Anda di halaman 1dari 27

ABSTRAK

Antibiotik -laktam merupakan salah satu antibiotik yang cukup penting


dengan pemakaian yang cukup luas. Berbagai senyawa -laktam telah berhasil
disintesis untuk mendapatkan antibiotik dengan fungsi yang spesifik. Sefalosporin
merupakan salah satu kelas antibiotik -laktam dengan konsumsi yang tinggi setelah
penisilin yang juga antibiotik -laktam. Sefacetril, sefalexin, dan sefatrizin merupakan
sedikit dari berbagai macam antibiotik yang termasuk ke dalam kelas sefalosporin.
Industri sefalosporin merupakan industri bioproses karena melibatkan mikroorganisme
yaitu Acremonium chrysogenum dalam sintesisnya. Sefalosporin dihasilkan sebagai
produk metabolit sekunder, yaitu biomolekul yang dihasilkan suatu mikroorganisme
karena pengaruh lingkungannya. Sintesis berbagai jenis sefalosporin komersial
umumnya menggunakan 7-ACA sebagai bahan mentah atau intermediat. 7-ACA
diperoleh dari hasil konversi sefalosporin C yang dihasilkan selama fermentasi dengan
fungi A. chrysogenum. Kelebihan sefalosporin dibandingkan dengan penisilin adalah
kemampuannya dalam melawan bakteri gram negatif yang resisten terhadap penisilin.
Artinya, sefalosporin tidak akan terurai oleh enzim -laktamase yang dihasilkan bakteri
resisten tersebut. Oleh karena itu, industri produksi sefalosporin cukup penting sebagai
sumber antibiotik yang banyak dikonsumsi.
Kata kunci: sefalosporin, Acremonium chrysogenum, 7-ACA, sefalosporin C

BAB 1
PENDAHULUAN
Sefalosporin merupakan salah satu antibiotik yang memiliki cincin -laktam
dalam strukturnya sehingga tergolong antibiotik -laktam bersama-sama dengan
penisilin, monobaktam, dan karbapenem. Sefalosporin tergabung dalam cephem,
subgrup antibiotik -laktam bersama dengan sefasimin. Seperti halnya semua
senyawa metabolit sekunder, antibiotik sefalosporin dihasilkan dalam industri bioproses
yang melibatkan mikroorganisme.
Sefalosporin C merupakan contoh sefalosporin yang paling awal ditemukan.
Fungsinya sebagai antibiotik yang cukup potensial menjadikannya produk antibiotik
yang banyak dihasilkan setelah penisilin. Dengan mengubah-ubah gugus sampingnya,
diperoleh

berbagai

senyawa

turunan

sefalosporin

atau

disebut

sefalosporin

semisintetik dengan sifat-sifat yang berbeda.


1. Sejarah Perkembangan Sefalosporin
Penemuan antibiotik -laktam merupakan terobosan yang luar biasa
dalam pembuatan obat. Penisilin yang ditemukan oleh Alexander Fleming pada
tahun 1928 terbukti efektif dalam melawan bakteri gram positif. Berbagai penelitian
lebih lanjut terhadap penisilin menjadi populer pada masa itu. Meksipun demikian,
penisilin umumnya memiliki keterbatasan dalam melawan bakteri gram negatif. Dan
seiring dengan penggunaannya, beberapa bakteri gram positif menjadi resistan
terhadap penisilin dengan menghasilkan enzim penisilinase yang menghidrolisis
cincin -laktam pada penisilin.
Pada tahun 1945, Giuseppe Brotzu,
seorang profesor Hygiene dari University of
Cagliari,

Italia,

berhasil

mengisolasi

strain

Cephalosporium acremonium, sejenis mold, dari


air laut dekat saluran pembuangan limbah di
Cagliari, Sardinia. Percobaan yang dilakukannya
membuktikan

bahwa

fungi

ini

menghasilkan

senyawa yang efektif dalam melawan Salmonella


tylhi (sejenis bakteri gram negatif). Pada tahun
1948, Brotzu mempublikasikan penemuannya,
akan tetapi kurang menarik perhatian. Atas usul
British Medical Research Council, Brotzu kemudian mengirimkan kultur C.
acremonium, yang kemudian diklasifikasi ulang sebagai Acremonium chrysogenium
pada tahun 1971 oleh Gams, kepada Howard Florey di Oxford.
1

Guy Newton dan Edward Abraham di Sir William Dunn School of


Pathology, University of Oxford pada tahun 1951 berhasil menemukan senyawa
antibiotik yang dihasilkan oleh kultur Acremonium yang kemudian diberi nama
sefalosporin C. Pada tahun 1955, antibiotik sefalosporin C menunjukkan spektrum
aktivitasnya yang lebar, termasuk banyak strain Staphylococcus aureus yang
sensitif dan resistan terhadap penisilin.
Riset dan pengembangan industri produksi sefalosporin semakin marak
mengingat potensi yang besar dari sefalosporin. Proses produksi yang pertama
melibatkan Glaxo, dari Inggris, dan Ely Lilly, dari Amerika Serikat, sebagai yang
pertama

bernegosiasi

dengan

NRDC

(National

Research

Development

Corporation).
Pada tahun 1985, gen biosintetik -laktam pertama, pcbC (encoding
cyclase) berhasil dikloning dari A. chrysogenum. Perkembangan ini cukup berarti
bagi industri sefalosporin mengingat pembuatan enzim yang diperlukan bagi industri
ini menjadi lebih mudah.
2. Struktur Kimia dan Sifat-sifat Sefalosporin
Senyawa sefalosporin memiliki gugus inti 7-aminocephalosporanic acid
(7-ACA), yang mengandung gugus -laktam (sebuah cincin dengan 2 atom C, 1
gugus karbonil, dan 1 atom N) dan cincin dihidrothiazin. Secara keseluruhan nama
ilmiah

sefalosporin

adalah

asam

3-asetoksimetil-7-asilamino-3-cephem-4-

karboksilat.
Berbagai senyawa lainnya dapat diperoleh dengan mengganti R1 dan R2

Struktur gugus inti sefalosporin

pada struktur gugus inti sefalosporin tersebut, sehingga dapat menghasilkan sifatsifat senyawa yang berbeda-beda. Beberapa contoh senyawa turunan sefalosporin
yaitu
No.
1.

Senyawa turunan
Cefacetril

R1
CH3COOCH2-

R2
-CH2-CN

2.

Cefalexin

3.

Cefatrizin

CH3-

Berikut beberapa struktur yang berkaitan dengan sefalosporin yang


terjadi secara alami, bukan hasil sintesis.

Sifat-sifat senyawa turunan sefalosporin tergantung gugus yang terikat


pada gugus inti. Gugus R1 akan mempengaruhi sifat farmakologinya (proses yang
dilalui obat dalam tubuh), sedangkan gugus R2 mempengaruhi karakteristik
antibakterialnya.
Secara

umum,

sefalosporin

dikelompokkan

dalam

generasi,

berdasarkan sifat antibakterial, spektrum antibiotik, stabilitas terhadap laktamase,


dan aktivitas intrinsik.
1. Generasi 1, bersifat lebih efektif dalam menghadapi infeksi staphylococcal dan
streptococcal (bakteri gram positif), stabil terhadap asam, sedikit aktif dalam
melawan bakteri gram negatif. Beberapa obat yang tergolong dalam
sefalosporin

generasi

pertama

yaitu

cefadroxil,

cefazolin,

cephalexin,

cephaloridine, cephalothin, cephapirin, dan cephradine.


2. Generasi 2, memiliki spektrum bakteri gram negatif yang lebih luas, akan tetapi
lebih lemah dalam melawan bakteri gram positif dibanding generasi pertama.
Kelompok ini juga lebih resistan terhadap -laktamase. Sefalosporin yang
termasuk generasi kedua adalah cefaclor, cefoxitin, cefprozil, dan cefuroxime.
3. Generasi 3, memiliki aktivitas terhadap bakteri gram negatif yang jauh lebih
besar, yang disertai dengan berkurangnya aktivitas terhadap bakteri gram
negatif. Kelompok ini meliputi cefdinir, cefixime, cefotamine, ceftriaxone,
ceftazidime, dan cefoperazone.
3

4. Generasi 4, memiliki spektrum yang lebih seimbang, sehingga aktif dalam


melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Generasi 4 sefalosporin
merupakan antibiotik yang paling potensial di antara obat-obat dalam
mengobati beberapa infeksi serius pada manusia. Cefepime, cefluprenam,
cefozopran, cefpirome, dan cefquinome merupakan obat-obat yang tergolong
dalam generasi 4 ini.
5. Generasi 5, merupakan kelompok terbaru yang diidentifikasi

meliputi

ceftobiprole dan ceftaroline, meskipun pengelompokannya masih belum


diterima secara universal. Ceftaroline memiliki aktivitas yang sangat baik dalam
melawan bakteri gram positif.

Struktur kimia dari beberapa contoh sefalosporin generasi pertama dan kedua

Struktur kimia dari beberapa contoh sefalosporin generasi ketiga dan keempat

Sifat-sifat Fisik
Kebanyakan sefalosporin berupa padatan yang berwarna putih, coklat,
atau kuning muda, yang biasanya tidak berbentuk (amorf), tetapi kadang-kadang
bisa berbentuk kristal. Sefalosporin umumnya tidak memiliki titik leleh yang tinggi.
Sifat asamnya umumnya berasal dari gugus karboksilatnya yang terikat pada cincin
dihidrothiazin. Nilai keasamannya, pKa, tergantung kondisi lingkungannya.
Salah satu sifat fisik yang mencolok dari sefalosporin adalah frekuensi
dalam spektrum inframerah. Absorpsi terjadi pada frekuensi tinggi (1770-1815 cm -1)
yang berasal dari karbonil -laktamnya. Dibandingkan dengan frekuensi gugus
karbonil pada senyawa lain, misal karbonil ester (1720-1780 cm-1) dan amida (15041695 cm-1), bisa dibilang cukup tinggi. Beberapa sifat fisik sefalosporin ditampilkan
dalam tabel di bawah ini.

Sifat-sifat Kimia
Adanya gugus -laktam sangat mempengaruhi sifat kimia dari
sefalosporin. Bentuk geometri cincin dengan ikatan rangkap di dalamnya,
menjadikan sefalosporin sebagai molekul yang cukup stabil karena memungkinkan
terjadinya resonansi. Pembuatan senyawa turunan sefalosporin biasanya dengan
melakukan

penyerangan

menggunakan

nukleofil

seperti

alkolsida

atau

hidroksilamin.

Reaktivitas sefalosporin, Nu merupakan nukleofil dan X sebagai leaving


group. Dari gambar dapat diketahui bahwa terdapat 2 kemungkinan
pembentukan produk dengan serangan nukleofil

3. Kegunaan Sefalosporin
Seperti halnya antibiotik -laktam lainnya, sefalosporin dapat digunakan
dalam melawan infeksi oleh bakteri dengan mengikat dan menjadi inhibitor enzim
pembentuk dinding peptidoglikan bakteri. Dibandingkan dengan penisilin yang juga
merupakan antibiotik -laktam, sefalosporin memiliki sifat resistan terhadap enzim
-laktamase yang dihasilkan oleh bakteri untuk memutus ikatan pada cincin laktam.
Sefalosporin digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi oleh
bakteri, seperti infeksi saluran pernapasan (pneumonia, bronkitis, tonsillitis), infeksi
kulit, dan infeksi saluran urin. Pemberian sefalosporin kadang-kadang bersamaan
dengan antibiotik lain. Sefalosporin juga umum digunakan dalam pembedahan atau
surgery, untuk mencegah infeksi selama pembedahan.
Berbagai jenis sefalosporin yang dihasilkan juga memberikan berbagai
fungsi berbeda dari masing-masing sefalosporin. Sefalosporin generasi pertama
6

seperti sefalotin dan sefalexin merupakan yang paling aktif dalam melawan
staphylococci dan nonenterococcal streptococci, dan merupakan antibiotik alternatif
dari penisilin untuk pasien dengan endocarditis, osteomyelitis, septic arthritis, dan
cellulitis. Dikatakan sebagai antibiotik alternatif karena adanya pasien yang
kemungkinan alergi terhadap penisilin ataupun karena adanya infeksi campuran
oleh bakteri gram positif dan gram negatif. Meskipun obat-obat ini sudah terbukti
dapat mengatasi infeksi seperti bacteriemias, infeksi saluran kencing, dan
pneumonia, yang disebabkan bakteri gram negatif, penggunaan sefalosporin ini
sebagai agen tunggal tidak disarankan, karena aktivitas melawan bakteri gram
negatif masih lemah dan tidak dapat diprediksi. Sefalosporin generasi pertama telah
digunakan secara luas dalam pencegahan cardiovascular, orthopedic, biliary, pelvis,
dan intra-abdominal surgery. Sefazolin, yang memiliki waktu paruh lebih lama
dibanding sefalosporin generais pertama lainnya, merupakan pilihan utama untuk
pencegahan dakam pembedahan.
Sefuroxime efektif dalam melawan Haemophilus influenzae penyebab
penyakit sejenis pneumonia yang kebal terhadap ampisilin. Sefoxitin digunakan
untuk mengobati infeksi campuran aerobik-anaerobik termasuk infeksi pelvis, intraabdominal, dan nosocomial aspiration pneumonia. Sefonicid, karena waktu
paruhnya yang panjang juga banyak digunakan dalam berbagai jenis infeksi seperti
saluran kencinga dan jaringan kulit.
Sementara itu, sefalosporin generasi ketiga dapat digunakan untuk
melawan bakteri gram positif. Biasanya pengobatan infeksi tidak menggunakan
sefalosporin generasi ketiga, melainkan obat lainnya. Pengecualian berlaku bagi
pengobatan meningitis. Sefotaxime, seftriaxone, dan seftazidime terbukti efektif
dalam mengobati meningitis, terutama bagi anak-anak di mana Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis merupakan
penyebab utamanya. Seftriaxone sekarang merupakan agen pilihan untuk
mengobati berbagai infeksi yang disebabkan strain kebal penisilin.
4. Volume Produksi Sefalosporin
Permintaan pasar terhadap antibiotik -laktam pada tahun 2000
mencapai ~US$ 15 milyar. Dari nilai tersebut, sefalosporin menyumbang sebesar
66% atau ~US$ 9,9 milyar. Tingginya nilai sefalosporin dikarenakan juga harganya
yang lebih mahal dibanding penisilin akibat proses industrinya yang memerlukan
cost lebih tinggi.
Berikut adalah tabel yang menunjukkan rangking produksi -laktam
yang utama di dunia dan volume produksinya.

Dari tabel tersebut dapat dipastikan bahwa sefalosporin menempati urutan kedua
sebagai antibiotik yang paling banyak dihasilkan setelah penisilin.
Negara Cina merupakan salah satu penghasil sefalosporin dan bahan
baku sefalosporin yang cukup besar di dunia. Ekspor bahan mentah sefalosporin
pada tahun 2004 mencapai 683 ton. Berikut merupakan tabel distribusi ekspor
bahan mentah sefalosporin Cina pada tahun 2004.
Product
7-ADCA
7-ACA
Cefazolin sodium
GCLE
Ceftriaxone powder
Ceftriaxone
Cephalexin
Cefotaxime
Other Cefazolin
Cephalosporins side chain
Cefradine
Cefoperazone
Cefotaxime powder
Cefotaxime side chain
Cefoperazone tazobactam
Cefoperazone Sulbactam
Ceftriaxone acid
Cefuroxime
Ceftazidime
Cefazolin acid
Cefadroxil
7-AVCA
Ester of cefuroxime
sodium
Ceftezole
Cefradine sodium
Cefradine arginine

Quantity (kg)
191,415
105,465
80,345
60,100
50,525
42,297
39,392
22,005
18,462
12,500
12,300
10,296
8,095
6,000
4,929
2,516
2,240
2,087
2,059
1,500
1,100
1,061

Share
28.03%
15.44%
11.76%
8.80%
7.40%
6.19%
5.77%
3.22%
2.70%
1.83%
1.80%
1.51%
1.19%
0.88%
0.72%
0.37%
0.33%
0.31%
0.30%
0.22%
0.16%
0.16%

Amount ($)
10,174,163
9,029,530
10,346,110
8,066,130
4,687,912
5,388,471
1,622,703
2,721,675
1,575,474
267,029
733,540
3,404,725
773,022
52,650
15,212,162
6,315,000
223,308
770,098
773,642
159,723
63,205
658,820

Share
12.05%
10.70%
12.25%
9.55%
5.55%
6.38%
1.92%
3.22%
1.87%
0.32%
0.87%
4.03%
0.92%
0.06%
18.02%
7.48%
0.26%
0.91%
0.92%
0.19%
0.07%
0.78%

1,015

0.15%

361,152

0.43%

900
881
770

0.13%
0.13%
0.11%

221,175
74,984
75,978

0.26%
0.09%
0.09%

Cefuroxime
Other cephalosporin
intermediate
Ceftazidime acid
Cefaclor
Cephalosporin C
7-ANCA
Ceftiofur
Ceftriaxone side chain
Total

705

0.10%

211,560

0.25%

570

0.08%

50,740

0.06%

560
326
200
179
140
50
682,985

0.08%
0.05%
0.03%
0.03%
0.02%
0.01%
100.00%

159,716
17,802
7,637
110,980
113,182
1,285
84,425,283

0.19%
0.02%
0.01%
0.13%
0.13%
0.00%
100.00%

5. Potensi di Indonesia
Sefalosporin merupakan antibiotik dengan fungsi yang lebih luas
dibanding penisilin. Sefalosporin efektif dalam melawan bakteri gram negatif
sekaligus bakteri gram positif. Sefalosporin juga mampu melawan beberapa jenis
bakteri yang kebal terhadap penisilin. Untuk itu seharusnya persediaan sefalosporin
lebih banyak daripada penisilin.
Harga sefalosporin umumnya lebih mahal daripada penisilin karena
proses industrinya yang memakan cost lebih tinggi. Hal ini juga berlaku di
Indonesia. Produksi antibiotik dalam negeri umumnya belum mandiri mulai dari awal
proses produksi, melainkan mengimpor bahan mentah dari luar. Dengan demikian,
sudah pasti harga sefalosporin dalam negeri lebih mahal daripada yang di luar.
Industri sefalosporin memiliki kemiripan dengan industri penisilin. Proses
industrinya memang sedikit lebih kompleks dibanding penisilin, akan tetapi dengan
bahan baku yang sama. Medium untuk fermentasi berupa karbohidrat (glukosa,
sukrosa), lipid (minyak kacang, kedelai) cukup mudah untuk diperoleh, apalagi di
Indonesi yang kaya dengan sumber hayatinya. Untuk itu seharusnya pembuatan
sefalosporin dalam negeri dapat diupayakan melihat potensinya yang cukup besar
untuk mencukupi kebutuhan antibiotik Indonesia.

BAB II
POKOK BAHASAN

1. Mikroorganisme untuk Produksi Sefalosporin


Sefalosporin C dapat dihasilkan dari mikroorganisme Acremonium
chrysogenum sebagai produk metabolit sekunder. Mikroorganisme lain seperti
Cephalosporium polualeurum, Emerricellopsis glabra, Emericellopsis microspora,
juga dapat menghasilkan sefalosporin C, tetapi dengan jumlah yang sedikit
sehingga tidak menguntungkan bagi industri yang menggunakan mikroorganisme
tersebut. Ketika tidak ada stres nutrien dalam kultur, organisme ini tumbuh biasa
dengan miselia yang bercabang-cabang, dan hanya sedikit bahkan tidak ada
sefalosporin C yang dihasilkan. Ketika kandungan glukosa terbatas, barulah akan
dibentuk arthrospora yang menghasilkan sefalosporin C.
Taksonomi
1. Kingdom
2. Subkingdom
3. Phylum
4. Subphylum
5. Class
6. Subclass
7. Order
8. Family
9. Genus
10. Spesies

: Fungi
: Dikarya
: Ascomycota
: Pezizomycotina
: Sordariomycetes
: Hypocreomycetidae
: Hypocreales
: Hypocreaceae
: Acremonium
: Acremonium chrysogenum

Pengembangan dalam memperoleh yield sefalosporin telah dicapai


dengan meningkatkan produktivitas A. chrysogenum melalui teknik mutasi dan
seleksi strain. Perkembangan signifikan pertama dicapai ketika mutan 8650 berhasil
10

diisolasi pada tahun 1959. Strain ini memungkinkan 100 gram sefalosporin C
didapatkan untuk determinasi struktur dan merupakan induk dari semua strain
dalam industri produksi sefalosporin C.
Mutagenesis merupakan cara tradisional dalam mengembangkan strain.
Konidia diambil dari kultur miselial untuk meningkatkan kemungkinan mengisolasi
mutan

dari

nukleus

tunggal.

Mutagen

kimia,

seperti

N-metil-N-nitro-N-

nitrosoguanidin dan etil-metan-sulfonat, atau sinar UV digunakan untuk menginduksi


mutasi kromosom. Pertumbuhan mutan pada agen yang selektif dapat digunakan
untuk meningkatkan kemungkinan mengisolasi kloning yang sudah diimprovisasi.

Bagan Produksi Mutan untuk Pengembangan Strain A. chrysogenum yang


Pertama

Cara lain untuk mengembangkan strain yaitu dengan fusi protoplast.


Fusi protoplas merupakan penggabungan karakter-karakter yang menguntungkan
dari kultur-kultur berbeda (misal, tumbuh cepat, ketahanan terhadap stres tinggi).
Miselia diberikan perlakuan dengan dithiothreitol (DTT), diikuti dengan Novozym
234 (sejenis multienzim dari fungi Trichoderma harzianum yang tersedia di Novo
Biolabs) dan zat penstabilisasi osmotik, biasanya 0,7 M NaCl. Polietilen glikol
kemudian digunakan untuk menginduksi fusi membran antar protoplast; fusant
(strain yang akan difusikan) diidentifikasi dengan regenerasi dalam media selektif.
Pengembangan strain juga dapat dilakukan melalui genetic engineering.
Target dari genetic engineering dalam pengembangan strain adalah enzim yang
teridentifikasi

sebagai

pembatas

laju
11

(rate-limitting)

biosintesis

maupun

prekursornya. Strain A. chrysogenum untuk industri berhasil ditransformasi dengan


rekombinan plasmid yang mengandung gen resistansi terhadap higromisin dan gen
cefEF penghasil enzim bifungsional ekspandase-hidroksilase.
2. Bahan Baku Produksi Sefalosporin
Medium untuk fermentasi harus mengandung karbon dan nitrogen
untuk pertumbuhan, tetapi juga harus merangsang diferensiasi kultur yang
diperlukan untuk produksi antibiotik. Sumber karbon harus disuplai secara terpisah
dalam bentuk karbohidrat sederhana dan kompleks, untuk kontrol pertumbuhan dan
kadar glukosa yang lebih mudah. Monosakarida, terutama glukosa, sangat
menunjang pertumbuhan kultur, tetapi menurunkan sintesis antibiotik. Gula
sederhana ini bisa ditambahkan secara batch pada medium ataupun fed dengan
laju tinggi pada awal fermentasi. Penggunaan galaktosa dan sukrosa menunjang
pertumbuhan yang lebih lambat dibanding glukosa, tetapi produktivitas spesifik yang
lebih tinggi.
Selama fermentasi berlangsung, feed gula dikurangi, dan karbon
dengan jumlah besar disuplai dalam bentuk kacang kedelai ataupun minyak
kacang. Ini untuk membatasi kadar glukosa dan mendukung pembentukan
arthrospora untuk produksi sefalosporin C. Minyak ini juga dapat bertindak sebagai
surfaktan untuk mengurangi foaming.
Sumber nitrogen dapat dibedakan atas nitrogen organik dan nitrogen
anorganik. Nitrogen organik dapat disuplai dari berbagai kombinasi hasil samping
pertanian, seperti kacang kedelai dan ampas biji kapas. Nitrogen anorganik bersifat
sebagai suplemen saja, dan bisa bersumber dari amonium sulfat, gas amonia,
maupun amonium hidroksida. Penambahan nitrogen anorganik juga berfungsi
sebagai pengatur pH. Corn steep liquor (hasil samping dari pengolahan jagung)
umumnya digunakan sebagai medium karena murah dan kaya asam amino,
vitamin, dan zat sisa lainnya.
DL-Metionin digunakan untuk merangsang pembentukan arthrospora
pada masa kekurangan glukosa, sehingga dapat dihasilkan sefalosporin C. Metionin
diketahui sebagai inhibitor kompetitif bagi enzim invertase yang digunakan untuk
metabolisme sukrosa.
Pada umumnya, medium untuk fermentasi skala besar sefalosporin C
mengandung kacang kedelai atau kacang-kacangan lain, corn steep liquor, molase
daging, minyak lemak hewan atau metil oleat, glukosa, dan metionin. Dalam
medium sefalosporin, lipid merupakan sumber karbon dan energi yang lebih utama
dibandingkan glukosa. Sulfur untuk sefalosporin C diperoleh dari metionin dibanding
sulfat.
3. Biosintesis dalam Proses Produksi Sefalosporin
12

Lintasan biosintesis sefalosporin telah dikenal dengan baik. Biosintesis


sefalosporin C, dimulai dari kondensasi tiga asam amino, asam L--aminodipic, Lsistein, dan L-valin, untuk membentuk tripeptida -(L--amoniadipyl)-L-sisteinil-Dvalin (LLD-ACV) dengan menggunakan enzim ACV sintetase. Tripeptida LLD-ACV
kemudian dibuat siklik untuk membentuk inti penam (penam nucleus), isopenisilin N,
dengan enzim isopenisilin N sintetase atau siklase.
Isopenisilin N kemudian diubah menjadi penisilin N dengan mengubah
gugus samping L--aminoadipyl menjadi D--aminoadipyl menggunakan enzim
isopenisilin

epimerase

(IPNE).

Penisilin

kemudian

diubah

menjadi

deasetoksisefalosporin C yang memiliki cincin dihidrothiazin dengan menggunakan


enzim deasetoksisefalosporin C sintetase. Enzim deasetilsefalosporin sintetase
kemudian mengkatalisasi reaksi hidroksilasi deasetoksisefalosporin C pada gugus
metil C-3 untuk menghasilkan deasetilsefalosporin C. Dalam A. chrysogenum, baik
ekspansi cincin maupun aktivitas hidroksilasi bertempat pada protein yang sama,
yang dikodekan oleh satu gen. Berbeda dengan fungi, S. clavuligerus dan N.
lactamdurans menghasilkan dua enzim berbeda, ekspandase dan hidroksilase,
untuk mengkatalisasi kedua reaksi, yang dihasilkan oleh dua gen terpisah.
Pada A. chrysogenum, langkah terakhir dalam biosintesis sefalosporin
C, dikatalisasi oleh enzim sefalosporin C sintetase (asetiltransferase), yang
melibatkan transfer satu gugus asetil dari koenzim asetil A ke gugus hidroksimetil
atom C-3 pada deasetilsefalosporin C.
Kebanyakan gen yang berperan dalam biosintesis sefalosporin pada A.
chrysogenum telah teridentifikasi dan dikarakterisasi secara biokimia. Kode gen
untuk enzim yang terlibat dalam biosintesis senyawa intermediat LLD-ACV dan
isopenisilin N yang umum disebut pcb (penisilin/cephalosporin biosintesis). Kode
gen untuk enzim lainnya yang terlibat dalam biosintesis sefalosporin disebut cef.
Pembentukan tripeptida oleh enzim ACV sintetase dikodekan oleh gen pcbAB.
Pembentukan siklik tripeptida dengan bantuan enzim isopenisilin N sintetase yang
dikodekan oleh gen pcbC. Gen cefD1 dan cefD2 berperan dalam membentuk
protein untuk konversi isopenisilin N menjadi penisilin N. Sedangkan gen cefE dan
cefF masing-masing menghasilkan protein yang berperan dalam membentuk
deasetoksisefalosporin C dan deasetisefalosporin C; yang bisa juga dengan gen
cefEF. Langkah terakhir dalam biosintesis untuk menghasilkan sefalosporin C diatur
oleh gen cefG.

13

Lintasan Biosintetik Sefalosporin C

Jalur biosintesis sefalosporin dan penisilin memiliki banyak kesamaan,


mulai dari kondensasi tiga asam amino, hingga terbentuknya isopenisilin N. Tahap
14

yang membedakan kedua proses tersebut dimulai dari proses konversi isopenisilin
N, di mana dalam biosintesis sefalosporin C, terjadi pengubahan isopenisilin N
menjadi penisilin N, sedangkan pada biosintesis penisilin G (contohnya) tidak
mengalaminya. Tentu saja pembeda utama dari kedua proses tersebut adalah
mikroorganisme yang digunakan; Acremonium chrysogenum untuk sefalosporin dan
Penicillium chrysogenum (Penicillium sp.) untuk penisilin.

Perbedaan Jalur Biosintesis Penisilin dan Sefalosporin

Penggunaan mikroorganisme lain selain A. chrysogenum dapat


menghasilkan senyawa metabolit yang lain. Salah satu proses yang terkenal yaitu
produksi sefamisin C dengan menggunakan Streptomuces clavuligerus dan
Nocardia lactamdurans. Jalur biosintesis sefamisin C berbeda dari sefalosporin C
pada tahap sesudah terbentuk deasetilsefalosporin C. Untuk jalur biosintetik
sefamisin C masih terjadi konversi lebih dari 1 tahap, yaitu menjadi OCarbamoyldeacetylcephalosporin C kemudian baru diubah dengan enzim sefamisin
hidrolase atau sefamisin metiltransferase menjadi sefamisin C.
15

Perbedaan Jalur Biosintesis Sefalosporin C dan Sefamisin C

4. Pengembangan Inokulum untuk Produksi Sefalosporin


Germinasi dilakukan dan inokulum dipersiapkan sebelum proses
fermentasi. Menurut Kanzaki, et al (1976), proses produksi sefalosporin C (CPC)
untuk fermenter berkapasitas 2000 volume bagian diisi dengan 500 volum bagian
medium inokulum yang terdiri dari 3% sukrosa, 1,5% ekstrak daging, 0,5% corn
steep liquor, dan 0,15% CaCo3, yang sesudah disterilisasi, diinokulasikan dengan
Cephalosporium acremonium (sekarang Acremonium chrysogenum). Fermenter
yang telah diinokulasi diinkubasikan pada 28oC selama 3 hari. Sementara tangki
stainless-steel dengan kapasitas 50000 volume bagian diisi dengan 30000 volume
bagian medium dengan 6% sukrosa, 5% glukosa, 3% minyak kacang, 3% tepung
kedelai, 1% DL-methionin dan 0,15% CaCO 3. Medium disterilisasi dan didinginkan.
Medium fermentasi secara aseptik diinokulasikan dengan kultur inokulum yang
dipersiapkan di atas dan diinkubasikan pada 28oC dengan sparging dan agitation
(aerasi 30000 volume bagian tiap menit dan agitasi pada 250 rpm). Sesudah waktu
kultivasi 190 jam, hasil fermentasi diambil dan disaring untuk menghilangkan
padatannya.
5. Proses Produksi Sefalosporin
16

Sefalosporin

dihasilkan

secara

industri

dengan

fermentasi

menggunakan A. chrysogenum. pH diatur antara 6 hingga 7 dalam rentang


temperatur 24 sampai 28 oC. Fermentasi dilakukan dalam tangki bioreaktor yang
diaerasi dan berpengaduk dengan kultur submerged.
Fermentasi skala produksi dilakukan secara fed-batch dengan suplai
karbon dimasukkan baik sebagai karbohidrat sederhana maupun kompleks pada
awal proses, yaitu ketika fasa pertumbuhan dalam fermentasi. Selama fermentasi
berlangsung, suplai gula dikurangi dan digantikan dengan sumber karbon dan
energi lain seperti lipid. Pengubahan energi dari lipid, contohnya minyak kacang
tergolong rendah efisiensi sehingga pertumbuhan menjadi lambat, dan miselium
vegetatif banyak yang berubah menjadi arthtospora multiselular. Tahap arthrospora
akan mengakibatkan ketersediaan oksigen yang tinggi bagi mikroorganisme dan
berakhir pada produksi sefalosporin yang cepat.
Penambahan DL-Metionin dilakukan ketika awal fasa pertumbuhan
dalam fermentasi, untuk membantu meningkatkan perubahan miselium menjadi
arthrospora. Pembentukan arthrospora juga berkorelasi dengan oksigen terlarut.
Semakin besar jumlah oksigen terlarut, maka pembentukannya semakin cepat.
Akan tetapi jumlah maksimalnya tetap terbatas karena pengaruhnya terhadap kerja
enzim tertentu.
Salah satu yang menjadi permasalahan dalam fermentasi sefalosporin
adalah ketidakstabilan molekul sefalosporin C selama proses. Ini menjadi penyebab
utama perolehan produk sefalosporin dalam siklus industri panjang yang semakin
berkurang dibanding produksi penisilin dalam siklus panjang.
Sefalosporin dapat terdegradasi menjadi senyawa X (asam 2-(D-4amino-4-karboksibutil)-thiazole-4-karboksilat), yang bisa berakibat pada kehilangan
hingga 40% produk sefalosporin yang dihasilkan. Pada pH lebih kecil dari 2,
sefalosporin C dapat terdegrasi menjadi sefalosporin C laktone.

17

Pembentukan Senyawa X dan Sefalosporin C Laktone Akibat Perubahan pH

6. Perolehan Produk
Setelah fermentasi selesai, miselia dan komponen medium yang tidak
larut biasanya dibuang secara filtrasi atau sentrifugasi. Dalam hasil fermentasi,
selain

sefalosporin

juga

terdapat

sejumlah

kecil

penisilin

N,

deasetoksisefalosporin C, dan deasetilsefalosporin C. Pengambilan sefalosporin C


dapat dilakukan dengan cara ekstraksi.
Pada kondisi netral dan sedikit asam, dapat terjadi konversi sefalosporin
C menjadi senyawa X. Pada pH lebih kecil dari 2, akan terbentuk sefalosporin C
laktone. Untuk meminimalisir terjadinya degradasi ini, pengambilan sefalosporin C
harus dilakukan secepat mungkin, dan menghindari kondisi pH ekstrim dan suhu
tinggi.
Proses pemisahan produk sefalosporin C lebih kompleks dibanding
penisilin karena sifatnya yang amfoter menjadi hambatan dalam ekstraksi dengan
pelarut organik. Antibiotik ini dapat dipisahkan dengan kombinasi penukar ion dan
presipitasi. Penggunaan resin makrosporous seperti XAD-2 dan XAD-4 akan
menghasilkan isolasi yang lebih murni dan menghilangkan pengotor lebih banyak.
Proses pemurnian dan recovery produk sefalosporin C dimulai dengan
pendinginan temperatur menjadi 3-5oC diikuti dengan penghilangan padatan miselial
18

secara filtrasi ataupun sentrifugasi. Hasil proses tersebut adalah sefalosporin C


dengan beberapa macam prekursor dalam jumlah kecil, seperti penisilin N, DAOC,
deasetilsefalosporin C, dan hingga senyawa X.
Ada dua strategi utama untuk memurnikan sefalosporin C. Pertama,
menggunakan karbon aktif atau resin non-ionik. Karena selektivitas yang tinggi dari
resin, sefalosporin C lebih disukai untuk teradsorpsi dibanding senyawa lainnya.
Kebanyakan penisilin N hilang pada langkah asidifikasi hingga pH 2,0. Kemudian
dilanjutkan dengan tambahan penukar anion dan kation untuk mendapatkan
sefalosporin dengan kualitas tinggi. Sejumlah besr fraksi sefalosporin C kemudian
diubah menjadi 7-ACA untuk kemudian diubah lagi menjadi sefalosporin semisintetik
atau turunan.
Strategi pemurnian kedua yaitu dengan substitusi gugus amin pada C-7
rantai samping alpha-aminoadipyl. Dua senyawa turunan hasil subtitusi, N-2,4diklorobenzoil sefalosporin C dan tetrabromokarboksibenzoyl sefalosporin C, dapat
dikristalkan dari larutan asam. Garam kemudian terbentuk antara turunan Nsubtitusi dan basa organik seperti disikloheksilamin atau dimetilbenzilamin,
menghasilkan garam sefalosporin yang dapat diekstraksi. Sefalosporin yang sudah
terekstrak kemudian diubah menjadi 7-ACA untuk proses lainnya.
Proses pengubahan sefalosporin C menjadi 7-ACA menggunakan enzim
efisien agar biaya dapat dikurangi. Tahap inisiasi adalah reaksi gugus alphaaminoadipyl dengan asam D-amino oksidase untuk menghasilkan glutaryl-7-ACA.
Reaksi ini berlangsung dengan melalui intermediat keto-7-ACA yang mengalami
dekarboksilasi oksidatif dengan kehadiran hidrogen peroksida. Glutaryl asilase
kemudian

digunakan

untuk menghilangkan

menghasilkan 7-ACA.

19

gugus

samping

glutaryl

untuk

Struktur glutaryl-7-ACA dan glutarat

Sekitar sepertiga dari sefalosporin komersial adalah turunan dari 7ADCA. Karena biaya yang lebih rendah, 7-ADCA umumnya diperoleh dari penisilin
G dengan cara ekspansi cincin sebuah ester sulfoksida penisilin untuk
menghasilkan ester sefalosporin. Gugus ester kemudian dihilangkan diikuti
penghilangan gugus fenilasetil untuk menghasilkan 7-ADCA. Sementara dua pertiga
dari sefalosporin komersial merupakan turunan 7-ACA yang dihasilkan dari
sefalosporin C baik secara kimiawi maupun enzimatik.
7. Pengolahan Limbah Industri Sefalsoporin
Limbah yang dihasilkan oleh industri sefalosporin cukup berbahaya
karena mengandung bahan beracun biologis yang sulit terurai sehingga dapat
mencemari lingkungan dan makhluk hidup. Kadar substansi organik atau substansi
koloid-padat masih cukup tinggi, dan nilai pH yang bervariasi, serta mengandung
substansi biotoksik tidak terurai dan antibiotik bakteristatik.
Menurut Duan Haixia (2009), pengolahan limbah produksi sefalosporin
dapat dilakukan dengan perlakuan (treatment) biokimia secara proses yang disebut
asidifikasi hidrolitik-Up-flow Anaerobic Sludge Bed (UASB)-Sequencing Batch
Reactor Activated Sludge Process (SBR)-Biological Activated Carbon (BAC).
20

Dengan menggunakan reaksi hidrolitik dan bakteri penghasil asam,


substansi organik yang undegradable dapat diubah menjadi materi biodegradable
dengan ukuran lebih kecil. Lama-kelamaan tingkat biodegradability akan meningkat
dan mengurangi muatan (charge) untuk proses-proses selanjutnya.
Reaktor UASB memiliki struktur dasar yang terdiri dari unggun lumpur
(sludge bed), layer suspensi lumpur, zona presipitasi, sistem pemisah tiga fasa dan
intake, dan butiran kecil lumpur dalam zona reaksi. Selama proses, air limbah
mengalir dari bawah reaktor dan melalui zona reaksi (sludge zone) menuju zona
separasi tiga fasa (gas, liquid, dan solid), hingga akhirnya masuk dalam zona
presipitasi. Lumpur dalam campuran akan kembali ke zona reaksi di bawah akibat
gravitasi, sambil membawa campuran biogas yang akan dikeluarkan melalui pipapipa. Tidak terdapat pengaduk mekanik dalam sistem UASB, dan biasanya tidak
diperlukan filter, sehingga sistem UASB memiliki struktur yang mudah dan gampang
dipertahankan.
Metode SBR, atau dinamakan reaktor sequencing batch, merupakan
regenerasi dan modifikasi dari reaktor pengisian-dan-pengosongan. SBR digunakan
dalam treatment anaerobik proses subsekuen, untuk menjamin agar standar bahan
yang dikeluarkan telah terpenuhi. Teknologi BAC menggunakan karbon aktif yang
memiliki area permukaan spesifik yang luas dan struktur kosong yang telah
dikembangkan sebagai pembawa untuk agregasi, propagasi, dan pertumbuhan
mikroorganisme, dan pada kondisi temperatur dan nutrisi moderat, mendesak
penurunan mikrobiologikal secara simultan.
Dalam proses reaktor yang normal, pengurangan COD dari reaktor
asidifikasi hidrolitik dan UASB berkisar 36%-55% dan 80%-90%. Kadar lumpur
reaktor SBR adalah 0,40 kg COD/(kgMLSS-d), dan pengurangan COD 80%-85%.
BAC yang telah dikembangkan dapat menghilangkan COD dan kroma dari air
limbah secara aerobic treatment.

21

Diagram proses untuk pengolahan limbah industri sefalosporin (Duan Haixia, 2009)

Kurva perubahan COD dalam proses asidifikasi hidrolitik

22

Kurva perubahan COD dalam proses SBR

Kurva perubahan COD dalam proses SBR

23

Removal COD dan Chrome dari kolom BAC

24

DAFTAR PUSTAKA

Andes, D. and Craig, W.A. (2006). Pharmacodynamics of a New Cephalosporin, PPI0903 (TAK-559), Active Against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
in Murine Thigh and Lung Infection Models: Identification of an In Vivo
Pharmacokinetic-Pharmacodynamic Target. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. Vol 40 No: 4, April 2006, 1376-1383.
Demain, A.L., et al (1962). Effect of Methionine, Norleucine, and Lysine Derivatives
on Cephalosporin C Formation in Chemically Defined Media. 27 Agustus
1962, 339-344.
Duan, Haixia (2009). Study on the Treatment Process of Wastewater from
Cephalosporin Production. Journal of Sustainable Development. Vol 2 No: 2,
Juli 2009. 133-136
Elander, R.P. (2003). Industrial Production of -lactam Antobiotics. Journal of
Application Microbiology Biotechnology, 61, 3 April 2003, 385-392.
Flickinger, M.C. and Stephen W. Drew (1999). Encyclopedia of Bioprocess
Technology: Fermentation, Biocatalysis, and Bioseparation. John Wiley &
Sons, Inc. New York, United States of America, 560-569.
Hewinson, R. Glyn, et al (1986). The Permeability Parameter of the Outer Membrane
of Pseudomonas aeruginosa Varies with the Concentration of a Test
Substrate, Cephalosporin C. Journal of General Microbiology. 132, 19 Juli
1985, 27-33.
Kanzaki, et al (1976). Production of Cephalosporin C. US Patent. 6 April 1976.
Kim, Youngsoo and Hol, Wim G.J. (2001). Structure of Cephalosporin Acylase in
Complex with Glutaryl-7-aminocephalosporanic acid and Glutarate: Insight
into the Basis of Its Substrate Specificity. Chemistry & Biology. Vol 8 No: 12,
November 2001, 1253-1264.
Muniz, Carolina Campos, et al (2007). Penicllin and Cephalosporin Production: A
Historical Perspective. Journal of Microbiology. Vol 49 No: 3-4, December
2007, 88-98.
Nigam, Vinod Kumar, et al (2007). Influence of Medium Constituents on the
Biosynthesis of Cephalosporin-C. Journal of Biotechnology. Vol 10 No: 2, 15
Aptil 2007.
Othmer, Kirk. Encyclopedia of Chemical Technology. John Wiley & Sons, Inc. United
States of America. 1-40
Pichichero, Michael E. (2006). Cephalosporins Can Be Prescribed Safely For
Penicllin-Allergic Patients. Applied Evidence.Vol 55 No: 2, 23 Januari 2006,
106-112.

25

Saravanne, R. and Lavanya, M . (2006). Anaerobic Stabilization and Recalcitrant


Antibiotic Transformation Under Acclimed Inoculum-Substrate Matrix. Water
Environment. 1739-1746.
Srivastava, Pradeep, et al (2006). Process Strategies for Cephalosporin C
Fermentation. Journal of Scientific & Industrial Research. Vol 65, July 2006,
599-602.

26

Anda mungkin juga menyukai