PENDAHULUAN
1
Guy Newton dan Edward Abraham di Sir William Dunn School of
Pathology, University of Oxford pada tahun 1951 berhasil menemukan senyawa
antibiotik yang dihasilkan oleh kultur Acremonium yang kemudian diberi nama
sefalosporin C. Pada tahun 1955, antibiotik sefalosporin C menunjukkan spektrum
aktivitasnya yang lebar, termasuk banyak strain Staphylococcus aureus yang
sensitif dan resistan terhadap penisilin.
Riset dan pengembangan industri produksi sefalosporin semakin marak
mengingat potensi yang besar dari sefalosporin. Proses produksi yang pertama
melibatkan Glaxo, dari Inggris, dan Ely Lilly, dari Amerika Serikat, sebagai yang
pertama bernegosiasi dengan NRDC (National Research Development
Corporation).
Pada tahun 1985, gen biosintetik -laktam pertama, pcbC (encoding
cyclase) berhasil dikloning dari A. chrysogenum. Perkembangan ini cukup berarti
bagi industri sefalosporin mengingat pembuatan enzim yang diperlukan bagi industri
ini menjadi lebih mudah.
2
2. Cefalexin CH3-
3. Cefatrizin
3
4. Generasi 4, memiliki spektrum yang lebih seimbang, sehingga aktif dalam
melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Generasi 4 sefalosporin
merupakan antibiotik yang paling potensial di antara obat-obat dalam
mengobati beberapa infeksi serius pada manusia. Cefepime, cefluprenam,
cefozopran, cefpirome, dan cefquinome merupakan obat-obat yang tergolong
dalam generasi 4 ini.
5. Generasi 5, merupakan kelompok terbaru yang diidentifikasi meliputi
ceftobiprole dan ceftaroline, meskipun pengelompokannya masih belum
diterima secara universal. Ceftaroline memiliki aktivitas yang sangat baik dalam
melawan bakteri gram positif.
Struktur kimia dari beberapa contoh sefalosporin generasi pertama dan kedua
4
Struktur kimia dari beberapa contoh sefalosporin generasi ketiga dan keempat
Sifat-sifat Fisik
Kebanyakan sefalosporin berupa padatan yang berwarna putih, coklat,
atau kuning muda, yang biasanya tidak berbentuk (amorf), tetapi kadang-kadang
bisa berbentuk kristal. Sefalosporin umumnya tidak memiliki titik leleh yang tinggi.
Sifat asamnya umumnya berasal dari gugus karboksilatnya yang terikat pada cincin
dihidrothiazin. Nilai keasamannya, pKa, tergantung kondisi lingkungannya.
Salah satu sifat fisik yang mencolok dari sefalosporin adalah frekuensi
dalam spektrum inframerah. Absorpsi terjadi pada frekuensi tinggi (1770-1815 cm -1)
yang berasal dari karbonil -laktamnya. Dibandingkan dengan frekuensi gugus
karbonil pada senyawa lain, misal karbonil ester (1720-1780 cm-1) dan amida (1504-
1695 cm-1), bisa dibilang cukup tinggi. Beberapa sifat fisik sefalosporin ditampilkan
dalam tabel di bawah ini.
5
Sifat-sifat Kimia
Adanya gugus -laktam sangat mempengaruhi sifat kimia dari
sefalosporin. Bentuk geometri cincin dengan ikatan rangkap di dalamnya,
menjadikan sefalosporin sebagai molekul yang cukup stabil karena memungkinkan
terjadinya resonansi. Pembuatan senyawa turunan sefalosporin biasanya dengan
melakukan penyerangan menggunakan nukleofil seperti alkolsida atau
hidroksilamin.
3. Kegunaan Sefalosporin
Seperti halnya antibiotik -laktam lainnya, sefalosporin dapat digunakan
dalam melawan infeksi oleh bakteri dengan mengikat dan menjadi inhibitor enzim
pembentuk dinding peptidoglikan bakteri. Dibandingkan dengan penisilin yang juga
merupakan antibiotik -laktam, sefalosporin memiliki sifat resistan terhadap enzim
-laktamase yang dihasilkan oleh bakteri untuk memutus ikatan pada cincin -
laktam.
Sefalosporin digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi oleh
bakteri, seperti infeksi saluran pernapasan (pneumonia, bronkitis, tonsillitis), infeksi
kulit, dan infeksi saluran urin. Pemberian sefalosporin kadang-kadang bersamaan
dengan antibiotik lain. Sefalosporin juga umum digunakan dalam pembedahan atau
surgery, untuk mencegah infeksi selama pembedahan.
Berbagai jenis sefalosporin yang dihasilkan juga memberikan berbagai
fungsi berbeda dari masing-masing sefalosporin. Sefalosporin generasi pertama
6
seperti sefalotin dan sefalexin merupakan yang paling aktif dalam melawan
staphylococci dan nonenterococcal streptococci, dan merupakan antibiotik alternatif
dari penisilin untuk pasien dengan endocarditis, osteomyelitis, septic arthritis, dan
cellulitis. Dikatakan sebagai antibiotik alternatif karena adanya pasien yang
kemungkinan alergi terhadap penisilin ataupun karena adanya infeksi campuran
oleh bakteri gram positif dan gram negatif. Meskipun obat-obat ini sudah terbukti
dapat mengatasi infeksi seperti bacteriemias, infeksi saluran kencing, dan
pneumonia, yang disebabkan bakteri gram negatif, penggunaan sefalosporin ini
sebagai agen tunggal tidak disarankan, karena aktivitas melawan bakteri gram
negatif masih lemah dan tidak dapat diprediksi. Sefalosporin generasi pertama telah
digunakan secara luas dalam pencegahan cardiovascular, orthopedic, biliary, pelvis,
dan intra-abdominal surgery. Sefazolin, yang memiliki waktu paruh lebih lama
dibanding sefalosporin generais pertama lainnya, merupakan pilihan utama untuk
pencegahan dakam pembedahan.
Sefuroxime efektif dalam melawan Haemophilus influenzae penyebab
penyakit sejenis pneumonia yang kebal terhadap ampisilin. Sefoxitin digunakan
untuk mengobati infeksi campuran aerobik-anaerobik termasuk infeksi pelvis, intra-
abdominal, dan nosocomial aspiration pneumonia. Sefonicid, karena waktu
paruhnya yang panjang juga banyak digunakan dalam berbagai jenis infeksi seperti
saluran kencinga dan jaringan kulit.
Sementara itu, sefalosporin generasi ketiga dapat digunakan untuk
melawan bakteri gram positif. Biasanya pengobatan infeksi tidak menggunakan
sefalosporin generasi ketiga, melainkan obat lainnya. Pengecualian berlaku bagi
pengobatan meningitis. Sefotaxime, seftriaxone, dan seftazidime terbukti efektif
dalam mengobati meningitis, terutama bagi anak-anak di mana Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis merupakan
penyebab utamanya. Seftriaxone sekarang merupakan agen pilihan untuk
mengobati berbagai infeksi yang disebabkan strain kebal penisilin.
7
Dari tabel tersebut dapat dipastikan bahwa sefalosporin menempati urutan kedua
sebagai antibiotik yang paling banyak dihasilkan setelah penisilin.
Negara Cina merupakan salah satu penghasil sefalosporin dan bahan
baku sefalosporin yang cukup besar di dunia. Ekspor bahan mentah sefalosporin
pada tahun 2004 mencapai 683 ton. Berikut merupakan tabel distribusi ekspor
bahan mentah sefalosporin Cina pada tahun 2004.
8
Cefuroxime 705 0.10% 211,560 0.25%
Other cephalosporin
570 0.08% 50,740 0.06%
intermediate
Ceftazidime acid 560 0.08% 159,716 0.19%
Cefaclor 326 0.05% 17,802 0.02%
Cephalosporin C 200 0.03% 7,637 0.01%
7-ANCA 179 0.03% 110,980 0.13%
Ceftiofur 140 0.02% 113,182 0.13%
Ceftriaxone side chain 50 0.01% 1,285 0.00%
Total 682,985 100.00% 84,425,283 100.00%
5. Potensi di Indonesia
Sefalosporin merupakan antibiotik dengan fungsi yang lebih luas
dibanding penisilin. Sefalosporin efektif dalam melawan bakteri gram negatif
sekaligus bakteri gram positif. Sefalosporin juga mampu melawan beberapa jenis
bakteri yang kebal terhadap penisilin. Untuk itu seharusnya persediaan sefalosporin
lebih banyak daripada penisilin.
Harga sefalosporin umumnya lebih mahal daripada penisilin karena
proses industrinya yang memakan cost lebih tinggi. Hal ini juga berlaku di
Indonesia. Produksi antibiotik dalam negeri umumnya belum mandiri mulai dari awal
proses produksi, melainkan mengimpor bahan mentah dari luar. Dengan demikian,
sudah pasti harga sefalosporin dalam negeri lebih mahal daripada yang di luar.
Industri sefalosporin memiliki kemiripan dengan industri penisilin. Proses
industrinya memang sedikit lebih kompleks dibanding penisilin, akan tetapi dengan
bahan baku yang sama. Medium untuk fermentasi berupa karbohidrat (glukosa,
sukrosa), lipid (minyak kacang, kedelai) cukup mudah untuk diperoleh, apalagi di
Indonesi yang kaya dengan sumber hayatinya. Untuk itu seharusnya pembuatan
sefalosporin dalam negeri dapat diupayakan melihat potensinya yang cukup besar
untuk mencukupi kebutuhan antibiotik Indonesia.
9
BAB II
POKOK BAHASAN
Taksonomi
1. Kingdom : Fungi
2. Subkingdom : Dikarya
3. Phylum : Ascomycota
4. Subphylum : Pezizomycotina
5. Class : Sordariomycetes
6. Subclass : Hypocreomycetidae
7. Order : Hypocreales
8. Family : Hypocreaceae
9. Genus : Acremonium
10. Spesies : Acremonium chrysogenum
10
diisolasi pada tahun 1959. Strain ini memungkinkan 100 gram sefalosporin C
didapatkan untuk determinasi struktur dan merupakan induk dari semua strain
dalam industri produksi sefalosporin C.
Mutagenesis merupakan cara tradisional dalam mengembangkan strain.
Konidia diambil dari kultur miselial untuk meningkatkan kemungkinan mengisolasi
mutan dari nukleus tunggal. Mutagen kimia, seperti N-metil-N-nitro-N-
nitrosoguanidin dan etil-metan-sulfonat, atau sinar UV digunakan untuk menginduksi
mutasi kromosom. Pertumbuhan mutan pada agen yang selektif dapat digunakan
untuk meningkatkan kemungkinan mengisolasi kloning yang sudah diimprovisasi.
11
prekursornya. Strain A. chrysogenum untuk industri berhasil ditransformasi dengan
rekombinan plasmid yang mengandung gen resistansi terhadap higromisin dan gen
cefEF penghasil enzim bifungsional ekspandase-hidroksilase.
12
Lintasan biosintesis sefalosporin telah dikenal dengan baik. Biosintesis
sefalosporin C, dimulai dari kondensasi tiga asam amino, asam L--aminodipic, L-
sistein, dan L-valin, untuk membentuk tripeptida -(L--amoniadipyl)-L-sisteinil-D-
valin (LLD-ACV) dengan menggunakan enzim ACV sintetase. Tripeptida LLD-ACV
kemudian dibuat siklik untuk membentuk inti penam (penam nucleus), isopenisilin N,
dengan enzim isopenisilin N sintetase atau siklase.
Isopenisilin N kemudian diubah menjadi penisilin N dengan mengubah
gugus samping L--aminoadipyl menjadi D--aminoadipyl menggunakan enzim
isopenisilin N epimerase (IPNE). Penisilin N kemudian diubah menjadi
deasetoksisefalosporin C yang memiliki cincin dihidrothiazin dengan menggunakan
enzim deasetoksisefalosporin C sintetase. Enzim deasetilsefalosporin sintetase
kemudian mengkatalisasi reaksi hidroksilasi deasetoksisefalosporin C pada gugus
metil C-3 untuk menghasilkan deasetilsefalosporin C. Dalam A. chrysogenum, baik
ekspansi cincin maupun aktivitas hidroksilasi bertempat pada protein yang sama,
yang dikodekan oleh satu gen. Berbeda dengan fungi, S. clavuligerus dan N.
lactamdurans menghasilkan dua enzim berbeda, ekspandase dan hidroksilase,
untuk mengkatalisasi kedua reaksi, yang dihasilkan oleh dua gen terpisah.
Pada A. chrysogenum, langkah terakhir dalam biosintesis sefalosporin
C, dikatalisasi oleh enzim sefalosporin C sintetase (asetiltransferase), yang
melibatkan transfer satu gugus asetil dari koenzim asetil A ke gugus hidroksimetil
atom C-3 pada deasetilsefalosporin C.
Kebanyakan gen yang berperan dalam biosintesis sefalosporin pada A.
chrysogenum telah teridentifikasi dan dikarakterisasi secara biokimia. Kode gen
untuk enzim yang terlibat dalam biosintesis senyawa intermediat LLD-ACV dan
isopenisilin N yang umum disebut pcb (penisilin/cephalosporin biosintesis). Kode
gen untuk enzim lainnya yang terlibat dalam biosintesis sefalosporin disebut cef.
Pembentukan tripeptida oleh enzim ACV sintetase dikodekan oleh gen pcbAB.
Pembentukan siklik tripeptida dengan bantuan enzim isopenisilin N sintetase yang
dikodekan oleh gen pcbC. Gen cefD1 dan cefD2 berperan dalam membentuk
protein untuk konversi isopenisilin N menjadi penisilin N. Sedangkan gen cefE dan
cefF masing-masing menghasilkan protein yang berperan dalam membentuk
deasetoksisefalosporin C dan deasetisefalosporin C; yang bisa juga dengan gen
cefEF. Langkah terakhir dalam biosintesis untuk menghasilkan sefalosporin C diatur
oleh gen cefG.
13
Lintasan Biosintetik Sefalosporin C
14
yang membedakan kedua proses tersebut dimulai dari proses konversi isopenisilin
N, di mana dalam biosintesis sefalosporin C, terjadi pengubahan isopenisilin N
menjadi penisilin N, sedangkan pada biosintesis penisilin G (contohnya) tidak
mengalaminya. Tentu saja pembeda utama dari kedua proses tersebut adalah
mikroorganisme yang digunakan; Acremonium chrysogenum untuk sefalosporin dan
Penicillium chrysogenum (Penicillium sp.) untuk penisilin.
15
Perbedaan Jalur Biosintesis Sefalosporin C dan Sefamisin C
16
Sefalosporin C dihasilkan secara industri dengan fermentasi
menggunakan A. chrysogenum. pH diatur antara 6 hingga 7 dalam rentang
temperatur 24 sampai 28 oC. Fermentasi dilakukan dalam tangki bioreaktor yang
diaerasi dan berpengaduk dengan kultur submerged.
Fermentasi skala produksi dilakukan secara fed-batch dengan suplai
karbon dimasukkan baik sebagai karbohidrat sederhana maupun kompleks pada
awal proses, yaitu ketika fasa pertumbuhan dalam fermentasi. Selama fermentasi
berlangsung, suplai gula dikurangi dan digantikan dengan sumber karbon dan
energi lain seperti lipid. Pengubahan energi dari lipid, contohnya minyak kacang
tergolong rendah efisiensi sehingga pertumbuhan menjadi lambat, dan miselium
vegetatif banyak yang berubah menjadi arthtospora multiselular. Tahap arthrospora
akan mengakibatkan ketersediaan oksigen yang tinggi bagi mikroorganisme dan
berakhir pada produksi sefalosporin yang cepat.
Penambahan DL-Metionin dilakukan ketika awal fasa pertumbuhan
dalam fermentasi, untuk membantu meningkatkan perubahan miselium menjadi
arthrospora. Pembentukan arthrospora juga berkorelasi dengan oksigen terlarut.
Semakin besar jumlah oksigen terlarut, maka pembentukannya semakin cepat.
Akan tetapi jumlah maksimalnya tetap terbatas karena pengaruhnya terhadap kerja
enzim tertentu.
Salah satu yang menjadi permasalahan dalam fermentasi sefalosporin
adalah ketidakstabilan molekul sefalosporin C selama proses. Ini menjadi penyebab
utama perolehan produk sefalosporin dalam siklus industri panjang yang semakin
berkurang dibanding produksi penisilin dalam siklus panjang.
Sefalosporin dapat terdegradasi menjadi senyawa X (asam 2-(D-4-
amino-4-karboksibutil)-thiazole-4-karboksilat), yang bisa berakibat pada kehilangan
hingga 40% produk sefalosporin yang dihasilkan. Pada pH lebih kecil dari 2,
sefalosporin C dapat terdegrasi menjadi sefalosporin C laktone.
17
Pembentukan Senyawa X dan Sefalosporin C Laktone Akibat Perubahan pH
6. Perolehan Produk
Setelah fermentasi selesai, miselia dan komponen medium yang tidak
larut biasanya dibuang secara filtrasi atau sentrifugasi. Dalam hasil fermentasi,
selain sefalosporin C juga terdapat sejumlah kecil penisilin N,
deasetoksisefalosporin C, dan deasetilsefalosporin C. Pengambilan sefalosporin C
dapat dilakukan dengan cara ekstraksi.
Pada kondisi netral dan sedikit asam, dapat terjadi konversi sefalosporin
C menjadi senyawa X. Pada pH lebih kecil dari 2, akan terbentuk sefalosporin C
laktone. Untuk meminimalisir terjadinya degradasi ini, pengambilan sefalosporin C
harus dilakukan secepat mungkin, dan menghindari kondisi pH ekstrim dan suhu
tinggi.
Proses pemisahan produk sefalosporin C lebih kompleks dibanding
penisilin karena sifatnya yang amfoter menjadi hambatan dalam ekstraksi dengan
pelarut organik. Antibiotik ini dapat dipisahkan dengan kombinasi penukar ion dan
presipitasi. Penggunaan resin makrosporous seperti XAD-2 dan XAD-4 akan
menghasilkan isolasi yang lebih murni dan menghilangkan pengotor lebih banyak.
Proses pemurnian dan recovery produk sefalosporin C dimulai dengan
pendinginan temperatur menjadi 3-5oC diikuti dengan penghilangan padatan miselial
18
secara filtrasi ataupun sentrifugasi. Hasil proses tersebut adalah sefalosporin C
dengan beberapa macam prekursor dalam jumlah kecil, seperti penisilin N, DAOC,
deasetilsefalosporin C, dan hingga senyawa X.
Ada dua strategi utama untuk memurnikan sefalosporin C. Pertama,
menggunakan karbon aktif atau resin non-ionik. Karena selektivitas yang tinggi dari
resin, sefalosporin C lebih disukai untuk teradsorpsi dibanding senyawa lainnya.
Kebanyakan penisilin N hilang pada langkah asidifikasi hingga pH 2,0. Kemudian
dilanjutkan dengan tambahan penukar anion dan kation untuk mendapatkan
sefalosporin dengan kualitas tinggi. Sejumlah besr fraksi sefalosporin C kemudian
diubah menjadi 7-ACA untuk kemudian diubah lagi menjadi sefalosporin semisintetik
atau turunan.
Strategi pemurnian kedua yaitu dengan substitusi gugus amin pada C-7
rantai samping alpha-aminoadipyl. Dua senyawa turunan hasil subtitusi, N-2,4-
diklorobenzoil sefalosporin C dan tetrabromokarboksibenzoyl sefalosporin C, dapat
dikristalkan dari larutan asam. Garam kemudian terbentuk antara turunan N-
subtitusi dan basa organik seperti disikloheksilamin atau dimetilbenzilamin,
menghasilkan garam sefalosporin yang dapat diekstraksi. Sefalosporin yang sudah
terekstrak kemudian diubah menjadi 7-ACA untuk proses lainnya.
Proses pengubahan sefalosporin C menjadi 7-ACA menggunakan enzim
efisien agar biaya dapat dikurangi. Tahap inisiasi adalah reaksi gugus alpha-
aminoadipyl dengan asam D-amino oksidase untuk menghasilkan glutaryl-7-ACA.
Reaksi ini berlangsung dengan melalui intermediat keto-7-ACA yang mengalami
dekarboksilasi oksidatif dengan kehadiran hidrogen peroksida. Glutaryl asilase
kemudian digunakan untuk menghilangkan gugus samping glutaryl untuk
menghasilkan 7-ACA.
19
Struktur glutaryl-7-ACA dan glutarat
20
Dengan menggunakan reaksi hidrolitik dan bakteri penghasil asam,
substansi organik yang undegradable dapat diubah menjadi materi biodegradable
dengan ukuran lebih kecil. Lama-kelamaan tingkat biodegradability akan meningkat
dan mengurangi muatan (charge) untuk proses-proses selanjutnya.
Reaktor UASB memiliki struktur dasar yang terdiri dari unggun lumpur
(sludge bed), layer suspensi lumpur, zona presipitasi, sistem pemisah tiga fasa dan
intake, dan butiran kecil lumpur dalam zona reaksi. Selama proses, air limbah
mengalir dari bawah reaktor dan melalui zona reaksi (sludge zone) menuju zona
separasi tiga fasa (gas, liquid, dan solid), hingga akhirnya masuk dalam zona
presipitasi. Lumpur dalam campuran akan kembali ke zona reaksi di bawah akibat
gravitasi, sambil membawa campuran biogas yang akan dikeluarkan melalui pipa-
pipa. Tidak terdapat pengaduk mekanik dalam sistem UASB, dan biasanya tidak
diperlukan filter, sehingga sistem UASB memiliki struktur yang mudah dan gampang
dipertahankan.
Metode SBR, atau dinamakan reaktor sequencing batch, merupakan
regenerasi dan modifikasi dari reaktor pengisian-dan-pengosongan. SBR digunakan
dalam treatment anaerobik proses subsekuen, untuk menjamin agar standar bahan
yang dikeluarkan telah terpenuhi. Teknologi BAC menggunakan karbon aktif yang
memiliki area permukaan spesifik yang luas dan struktur kosong yang telah
dikembangkan sebagai pembawa untuk agregasi, propagasi, dan pertumbuhan
mikroorganisme, dan pada kondisi temperatur dan nutrisi moderat, mendesak
penurunan mikrobiologikal secara simultan.
Dalam proses reaktor yang normal, pengurangan COD dari reaktor
asidifikasi hidrolitik dan UASB berkisar 36%-55% dan 80%-90%. Kadar lumpur
reaktor SBR adalah 0,40 kg COD/(kgMLSS-d), dan pengurangan COD 80%-85%.
BAC yang telah dikembangkan dapat menghilangkan COD dan kroma dari air
limbah secara aerobic treatment.
21
Diagram proses untuk pengolahan limbah industri sefalosporin (Duan Haixia, 2009)
22
Kurva perubahan COD dalam proses SBR
23
Removal COD dan Chrome dari kolom BAC
24
DAFTAR PUSTAKA
Kim, Youngsoo and Hol, Wim G.J. (2001). Structure of Cephalosporin Acylase in
Complex with Glutaryl-7-aminocephalosporanic acid and Glutarate: Insight
into the Basis of Its Substrate Specificity. Chemistry & Biology. Vol 8 No: 12,
November 2001, 1253-1264.
Othmer, Kirk. Encyclopedia of Chemical Technology. John Wiley & Sons, Inc. United
States of America. 1-40
25
Saravanne, R. and Lavanya, M . (2006). Anaerobic Stabilization and Recalcitrant
Antibiotic Transformation Under Acclimed Inoculum-Substrate Matrix. Water
Environment. 1739-1746.
26