma tumpul
Kontusio orbita kompres es, istirahatkan
Hifema posisi tegak, dan isrirahatkan mata. Kolaborasikan, bedah kamera
anterior
Waspadai anemia sel sabit dan penggunaan obat anti koagulan & penurunan dosis
(Sidarta Ilyas, ed.3 2008)

Kegawatdaruratan mata :
1. Glaucoma akut
Biasanya terjadi pada usia diatas 40 tahun.
Keluhan :
o Kemunduran penglihatan yang berlangsung cepat.
o Nyeri dimata dan sekitarnya
o Mual dan muntah
Pada mata terlihat :
o Injeksi siliar
o Edema kornea
o Bilik mata depan dangkal
o Pupil lebar dan refleksnya menghilang
o Lensa keruh dan kehijauan.
o Tekanan intraokuler tinggi.

Penatalaksanan : segera berikan :


Asetazolamid 500mg oral, kemudian 250 mg/4 jam.
Pilokarpin HCL 2-6% 1 tetes/jam selama penserita bangun. Mata tidak usahditutup.
Dapat diberikan pula (bila tidak dikontraindikasikan) morfin 10 mg im dan
deksametason 0.5 mg im. Jangan diberi diazepam.
24 jam kemudian :
- Bila tekanan intraocular telah normal, segera lakukan iridektomi perifer.
- Bila tekanan intraocular tetap tinggi, berikan infuse :
o Larutan manitol 20% 60 tetes/ menit selama 3 jam atau
o Larutan ureum 30% 30 tetes/menit selama 3 jam atau
o Larutan gliserin dalam air 50% 150-200 ml oral. Setelah tekanan
intraokular berhasil diturunkan segera lakukan filtering.
- Selama operasi belum mungkin, pengobatan diteruskan dengan cara yang samasetiap
harinya.

18
2. Ulkus kornea
Ulkus kornea yang cepat menimbulkan perforasi ialah ulkus sentra. Pennyebab
utamanya adalah pseudomonas pyocyaneus, pneumococcus.
Keluhan :
o Penglihatan mundur, silau dan mata berair terus menerus.
o Nyeri sekitar mata dan seisi kepala.
o Biasanya didahului trauma ringan pada mata.
Pada mata terlihat :
o Injeksi siliar dan dapat disertai pula dengan injeksi konjungtiva.
o Kornea keruh, keputihan dengan permukaan mencekung, bila disebabkan
jamur,permukaannya dapat menonjol karena timbunan jaringan nekrotik.

Penatalaksanaan :
Beri tetes mata larutan atropine sulfat 1% 3-4 kali/hari
Antibiotik, bila dalam bentuk tetes mata, berikan 2 tetes/jam atau dalam bentuk salep
mata 3-5 kali/hari. Bila ada gunakan antibiotik yang efektif untuk pseudomonas
seperti terramycin dengan polymixin B sulfate, garamycin. Berikan juga secara
sistemik antibiotik yang berspektrum luas dengan dosis tinggi.
Vitamin A, sekurang-kurangnya 100.000 U
Mata ditutup dengan kasa steril.
Bila keadaan tidak membaik atau memberat, mungkin penyebabnya adalah jamur. Maka
dilakukan :
Debridement sampai bersih, lalu bilas dengan larutan garam faal steril.
Setelah itu diberi salep antijamur tiap jam misalnya: preparat amfoterisin B, preparat
nistatin.
Sebaiknya usahakan pengiriman ke spesialis mata agar dapat segera diambil tindakan
bila terjadi perforasi.

3. Uveitis anterior
Penyakit ini cenderung kronik, tetapi tindakan dini yang tepat dapat menyelamatkan
mata dari kebutaan.
Keluhan :
o Penglihatan mundur, silau dan pegal disekitar dan dalam mata.
o Tidak ada sekret ataupun lakrimasi.
Pada mata terlihat:
o Injeksi siliar
o Kornea jernih atau berbercak-bercak coklat di bagian dalam.
o Bilik mata depan suram, kadang-kadang ada hipopion.
o Iris pucat, lipatannya berkurang atau menghilang.
o Pupil kecil, kadang-kadang tepinya tidak rata.

Penatalaksanaan :
Beri tetes mata larutan atropine sulfat 1% 3 kali/hari
Beri tetes mata mengandung kortikosteroid dengan atau tanpa campuran antibiotik
setiap 2 jam. Bila berbentuk salep, berikan 3-5 kali/hari
Mata sebaiknya ditutup dengan kasa steril.

19
Sebaiknya dikirimkan ke spesialis mata karena dapat menimbulkan komplikasi yang
menetap.

4. Trauma mata
Trauma pada mata menimbulkan rasa takut dan kegelisahan yang besar, oleh karena
itu kita harus bertindak cepat dan tepat.

Macam-macam trauma mata :


1.Trauma tajam mata/trauma perforatum
Biasanya mudah didiagnosis bila luka luas karena akan selalu ada jaringan
intraokuler yang prolaps.
Penatalaksanaan :
Konservatif :
Berikan salep mata antibiotik 3-5 kali/hari, lalu tutup dengan kasa steril.
Berikan antibiotic sistemik dengan dosis tinggi.
ATS 1500 U im, pada anak 750 U im.
Bila terjadi perforasi kecil < 4 mm dapat diharapkan sembuh dengan cara diatas. Tetapi bila
luas > 4mm harus disertai dengan tindakan operatif yang sebaiknya dilakukan di spesialis
mata.

2. Trauma tumpul mata


Hematoma Kelopak
Hematoma palpebra yang merupakan
pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit
kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra.
Hemat oma kelopak merupakan kelainan yang sering
terlihat pada trauma tumpul kelopak. Trauma dapat akibat
pukula tinju, ataupun benda-benda keras lainnya.
Keadaan ini memberikan bentuk yang menakutkan pada
pasien, dapat tidak berbahaya ataupun sangat berbahaya
karena mungkin ada kelainan lain di belakangnya.
Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan
berbentuk kaca mata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini diseut sebagai hematoma
kaca mata. Hematoma kaca mata merupakan keadaan sangat gawat. Hematoma kaca mata
terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada
pecahnya a.oftalmika maka darah masuk ke dalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita.
Akibat darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak maka akan
berbentuk gambaran hitam pada kelopak seperti seseorang memakai kaca mata.
Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin untuk
menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan
absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata.

Trauma Tumpul Konjungtiva


Edema konjungtiva

20
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir
dapat menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian
pula akibat trauma tumpul. Bila ke lopak terpajan ke dunia
luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa
dapat mengedip, maka keadaan ini telah dapat
mengakibatkan edema pada konjungtiva.
Kemotik konjungtiva yang berat dapat
mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga
bertambah rangsangan terhadap konjugtiva. Pada edema konjungtiva dapat diberikan
dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva.
Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan konjungtiva kemotik
keluar melali insisi tersebut.
Hematoma subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat
pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah
konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera.
Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk rejan,
trauma tumpul basis kranii (hematoma kaca mata), atau
pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah
pecah. Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada
usia lanjut, hipertensi, arteriosklerose, konjungtiva
meradang (konjungtivitis), anemia, dan obat-obat tertentu.
Bila perdarahan ini terjadi akiba trauma tumpul maka perlu dipastikan bahwa tidak
terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang hematoma
subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola mata.
Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan
subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai
tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan
eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres hangat.
Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.
Trauma tumpul pada kornea
Edema kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat
mengakibatkan edema kornea malahan ruptur membran
descemet. Edema kornea akan memberikan keluhan
penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu
atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat
keruh, deng an uji plasido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan
masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea.
Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam
hipertonik 2-8%, glukose 40% dan larutan albumin.
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida.
Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan
lensa kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan
edema kornea. Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan M.descemet
yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan rasa
sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat astigmatisme iregular.

21
Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada
membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat
dan menutupi defek epitel tersebut. Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi
merusak ornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan
blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang
keruh.
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewarnaan
fluoresein akan berwarna hijau. Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi
yang timbul kemudian.
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan
menghilangkan rasa sakit yang sangat. Hati-hati bila memakai obat anestetik topikal untuk
menghilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karena dapat menambah kerusakan epitel.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk
mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika seperti antibiotika spektrum luas neosporin,
kloramfenikol, dan sulfasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme
siliar maka diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih
tertutup bila dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali
setelah 48 jam.

Erosi kornea rekuren


Erosi rekuren biasanya terjadi akibat
cedera yang merusak membran basal atau tukak
metaherpetik. Epitel yang menutup kornea akan mud ah
lepas kembali di waktu bangun pagi. Terjadinya erosi
kornea berulang akibat epitel tidak dapat bertahan pada
defek epitel kornea. Sukarnya epitel menutupi kornea
diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran basal
epitel kornea tempat duduknya sel basal epitel kornea.
Biasanya membran basal yang rusak akan kembali normal
setelah 6 minggu.
Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga
regenerasi tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea. Pengobatan
biasanya dengan memberikan sikloplegik untuk menghilangkan rasa sakit ataupun untuk
mengurangkan gejala radang uvea yang mungkin timbul. Antibiotik diberikan dalam bentuk
tetes dan mata ditutup untuk mempercepat tumbuh epitel baru dan mencegah infeksi
sekunder. Biasanya bila tidak terjadi infeksi sekunder erosi kornea yang mengenai seluruh
permukaan kornea akan sembuh dalam 3 hari. Pada erosi kornea tidak diberi antibiotik
dengan kombinasi steroid.
Pemakaian lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren sangat
bermanfaat, karena dapat mempertahankan epitel berada di tempat dan tidak dipengaruhi
kedipan kelopak mata.

Trauma tumpul uvea


Iridoplegia
Trauma tumpul padda uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sfingter pupil atau
iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis.
Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat
gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil.

22
Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi
iregular. Pupil ini tidak bereaksi terhadap sinar. Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi
istirahat untuk mencegah terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.

Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga
bentuk pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya.
Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama
dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan
pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.

Iridosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan
iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya
darah di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan
tajam penglihatan menurun.
Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila
terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.
Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan
midriatika.

Trauma tumpul pada lensa


Dislokasi lensa
Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan
dislokasi lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula Zinn
yang akan mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.

Subluksasi lensa
Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian
zonula Zinn sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa
dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada
zonula Zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma
akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lenssa akan
memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis.
Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka
lensa yang elastis akan menjdai cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yg
menjadi sangat cembung mendorong iris ke depa sehingga bilik mata tertutup. Bila sudut
bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder.
Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut
bilik mata oleh lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi penyulit subluksasi lensa seperti
glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi
yang sesuai.

Luksasi lensa anterior


Bila seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa
dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata depan ini
maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul
glaukoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya.

23
Pasien akan mengeluh penglihatan
menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat,
muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat
injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam
bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan
pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.
Pada luksasi lensa anterior sebaiknya
pasien secepatnya dikirim pada dokter mata untuk
dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolamida untuk menurunkan
tekanan bola matanya.

Luksasi lensa posterior


Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior
akibat putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam
badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli. Pasien akan
mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya akibat lensa mengganggu kampus.
Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan
melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris
tremulans. Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit
akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi
lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.

Katarak trauma
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat
trauma perforasi ataupun tumpul terlihat sesudah beberapa
hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak
subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa
menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam
bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil
akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas
kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan
cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan
bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis
fakoanafilaktik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa
sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau bilaepitel
lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elsching.
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak
sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah
ambliopia pada anak dapat di pasang lensa intra okuler primer atau sekunder.
Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu
sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi peyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain
sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering
dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada
pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan,
ablasi retina, uveitis atau salah letak lensa.

Cincin Vossius

24
Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang
disebut sebagai cincin Vossius yang merupakan cincin
berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat
terjadi segera setelah trauma, yang merupakan deposit
pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah sesuatu trauma,
seperti suatu stempel jari. Cincin hanya menunjukkan tanda
bahwa mata tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul.

Trauma tumpul retina dan koroid


Edema retina dan koroid
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan akan
sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat
sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri
retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali daerah makula, sehingga pada keadaan ini
akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga
mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot.
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula atau
edema Berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus
posterior fundus okuli berwarna abu-abu.
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan
tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen
epitel.

Ablasi retina
Trauma diduga merupakan pencetus untuk
terlapasnya retina dari koroid pada penderita ablasi retina.
Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya
ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata,
miopia, dan proses degenerasi retina lainnya. Pada pasien
akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti
tabir mengganggu lapang pandangnya. Bila terkena atau
tertutup daerah makula maka tajam penglihatn akan
menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu
dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat
pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka
secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata.

Trauma Koroid
Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan akibat
ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar
konsentris di sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam
penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak
sukar dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur
berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.

Trauma tumpul saraf optik


Avulsi papil saraf optik

25
Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam
bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan mengakibatkan
turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini
perlu dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.

Optik neuropati traumatik


Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian
pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah cedera
mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain
yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf
optik dapat normal beberapa minggu sebelum menjadi pucat.
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah trauma retina,
perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasam optik.
Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan membei steroid. Bila
penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.

3. Trauma kimia
o Trauma asam, bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi
pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan sehingga bila konsentrasi
tidak tinggi maka kerusakannya hanya pada bagian superficial saja. Pengobatan
dapat dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan selama mungkin
untuk menghilangkan dan melarutkan bahan.
o Trauma basa, alkali akan menembus dengan cepat ke kornea, bilik mata depan, dan
sampai ke jaringan retina. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan
kolagen kornea. Bahan kimia alkali bersifat koagulasi sel dan terjadi proses
penyabunan disertai dengan dehidrasi.

Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan:


Derajat 1: Hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitispungtata.
Derajat 2: Hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel kornea.
Derajat 3: Hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel kornea.
Derajat 4 : Konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.
Tindakan yang dilakukan adalah secepatnya melakukan irigasi dengan garam
fisiologik. Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin. Penderita diberi sikloplegia,
antibiotik, EDTA untuk mengikat basa.

4.Trauma radiasi, yang sering ditemukan adalah radiasi sinar inframerah,


sinar ultraviolet, sinar X dan sinar terionisasi. Sinar ionisasi dibedakan dalam bentuk:
Sinar alfa yang dapat diabaikan
Sinar beta yang dapat menembus 1cm jaringan
Sinar gamma dan
Sinar-x
Sinar ionisasi dan sinar-x dapat menyebabkan katarak dan rusaknya retina. Dosis katarak
togenik bervariasi sesuai dengan energi dan tipe sinar, lensa yang lebih mudah dan lebih
peka. Akibat dari sinar ini pada lensa, terjadi pemecahan diri sel epitel secara tidak normal.
Sedangkan sel baru yang berasal dar sel germinatif lensa tidak menjadi jarang.
Sinar-x merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang diakibatkan
diabetes melitus berupa dilatasi kapilar, perdarahan, mikroaneuris mata , dan eksudat.

26
Luka bakar akibat sinar-x dapat merusak kornea, yang mengakibatkan kerusakan permanen
yang sukar diamati. Biasanya akan terlihat sebagai keratitis dengan iridosiklitis ringan. Pada
keadaan yang berat akan mengakibatkan parut konjungtiva atrofi sel goblet yang akan
menggangu fungsi air mata. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotik topikal dengan
steroid 3 kali sehari dan sikloplegik 1 kali sehari. Bila terjadi simblefaron pada konjungtifa
dilakukan tindakan pembedahan

KOMPLIKASI
Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis trauma
yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antara lain :
1. Simblefaron
2. Kornea keruh, edema, neovaskuler
3. Katarak traumatik, merupakan katarak yang muncul sebagai akibat cedera pada mata
yang dapat merupakan trauma perforasi ataupun tumpul yang terlihat sesudah
beberapa hari ataupun beberapa tahun. Katarak traumatik ini dapat muncul akut,
subakut, atau pun gejala sisa dari trauma mata. Trauma basa pada permukaan mata
sering menyebabkan katarak, selain menyebabkan kerusakan kornea, konjungtiva, dan
iris. Komponen basa yang masuk mengenai mata menyebabkan peningkatan PH
cairan akuos dan menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi secara
akut ataupun perlahan-lahan. Trauma kimia dapat juga disebabkan oleh zat asam,
namun karena trauma asam sukar masuk ke bagian dalam mata dibandingkan basa
maka jarang
4. Phtisis bulbi

PROGNOSIS
Trauma kimia pada mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan berat jangka panjang dan
rasa tidak enak pada mata. Prognosinya ditentukan oleh anestesi kornea dan bahan alkali
penyebab trauma tersebut. Terdapat 2 klasifikasi trauma basa pada mata untuk menganalisis
kerusakan dan beratnya kerusakan.

3. Memahami dan menjelaskan Hifema sebagai kasus kegawatdaruratan mata


Definisi
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu
daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek
pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus (cairan mata)
yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata
telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan
penglihatan.
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul yang
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Bila pasien duduk hifema akan terlihat
terkumpul dibawah bilik mata depan dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata
depan.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan
iridodialisis. Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme.
Gaya-gaya kontusif sering merobek pembuluh darah di iris dan merusak sudut bilik
mata depan. Darah di dalam aqueous dapat membentuk suatu lapisan yang dapat terlihat
(hifema). Glaukoma akut terjadi bila anyaman trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau
bila pembentukan bekuan darah menimbulkan bokade pupil.

27
Klasifikasi
a) Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:
1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan
pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada segmen anterior
bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata).
3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga
pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).
5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).
b) Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu:
1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.
2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
c) Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard) :
1. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)
2. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA (20%)
3. Grade III : darah mengisi hampir total COA (14%)
4. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA (8%)

28
Etiologi
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola, batu,
peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat terjadi karena kesalahan
prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan hifema namun jarang terjadi
adalah adanya tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah
(contohnya juvenile xanthogranuloma).
Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh
kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris,
korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga
akan menimbulkan perdarahan. Pendarahan yang timbul dapat berasal dari kumpulan arteri
utama dan cabang dari badan ciliar, arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah iris pada
sisi pupil. Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari
luar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di bagian terendah.

Patofisiologi

Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan limbus, dan
perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan tekanan intraokuler secara
akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada sudut mata. Perdarahan biasanya
terjadi karena adanya robekan pembuluh darah, antara lain arteri-arteri utama dan cabang-
cabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan vena-vena badan siliar.

29
Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata
Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga
bisa menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah
iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak
sudut COA. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler.
Darah ini dapat bergerak dalam ruang COA, mengotori permukaan dalam kornea.
Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya mekanisme
hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular, spasme pembuluh darah, dan
pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang akan menghentikan
perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik mata depan ke bilik mata belakang.
Bekuan darah ini biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan terjadi.
Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka plasminogen akan diubah menjadi
plasmin oleh aktivator kaskade koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan
darah yang sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuan darah, bersama
dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar dari bilik mata depan menuju jalinan
trabekular dan aliran uveaskleral.
Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan primer.
Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder biasanya timbul
pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer.
Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan
perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi daribekuan darah terjadi terlalu cepat
sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah
merah melalui sudut COA menuju kanal schlem sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui
permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah
ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat

30
penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan
kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya
dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema
yang penuh disertai glaukoma.
Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis yang
berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata. Hal ini
menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi sudut mata
dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder di
kemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan
pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun darah sudah
dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel kornea hingga
ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10 % kasus.
Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi
lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan
vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur koroid. Atrofi papil dapat
terjadi akibat peninggian tekanan intraokular.

31
Manifestasi Klinis :
Gambaran klinik dari penderita dengan hifema traumatik adalah : adanya anamnesa
trauma, terutama mengenai matanya, ditemukan perdarahan pada bilik depan bola mata
(diperiksa dengan flashlight) kadang-kadang ditemukan gangguan tajam penglihatan.
ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, penderita mengeluh
nyeri pada mata, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), sering disertai blepharospasme,
kemungkinan disertai gangguan umum yaitu lethargia, disorientasi, somnolen.
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat tumpukan darah yang terlihat dengan
mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan
terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan dan hifema dapat memenuhi
seluruh ruangan bilik mata depan. Selain itu dapat terjadi peningkatan tekanan intraokular,
merupakan keadaan yang harus diwaspadai karena dapat menyebabkan glaukoma sekunder.

Diagnosis
Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan adanya
hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA (dapat diperiksa
dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-
tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar),
penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat,
kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau somnolen.

32
Hifema pada 1/3 bilik mata depan Hifema pada bilik mata depan
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair. Penglihatan
pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata
telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di
bagian bawah COA, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang COA. Otot sfingter pupil
mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah (blood
staining) pada kornea, anisokor pupil.

Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu
media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung dapat mengakibatkan
tekanan intraokuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan
tekanan intraokuler ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi
akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor
aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera
anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan
kornea.

Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus dapat
menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.
b) Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,
glaukoma.
c) Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
d) Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal contact,
aqueous flare, dan synechia posterior.
e) Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
f) Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO normal atau
meningkat ringan.

Penatalaksanaan
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak berjalan
demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan penderita hifema traumatik
ini masih banyak diperdebatkan, namun pada dasarnya adalah :
1) Menghentikan perdarahan.
2) Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3) Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat
absorbsi.

33
4) Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.
5)
Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
Lama sakit Tekanan intraokuler normal Tekanan intraokuler meninggi
<5 hari Konservatif Asetazolamid 3x250 mg + hemostatik
5-10 hari Konservatif Parasentesis
>10 hari Parasentesis Parasentesis
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan traumatik
hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan dengan cara
konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.
Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi
1. Tirah baring (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat (diberi
alas bantal) dengan elevasi kepala 30 - 45o (posisi semi fowler). Hal ini akan mengurangi
tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah
perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli mengenai tirah baring sempurna ini
sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema.
Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan tirah baring kesempurnaan absorbsi
dari hifema dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder.
Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan perdarahan
sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-anak, sehingga kalau perlu
harus diikat tangan dan kakinya ke tempat tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.
2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara
para ahli. Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma yaitu untuk mengurangi
pergerakan bola mata yang sakit.
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah mutlak, tapi
cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya dan menekan
komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-obatan seperti :
Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteral,
berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC,
Coagulen, Transamin, vit K dan vit C. Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi
obat anti fibrinolitik (di pasaran obat ini dikenal sebagai transamine/ transamic acid)
sehingga bekuan darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan
untuk memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya
perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya kira-kira
5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat timbulkan gangguan transportasi
cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio kornea. Selama pemberiannya
jangan lupa pengukuran tekanan intra okular.
Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika
atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-
sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongesti dan
midriatika akan mengistirahatkan perdarahan. Pemberian midriatika dianjurkan bila

34
didapatkan komplikasi iridiocyclitis. Akhirnya beberapa penelitian membuktikan bahwa
pemberian midriatika dan miotika bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua
kali sehari akan mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat
saja.
Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oral
sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler. Bahkan
Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian intravena urea, manitol dan gliserin
untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan bahwa cara ini tidak rutin.
Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah diamox, glyserin,
nilai selama 24 jam. Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas
normal, lakukan parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan di kornea Bila
tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan dievaluasi setiap
hari. Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai hari ke 5-
9 lakukan juga parasentesa.
Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis
dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika.
Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder, tanda
imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada pengurangan dari tingginya hifema
dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik
dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau
tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea
dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila
ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea.
Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior perifer bila
hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari. Intervensi
bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari keseluruhan indikasinya adalah
sebagai berikut :
1. Empat hari setelah onset hifema total
2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4 hari (untuk
mencegah atrofi optic)
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari COA selama 6 hari dengan tekanan
25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk mencegah
peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya dengan
tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika Tekanan Inta Ocular
menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari, pembedahan tidak boleh ditunda.
Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50 persen pasien dengan total hifema ketika
pembedahan terlambat. Corneal bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan
sickle cell hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :
1. Parasentesis

35
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan cairan/darah
dari bilik depan bola mata dengan teknik sebagai berikut : dibuat insisi kornea 2 mm
dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila
dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan akan
keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan
garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahut.
Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah masih tetap
terdapat dalam COA pada hari 5-9.
2. Melakukanirigasidibilikdepanbolamatadenganlarutanfisiologik.
3. Dengancarasepertimelakukanekstraksikatarakdenganmembukakorneoscleranya
sebesar1200
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah perdarahan
sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping komplikasi dari traumanya
sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan iridodialysis. Besarnya
komplikasi juga sangat tergantung pada tingginya hifema.
1. Perdarahan sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan insidensinya
sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi pada iris
akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan primernya. Perdarahan sekunder
biasanya lebih hebat daripada yang primer. Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari
setelah trauma inisial dan selalu bervariasi sebelum 7 hari post-trauma.
2. Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh tersumbatnya
trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah. Insidensinya 20% , sedang di RS: Dr:
Soetomo sebesar17,5%. Adanya darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik
mata oleh karena unsur-unsur darah menutupi sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya
glaukoma.Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu
reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.
3. Hemosiderosis kornea
Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah
merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui
permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah
ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat
penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan
kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang
hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh
hifema yang penuh disertai glaukoma. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada
perdarahan/perdarahan sekunder disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus
karenahemosiderosis tidak selalu permanen, tetapi kadang-kadang dapat kembali jernih
dalam waktu yang lama (2 tahun). Insidensinya 10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat
menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan
kebutaan.
4. Sinekia Posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini akibat dari
iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang mendapat terapi
medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien dengan evakuasi bedah pada

36
hifema.Peripheral anterior synechiae anterior synechiae terjadi pada pasien dengan hifema
pada COA dalam waktu yang lama, biasanya 9 hari atau lebih.Patogenesis dari sinekia
anterior perifer berhubungan dengan iritis yang lama akibat trauma atau dari darah pada
COA. Bekuan darah pada sudut COA kemudian bisa menyebabkan trabecular meshwork
fibrosis yang menyebabkan sudut bilik mata tertutup.
5. Atrofi optik
Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular.
6. Uveitis
Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea, uveitis. Selain
dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar yang mungkin juga masuk ke dalam
badan kaca (corpus vitreum) sehingga pada funduskopi gambaran fundus tak tampak dan
ketajaman penglihatan menurunnya lebih banyak.Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak.
Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokular masih
normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA dapat menyebabkan gangguan visus dan
kenaikan tekanan intra okular sehingga mata terasa sakit oleh karena glaukoma. Jika
hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit bertambah karena tekanan intra okular lebih
meninggi dan penglihatan lebih menurun lagi.

Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli
anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma,
prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam
beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung
pada seberapa besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila
tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah
buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.

Pencegahan:
1. Deteksi dini
Salah satu satu cara pencegahan glaukoma adalah dengan deteksi sedini mungkin.
Tidak ada tindakan yang dapat mencegah terjadinya glaukoma sudut terbuka. Jika
penyakit ini ditemukan secara dini, maka hilangnya fungsi penglihatan dan kebutaan bisa
dicegah dengan pengobatan. Orang-orang yangmemiliki resiko menderita glaukoma sudut
tertutup sebaiknya menjalani pemeriksaan mata yang rutin dan jika resikonya tinggi
sebaiknya menjalaniiridotomi untuk mencegah serangan akut.
Mengingat hilangnya penglihatan secara permanen yang disebabkan
olehglaukoma, sebaiknya setiap orang memperhatikan kesehatan matanya dengancara
melakukan pengukuran tekanan bola mata secara rutin setiap 3 tahun,terutama bagi orang
yang usianya di atas 40 tahun.
Faktor risiko lain yang perlu diwaspadai adalah mereka yang memiliki
riwayatkeluarga penderita glaukoma, mata minus tinggi atau plus tinggi (miopia),serta
penderita penyakit sistemik seperti diabetes atau kelainan vaskular (jantung).-
Pemeriksaan mata rutin yang disarankan adalah setiap enam bulan sekali,khususnya bagi
orang dengan risiko tinggi. Untuk mengukur tekanan bolamata kerusakan mata yang
diderita dilakukan tes lapang pandang mata. Sebaiknya diperiksakan tekanan bola mata
bila mata kemerahan dan sakit kepala berat.
2. Nutrisi yang adekuat (banyak mengandung vitamin A dan Beta Karoten)

37
Faktor risiko pada seseorang yang bisa menderita glaukoma adalah seperti
diabetesmellitus dan hipertensi, untuk itu bagi yang menderita diabetes mellitus
dianjurkan untuk mengurangi mengkonsumsi gula agar tidak terjadi komplikasiglaukoma,
sedangkan untuk penderita hipertensi dianjurkan untuk diet rendah garam karena jika
tekanan darah naik cepat akan menaikkan tekanan bola mata.
3. Gaya Hidup (Life style) yang sehat
Seperti menghindari merokok dan olahragateratur. Olahraga dapat merendahkan tekanan
bola mata sedikit.
4. Pencegahan lanjutan bagi yang sudah menderita glaukoma agar tidak bertambah
parah/untuk mencegah tingginya tekanan intraokuler yaitu :
Mengurangi stress
Hindari membaca dekat karena pupil akan menjadi kecil sehingga glaucomaakan
memblok pupil
Hindari pemakaian obat simpatomimetik karena pupil akan melebar (dilatasi)
Diet rendah natrium
Pembatasan kafein
Mencegah konstipasi
Mencegah manuver valsava seperti batuk, bersin, dan mengejan karena akan
meningkatkan TIO

4. Menjelaskan dan memahami penurunan kesadaran


Definisi
Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian
impuls aferen dan eferen. Semuan impuls aferen dapat disebut input dan semua impuls
eferen dapat dinamakan output susunan saraf pusat. Kesadaran yang sehat dan adekuat
dikenal sebagai kompos mentis, dimana aksi dan reaksi terhadap apa yang dilihat,
didengar, dihidu, dikecap, dialami dan perasaan keseimbangan, nyeri, suhu, raba, gerak,
getar, tekan dan sikap, bersifat adekuat yaitu tepat dan sesuai. Kesadaran yang terganggu
adalah dimana tidka terdapat aksi dan reaksi, walaupun dirangsang secara kasar. Keadaan
ini disebut koma.

Struktur di serebral yang berfungsi mengatur kesadaran


Input susunan saraf pusat dapat dibedakan dalam input yang bersifat spesifik dan
bersifat non-spesifik. Lintasan asendens dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan impuls
sensorik protopatik, propioseptik dan perasa pancaindra dari perifer ke daerah korteks
perseptif primer disebut lintasan asendens spesifik atau lintasan asendens lemniskal.
Ada pula lintasan asendens non pesifik yakni formasio retikularis di sepanjang batang
otak yang menerima dan menyalurkan impuls dari lintasan spesifik melalui koleteral ke pusat
kesadaran pada batang otak bagian atas serta meneruskannya ke nukleus intralaminaris talami
yang selanjutnya disebarkan difus ke seluruh permukaan otak. pada manusia pusat
kesadaran terdapat didaerah pons, formasio retikularis daerah mesensefalon dan diensefalon.
Lintasan non pesifik ini oleh Merruzi dan Magoum disebut diffuse ascending reticular
activating system (ARAS). Melalui lintasan non pesifik ini, suatu impuls dari perifer akan
menimbulkan rangsangan pada seluruh permukaan korteks serebri.

38
Dengan adanya 2 sistem lintasan tersebut terdapatlah penghantaran asendens yang
pada dasarnya berbeda. Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat
reseptor ke satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya lintasan asendens nonpesifik
menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke seluruh korteks serebri.
Neuron-neuron di korteks serebri yang digalakkan oleh impuls asendens nonpesifik
itu dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, sedangkan yang berasal dari formasio
retikularis dan nuklei intralaminaris talami disebut neuron penggalak kewaspadaan.
Gangguan pada kedua jenis neuron tersebut oleh sebab apapun akan menimbulkan gangguan
kesadaran.

Lintasan implus non-spesifik

Struktur di serebral yang berfungsi mengatur kesadaran


Lobus frontal
Fungsi: penilaian kepribadian dan bawaan, keahian mental kompleks (abstraksi,
buat konsep, pikirkan masa depan
gangguan: penilaian, penampila dan kebersihan diri, afek, proses berpikir dan
fungsi motorik
Lobus temporal
Fungsi: memori pendengaran, kejadian yang baru terjadi, daerah auditorius
primer yang mempengaruhi kesadaran

39
gangguan: terhadap memori kejadian barusan, kejang psikomotor, tuli
Lobus parietal dominan
Fungsi: bicara, berhitung (matematika), topografi kedua sisi tubuh
Gangguan: afasia, agrafia, akalkulia, gangguan sensorik (bilateral)
Lobus non-dominan
Fungsi: kesadaran sensorik, sintesis ingatan yang kompleks
Gangguan: disorientasi, distorsi konsep ruang, hilang kesadaan pada sisi tubuh
yang berlawanan
Lobus oksipital
Fungsi: memori visual, penglihatan
Gangguan: defisit penglihatan dan buta

Mekanisme gangguan kesadaran


Lesi Supratentorial
Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan
langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS
karena proses tersebut, maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang
diakibatkannya. Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah
rostro-kaudal sepanjang batang otak.
Gejala-gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai
dengan gejala-gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan
bertambah berat dapat timbul sindroma diensefalon, sindroma mesefalon bahkan
sindroma ponto-meduler dan deserebrasi. karena kenaikan tekanan intrakranial dapat
terjadi herniasi girus cinguli di kolong falks serebri, herniasi transtentoril dan herniasi
unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.
Lesi infratentorial
Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS
baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik.
Gangguan difus (gangguan metabolik)
Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu
simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan
anatomic tertentu pada susunan saraf pusat. Penyebab gangguan kesadaran pada
golongan ini terutama akibat kekurangan O2 , kekurangan glukosa, gangguan
sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam toksin.
Kekurangan O2
Otak yang normal memerlukan 3.3 cc O2/100 gr otak/menit yang disebut Cerebral
Metabolic Rate for Oxygen (CMR O2). CMR O2 ini pada berbagai kondisi normal
tidak banyak berubah. Hanya pada kejang-kejang CMR O2 meningkat dan jika timbul
gangguan fungsi otak, CMR O2 menurun. Pada CMR O2 kurang dari 2.5 cc/100 gram
otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan umumnya bila kurang dari 2 cc
O2/100 gram otak/menit terjadi koma.
Glukosa
Energi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5.5 mgr
glukosa/menit. Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada
serebrum dan kemudian progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Pada
hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan gejala dini.
Gangguan sirkulasi darah
Untuk mencukupi keperluan O2 dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan
penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, O2 dan glukosa darah juga akan
berkurang.

40
Toksin
Gangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari penyakit metabolik
dalam tubuh sendiri atau toksin yang berasal dari luar/akibat infeksi.
Koma disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan
metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan langsung atau tidak langsung terhadap
formasio retikularis di talamus, mesensefalon, atau pons.
Koma kortikal - bihesmiferik
Pada individu sehat konsumsi oksigen otak: 3,5ml/100gr otak/menit, sedangkan aliran darah
otak (ADO): 50ml./100gr otak/menit. Apabila terjadi penurunan ADO, maka akan terjadi
penurunan konsumsi oksigen yang bisa mengganggu keutuhan kesadaran seseorang. Selain
itu, glukosa juga sangat memiliki peranan penting dalam memelihara keutuhan kesadaran.
Hal ini dikarenakan, glukosa merupakan satu satunya substrat yang digunakan otak dalam
menghasilkan ATP.
Berikut ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan gangguan kesadaran:
1. Hipoventilasi
Berhubungan dengan: hipoksemia, hiperkapnia, gagal jantung kongestif, infeksi
sistemik dan kemampuan respiratorik yang tidak efektif. Hipoksia merupakan faktor
potensial untuk terjadinya ensefalopati, terutama pada pasien dengan hiperkapnia
akut.
2. Anoksia iskemik
Suatu keadaan dimana darah masih cukup, akan tetapi ADO tidak cukup memberi
darah ke otak. Penyebabnya adalah penyakit yang mengakibatkan penurunan curah
jantung, misalnya: infark jantung, aritmia, renjatan, dan refleks vasovagal, atau
penyakit yag meningkatkan resistensi vaskular serebral misalnya oklusi arterial
(stroke) atau spasmel. Iskemia (kegagalan vaskular) lebih berbahaya daripa hipoksian
karena asam laktat (produk toksik metabolisme otak) tidak dapat dikeluarkan.
3. Anoksia anoksik
Keadaan dimana tidak cukupnya oksigen masuk kedalam darah yang disebabkan oleh
tekanan oksigen lingkungan yang rendah (pada ketinggian atau adanya gas nitrogen)
atau oleh ketidakmampuan oksigen untuk mencapai dan menembus membran kapiler
alveoli (penyakit paru dan hipoventilasi)
4. Anoksia anemik
Disebabkan oleh jumlah hemoglobin yang mengikat dan membawa oksigen dalam
darah menurun, sementara oksigen yang masuk kedalam darah cukup. Penyebabnya:
anemia dan keracunan karbon monoksida.
5. Hipoksia atau iskemia difus
Diakibatkan oleh: kadar oksigen dalam darah menurun cepat sekali atau akibat ADO
yang menurun mendadak. Penyebab utamnya: obstruksi jalan napas (tercekik,
tenggelah, mati lemas), obstruksi arteri serebral secara masif (digantung), dan
penurunan curah jantung secara mendadak (asistole, aritmia berat, sinkop
vasodepressor, emboli pulmonal, perdarahan sistemik masif). Trombosis atau emboli,
purpura trombositopeni teombotika, koagulasi intravaskulari diseminata, endokarditis
bakterial akut, malaria falsifarum, emboli lemak dapat menimbulkan iskemia
multifokal yang luas dan memberikan gambaran iskemia serebral difus akut.
6. Gangguan metabolisme karbohidrat
Meliputi hiperglikemia, hipoglikemia, dan asidosis laktat. Penyebab potensial
timbulnya koma pada DM cukup bervariasi, antara lain: hiperosmolaritas,
ketoasidosis, asidosis laktat, iatrogenik, hiponatremia, koagulasi intravaskularis
diseminata, hipofosfatemia, uremia, infark otak dan hipotensi. Selain itu, pada infark
otak, cedera kepala, dan meningitis kadar glukosa darah dapat meningkat.

41
Hipoglikemia dapat disebabkan oleh DM (tidak diobati, atau sesudah diobati dengan
sulfonil urea, fenformin, insulin), alkohol, obat obatan (inhibitor monoamin
oksidase), puasa, tumor pankreas, dan penyakit endokrin lainnya misalnya
hipotiroidisme dan hipopituitarisme. Hipoglikemia mengangguan sintesis asetilkolin
didalam otak sehingga terjadi blokade jalur kolinergik. Kegagalan transmisi
kolinergik mengakibatkan penurunan fungsi beberapa asam amino yaitu glutamat,
glutamin, GABA, alanin. Sedangkan aspartat meningkat empat kali dan amonia
meningkat empat belas kali yang mengakibatkan penurunan kesadaran hingga koma.
Hipoglikemia akan mengganggua korteks otak secara difus, atau mengganggu fungsi
batang otak, atau keduanya. Terdapat kerusakan neuron secara dini dan paling berat
dikorteks otak, sementara neuron dibatanga otak dan ganglia basalis lebih ringan
kerusakannya.
7. Gangguan keseimbangan asam basa
Meliputi asidosis respiratorik, dan metabolik serta alkalosis respiratorik dan
metabolik. Hanya asidosis respiratorik yang bertindak sebagai penyebab langsung
timbulnya stupor dan koma. Asidosis metabolik lebih sering menimbulkan delirium
dan obtundasi.
8. Uremia
Patofisiologinya belum jelas karena urea bukan bahan toksik buat otak.
9. Koma hepatik
Meningkatnya kadar amonia dalam darah diotak merupakan faktor utama terjadinya
koma hepatikum. Amonia dalam kadar tinggi dapat bersifat toksik langsung terhadap
otak dan selain itu amonia juga menganggu pompa natrium dan menganti kalium
intraseluler serta amonia juga mengganggu metabolisme energi sel otak sehingga
mirip dengan keadaan hipoksia.
10. Defisensi vitamin B
Sering kali mengakibatkan delirium, demensia, dan stupor. Defisiensi tiamin
menimbulkan penyakit Wernicke yaitu suatu kompleks gejala yag disebabkan oleh
kerusakan neuron dan vaskular disubstansia grisea, sekitar ventrikulus, dan
aquaduktus.
Koma diensefalik
1. Lesi infratentorial
Pada umunya berbentuk proses desak ruang (PDR) atau space occupying process
(SOP), misalnya gangguan peredaran darah otak (GPDO / stroke) dalam bentuk
perdarahan, neoplasma, abses, edema otak, dan hidrosefalus obstrukstif. PDR
mengakibatkan peningkatan TIK dan terjadi penekanan formatio retikularis
dimesensefalon dan diensefalon (herniasi otak).
2. Herniasi sentral
Disebabkan peningkatan TIK secara menyeluruh. Terjadi herniasi otak melalui
tentorium serebelli secara simetris. Penyebab tersering: perdarahna talamus, edema
otak akut, dan hidrosefalus obstruktif akut.
3. Herniasi unkus
Merupakan herniasi lobus temporalis bagian mesensial terutama unkus. Herniasi
disebabkan oleh kompresi rostrokaudal progresif melalui emapat tahap yaitu:
a. Penekanan terhadap diensefalon dan nukleus hipotalamus
b. Penekanan mesensefalon sehinga mengakibatkan N.III ispilateral akan terjepit
diantara arteri serebri posterior dan arteri serebelli superior sehingga terjadi
oftalmoplegi ipsilateral.
c. Pons akan tertekan dilanjutkan dengan penekanan terhadap medula oblongata
d. Tahap agonia

42
Faktor penyebab: GPDO, neoplasma, abses dan edema otak.
4. Herniasi cinguli
Terjadi dibawah fakls serebri yang disebabkan oleh penekanan dari satu sisi hemisfer
otak. Akibatnya, sistem arteri dan vena serebri tertekan sehingga mengganggu lobus
frontalis bagian puncak dan medial. Keadaan ini akan menimbulkan inkontinensia
urin dan alvi serta gejala gegenhalten dan negativisme motorik atau paratonia (setiap
ransangan akan timbul gerakan melawan secar reflektorik).
5. Lesi infratentorial
Meliputi dua macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa kranii
posterior) yaitu pertama, proses diluar batang otak atau serebellum yang mendesak
sistem retikularis, dan yang kedua merupakan proses didalam batang otak yang secara
langsung mendesak dan merusak sistem retikularis batang otak. Proses yang timbul
berupa:
a. Penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formatio retikularis).
b. Herniasi serebellum dan batang otak ke rostral melewati tentorium serebelli
yang kemudian menekan formatio retikularis di mesensefalon.
c. Herniasi tonsilo-serebellum kebawah melalui foramen magnum dan sekaligus
menekan medulla oblongata.
Penyebab: GPDO di batang otak atau serebellum, neoplasma, abses, atau edema otak.

Cedera Kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul . Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat
menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada
protuberans tulang tengkorak

2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan


Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;
1. Fraktur kranium; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak .
Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan
membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa
fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur
tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak .

43
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara
bersamaan .
Perdarahan epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
(hematom ekstradural). Cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal
dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena,
karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada
region parieto oksipital dan pada fosa posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural
jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita cedera kepala dan 9% dari penderita yang dalam
keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik
maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada
jaringan otak tidak terlalu lama. Keberhasilan pada penderita perdarahan epidural berkaitan
langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
perdarahan epidural dapat menunjukkan interval lucid yang klasik atau keadaan dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die). Keputusan
perlunya suatu tindakan operatif memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari
seorang ahli bedah saraf.

44
Gambar: Perdarahan epidural

Gambar: Epidural Hematoma


Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30% dari
cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang
terletak antara korteks serebri dan sinus venosus tempat vena tadi bermuara, namun dapat
juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak di bawahnya lebih
berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural. Angka kematian
yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan dengan tindakan pembedahan yang
cepat dan penatalaksanaan medikamentosa yang agresif.

Gambar :Perdarahan subdural

45
Gambar: Subdural Hematom
Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosis kontusio serebri meningkat
sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala.
Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural akut. Kontusio serebri
sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap
bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan
perdarahan intraserebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam
waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk perdarahan intraserebral.

Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio serebri
ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini
adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa
gejala sisa sama sekali. Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan bingung
disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa
sebelum dan sesudah cedera).
Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa
waktu lamanya dan reversibel. Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar dalam
waktu kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa
cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi, namun pada beberapa
penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu
misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi
masa atau serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita-penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,

46
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera otak karena hipoksia secara
klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan.
Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi
Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
Pemeriksaan korban cedera kepala yang kesadarannya baik mencakup pemeriksaan
neurologis yang lengkap. Sedangkan pada penderita yang kesadarannya menurun
pemeriksaan yang diutamakan adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di
unit gawat darurat, yaitu:
1. tingkat kesadaran
2. Kekuatan fungsi motorik
3. Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
4. Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan/cedera sistemik penyerta (lebih dari 50%)
pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan hal-
hal sebagai berikut:
1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorre, rinorre, racoons eyes
(ekhimosis periorbital), atau Battles sign(ekhimosis retroaurikuler).

2. Cedera daerah toraks: fraktur iga, pneumotoraks, hematotoraks, temponade jantung


(bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis dan hipotensi aspirasi atau ARDS
(Acute Respiratory Distress Syndrome)

47
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasihepar, lien atau ginjal. Adanya
perdarahan ditandai dengan gejala akut abdomen yang tegang dan distensif.
4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya, klinisnya tidak
jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera ini sering berkaitan dengan
kejadian kehilangan darah yang okult.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal dapat
terjadi secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak(otot, saraf,
pembuluh darah).

Pemeriksaan Penunjang
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari
saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak

Cara penilaian kesadaran baik secara kualitatif dan kuantitatif terutama dengan
penilaian GCS ( Glasgow Coma Scale ).
Penilaian secara kualitatif
Kualitas kesadaran atau isi kesadaran menunjukkan kemampuan dalam mengenal diri
sendiri dan sekitarnya yang merupakan fungsi hemisfer serebri.

Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran :


Kompos mentis, inkompos mentis (apati, delirium, somnolen, sopor, koma)
Kompos mentis :
Keadaan waspada dan terjaga pada seseorang yang bereaksi sepenuhnya dan adekuat
terhadap rangsang visuil, auditorik dan sensorik.
Apatis :
sikap acuh tak acuh, tidak segera menjawab bila ditanya.
Delirium :
kesadaran menurun disertai kekacauan mental dan motorik seperti desorientasi, iritatif, salah
persepsi terhadap rangsang sensorik, sering timbul ilusi dan halusinasi.
Somnolen :
penderita mudah dibangunkan, dapat lereaksi secara motorik atau verbal yang layak tetapi
setelah memberikan respons, ia terlena kembali bila rangsangan dihentikan.
Sopor (stupor) :

48
penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan
berulang-ulang.
Koma :
tidak ada sama sekali jawaban terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun hebatnya

Penilaian secara kuantitatif


(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien,
(apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara
dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 6
tergantung responnya.

Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)

(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi

tempat dan waktu.

(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak

dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang

nyeri)

(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat

49
diberi rangsang nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi

saat diberi rangsang nyeri).

(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari

mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EVM

Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan
terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 14 15 = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 13 = CKS (cidera kepala sedang)

GCS : 3 8 = CKB (cidera kepala berat)

Sistem penilai tingkat kesadaran yang digunakan secara luas saat ini adalah Skala Koma
Glasgow. Tiga petunjuk utama dari kesadaran adalah: membuka mata, respons verbal dan
respons motor.
Tabel 1
Glasgow Coma Scale Glasgow Coma Score
Eye opening (E)
Spontaneous with blinking 4
To call 3
To pain 2
None 1
Motor response (M)
Obeys commands 6
Localizes pain 5
Normal flexion (withdrawal) 4
Abnormal flexion (decorticate) 3
Extension (decerebrate) 2

50
None (flaccid) 1
Verbal response (V)
Oriented 5
Confused coversation 4

Inappropriate words 3

Incomprehensible sounds 2
None 1
GCS cum score = (E+M+V); best possible score = 15;worst possible score = 3
Untuk anak-anak, dipakai Skala Koma Glasgow untuk anak-anak, tetapi dengan perubahan
pada skor verbalnya bagi anak yang berusia kurang dari 4 tahun (skor respons membuka mata
dan respons motornya seperti dewasa) :
Skor Verbal SKG/GCS Pediatrik.
Tabel 2

V-score
Verbal Respons
Appropriate words or social smile, fixes and follows 5
Cries, but consolable 4
Persistenly irritable 3
Restless, agitated 2
None 1
Dimasa lalu digunakan Skor Koma Anak (SKA/CCS) dengan nilai maksimum 11.
Tabel 3

Children Coma Score


Children Coma Scale
Ocular response (O)
Pursuit 4
Extraocular muscles (EOM) intact,reactive pupils 3
Fixed pupils or EOM impaired 2
Fixed pupils and EOM paralyzed 1
Motor response (M)
Flexes and extends 4
Withdraws from painful stimuli 3

51
Hypertonic 2
Flaccid 1
Verbals response (V)
Cries 3
Spontaneous respiration 2
Apneic 1
Total maximum score = 11,
Total minimum score = 3
PEMERIKSAAN KLINIK
Pemeriksaan klinik penting untuk etiologi dan letaknya proses patologik (hemisfer batang
otak atau gangguan sistemik). Pemeriksaan sistematis dilakukan sebagai berikut :
Anamnesis
-- penyakit -penyakit yang diderita sebelumnya.
-- keluhan penderita sebelum terjadi gangguan kesadaran.
-- obat-obat diminum sebelumnya.
-- apakah gangguan kesadaran terjadi mendadak atau perlahan-lahan.
Pemeriksaan fisik
-- tanda-tanda vital : nadi, pernapasan, tensi, suhu.
-- kulit : ikterus, sianosis, luka-luka karena trauma
-- toraks : paru-paru, jantung.
-- abdomen dan ekstremitas
Pemeriksaan neurologis
1. OBSERVASI UMUM .
gerakan primitif : gerakan menguap, menelan dan membasahi mulut.
posisi penderita : dekortikasi dan deserebrasi.
2. POLA PERNAPASAN :
dapat membantu melokalisasi lesi dan kadang-kadang
menentukan jenis gangguan Cheyne-Stokes
Pernapasan makin lama makin dalam kemudian makin dangkal
Hiperventilasi neurogen sentral
pernapasan cepat dan dalam dengan frekuensi 25 per menit. Lokasi lesi pada tegmentum
batang otak antara mesensefalon dan pons.
Apnestik
inspirasi yang memanjang diikuti apnoe dalam; ekspirasi dengan frekuensi 1 - 2/menit. Pola
pernapasan ini dapat diikuti Klaster ("Cluster breathing")respirasi yang berkelompok diikuti
oleh apnoe. Ditemukan pada lesi pons.
Ataksik
pernapasan tidak teratur, baik dalamnya maupun iramanya. Lesi di medulla oblongata dan
merupakan stadium preterminal.
3.KELAINAN PUPIL :

52
Perlu diperhatikan besarnya pupil (normal,midriasis, miosis), bentuk pupil (isokor, anisokor),
dan refleks. Midriasis dapat terjadi oleh stimulator simpatik (kokain, efedrin,
adrenalin dan lain-lain), inhibitor parasimpatik (atropin, skopolamin dan lain-lain). Miosis
dapat terjadi oleh stimulator parasimpatik dan inhibitor simpatik. Lesi pada mesensefalon
menyebabkan dilatasi pupil yang tidak memberikan reaksi terhadap cahaya. Pupil yang
masih bereaksi menunjukkan bahwa mesensefalon belum rusak. Pupil yang melebar
unilateral dan tidak bereaksi berarti adanya tekanan pada saraf otak III yang mungkin dapat
disebabkan oleh herniasi tentorial.
4. REFLEKS SEFALIK :
Refleks-refleks mempunyai pusat pada batang otak. Dengan refleks ini dapat diketahui
bagian mana batang otak yang terganggu misalnya refleks pupil (mesensefalon), refleks
kornea (pons), Doll's head manoeuvre (pons), refleks okulo-auditorik (pons), refleks okulo-
vestibuler =uji kalori (pons), gag reflex (medulla oblongata).
5.REAKSI TERHADAP RANGSANG NYERI :
Penderita dengan kesadaran menurun dapat memberikan respons yang dapat dikategorikan
sebagai berikut :
a. sesuai (appropriate)
Penderita mengetahui dimana stimulus nyeri dirasakan. Hal ini menunjukkan utuhnya sistem
sensorik dalam arti sistem asendens spesifik.
b. tidak sesuai (inappropriate)
Dapat terlihat pada jawaban berupa rigiditas dekortikasi dan rigiditas deserebrasi.
6.FUNGSI TRAKTUS PIRAMIDALIS :
Bila terdapat hemiparesis, dipikirkan ke suatu kerusakan strukturil. Ella traktus piramidalis
tidak terganggu, dipikirkan gangguan metabolisme.
7. PEMERIKSAAN LABORATORIK :
-- darah : glukose, ureum, kreatinin, elektrolit dan fungsi hepar.
-- pungsi likuor untuk meningitis dan ensefalitis.
-- funduskopi mutlak dilakukan pada tiap kasus dengan kesadaran menurun untuk melihat
adanya edema papil dan tanda-tanda hipertensi.
-- dan lain-lain seperti EEG, eko-ensefalografi, CT-scan dilakukan bila perlu

Penatalaksanaan
Harus dilakukan cepat dan tepat. Gangguan yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kerusakan yang ireversibel bahkan kematian. Terapi bertujuan mempertahankan homeostasis
otak agar fungsi dan kehidupan neuron dapat terjamin.
Terapi umum :
1. resusitasi kardio-pulmonal-serebral meliputi :
a. memperbaiki jalan napas berupa pembersihan jalan napas, sniffing position, artificial
airway, endotracheal inlubation, tracheotomy.
b. pernapasan buatan dikerjakan setelah jalan napas sudah bebas berupa :
-- pernapasan mulut ke mulut/hidung.
-- pernapasan dengan balon ke masker.
-- pernapasan dengan mesin pernapasan otomatis.

53
c. peredarah darah
Bila peredaran darah terhenti, diberikan bantuan sirkulasi berupa :
-- kompresi jantung dari luar dengan tangan.
-- kompresi jantung dari luar dengan alat.
d. obat-obatan
Dalam keadaan darurat dianjurkan pemberian obat secara intravena, seperti epinefrin,
bikarbonas, deksametason, glukonas kalsikus dan lain-lain.
e. elektrokardiogram dilakukan untuk membuat diagnosis apakah terhentinya peredaran darah
karena asistol, fibrilasi ventrikel atau kolaps kardiovaskuler.
f. resusitasi otak tidak banyak berbeda dengan orang dewasa,bertujuan untuk melindungi otak
dari kerusakan lebih lanjut.
g. intensive care
2. anti konvulsan bila kejang.
Terapi kausal :
segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan

DAFTAR PUSTAKA

http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact
Ilyas, Sidarta. 2008 Trauma Tumpul Mata : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Sagung Seto, Hal:
263-6.
Jong Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit EGC. 2004: 874-6
Ningrum, Manajemen Perdarahan pada fraktur pelvis yang mengancam jiwa. Diakses
dari:www.ejournal.unid.ac.id/manajemen%20%20perdarahan%padafrakturpelvis
%20mengancam%20jiwa%.html
Sheppard J, Crouch E. Hyphema. 2008. Available at
http://emedicine.medscape.com/ophthalmology#anterior.
Sulistyanto R. Fraktur Pelvis. 2010. Diakses dari : http://fraktur%20pelvis/fraktur-pelvis.html
Vaughan, Daniel, G. 2000. Trauma : Oftamologi Umum edisi ke-14. Jakarta : Widya Medika.
Hal: 380,384

54

Anda mungkin juga menyukai