Anda di halaman 1dari 77

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma
dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat
menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Asma merupakan
sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari
data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia.
Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan
ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik
dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995,
prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik
11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.
Bronkitis akut biasanya terjadi pada kasus penyakit pernapasan akut dengan
batuk parah dan berkepanjangan yang merupakan komplikasi dari penyakit saluran
napas atas (common cold, influenza) dan berlanjut setelah tanda-tanda dan gejala
infeksi akut lainnya telah mereda.Sedangkan bronkitis kronik adalah kelainan saluran
napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. TB merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia ini.
WHO telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. TB MDR adalah M.
tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa
OAT lainnya. Sedangkan TB dengan HIV adalah kasus dimana pada daerah dengan
angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan Koinfeksi TB
HIV lebih banyak terjadi. Sebanyak 11-13% kasus TB adalah HIV Positif dan 80%
kasus TB HIV berasa dari regio Afrika. Pada tahun 2009, diperkirakan kasus TB

1
MDR sebanyak 250.000 kasus (230.000-270.000 kasus) tetapi hanya 30.000 kasus
yang sudah terkonfirmasi.

1.2 Tujuan
1. Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Solok tahun 2017
2. Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian paru
di RSUD Solok tahun 2017

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma
2.1.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

2.1.2 Faktor Risiko Asma


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi),
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi
individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma,
menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma
menetap.
Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja,
asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan
besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan
melalui kemungkinan :
- Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma,
- Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit
asma.

3
1. Faktor Pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.
Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/
kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma,
dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus,
kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma,
maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi,
walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1,
reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan
asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2,
CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB,
2. Faktor Lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab
utama asma, dengan pengertian faktor tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan
napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan
serangan asma dan menyebabkan menetapnya gejala.

2.1.3 Diagnosis Asma


Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup membantu
diagnosis.

4
Untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
a. Riwayat penyakit/gejala :
a. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
c. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
d. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
e. Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


a. Riwayat keluarga (atopi)
b. Riwayat alergi / atopi
c. Penyakit lain yang memberatkan
d. Perkembangan penyakit dan pengobatan

b. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada
keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas,
mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang
sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas

5
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain
untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif
menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
- Obstruksi jalan napas
- Reversibiliti kelainan faal paru
- Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas
b) Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan
penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-
3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari
nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
- Menilai derajat berat asma

6
c) Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF
meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan
mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas
ataupun instalasi gawat darurat.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
- Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,
atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu).
- Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan
menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi) .

d) Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis


Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan
uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu
berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada
penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.

Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan
uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai
nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi

7
faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan
dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara
yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif
maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada
lengan tempat uji kulit, dan lain-lain).

2.1.4 Klasifikasi Asma


Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara.
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis

Derajat Asma Gejala Gejala Faal paru


Malam
I. Intermiten Bulanan APE 80%
* Gejala <1x/minggu * 2 kali * VEP1 80% nilai
* Tanpa gejala di luar sebulan prediksi
serangan APE 80% nilai terbaik
* Serangan singkat * Variabiliti APE < 20%
II. Persisten Mingguan APE > 80%
Ringan
* Gejala > 1x/minggu, * > 2 kali * VEP1 80% nilai
tetapi < 1x/ hari sebulan prediksi
* Serangan dapat APE 80% nilai terbaik
mengganggu aktiviti * Variabiliti APE 20-30%
dan tidur
III. Persisten Harian APE 60 80%

8
Sedang
* Gejala setiap hari * > 1x / * VEP1 60-80% nilai
* Serangan seminggu prediksi
mengganggu APE 60-80% nilai
aktiviti dan tidur terbaik
*Membutuhkan * Variabiliti APE > 30%
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten Kontinyu APE 60%
Berat
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 60% nilai
* Sering kambuh prediksi
* Aktiviti fisik terbatas APE 60% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%

Tabel 2. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut


Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan
Ringan Sedang Berat
Tanda Mengancam Jiwa
Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk
terlentang Membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi
kata
Kesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah gelisah, kesadaran
menurun
Frekuensi <20/menit 20-30/menit >30/menit
Nafas
Nadi <100/menit 100- >120/menit Bradikardia
120/menit
Pulsus - + + -
paradoksus 10mmHg 10-20mmHg >25mmHg Kelelahan Otot
Otot Bantu - + + Torakoabdominal

9
Napas dan Paradoksal
retraksi
suprasternal
Mengi Akhir Akhir Inspirasi dan Silent Chest
ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE >80% 60-80% <60%
PaO2 >80 mmHg 60-80 mmHg <60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%

2.1.5 Penatalaksaan Asma


Tujuan penatalaksanaan asma yaitu:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Menupayakan aktifitas normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible
7. Mencegah kematian karena asma

Program penatalaknaan asma, yang meliputi 7 komponen, yaitu:


1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiti dan menjaga penderita
agar tetap masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya pengobatan.
Edukasi tidak hanya pada penderita tetapi juga kepada keluarga.
2. Menilai dan Monitor Berat Asma secara berkala
Penilaian klinis berkala anatara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh
penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.

10
3. Identifikasi dan Mengendalikan Faktor Pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus akan
tetapi sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya.
Sehingga identifikasi faktor pencetus harus dilakukan untuk mencegah
timbulnya serangan berulang.
4. Perencanaan Pengobatan Jangka Panjang
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal
dalam waktu satu bulan (asma terkontrol, lihat program penatalaksanaan) .
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol,
terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan :
- Medikasi (obat-obatan)
- Tahapan pengobatan
- Penanganan asma mandiri (pelangi asma)

1) Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
a) Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol
asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering
disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
- Kortikosteroid inhalasi
- Kortikosteroid sistemik
- Sodium kromoglikat
- Nedokromil sodium
- Metilsantin
- Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

11
- Agonis beta-2 kerja lama, oral
- Leukotrien modifiers
- Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan
steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti
A). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten
(ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan
aman pada dosis yang direkomendasikan.

Tabel 3. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi

12
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan
digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat
(setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik
daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari.
Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan
asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol
(walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma),
maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu
terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral
jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten
sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi,
maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal
di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa
hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :

13
- gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek
dan efek striae pada otot minimal
- bentuk oral, bukan parenteral
- penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari

Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan
nedokromil sodium belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui
merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan
mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang
bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi
tertentu (makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan
menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten
ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat
dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif
jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi
(bukti B). Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk
menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping
umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat
melakukan inhalasi .

Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi
berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi
pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi
melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi
rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek

14
antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan
studi menunjukkan tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas.
Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan pada
serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral
diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat,
sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.

Agonis beta-2 kerja lama


Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>
12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi
otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan
mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian
jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi
agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai
efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian
inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasi

Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-
lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin
(contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas,
zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator,
juga mempunyai efek antiinflamasi.
b) Pelega (Reliever)

15
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
- Agonis beta2 kerja singkat
- Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai
obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah
optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya
dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
- Antikolinergik
- Aminofillin
- Adrenalin

Agonis beta-2 kerja singkat


Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol,
dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu
mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat
dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek
samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis
beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi
penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada
serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-
induced asthma .

Metilsantin

16
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatornya
lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofilin
kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau
onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin
kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta 2 kerja
singkat dosis adekuat , memperkuat fungsi otot pernapasan dan
mempertahankan respons terhadap agonis beta-2.

Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok
efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik
vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi
yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-
2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk
mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap
inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan
ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi
agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal
paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna
(bukti B). Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator
pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang
kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek
bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang,
dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan
efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti

17
takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di
mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi
mukus.

Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,
bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis
beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-
hatipada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular.
Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus
dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
a) lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
b) efek sistemik minimal atau dihindarkan
c) beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi
pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator
adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi:
a) Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)
b) IDT dengan alat Bantu (spacer)
c) Breath-actuated MDI
d) Dry powder inhaler (DPI)
e) Turbuhaler
f) Nebuliser

2) Tahap Pengobatan

18
Tabel 4. Pengobatan sesuai berat asma
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi Alternatif / Pilihan Alternatif lain
pengontrol harian lain
Asma Tidak perlu - -
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid -
Persisten inhalasi - Teofilin lepas lambat
Ringan (200-400 ug BD/hari - Kromolin
atau ekivalennya) - Leukotriene modifiers

Asma Kombinasi inhalasi - Glukokortikosteroid Ditambah agonis beta-


Persisten glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug 2 kerja lama oral, atau
Sedang (400-800 ug BD/hari BD atau
atau ekivalennya) ekivalennya) Ditambah teofilin
dan ditambah Teofilin lepas lambat
agonis beta-2 kerja lepas lambat ,atau
lama
- Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau
ekivalennya)
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, atau

- Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau

19
- Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/
Persisten glukokortikosteroid metilprednisolon oral
Berat (> 800 ug BD atau selang sehari 10 mg
ekivalennya) dan ditambah agonis beta-
agonis beta-2 kerja 2 kerja lama oral,
lama, ditambah 1 ditambah teofilin lepas
di bawah ini: lambat
- teofilin lepas
lambat
- leukotriene
modifiers
-
glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan: bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan
kondisi asma tetap terkontrol.

3) Penanganan Asma Mandiri


Tabel 5. Pelangi Asma

20
5. Menetapkan Pengobatan pada Serangan Akut

21
Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit

22
23
Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah

24
Table 6. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan

25
6. Kontrol Secara Teratur
Penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting
diperhatikan oleh dokter yaitu:
- Tindak lanjut teratur
- Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut jika
diperlukan

Rujuk kasus ke ahli paru layak dilakukan pada keadaan :


- Tidak Respons Dengan Pengobatan
- Pada Serangan Akut Yang Mengancam Jiwa
- Tanda Dan Gejala Tidak Jelas(Atipik), Atau Masalah Dalam Diagnosis
Banding, Atau Komplikasi Atau Penyakit Penyerta (Komorbid); Seperti
Sinusitis, Polip Hidung, Aspergilosis (ABPA), Rinitis Berat, Disfungsi
Pita Suara, Refluks Gastroesofagus Dan PPOK.
- Dibutuhkan Pemeriksaan/ Uji Lainnya Di Luar Pemeriksaan Standar,
Seperti Uji Kulit (Uji Alergi), Pemeriksaan Faal Paru Lengkap, Uji
Provokasi Bronkus, Uji Latih (Kardiopulmonary Exercise Test),
Bronkoskopi Dan Sebagainya.

7. Pola Hidup Sehat


- Meningkatkan kebugaran fisis
- Berhenti atau tidak pernah merokok
- Lingkungan kerja

2.2. STATUS ASMATIKUS


2.2.1. Definisi

Status asmatikus adalah episode perburukan gejala yang progresif dari sesak,
batuk, mengi, atau rasa berat di dada.

26
2.2.2. Diagnosis

1. Anamnesa
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah
digunakan, respon pengobatan, waktu mulai terjadinya dan penyebab/pencetus
serangan saat itu, dan ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan keadaan
fatal/kematian yaitu:
1. Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ventilasi mekanis
2. Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke gawat darurat
dalam satu tahun terakir.
3. Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja
menghentikan salbutamol atau ekivalennya.
4. Dengan gangguan/penyakit psikiatri atau masalah psikososial
termasuk penggunaan sedasi
5. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma.

2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana


Pada fasilitas layanan kesehatan sederhana dengan kemampuan
sumber daya manusia terbatas, dapat hanya menekankan kepada:
a. Posisi penderita
b. Cara berbicara
c. Frekuensi napas
d. Penggunaan otot-otot bantu napas
e. Nadi
f. Tekanan Darah (pulsus paradoksus)
g. Ada tidak mengi

3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pada serangan asma, APE sebaiknya diperiksa sebelum pengobatan,
tanpa menunda pemberian pengobatan. Pemeriksaan ini jika alat
tersedia.

27
2) Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry dapat dilakukanbila alat
tersedia.
3) Pemeriksaan analisis gaas darah dilkakukan jika fasilitas tersedia

Tabel 7. Serangan Akut Asma


Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan
Ringan Sedang Berat
Tanda Mengancam Jiwa

Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat


Posisi Dapat tidur Duduk Duduk
terlentang Membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata
Kesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah gelisah, kesadaran
menurun
Frekuensi <20/menit 20-30/menit >30/menit
Nafas
Nadi <100/menit 100-120/menit >120/menit Bradikardia
Pulsus 10mmHg 10-20mmHg >25mmHg -
paradoksus Kelelahan Otot
Otot Bantu - + + Torakoabdominal
Napas dan Paradoksal
retraksi
suprasternal
Mengi Akhir ekspirasi Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent Chest
paksa ekspirasi

APE >80% 60-80% <60%


PaO2 >80 mmHg 60-80 mmHg <60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%

2.2.3. Penatalaksanaan Komprehensif

Penatalaksanaan Asma di Rumah Sakit


Penilaian Berat Serangan
si, otot bantu nafas, denyut jantung, frekuensi nafas) dan faal paru (APE atau VEP1 Saturasi O2 ) dan k

28
Terapi Awal
-Oksigenasi untuk mencapai 95%
-Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat secara kontinyu dalam 1 jam
-Glukokortikosteroid sistemik jika pasien tak ada respons segera atau
sebelumnya pasien telah mendapat glukokortikosteroid oral atau jika
serangan hebat

Re-evaluasi setelah 1 jam Pem. Fisik, APE, saturasi

Respon Baik Respon Buruk


-Gejala (batuk/berdahak/ -Gejala menetap atau bertambah
berat
sesak/mengi) membaik. -APE <60 %/prediksi/nilai
-Perbaikan dengan agonis beta-2 terbaik
1. Agonis beta-2 diulang
dan bertahan selama 4 jam. APE 2. tambahkan glukokortiko-
> 80% prediksi/nilai terabaik Steroid sistemik

Respon Baik
1. Lanjutkan inhalasi agonis beta-2 setiap
3- 4 jam untuk 24 - 48 jam
Alternatif : Bronkodilator oral setiap 6-8
jam
2. Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis
RUJUK
tinggi (bila sedang menggunakan steroid
inhalasi) selama 2 minggu, kmd kembali 29
ke dosis sebelumnya
Catatan : Jika algoritma di atas tidak dapat digunakan, dokter dapat menggunakan
obat-obat alternatif pada tabel Daftar Obat- Obat Asma

Tabel 8. Pengobatan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat Pengobatan


SERANGAN PENGOBATAN TEMPAT
PENGOBATAN
RINGAN Terbaik: Di rumah
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat Di praktek dokter/
tunggal atau dikombinasikan dengan klinik/puskesmas
antikolinergik
Alternatif:
Kombinasi oral agonis beta-2 dan
aminofilin/teofilin
SEDANG Terbaik: Darurat gawat/RS
Nebulasi agonis beta-2 tiap 4 jam Klinik
Alternatif: Praktek Dokter
-Agonis beta-2 subkutan Puskesmas
-Aminofilin IV
-Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan
O2 bila mungkin
Kortikosteroid sistemik

30
BERAT Terbaik: Darurat gawat/RS
Nebulasi agonis beta-2 tiap 4 jam Klinik
Alternatif:
-Agonis beta-2 SK/IV
-Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan

Aminofilin bolus dilanjutkan drip


O2
Kortikosteroid IV

MENGANCAM Seperti serangan akut berat Darurat Gawat/RS


JIWA Pertimbangkan intubasi dan ventilasi ICU
mekanik

Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, prakter dokter/ puskesmas)


tergantung kepada fasilitas yang tersedia :
1. Respon terapi tidak adekuat dalam 1-2 jam
2. Obstruksi jalan napas yang menetap (APE < 30% nilai terbaik/prediksi)
3. Riwayat serangan asma berat, perawatan rumah sakit/ICU sebelumnya
4. Dengan riwayat tinggi(lihat di riwayat sebelumnya)
5. Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang membuthkan pertolongan
saat itu
6. Pengobatan yang tidak adekuat sebelumnya
7. Kondisi rumah yang sulit/ tidak menolong
8. Masalah / kesulitan dalam transport atau mobilisasi ke rumah sakit

Kriteria Pulang
Pertimbangan untuk memulangkan pada penderita di layanan primer:

31
1. Bila terjadi perbaikan klinis, yaitu: keluhan berkurang, frekuensi napas
kembali normal, mengi menghilang, nadi dan tekanan darah kembali normal,
pasien dapat bernapas tanpa otot-otot bantu napas, pasien dapat berbicara
lebih lancar atau berjalan, atau kesadaran membaik.
2. Bila APE pasca tatalaksana awal 40-60% nilai terbaik/ prediksi dengan
pengawasan ketat di komunitas.
3. Bila APE pasca tatalaksana awal > 60% nilai terbaik/ prediksi dan pasien
dapat menggunakan obat inhalasi atau oral dengan patuh.
4. Penderita dirawat inap

Kriteria Rujukan
Tidak respons dengan pengobatan, ditandai dengan:
a. Tidak terjadi perbaikan klinis
b. Bila APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai terbaik/ prediksi; atau APE
pasca tatalaksana < 40% nilai terbaik/ prediksi.
c. Serangan akut yang mengancam jiwa
d. Tanda dan gejala tidak jelas (atipik), atau masalah dalam diagnosis banding,
atau komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti sinusitis, polip
hidung, aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks
gastroesofagus dan PPOK.
e. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar, seperti uji
kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi bronkus, uji
latih (kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi dan sebagainya.

Konseling dan Edukasi


1. Meningkatkan kebugaran fisis
2. Berhenti merokok
3. Menghindari pencetus di lingkungan sehari-hari

32
2.3. ASTHMA CONTROL TEST (ACT)
2.3.1. Definisi

Asthma Control Test (ACT) adalah Tes Kontrol asma, berisi 5 pertanyaan dan
masing-masing pertanyaan mempunyai skor 1 sampai 5, sehingga nilai ACT adalah 5
dan tertinggi 25, Interpretasinya :
Bila 19 berarti asma terkontrol sedang, <15 dikatakan tidak terkontrol.
20-24 dikatakan terkontrol baik.
25 dikatakan terkontrol total/sempurna.

No Pertanyaan 1 2 3 4 5
1 Dalam 4 minggu Selalu Sering Kadang Jarang Tidak Ada
terakhir seberapa
sering penyakit asma
mengganggu anda
untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari
dikantor, disekolah
dan dirumah ?
2 Dalam 4 minggu >1x sehari 1x 3-6x 1-2x Tidak
terakhir seberapa sehari sehari seminggu pernah
sering anda mengakui
sesak nafas ?
3 Dalam 4 minggu >4x 2-3x 1x 1-2x Tidak
terakhir seberapa seminggu seming seminggu seminggu pernah
sering gejala asma gu
(bengek, batuk, sesak
nafas , nyeri dada/ rasa
tertekan didada)
menyebabkan
terbangun dimalam

33
hari/ lebih awal dari
biasanya ?
4 Dalam 4 minggu 3x sehari 1-2 2-3 1x Tidak
terakhir seberapa anda sehari seminggu seminggu pernah
menggunakan obat atau
semprot atau obat kurang
minum (tablet/sirup)
untuk melegakan
pernafasan ?
5 Bagaimana anda Tidak Kurang Cukup Cukup Terkontrol
sendiri menilai tingkat terkontrol terkontr terkontrol terkontrol sepenuhnya
kontrol / kendali asma ol dengam
anda dalam 4 minggu baik
terakhir.

2.3.2. Tingkat Kontrol Asma

Karakteristik Kontrol Penuh Terkontrol Tidak terkontrol


Sebagian
Gejala harian Tidak ada >2x seminggu 3
(2x/minggu )
Keterbatasan Tidak ada Ada Gambaran asimetris
aktivitas Kontrol sebagian
Gejala nokturnal Tidak ada Ada
ada dalam setiap
(terbanyak karena
minggu
asma)
Kebutuhan pelega Tidak ada 2x seminggu
Fungsi paru (2x/minggu ) 80% prediksi
(APE/VEP1)
Eksaserbasi Tidaka ada 1/th 1x/minggu

2.4. BRONKITIS AKUT


2.4.1. Definisi

34
Bronkitis akut adalah peradangan akut/ kerusakan langsung pada membran
mukosa bronkus dan cabang-cabangnya karena pelepasan zat inflamasi dalam
menanggapi infeksi , meningkatkan produksi dan atau penurunan clearance sekresi
pernapasan yang mengakibatkan terjadinya edema dan pembentukan mucus.
Bronkitis akut biasanya terjadi pada kasus penyakit pernapasan akut dengan
batuk parah dan berkepanjangan yang merupakan komplikasi dari penyakit saluran
napas atas (common cold, influenza) dan berlanjut setelah tanda-tanda dan gejala
infeksi akut lainnya telah mereda. Batuk terjadi selama minggu pertama sakit pada
30% dari pilek rhinovirus pada orang dewasa muda dan 80% atau lebih dari kasus
influenza. Infeksi virus, yang sering berkepanjangan. Infeksi adenovirus khas
melibatkan tracheobronchial. Jarang merupakan penyakit tersendiri. Pada pneumonia
biasanya selalu disertai bronkitis akut.

2.4.2. Etiologi

a. Virus
- adenovirus
- Influenza
- Para influenza

b. Bakteri sekunder
- H. Influenza
- S. aureus
c. Polutan seperti asap rokok.

2.4.3. Diagnosis

a. Anamnesis
- Batuk dan produksi sputum adalah gejala yang paling umum biasanya
terjadi setiap hari. Intensitas batuk, jumlah dan frekuensi sputum

35
bervariasi dari pasien ke pasien. Dahak berwarna bening, putih, atau
hijau kekuningan.
- Dyspnea, secara bertahap meningkat dengan tingkat keparahan
penyakit.
- Gejala kelelahan, sakit tenggorokan, nyeri otot, hidung tersumbat dan
sakit kepala selama 3-4 hari dapat menyertai gejala utama.
- Demam dapat mengindikasikan infeksi paru-paru sekunder virus atau
bakteri.
b. Pemeriksaan Fisik
Stadium awal biasanya tidak khas. demam, rinitis, atau faring
hiperemis. Sejalan dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada
auskultasi dapat terdengar ronki, wheezing, ekspirasi memanjang atau
tanda obstruksi lainnya.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah radiologis namun ini
tidak berarti banyak dan tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan radiologis
biasanya normal atau tampak corakan bronkial meningkat. Kelainan
didapatkan jika ada penyakit lain, seperti pneumonia dan atelektasis.
.

2.4.4. Penatalaksanaan

a) Pengobatan simtomatik diarahkan pada penekanan batuk.


b) Kalau dicurigaipenyebabnya adalah bakteri berikan antibiotik empiris
c) Terapi supportif sangat dianjurkan
a. Istirahat dan bebas merokok
b. Cairan yang adekuat
c. Antipiretik
d. Bronkodilator
e. Mukolitik/ekspektoran

36
2.5. BRONKITIS KRONIK

2.5.1 Definisi
Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

2.5.2 Etiologi dan Faktor Resiko


1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan
riwayat merokok perlu diperhatikan :
- Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
- Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktivitis bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa 1

2.5.3 Diagnosis
Anamnesis
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis Kronis adalah sebagai berikut:

- Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan


inhalasi iritan, udara dingin atau infeksi
- produksi mucus dalam jumlah yang sangat banyak

37
- dyspnea, Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat
beraktifitas. Dyspnea penyebab utama kecacatan dan kecemasan terkait
dengan luas mengi inspirasi atau ekspirasi. Pasien menggambarkan Dada
sesak sering sebagai rasa peningkatan upaya untuk bernapas
- riwayat merokok, paparan zat iritan di tempat kerja
- Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksisaluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara

Pemeriksaan Fisik
Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan. Pada stadium yang lebih
lanjut, didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan mengi. Didapatkan juga
tanda-tanda hiperinflasi seperti barrel chest dan hipersonor pada perkusi.
Pasien yang dengan obstruksi jalan nafas berat akan menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan duduk dalam posisi tripod.Didapatkan juga sianosis
pada bibir dan kuku pasien.

a) Inspeksi
Pursed lips breathing.
Barrel chest
Penggunaan otot bantu pernafasan
Hipertrofi otot bantu pernafasan
JVP meningkat
Edema tungkai bawah
Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk,
sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di
sentral dan perifer.
b) Palpasi

38
Fremitus melemah
c) Perkusi
Hipersonor
d) Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah
Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
Eskpirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh

Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan laboratorium
- Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat
- Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
b) Pemeriksaan faal paru
- Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan
volume ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual (RV)
dengan kapasitas paru total (TC) normal atau meningkat.

c) Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial

2.5.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi


tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan
mengenali sifat penyakit secara lebih baik.
1. Non-Medikamentosa
a. Menghindari Rokok

39
Berhenti merokok dapat meningkatkan batuk pada banyak pasien dengan
bronkitis kronik dengan meningkatkan fungsi mukosiliar dan sel goblet dengan
menurunkan hiperplasia. Berhenti merokok juga telah terbukti mengurangi cedera
saluran napas dan menurunkan kadar lendir di dikelupas sel tracheobronchial
dahak dibandingkan dengan mereka yang terus merokok

b. Rehabilitasi

Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan


rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak, latihan
bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga didapatkan kerja napas
yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan
cemas dan mengurangi kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk
menghilangkan rasa cemas dan takut.

2. Medikamentosa
a. Mukolitik dan ekpetorat

b. Methylxanthines and Short-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists


c. Long-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists
d. Glukokortikosteroid
e. Antioksidan
f. Antibiotik

2.5.5 Klasifikasi Bronkitis Kronik


1. Berdasarkan klinis dibedakan menjadi 3 :
o Bronkitis kronis ringan ( simple chronic bronchitis), ditandai dengan batuk
berdahak dan keluhan lain yang ringan.

40
o Bronkitis kronis mukopurulen ( chronic mucupurulent bronchitis), ditandai
dengan batuk berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).
o Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas ( chronic bronchitis
with obstruction ), ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan
sesak napas berat dan suara mengi (Robin, 2007)

2. Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut


a. Definis BKEA
Bronkitis kronik eksaserbasi akut ditandai dengan 3 kriteria klinis mayor
yaitu :
o Peningkatan purulensi sputum (batuk dengan produksi sputum yang
purulent/mukopurulent atau sputum berwarna kuning/hijau)
o Peningkatan dyspnoe
o Peningkatan volume sputum
Semakin sering terjadi fase eksaserbasi akan menyebabkan semakin
cepatnya perburukan faal paru.

Terdapat tambahan kriteria minor dari gejala BKEA, diantaranya :


o infeksi saluran pernafasan atas selama 5 hari
o peningkatan wheezing
o peningkatan batuk
o demam tanpa sumber yang jelas
o peningkatan 20% dari respiratory rate atau heart rate.

b. Derajat BKEA
Derajat 1 (Mild) : bila terdapat 1 dari kriteria mayor dan 1 kriteria
minor
Derajat 2 ( Moderate ) : bila terdapat dua dari 3 kriteria mayor
Derajat 3 ( Severe ) : bila terdapat 3 kriteria mayor

c. Management
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah

41
menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal
yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
2. Terapi oksigen adekuat
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a) Antibiotik
b) Bronkodilator
c) Kortikosteroid
d) Ventilasi mekanik
e) Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia

2.6. TB Paru
2.6.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis complex.
Suspek TB
Adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB paru adalah
batuk produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan dan atau gejala
tambahan.Dalam menentukan suspek TB harus dipertimbangkan faktor seperti usia
pasien, imunitas pasien, status HIV atau prevalens HIV dalam populasi.
Kasus TB
Kasus TB pasti yaitu pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium
tuberculosis complex yang diidentifikasi dari spesimen klinik dan kultur. Pada negara
dengan keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi M.tubercolosis
maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dahak BTA

42
positif.Atau Seorang pasien yang telah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk TB
sehingga didiagnosis TB oleh Dokter maupun petugas kesehatan dan diobati dengan
panduan dan lama pengobatan yang lengkap.
Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Kasus Lalai Berobat
Adalah penderita yang sudah berobat1 bulan, tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke 5 atau lebih. Atau penderita dengan hasil BTA negatif
gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan
dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.

Kasus Kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidk aktif, atau foto serial (dalam 2 bulan)
menunjukkan gambaran OAT yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran
radiologi.

2.6.2. Klasifikasi

a. Berdasarkan letak anatomi penyakit

43
Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. TB
milier diklasifikasikan sebagai TB Paru karena lesinya yang terletak dalam
paru.
Tuberkulosis ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain
paru seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan atau
hilus), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput
otak.

b. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi


TB paru BTA positif apabila :
Minimal satu kali sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak
menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat
quality external assurance (EQA)
Pada negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium dengan
syarat EQA, maka TB paru BTA positif adalah :
Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau
Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil
peeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB yang
ditetapkan oleh klinisi, atau
Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur
M.tuberculosis positif.
TB paru BTA negatif apabila :
Sedikitnya dua dari hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada
laboratorium yang memenuhi syarat EQA
Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA
negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan
prevalensi HIV > 1 % atau pasien TB dengan kehamilan 5 %.
ATAU

44
Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif bial hasil foto
toraks sesuai dengan gambaran TB aktif disertai salah satu dari :
Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai
HIV, atau
Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau prevalensi
rendah) tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberiaan
antibiotik spektrum luas (kecuali antibiotik yang mempunyai efek
anti TB)
c. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :
Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB atau pernah mendapat pengobatan TB kurang dari satu bulan. Pasien
dengan hasil BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit
dimanapun.
Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah
pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu
bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
penyakit dimanapun.
- Kambuh
- Gagal
- Lalai berobat
d. Berdasarkan status HIV pasien
Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk keputusan
pengobatan. Akan dibahas lanjut pada pembahasan TB-HIV.

2.6.3. Gambaran Klinis

Gejala TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah gejala
respiratori, terdiri dari :

45
Batuk 2 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai gejala ringan sampai gejala
yang berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit maka mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus dan selanjutnya diperlukan membuang dahak ke luar.
Sedangkan gejala sistemik :
Demam
Gejala sitemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun.

2.6.4. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisis kelainan yang ditemukan tergantung dari organ yang


terkena, pada TB paru kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru
yang pada umunya mengenai daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik akan
ditemukan antara lain :
Suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, mediastinum dan diafragma.
Pada perkusi ditemukan redup atau pekak.

2.6.5. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan bakteriologi
1) Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,

46
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses dan
jaringan biopsi.
2) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus (BJH), dapat dibuat sediaan
apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan
dapat ditambahkan NaCl 0,9 % 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium
mikrobiolgi dan patologi anatomi.
3) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, BAL,
urin,feses dan jaringan biopsi, dapat dilakukan dengan cara :
Pemeriksaan mikroskopis
Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopis fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis
dibaca dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUDTLD). Skala IUDTLD :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Biakan
Lowenstein-Jensen
Pada identifikasi M. Tuberculosis, pemeriksaan dengan media
biakan lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan dapat mendeteksi 10 -1000 mikrobakterium/ml.

47
Media biakan terdirir dari media padat dan media cair. Media Lowenstein-
Jensen adalah media padat yang menggunakan media basa telur.
Uji lainnya :
Uji tuberkulin, uji ini dipakai untuk mengetahui seorang telah
terinfeksi kuman TB atau menetukan TB laten. Di Indonesia dengan
prevalens TB yang tinggi, iji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula, atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin
dapat memberikan hasil negatif.

b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai TB aktif adalah :
Bayangan berawan/nodular di segmen Apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambar 1. Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif :

48
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Luluh Paru (destroyed lung) :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh
paru terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis parenkim
paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologi tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas
proses penyakit.

c. Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Analisis Cairan Peura
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
3. Pemeriksaan darah

2.6.6. Pengobatan TB

Paduan Obat Anti Tuberkulosis


- OAT kategori I
TB paru kasus baru, BTA positif atau foto thoraks : lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
o 2RHZE/4HR atau
o 2RHZE/4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk :
o TB paru BTA (+), kasus baru
o TB paru BTA (-), lesi luas

49
- OAT kategori II
o TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan
2RHZES/RHZE/5HRE
o TB paru kasus gagal pengobatan
2RHZES/RHZE/5HRE
o TB paru kasus putus berobat
Berobat 4 bulan :
BTA saat ini negative
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif,
dilakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain.
Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awaldengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu lebih lama.
BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama.
Bila BTA negative, gambaran foto thorak positif TB aktif
pengobatan diteruskan.

Kemasan
1. Obat tunggal, obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Dengan dosis :
R 10 mg / kg BB
H 5 mg / kg BB
Z 25 mg / kg BB
E 20 mg / kg BB

50
S 15 mg / kg BB
2. Obat kombinasi dosis tetap / KDT (fixed dose combination / FDC),
kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 2 sampai 4 obat dalam satu tablet.
International Union Against Tuberculosis and Lungs Disease
(IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan Kombinasi Dosis Tetap (Fixe Dose Combination) dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998.

4 FDC mengandung 4 macam obat, yaitu :


75 mg Isoniazid (INH)
150 mg Rifampisin
400 mg Pirazinamid
275 mg Etambutol
2 FDC mengandung 2 macam obat :
75 mg Isoniazid (INH)
150 mg Rifampisin

Ada 2 kategori paduan OAT di Indonesia yaitu:


a. Kategori I :
Diberikan untuk pasien TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA
negatif dengan gambaran radiologis sesuai gambaran TB yang ditetapkan oleh
klinisi dan pasien TB ekstraparu.
Tabel 9. Dosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO
Berat Fase Intensif 2-3 Fase Lanjutan4 Bulan
Badan Bulan
Harian Harian 3x/minggu
(RHZE) (RH) (RH)
150/75/400/275 150/75 150/150

51
30-37 2 2 2
38-54 3 3 3
55-70 4 4 4
>71 5 5 5

Penentuan dosis terapi FDC 4 obat berdasarkan rentang dosis yang


telah ditentukan WHO, merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik.

b. Kategori II
Diberikan untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan 3
Selama 2 bulan Selama 1 bulan
kali selama 5 bulan
30-37 2 Tab 4 FDC + 500 2 Tab 4 FDC 2 Tablet 2 FDC + 2
mg streptomisin Tab Etambutol
38-54 Inj 3 Tab 4 FDC 3 Tablet 2 FDC + 3
3 Tab 4 FDC + 750 Tab Etambutol
55-70 mg streptomisin 4 Tab 4 FDC 4 Tablet 2 FDC + 4
Inj Tab Etambutol
2 Tab 4 FDC +
71 1000 mg 5 Tab 4 FDC 5 Tablet 2 FDC + 5
streptomisin Inj Tab Etambutol
2 Tab 4 FDC +
1000 mg
streptomisin Inj

Penetuan dosis terapi FDC 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan WHO, merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam
batas dosis terapi dan non toksik.

52
Pada kasus yang mendapat obat FDC tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit/dokter spesialis paru/fasilitas
yang mampu menanganinya, dimana efek samping obattersebut :
1. Isoniazid
Mayor :
o Kemerahan dengan atau tanpa gatal
o Kuning setelah penyebab lain disingkirkan
o Hiperglikemia
o Asidosis metabolik
Minor :
o Tidak nafsu makan, mual dan nyeri perut
o Rasa terbakar, kebas/kesemutan pada tangan atau kaki
o mengantuk
2. Rifampisin
Mayor :
o Kemerahan dengan atau tanpa gatal
o Kuning setelah penyebab lain disingkirkan

Minor :
o Tidak nafsu makan, mual dan nyeri perut
o Syok, purpura, gagal ginjal akut
o Urine berwarna kemerahan
o Sindrom flu
3. Pirazinamid
Mayor :
o Kemerahan dengan atau tanpa gatal
o Kuning setelah penyebab lain disingkirkan

53
Minor :
o Tidak nafsu makan, mual dan nyeri perut
o Nyeri sendi
4. Etambutol
Minor :
o Gangguan penglihatan setelah gangguan lain disingkirkan
5. Streptomisin
Mayor :
o Kemerahan kulit dengan atau tanpa gatal
o Tuli sensorineural
o Pusing (vertigo/nistagmus)
Minor
o Penurunan jumlah urine

2.6.7. Pengobatan suportif/simptomatis

a) Pasien rawat jalan


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dilakukan rawat
jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
Terdapat banyak bukti bahwa pajanan klinis dan hasil akhir penyakit
termasuk TB sangat dipengaruhi kondisi kurangnya nutrisi. Makanan sebaiknya
tinggi kalori-protein.

Beberapa rekomendasi pemberian nutrisi untuk penderita TB adalah :


Pemberian makanan dalam jumlah porsi kecil diberikan 6 kali perhari lebih
diindikasikan menggantikan porsi biasa tiga kali perhari.

54
Bahan-bahan makanan rumah tangga, seperti gula, minyak nabati, mentega,
kacang, telur dan bubuk susu kering nonlemak, dll dapat menambah kalori
dan protein tanpa menambah besar ukuran makanan.
Minimal 500-750 ml per hari susu atau yogurt yang dikonsumsi untuk
mencukupi asupan vitamin D dan kalsium secara adekuat.
Minimal 5-6 porsi buah dan sayuran dikonsumsi setia hari
Sumber terbaik vitamin B6 adalah jamur, terigu, liver sereal, polong, kentang,
pisang dan tepung haver.
Alcohol harus dihindarkan karena hanya mengandung kalori tinggi, tidak
memiliki vitamin juga dapat memperberat fungsi hepar.
Menjaga asupan cairan adekuat (minum minimal 6-8 gelas/hari).
Prinsipnya pada pasien TB tidak ada pantangan.
Bila pasien demam dapat diberikan obat penurun panas/demam, bila perlu
dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
lain

b) Pasien rawat inap


Indikasi rawat inap : TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
Batuk darah masif
Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif/bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB di luar paru yang mengancam jiwa :


TB paru milier
Meningitis TB

55
Pengobatan suportif/simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat.

2.6.8. Terapi pembedahan

Indikasi operasi :
1) Indikasi mutlak
Pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi secara konservatif
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2) Indikasi relatif
Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kavitas yang menetap
Tindakan invasif (selain pembedahan)
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan Water Sealed Drainaged (WSD)

2.6.9. Evaluasi pengobatan

1) Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi secara periodik
Evaluasi terhadap respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidak nya komplikasi penyakit
Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis.

2) Evaluasi bakteriologi (0 2 6/8 bulan pengobatan)


Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan evaluasi pemeriksaan mikroskopis

56
o Sebelum pengobatan dimulai
o Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fae intensif)
o Pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaa biakan dan uji kepekaan

3) Evaluasi radiologi (0 2 6/8 bulan pengobatan)


Sebelm pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang dipirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikrskopis BTA dahak
dan foto toraks (sesuai indikasi bila ada gejala.

2.6.10. Hasil pengobatan

1) Sembuh
Pasien dengan hasil sputum BTA positif atau kultur positif sebelum
pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur pada akhir
pengobatan serta sedikitnya satu kali pemeriksaan sputum sebelumnya
negatif
Pada foto toraks, gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap
sama/perbaikan
Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
2) Pengobatan lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi tidak memiliki hasil
pemeriksaan sputum atau kultur pada akhir pengobatan

57
3) Gagal pengobatan
Pasein dengan hasil sputum atau kultur positif pada bulan ke lima atau
lebih dalam pengobatan
4) Meninggal
Pasien yang meninggal dengan apapun penyebabnya selama dalam
pengobatan
5) Lalai berobat
Pasien dengan pengobatan terputus dalam waktu dua bulan berturut turut
atau lebih
6) Pindah
Pasien yang pindah ke unit (pencatat dan pelaporan) berbeda dan hasil
akhir pengobatan belum diketahui
7) Pengobatan sukses/berhasil
Jumlah pasien yang sembuh ditambah pengobatan lengkap

2.6.11. Komplikasi

Pada pasien TB dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan


maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin timbul
adalah:
Batuk darah
Pneumothorak
Gagal napas
Gagal jantung
Pada keadaan komplikasi harus dirujuk ke fasilitas yang memadai.

2.6.12. International Standards Tuberculosis Care (ISTC)

Standar 1

58
Untuk memastikan diagnosis dini, pemberi pelayanan kesehatan harus mengetahui
factor resiko tuberculosis untuk individeu dan kelompok serta melakukan evaluasi
klinis cepat dan uji diagnostic yang tepat untuk orang dengan gejala dan temuan yang
mendukung tuberkulosis.
Standar 2
Semua pasien termasuk anak-anak, dengan batuk produktif yang tidak diketahui
penyebabnya yang berlangsung dua minggu atau lebih atau dengan temuan pada foto
thoraks yang tidak diketahui penyebabnya yang mendukung ke arah tuberculosis
harus di evaluasi untuk tuberculosis.
Standar 3
Semua pasien termasuk anak-anak, yang dicurigai memiliki TB paru dan mampu
mengeluarkan dahak, harus memberikan sedikitnya dua specimen dahak untuk
pemeriksaan mikroskopis atau satu specimen dahak untuk pemeriksaan
XpertMTB/RIF* dilaboratorium yang sudah teruji kualitasnya.
Pasien dengan resiko resistensi obat, dengan HIV, atau yang sangat sakit, harus
diepriksa dengan XpertMTB/RIF sebagai pemeriksaan diagnostic awal.
Uji serologi darah dan interferon-gamma release assays tidak boleh digunakan untuk
diagnostic tuberculosis aktif.
Standar 4
Untuk semua pasien,termasuk anak-anak yang diduga memiliki TB ekstra paru,
specimen yang tepat dari bagian tubuh yang sakit harus diambil untuk pemeriksaan
mikrobiologi dan histology
Mengingat pentingnya diagnosis cepat pada terduga TB meningitis maka
pemeriksaan XpertMTB/RIF direkomendasikan sebagai uji mikrobiologi yang
diduga TB meningitis
Standar 5
Pada pasien yang diduga memiliki TBparu dengan BTA negatif, perlu dilakukan
pemeriksaan XpertMTB/RIF dan atau kultur dahak.

59
Pada pasien dengan BTA negative dan XpertMTB/RIF negative tetapi bukti-bukti
klinis mendukung kuat kearah TB, maka pengobatan dengan OAT harus dimulai
setelah dilakukkan pengumpulan specimen untuk pemeriksaan kultur.
Standar 6
Untuk semua anak-anak yang diduga menderita TB intrathorak (misalnya paru,pleura,
dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi bakteriologis perlu
dilakukan melalui pemeriksaan sekresi saluran pernafasan ( dahak ekspektorasi,
dahak hasil induksi dan bilas lambung)untuk pemeriksaan mikroskopik.
XpertMTB/RIF,dan atau kultur
Standar 7
Agar tanggung jawab kesehatan masyarakat terpenuhi dan juga tanggung jawab
kepada pasien secara individu maka penyedia layanan kesehatan harus menyediakan
rejimen yang tepat, memonitor kepatuhan pengobatan, dan jika diperlukan dapat
mengatasi factor-faktor yang dapat menyebabkan pengobatan terhenti atau terputus.
Untuk memenuhi kewajiban ini maka diperlukan koordinasi antara pemberi
pelayanan kesehatan masyarakat daerah setempat dan atau agen pelayanan kesehatan
lainnya.
Standar 8
Semua pasien yang belum pernah mendapat terapi sebelumnya dan tidak memiliki
resiko resitensi obat dapat diobati dengan rejimen terapi standar WHO yaitu
menggunakan obat yang sudah teruji kualitasnya.
Fase awal selama dua bulan diberikan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid dan
etambutol. Fase lanjutan diberikan isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan.
Dosis OAT mengikuti rekomendasi WHO. Pemberian dalam bentuk kombinasi dosis
tetap akan memberikan kemudahan dalam pemberian obat.
Standar 9
Pendekatan pengobatan dengan prinsip pengutamaan pasien sebaiknya diterapkan
untuk seluruh pasien agar terjadi kepatuhan berobat, meningkatkan kualitas hidup,
dan mengurangi penderitaan.

60
Pendekatan ini sebaiknya berdasarkan kepada apa yang dibutuhkan pasien dan juga
atas dasar saling menghormati antara pasien dan pemberi layanan kesehatan.
Standar 10
Respon pengobatan pada pasien dengan TB paru (termasuk orang-orang denga TB
didiagnosis dengan tes molekuler cepat) harus di pantau pada saat menyelesaikan
tahap awal pengobatan ( 2 bulan ) dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopi
sputu . Jika sputumnya positif pada akhir fase awal pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan sputum ulangan pada akhir bulan ketiga, dan jika masih postitif, maka
pemeriksaan sensitivitas obat secara molekuler cepat (line probe assay atau
XpertMTB/RIF) harus dilakukan.
Pada pasien denga TB ektra paru dan pada anak-anak, respon pengobatan terbaik
adalah bedasarkan klinis pasien.
Standar 11
Penilaian kemungkinan adanya resistensi obat, berdasarkan anamnesis dan riwayat
pengobatan, kasus terpajan dengan sumber yang kemungkinan memiliki resistensi
obat, dan prevalensi komunitas resistensi obat (bila diketahui), harus dilakukan pada
seluruh pasien. Tes kepekaan obat harus dilakukan pada awal pengobatan terhadap
seluruh pasien dengan resiko resistensi obat. Pasien dengan sputum masih tetap
positif pada akhir bulan ketiga pengobatan, pasien dengan gagal pengobatan, pasien
yang tidak terlacak(putus pengobatan), atau kambuh harus selalu dicurigai sebagai
resistensi obat. Pada pasien yang seperti ini, maka XpertMTB/RIF merupakan tes
diagnostic awal. Jika terdeteksi resisten rifampisin, maka kultur dan tes kepekaan
harus segera dilakukan isoniazid, florokuinolon, dan obat-obat injeksi lini kedua.
Konseling dan edukasi pasien serta pemberian terapi empiris lini kedua harus
diberikan sesegera mungkin untuk meminimalisir kemungkinan penyebaran.
Langkah-langkah pengendalian infeksi yang tepat harus diterapkan
Standar 12
Pasien dengan atau kemungkinan besar untuk memiliki tuberculosis yang disebabkan
oleh organisme yang resisten terhadap obat (terutama MDR/XDR) harus ditangani
dengan regimen khusus yang mengandung lini ke 2 OAT mutu yang terjamin. Dosis

61
harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Regimen yang dipilih dapat distandarlisasi
atau berdasarkan asumsi atau dikonfirmasi oleh pola uji sensitiviti obat. Setidaknya
lima obat, pirazinamid dan empat obat yang diketahui organisme atau diduga rentan,
termasuk yang disuntikkan harus digunakan dalam fase intensif 6-8 bulan, dan
setidaknya 3 obat yang diketahui organisme atau diduga rentan harus digunakan
dalam fase lanjutan. Pengobatan harus dilanjutkan paling sedikit 18-24 bulan di luar
konversi kultur. Tindakan yang terpusat pada pasien, termasuk pengamatan dalam
pengobatan, diperlukan untuk memastikan kepatuhan. Konsultasi dengan spesialis
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan TB MDR/XDR harus diperoleh.
Standar 13
Suatu system pencatatan yang sistematis dan mudah diakses meliputi obat-obatan
yang diberikan, respon bakteriologis, hasil akhir pengobatan, dan adanya efek
samping obat, harus dilaksanakan untuk setiap pasien.
Standar 14
Konseling dan uji HIV harus dilakukan pada seluruh pasien TB atau tersangka TB
kecuali jika terdapat konfirmasi hasil tes yang negative dalam dua bulan terakhir.
Oleh karena adanya hubungan yang kuat antara Tb dan infeksi HIV maka pendekatan
yang terintegrasi untuk pencegahan, diagnosis dan pengobatan terhadap kedua
penyakit ini di rekomendasikan pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Tes
HIV ini penting sebagai bagian dari manajemen seluruh pasien didaerah dengan
prevalensi HIV yang tinggi pada populasi umum, pada pasien dengan tanda dan
gejala yang berhubungan dengan kondisi HIV, dan pada pasien dengan riwayat
terpapar infeksi HIV.
Standar 15
Pada orang dengan infeksi HIV dan TB yang memiliki imunosupresi yang dalam
(CD4 kurang dari 50 sel/mm3), ART harus dimulai dalam waktu 2 minggu dan mulai
pengobatan untuk TB kecuali meningitis TB hadir. Untuk semua pasien lain dengan
HIV dan TB, terlepas daru jumlah CD4, ART harus dimulai dalam waktu 8 minggu
dari mulai pengobatan untuk TB. Pasien dengan TB dan infeksi HIV juga harus
menerima kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.

62
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang telah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita TB
aktif seharusnya diobati sebagai infeksi laten dengan isoniazid selama 6 bulan.
Standar 17
Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh
terhadap kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respon atau hasil pengobatan
TB. Saat rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara kesehtan harus
mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang
optimal bagi semua pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada
penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit yang
mempengaruhi hasil pengobatan, seperti DM, program berhenti merokok, dan
layanan pendukung psikososial lain, atau layanan seperti perawatan selama masa
kehamilan atau setelah melahirkan.
Standar 18
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien TB seharusnya memastikan bahwa
semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien TB menulae seharusnya di
evaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional.
Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah orang dengan gejala yang mendukung
kearah tuberculosis anak usia dibawah 5 tahun, kontak dengan kondisi atau diduga
memiliki kondisi imunokopremeis, khususnya infeksi HIV, kontak dengan pasien TB
MDR/XDR
Standar 19
Anak usia <5 tahun dan orang dari semua usia dengan infeksi HIV dan merupakan
kontak erat pasien dengan TB yang menular dan stelah pemeriksaan secara cermat
tidak menderita TB aktif, harus diobati sebagai terduga infeksi TB laten dengan
isoniazid selama sekurangnya enam bulan.
Standar 20
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menangani pasien dengan TB atau di duga
menderita TB harus mennerapkan rencana pengendalian infeksi TB yang sesuai untuk
meminimalisir penularan mycobacterium Tb kepasien lain dan petugas kesehtan.

63
Standar 21
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus TB baru maupun
kasus pengobtan ulang serta hasil pengobatan nya ke kantor Dinas Kesehatan
setempat denga peraturan hukum dan kebijksanaan yang berlaku.

2.7. RESISTEN GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE)


2.71.Definisi TB-MDR

Resistensi ganda adalah M. tuberculosis yang resisten minimal terhadap


rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya

2.7.2. Klasifikasi

Rifampisin dan INH merupakan obat yang sangat penting pada pengobatan
TB yang diterapkan pada strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course).
Secara umum resistensi obat anti TB dibagi menjadi :
Resistensi primer
Ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau
telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.
Resistensi inisial
Ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan
OAT sebelumnya atau belum pernah.
Resistensi sekunder
Ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan.

Kategori resistensi M. tuberculosis terhadap OAT


Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB :
1. Mono-resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT
2. Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin.

64
3. Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan sekurang-kurangnya terhadap isoniazid
dan rifampisin.
4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah
satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
5. Total drug-resistance : resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua. Pada
kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai.

2.7.3. Etiologi

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TB-MDR :


Tuberculosis resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu
fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat.
Faktor penyebab resistensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain :
1. Faktor mikrobiologik
a. Resisten yang natural
b. Resisten yang didapat
c. Amplifier effect
d. Virulensi kuman
e. Tertular galur kuman MDR
2. Faktor klinik
a. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis
Pengobatan yang tidak mengikuti pedoman
Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis
obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah
terdapat resistensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal
rifampisin dan INH.
Tidak ada guideline/pedoman
Tidak ada / kurangnya pelatihan TB

65
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan
pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama maka
penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang
daftar obat yang resisten.
Organisasi program nasional TB yang kurang baik
b. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama, lebih dari 6 bulan sehingga
membosankan pasien.
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan
gagal sampai selesai/komplit.
Obat tidak dapat diserap dengan baik missal rifampisin diminum
setelah makan, atau ada diare.
Kualitas obat kurang baik missal penggunaan obat kombinasi dosis
tetap yang mana bioavibilitas rifampisisnya berkurang.
Regimen / dosis obat yang tidak tepat
Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat terputus
c. Pasien
PMO tidak ada / kurang baik
Kurangnya informasi atau penyuluhan
Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
Efek samping obat
Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
Masalah sosial
Gangguan penyerapan obat
3. Faktor program

66
a. Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
b. Amplifier effect
c. Tidak ada program DOTS-PLUS
d. Program DOTS belum berjalan dengan baik
e. Memerlukan biaya yang besar
4. Faktor HIV-AIDS
a. Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
b. Gangguan penyerapan
c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. Faktor kuman
Kuman M. tuberculosis super strains
Sangat virulen
Daya tahan hidup lebih tinggi
Berhubungan dengan TB-MDR

2.7.4. Suspek TB-MDR

Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah :


1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2, dibuktikan
dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu.
2. Pasien TB paru dengan hasil pengobatan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan kategori 2.
3. Pasien TB yang pernah diobati difasilitas non DOTS, termasuk yang
mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin.
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan kategori 1.
6. TB paru kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai / default pada pengobatan kategori 1
dan atau kategori 2.

67
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-
MDR.
9. TB-HIV

2.7.5. Diagnosis TB-MDR

Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan.


Semua suspek TB-MDR diperiksaa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M.
Tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH, maka
dapat ditegakkan diagnose TB-MDR.

Diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk TB-MDR didukung
oleh:
Pengenalan faktor risiko untuk TB-MDR
Pengenalan kegagalan obat secara dini
Uji kepekaan obat di laboratorium yang sudah tersertifikasi

Uji kepekaan OAT lini 2 dilakukan bila terdapat riwayat pemakaian OAT lini
2 atau pada pasien MDR yang dalam masa pengobatan tidak terjadi konversi
atau perburukan secara klinis.

2.7.6. Penatalaksaan TB-MDR

Kelompok OAT yang digunakan dalam pengobatan TB resisten obat :


Kelompok 1: OAT kategori I. Isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol (E),
pirazinamid (Z), rifabutin (Rfb).
Kelompok 2: obat suntik. Kanamisin (Km), amikasin (Am), kapreomisin
(Cm), streptomisin (S).

68
Kelompok 3: fluorokuinolon. Moksifloksasin (Mfx), levofloksasin (Lfx),
ofloksasin (Ofx).
Kelompok 4: bakteriostatik OAT kategori II. Etionamid (Eto), protionamid
(Pto), sikloserin (Cs), terzidone (Trd), PAS.
Kelompok 5: obat yang belum diketahui efektivitasnya. Klofazimine
(Cfz), Linezoid (lzd), Amoksiclav (Amx/clv), Tiosetazone (Thz),
Imipenem/cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi, Klaritromisin (Clr).

Strategi pengobatan :
Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan
dan frekuensi penggunaan OAT dinegara tersebut. Berikut strategi pengobatan
MDR:
Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi
pasien yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan
karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien
akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai
TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan.
Pengobatan empiris.Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan
riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan
populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah
ada hasil uji kepekaan individual.
Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.

Regimen standar TB-MDR di Indonesia adalah :


6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
Z: pirazinamid, E: etambutol, Kn: kanamisin, Lfx: levofloksasin, Eto:
etionamid, Cs: sikloserin. Etanbutol tidak diberikan bila terbukti resisten.

69
Lama fase intensif
Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan
adalah berdasarkan kultur konversi. Obat suntik diteruskan sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan minimal 4 bulansetelah hasil sputum atau
kultur yang pertama menjadi negatif. Pendekatan individual termasuk hasil
kultur, sputum, foto thorak, dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu
memutuskan menghentikan pemakaian obat suntik.

Lama pengobatan
Lamanya pengobatan berdasarkan kultur konversi. Panduan yang
direkomendasikan adalah menerusakan pengobatan minimal 18 bulan setelah
kultur konversi. Sampai saat ini belum ada data yang mendukung
pengurangan lama pengobatan. Pengobatan lebih dari 24 bulan dapat
dilakukan pada kasus kronik dengan kerusakan paru luas.

Pembedahan TB-MDR
Prosedur pengobatan yang paling sering dilakukan pada pasien TB-
MDR adalah reseksi. Dari hasil beberapa penelitian pembedahan efektif dan
relatif aman. Pembedahan tidak diindikasikan pada penderita dengan
gangguan paru luas bilateral. Pembedahan dilakukan pada kasus-kasus awal
seperti kelainan satu lobus atau paru dan setelah pemberian pengobatan
selama 2 bulan untuk menurunkan infeksi bakteri dalam paru. Setelah
pembedahan, pengobatan tetap diberikan selama 12-24 bulan.

2.8. TB paru dengan HIV/AIDS


2.8.1. Definisi

HIV (human immunodeficiency virus) adalah suatu retrovirus dengan materi


genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang unik
untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan
enzim yang disebut reverse transcriptase, setelah masuk ke tubuh hospes. Virus ini

70
menyerang dan merusak sel-sel limposit T-helper (CD4 +) sehingga sistem imun
penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan keganasan.
AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi virus HIVyang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi dipopulasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah
dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya
diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang diduga
berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan
HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru
tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronik

2.8.2. Gambaran TB-HIV

Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB


paru adalah pemeriksaan BTA, foto thorak, dan jika memungkinkan CD4.

Tabel 10. Gambaran TB-HIV


Infeksi dini Infeksi lanjut
(CD4 > 200 / mm3) (CD4 < 200 / mm3)
Dahak Sering positif Sering negatif
mikroskopis
TB ekstraparu Jarang Umum / banyak
Mikobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif

71
Foto toraks Reaktivasi TB, kavitas di puncak Tipikal primer TB
milier / intersisial
Adenopati hilus / Tidak ada Ada
mediastinum
Efusi pleura Tidak ada Ada

2.8.3. Pengobatan

Pengobatan OAT pada TB-HIV:


Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa
HIV/AIDS
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat
dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat.
Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena
akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali
pakai yang steril.
Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati.
Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respon terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat
korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan,
karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga
konsentrasi obat rendah dalam serum.

Interaksi obat TB dengan Anti Retrovirus (ARV)


Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksisk OAT.

72
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV dengan golongan
nukleotida, kecuali didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1jam
dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan
nonnukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan
bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar
nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurun kan kadar nevirapin
sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin
yang direkomendasikan.
Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian
ARV dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa mempertimbangkan kadar
CD4. Pertimbangan pemberian ARV segera setelah diagnosis TB ialah
bahwa angka kematian pada pasien TB-HIV terjadi umumnya pada 2
bulan pertama pada pemberian OAT. Meskipun demikian pemberian
secara bersamaan membuat pasien menelan obat dalam jumlah yang
banyak sehingga dapat terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek samping,
interaksi obat dan Immune Reconstitution Inflamatory Syndrome (IRIS).
Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksazol
dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.

The three Is untuk TB-HIV :


Pada pasien dengan HIV, TB merupakan infeksi oportunistik dan dapat
menyebabkan kematian. WHO telah mengeluarkan strategi (sebelum
pemberian ART), yaitu :
Isoniazid preventif treatment (IPT), jika ada indikasi
Intensified case finding (ICF), untuk menemukan kasus TB aktif
Infection control (IC), untuk pencegahan dan pengendalian infeksi TB
ditempat pelayanan kesehatan.

73
Macam obat ARV yang tersedia di indonesia :
Ada 3 kelompok besar obat ARV
Nucleoside Dan Nucleotide Reverse Transciptase Inhibitor (NRTI dan
NtRTI)
Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
Protease Inhibitor
Tabel 11.
Golongan obat Dosis
Obat ARV

Nukleosida RTI (NsRTI)


Abakavir (ABC) 300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari
Didanosin (ddI) 250 mg 1x/hari (BB <60 kg)
Lamivudin (3TC) 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari
Stavudin (d4T) 40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB <60 kg

Zidovudin (ZDV) 300 mg 2x/hari


Nukleotida RTI
TDF 300 mg 1x/hari
Non nukleosid RTI (NNRTI)
Efavirenz (EFV) 600 mg 1x/hari
Nevirapine (NVP) 200 mg 1x/hari untuk 14 hari lalu 200 mg
2x/hari

Protease inhibitor (PI)


Indinavir /ritonavir 800 mg / 100 mg 2x/hari
(IDV/r)
Lopinavir /ritonavir 400 mg / 100 mg 2x/hari
(LPV/r)
Nelfinavir (NFV) 1250 mg 2x/hari
Saquinavir/ritonavir 1000 mg / 100 mg 2x/hari atau 1600 mg / 200
(SQV/r) mg 1x/hari
Ritonavir kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg / 5 ml

74
Ritonavir dipakai sebagai booster untuk PI lainnya, untuk memperkuat
efek PI lainnya.

Paduan lini pertama


Paduan lini pertama adalah suatu kombinasi obat yang digunakan
pasien yang belum pernah mendapatkan ART sebelumnya. Umumnya paduan
lini pertama terdiri dari dua NRTI dan satu NNRTI. Ada 4 paduan lini
pertama, keempat kombinasi lini pertama adalah :
AZT-3TC-NVP
AZT-3TC-EFV
D4T-3TC-NVP
D4T-3TC-EFV

3TC selalu digunakan dan dimasukkan ke dalam ke empat atau semua


paduan (selalu dicantumkan ditengah). Obat yang pertama adalah AZT atau
d4T (tidak boleh diberikan bersamaan). Obat yang terakhir adalah NPV atau
EFV (tidak boleh diberikan secara bersamaan.

Permasalahan yang mungkin timbul adalah:


Interaksi obat (rifampisin dengan beberapa jenis obat ART)
Gagal pengobatan ART
Aktivasi penyakit TB
Timbul IRIS
Obat ART yang harus diganti

Tabel 12. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB


Obat ARV lini Paduan pengobatan ARV Pilihan obat ARV
pertama / lini kedua pada waktu TB didiagnosis

75
Lini pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI +
EFV
2 NRTI + NVP Ganti dengan 2 NRTI +
EFV atau ganti dengan
2NRTI + LPV/r
Lini kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau teruskan (bila
sementara menggunakan)
paduan mengandung LPV/r

Di indonesia pengobatan TB selalu menggunakan rifampisin, oleh


karena itu pasien dalam pengobatan TB yang mendapatkan ART bisa
mengalami banyak masalah obat misalnya interaksi obat dan efek samping
obat.
Sebelum memulai pengobatan ART, perlu dilalakukan penilaian
tentang persiapan pasien untuk memulai pengobatan ART dan implikasinya
(pengobatan seumur hidup, ketaatan pengobatan dan kemungkinan efek
samping) pada waktu memutuskan untuk memulai pengobatan ART, penting
juga diperhitungkan bagaimana akses pada dukungan nutrisi,psikososial,
keluarga, dan kelompok dukungan sebaya (KDS).

Pilihan dari NRTI sama untuk semua ODHA


Pilihan dari NNRTI:
EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kadar EFV dalam darah akan
menurun bila ada rifampisin. Dosis standar EFV adalah 600 mg per hari.
Kadar NVP juga menurun dengan adanya rifampisin. Namun dianjurkan
penggunaan NVP dengan dosis standar. Tapi karena ditakutkan efek
hepatotoksik, paduan berisi NVP hanya digunakan bila tidak ada
alternatif, terutama pada perempuan dengan OAT mengandung rifampisin,
dengan hitung CD4 > 250/mm3yang perlu mulai ART.

76
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Asma Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi. Jakarta: IDI.

Perhimpunan Dokter Paru Indoesia. 2011. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Mason, Robert J; et. al. 2010. Murray and Nadels Texbook of Respiratory Medicine
5th Ed. Sauders Elsevier.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan PPOK di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.

77

Anda mungkin juga menyukai