PENDAHULUAN
1
MDR sebanyak 250.000 kasus (230.000-270.000 kasus) tetapi hanya 30.000 kasus
yang sudah terkonfirmasi.
1.2 Tujuan
1. Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Solok tahun 2017
2. Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian paru
di RSUD Solok tahun 2017
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma
2.1.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
3
1. Faktor Pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.
Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/
kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma,
dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus,
kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma,
maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi,
walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1,
reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan
asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2,
CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB,
2. Faktor Lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab
utama asma, dengan pengertian faktor tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan
napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan
serangan asma dan menyebabkan menetapnya gejala.
4
Untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
a. Riwayat penyakit/gejala :
a. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
c. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
d. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
e. Respons terhadap pemberian bronkodilator
b. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada
keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas,
mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang
sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas
5
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain
untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif
menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
- Obstruksi jalan napas
- Reversibiliti kelainan faal paru
- Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif
jalan napas
b) Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan
penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-
3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari
nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
- Menilai derajat berat asma
6
c) Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF
meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan
mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas
ataupun instalasi gawat darurat.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
- Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,
atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu).
- Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan
menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi) .
7
faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan
dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara
yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif
maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada
lengan tempat uji kulit, dan lain-lain).
8
Sedang
* Gejala setiap hari * > 1x / * VEP1 60-80% nilai
* Serangan seminggu prediksi
mengganggu APE 60-80% nilai
aktiviti dan tidur terbaik
*Membutuhkan * Variabiliti APE > 30%
bronkodilator
setiap hari
IV. Persisten Kontinyu APE 60%
Berat
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 60% nilai
* Sering kambuh prediksi
* Aktiviti fisik terbatas APE 60% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%
9
Napas dan Paradoksal
retraksi
suprasternal
Mengi Akhir Akhir Inspirasi dan Silent Chest
ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE >80% 60-80% <60%
PaO2 >80 mmHg 60-80 mmHg <60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%
10
3. Identifikasi dan Mengendalikan Faktor Pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus akan
tetapi sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya.
Sehingga identifikasi faktor pencetus harus dilakukan untuk mencegah
timbulnya serangan berulang.
4. Perencanaan Pengobatan Jangka Panjang
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal
dalam waktu satu bulan (asma terkontrol, lihat program penatalaksanaan) .
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol,
terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan :
- Medikasi (obat-obatan)
- Tahapan pengobatan
- Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
1) Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
a) Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol
asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering
disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
- Kortikosteroid inhalasi
- Kortikosteroid sistemik
- Sodium kromoglikat
- Nedokromil sodium
- Metilsantin
- Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
11
- Agonis beta-2 kerja lama, oral
- Leukotrien modifiers
- Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan
steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti
A). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten
(ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan
aman pada dosis yang direkomendasikan.
12
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan
digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat
(setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi
(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik
daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif
menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari.
Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan
asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol
(walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma),
maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu
terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral
jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten
sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi,
maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal
di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa
hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :
13
- gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek
dan efek striae pada otot minimal
- bentuk oral, bukan parenteral
- penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi
berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi
pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi
melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi
rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek
14
antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan
studi menunjukkan tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas.
Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan pada
serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral
diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat,
sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-
lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin
(contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas,
zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator,
juga mempunyai efek antiinflamasi.
b) Pelega (Reliever)
15
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
- Agonis beta2 kerja singkat
- Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai
obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah
optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya
dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
- Antikolinergik
- Aminofillin
- Adrenalin
Metilsantin
16
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatornya
lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofilin
kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau
onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin
kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta 2 kerja
singkat dosis adekuat , memperkuat fungsi otot pernapasan dan
mempertahankan respons terhadap agonis beta-2.
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok
efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik
vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi
yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-
2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk
mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe
cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap
inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan
ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi
agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal
paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna
(bukti B). Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator
pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang
kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek
bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang,
dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan
efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti
17
takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di
mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi
mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat,
bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis
beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-
hatipada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular.
Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus
dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
a) lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
b) efek sistemik minimal atau dihindarkan
c) beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi
pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator
adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Macam-macam cara pemberian obat inhalasi:
a) Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)
b) IDT dengan alat Bantu (spacer)
c) Breath-actuated MDI
d) Dry powder inhaler (DPI)
e) Turbuhaler
f) Nebuliser
2) Tahap Pengobatan
18
Tabel 4. Pengobatan sesuai berat asma
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi Alternatif / Pilihan Alternatif lain
pengontrol harian lain
Asma Tidak perlu - -
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid -
Persisten inhalasi - Teofilin lepas lambat
Ringan (200-400 ug BD/hari - Kromolin
atau ekivalennya) - Leukotriene modifiers
- Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau
19
- Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/
Persisten glukokortikosteroid metilprednisolon oral
Berat (> 800 ug BD atau selang sehari 10 mg
ekivalennya) dan ditambah agonis beta-
agonis beta-2 kerja 2 kerja lama oral,
lama, ditambah 1 ditambah teofilin lepas
di bawah ini: lambat
- teofilin lepas
lambat
- leukotriene
modifiers
-
glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan: bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan
kondisi asma tetap terkontrol.
20
5. Menetapkan Pengobatan pada Serangan Akut
21
Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit
22
23
Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah
24
Table 6. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan
25
6. Kontrol Secara Teratur
Penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting
diperhatikan oleh dokter yaitu:
- Tindak lanjut teratur
- Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penanganan lanjut jika
diperlukan
Status asmatikus adalah episode perburukan gejala yang progresif dari sesak,
batuk, mengi, atau rasa berat di dada.
26
2.2.2. Diagnosis
1. Anamnesa
Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah
digunakan, respon pengobatan, waktu mulai terjadinya dan penyebab/pencetus
serangan saat itu, dan ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan keadaan
fatal/kematian yaitu:
1. Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ventilasi mekanis
2. Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke gawat darurat
dalam satu tahun terakir.
3. Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja
menghentikan salbutamol atau ekivalennya.
4. Dengan gangguan/penyakit psikiatri atau masalah psikososial
termasuk penggunaan sedasi
5. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma.
3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pada serangan asma, APE sebaiknya diperiksa sebelum pengobatan,
tanpa menunda pemberian pengobatan. Pemeriksaan ini jika alat
tersedia.
27
2) Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry dapat dilakukanbila alat
tersedia.
3) Pemeriksaan analisis gaas darah dilkakukan jika fasilitas tersedia
28
Terapi Awal
-Oksigenasi untuk mencapai 95%
-Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat secara kontinyu dalam 1 jam
-Glukokortikosteroid sistemik jika pasien tak ada respons segera atau
sebelumnya pasien telah mendapat glukokortikosteroid oral atau jika
serangan hebat
Respon Baik
1. Lanjutkan inhalasi agonis beta-2 setiap
3- 4 jam untuk 24 - 48 jam
Alternatif : Bronkodilator oral setiap 6-8
jam
2. Steroid inhalasi diteruskan dengan dosis
RUJUK
tinggi (bila sedang menggunakan steroid
inhalasi) selama 2 minggu, kmd kembali 29
ke dosis sebelumnya
Catatan : Jika algoritma di atas tidak dapat digunakan, dokter dapat menggunakan
obat-obat alternatif pada tabel Daftar Obat- Obat Asma
30
BERAT Terbaik: Darurat gawat/RS
Nebulasi agonis beta-2 tiap 4 jam Klinik
Alternatif:
-Agonis beta-2 SK/IV
-Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan
Kriteria Pulang
Pertimbangan untuk memulangkan pada penderita di layanan primer:
31
1. Bila terjadi perbaikan klinis, yaitu: keluhan berkurang, frekuensi napas
kembali normal, mengi menghilang, nadi dan tekanan darah kembali normal,
pasien dapat bernapas tanpa otot-otot bantu napas, pasien dapat berbicara
lebih lancar atau berjalan, atau kesadaran membaik.
2. Bila APE pasca tatalaksana awal 40-60% nilai terbaik/ prediksi dengan
pengawasan ketat di komunitas.
3. Bila APE pasca tatalaksana awal > 60% nilai terbaik/ prediksi dan pasien
dapat menggunakan obat inhalasi atau oral dengan patuh.
4. Penderita dirawat inap
Kriteria Rujukan
Tidak respons dengan pengobatan, ditandai dengan:
a. Tidak terjadi perbaikan klinis
b. Bila APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai terbaik/ prediksi; atau APE
pasca tatalaksana < 40% nilai terbaik/ prediksi.
c. Serangan akut yang mengancam jiwa
d. Tanda dan gejala tidak jelas (atipik), atau masalah dalam diagnosis banding,
atau komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid); seperti sinusitis, polip
hidung, aspergilosis (ABPA), rinitis berat, disfungsi pita suara, refluks
gastroesofagus dan PPOK.
e. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya di luar pemeriksaan standar, seperti uji
kulit (uji alergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji provokasi bronkus, uji
latih (kardiopulmonary exercise test), bronkoskopi dan sebagainya.
32
2.3. ASTHMA CONTROL TEST (ACT)
2.3.1. Definisi
Asthma Control Test (ACT) adalah Tes Kontrol asma, berisi 5 pertanyaan dan
masing-masing pertanyaan mempunyai skor 1 sampai 5, sehingga nilai ACT adalah 5
dan tertinggi 25, Interpretasinya :
Bila 19 berarti asma terkontrol sedang, <15 dikatakan tidak terkontrol.
20-24 dikatakan terkontrol baik.
25 dikatakan terkontrol total/sempurna.
No Pertanyaan 1 2 3 4 5
1 Dalam 4 minggu Selalu Sering Kadang Jarang Tidak Ada
terakhir seberapa
sering penyakit asma
mengganggu anda
untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari
dikantor, disekolah
dan dirumah ?
2 Dalam 4 minggu >1x sehari 1x 3-6x 1-2x Tidak
terakhir seberapa sehari sehari seminggu pernah
sering anda mengakui
sesak nafas ?
3 Dalam 4 minggu >4x 2-3x 1x 1-2x Tidak
terakhir seberapa seminggu seming seminggu seminggu pernah
sering gejala asma gu
(bengek, batuk, sesak
nafas , nyeri dada/ rasa
tertekan didada)
menyebabkan
terbangun dimalam
33
hari/ lebih awal dari
biasanya ?
4 Dalam 4 minggu 3x sehari 1-2 2-3 1x Tidak
terakhir seberapa anda sehari seminggu seminggu pernah
menggunakan obat atau
semprot atau obat kurang
minum (tablet/sirup)
untuk melegakan
pernafasan ?
5 Bagaimana anda Tidak Kurang Cukup Cukup Terkontrol
sendiri menilai tingkat terkontrol terkontr terkontrol terkontrol sepenuhnya
kontrol / kendali asma ol dengam
anda dalam 4 minggu baik
terakhir.
34
Bronkitis akut adalah peradangan akut/ kerusakan langsung pada membran
mukosa bronkus dan cabang-cabangnya karena pelepasan zat inflamasi dalam
menanggapi infeksi , meningkatkan produksi dan atau penurunan clearance sekresi
pernapasan yang mengakibatkan terjadinya edema dan pembentukan mucus.
Bronkitis akut biasanya terjadi pada kasus penyakit pernapasan akut dengan
batuk parah dan berkepanjangan yang merupakan komplikasi dari penyakit saluran
napas atas (common cold, influenza) dan berlanjut setelah tanda-tanda dan gejala
infeksi akut lainnya telah mereda. Batuk terjadi selama minggu pertama sakit pada
30% dari pilek rhinovirus pada orang dewasa muda dan 80% atau lebih dari kasus
influenza. Infeksi virus, yang sering berkepanjangan. Infeksi adenovirus khas
melibatkan tracheobronchial. Jarang merupakan penyakit tersendiri. Pada pneumonia
biasanya selalu disertai bronkitis akut.
2.4.2. Etiologi
a. Virus
- adenovirus
- Influenza
- Para influenza
b. Bakteri sekunder
- H. Influenza
- S. aureus
c. Polutan seperti asap rokok.
2.4.3. Diagnosis
a. Anamnesis
- Batuk dan produksi sputum adalah gejala yang paling umum biasanya
terjadi setiap hari. Intensitas batuk, jumlah dan frekuensi sputum
35
bervariasi dari pasien ke pasien. Dahak berwarna bening, putih, atau
hijau kekuningan.
- Dyspnea, secara bertahap meningkat dengan tingkat keparahan
penyakit.
- Gejala kelelahan, sakit tenggorokan, nyeri otot, hidung tersumbat dan
sakit kepala selama 3-4 hari dapat menyertai gejala utama.
- Demam dapat mengindikasikan infeksi paru-paru sekunder virus atau
bakteri.
b. Pemeriksaan Fisik
Stadium awal biasanya tidak khas. demam, rinitis, atau faring
hiperemis. Sejalan dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada
auskultasi dapat terdengar ronki, wheezing, ekspirasi memanjang atau
tanda obstruksi lainnya.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah radiologis namun ini
tidak berarti banyak dan tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan radiologis
biasanya normal atau tampak corakan bronkial meningkat. Kelainan
didapatkan jika ada penyakit lain, seperti pneumonia dan atelektasis.
.
2.4.4. Penatalaksanaan
36
2.5. BRONKITIS KRONIK
2.5.1 Definisi
Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
2.5.3 Diagnosis
Anamnesis
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis Kronis adalah sebagai berikut:
37
- dyspnea, Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat
beraktifitas. Dyspnea penyebab utama kecacatan dan kecemasan terkait
dengan luas mengi inspirasi atau ekspirasi. Pasien menggambarkan Dada
sesak sering sebagai rasa peningkatan upaya untuk bernapas
- riwayat merokok, paparan zat iritan di tempat kerja
- Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksisaluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara
Pemeriksaan Fisik
Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan. Pada stadium yang lebih
lanjut, didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan mengi. Didapatkan juga
tanda-tanda hiperinflasi seperti barrel chest dan hipersonor pada perkusi.
Pasien yang dengan obstruksi jalan nafas berat akan menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan duduk dalam posisi tripod.Didapatkan juga sianosis
pada bibir dan kuku pasien.
a) Inspeksi
Pursed lips breathing.
Barrel chest
Penggunaan otot bantu pernafasan
Hipertrofi otot bantu pernafasan
JVP meningkat
Edema tungkai bawah
Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk,
sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di
sentral dan perifer.
b) Palpasi
38
Fremitus melemah
c) Perkusi
Hipersonor
d) Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah
Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
Eskpirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
- Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat
- Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
b) Pemeriksaan faal paru
- Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan
volume ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual (RV)
dengan kapasitas paru total (TC) normal atau meningkat.
c) Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial
2.5.4 Penatalaksanaan
39
Berhenti merokok dapat meningkatkan batuk pada banyak pasien dengan
bronkitis kronik dengan meningkatkan fungsi mukosiliar dan sel goblet dengan
menurunkan hiperplasia. Berhenti merokok juga telah terbukti mengurangi cedera
saluran napas dan menurunkan kadar lendir di dikelupas sel tracheobronchial
dahak dibandingkan dengan mereka yang terus merokok
b. Rehabilitasi
2. Medikamentosa
a. Mukolitik dan ekpetorat
40
o Bronkitis kronis mukopurulen ( chronic mucupurulent bronchitis), ditandai
dengan batuk berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).
o Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas ( chronic bronchitis
with obstruction ), ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan
sesak napas berat dan suara mengi (Robin, 2007)
b. Derajat BKEA
Derajat 1 (Mild) : bila terdapat 1 dari kriteria mayor dan 1 kriteria
minor
Derajat 2 ( Moderate ) : bila terdapat dua dari 3 kriteria mayor
Derajat 3 ( Severe ) : bila terdapat 3 kriteria mayor
c. Management
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah
41
menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal
yang harus diperhatikan meliputi :
1. Diagnosis beratnya eksaerbasi
2. Terapi oksigen adekuat
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a) Antibiotik
b) Bronkodilator
c) Kortikosteroid
d) Ventilasi mekanik
e) Kondisi lain yang berkiatan
- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia
2.6. TB Paru
2.6.1. Definisi
42
positif.Atau Seorang pasien yang telah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk TB
sehingga didiagnosis TB oleh Dokter maupun petugas kesehatan dan diobati dengan
panduan dan lama pengobatan yang lengkap.
Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Kasus Lalai Berobat
Adalah penderita yang sudah berobat1 bulan, tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke 5 atau lebih. Atau penderita dengan hasil BTA negatif
gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan
dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.
Kasus Kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidk aktif, atau foto serial (dalam 2 bulan)
menunjukkan gambaran OAT yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran
radiologi.
2.6.2. Klasifikasi
43
Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. TB
milier diklasifikasikan sebagai TB Paru karena lesinya yang terletak dalam
paru.
Tuberkulosis ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain
paru seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan atau
hilus), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput
otak.
44
Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif bial hasil foto
toraks sesuai dengan gambaran TB aktif disertai salah satu dari :
Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai
HIV, atau
Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau prevalensi
rendah) tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberiaan
antibiotik spektrum luas (kecuali antibiotik yang mempunyai efek
anti TB)
c. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :
Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB atau pernah mendapat pengobatan TB kurang dari satu bulan. Pasien
dengan hasil BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit
dimanapun.
Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah
pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu
bulan, dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
penyakit dimanapun.
- Kambuh
- Gagal
- Lalai berobat
d. Berdasarkan status HIV pasien
Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk keputusan
pengobatan. Akan dibahas lanjut pada pembahasan TB-HIV.
Gejala TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah gejala
respiratori, terdiri dari :
45
Batuk 2 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai gejala ringan sampai gejala
yang berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit maka mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus dan selanjutnya diperlukan membuang dahak ke luar.
Sedangkan gejala sistemik :
Demam
Gejala sitemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun.
a. Pemeriksaan bakteriologi
1) Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
46
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses dan
jaringan biopsi.
2) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus (BJH), dapat dibuat sediaan
apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan
dapat ditambahkan NaCl 0,9 % 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium
mikrobiolgi dan patologi anatomi.
3) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, BAL,
urin,feses dan jaringan biopsi, dapat dilakukan dengan cara :
Pemeriksaan mikroskopis
Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopis fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis
dibaca dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUDTLD). Skala IUDTLD :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Biakan
Lowenstein-Jensen
Pada identifikasi M. Tuberculosis, pemeriksaan dengan media
biakan lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan dapat mendeteksi 10 -1000 mikrobakterium/ml.
47
Media biakan terdirir dari media padat dan media cair. Media Lowenstein-
Jensen adalah media padat yang menggunakan media basa telur.
Uji lainnya :
Uji tuberkulin, uji ini dipakai untuk mengetahui seorang telah
terinfeksi kuman TB atau menetukan TB laten. Di Indonesia dengan
prevalens TB yang tinggi, iji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula, atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin
dapat memberikan hasil negatif.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi
yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai TB aktif adalah :
Bayangan berawan/nodular di segmen Apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
48
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Luluh Paru (destroyed lung) :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh
paru terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis parenkim
paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologi tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas
proses penyakit.
2.6.6. Pengobatan TB
49
- OAT kategori II
o TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan
2RHZES/RHZE/5HRE
o TB paru kasus gagal pengobatan
2RHZES/RHZE/5HRE
o TB paru kasus putus berobat
Berobat 4 bulan :
BTA saat ini negative
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif,
dilakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain.
Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awaldengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu lebih lama.
BTA saat ini positif
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama.
Bila BTA negative, gambaran foto thorak positif TB aktif
pengobatan diteruskan.
Kemasan
1. Obat tunggal, obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Dengan dosis :
R 10 mg / kg BB
H 5 mg / kg BB
Z 25 mg / kg BB
E 20 mg / kg BB
50
S 15 mg / kg BB
2. Obat kombinasi dosis tetap / KDT (fixed dose combination / FDC),
kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 2 sampai 4 obat dalam satu tablet.
International Union Against Tuberculosis and Lungs Disease
(IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan Kombinasi Dosis Tetap (Fixe Dose Combination) dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998.
51
30-37 2 2 2
38-54 3 3 3
55-70 4 4 4
>71 5 5 5
b. Kategori II
Diberikan untuk pasien TB BTA positif yang telah diobati sebelumnya
Berat Badan Tahap Intensif Tiap Hari Tahap Lanjutan 3
Selama 2 bulan Selama 1 bulan
kali selama 5 bulan
30-37 2 Tab 4 FDC + 500 2 Tab 4 FDC 2 Tablet 2 FDC + 2
mg streptomisin Tab Etambutol
38-54 Inj 3 Tab 4 FDC 3 Tablet 2 FDC + 3
3 Tab 4 FDC + 750 Tab Etambutol
55-70 mg streptomisin 4 Tab 4 FDC 4 Tablet 2 FDC + 4
Inj Tab Etambutol
2 Tab 4 FDC +
71 1000 mg 5 Tab 4 FDC 5 Tablet 2 FDC + 5
streptomisin Inj Tab Etambutol
2 Tab 4 FDC +
1000 mg
streptomisin Inj
Penetuan dosis terapi FDC 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan WHO, merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam
batas dosis terapi dan non toksik.
52
Pada kasus yang mendapat obat FDC tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit/dokter spesialis paru/fasilitas
yang mampu menanganinya, dimana efek samping obattersebut :
1. Isoniazid
Mayor :
o Kemerahan dengan atau tanpa gatal
o Kuning setelah penyebab lain disingkirkan
o Hiperglikemia
o Asidosis metabolik
Minor :
o Tidak nafsu makan, mual dan nyeri perut
o Rasa terbakar, kebas/kesemutan pada tangan atau kaki
o mengantuk
2. Rifampisin
Mayor :
o Kemerahan dengan atau tanpa gatal
o Kuning setelah penyebab lain disingkirkan
Minor :
o Tidak nafsu makan, mual dan nyeri perut
o Syok, purpura, gagal ginjal akut
o Urine berwarna kemerahan
o Sindrom flu
3. Pirazinamid
Mayor :
o Kemerahan dengan atau tanpa gatal
o Kuning setelah penyebab lain disingkirkan
53
Minor :
o Tidak nafsu makan, mual dan nyeri perut
o Nyeri sendi
4. Etambutol
Minor :
o Gangguan penglihatan setelah gangguan lain disingkirkan
5. Streptomisin
Mayor :
o Kemerahan kulit dengan atau tanpa gatal
o Tuli sensorineural
o Pusing (vertigo/nistagmus)
Minor
o Penurunan jumlah urine
54
Bahan-bahan makanan rumah tangga, seperti gula, minyak nabati, mentega,
kacang, telur dan bubuk susu kering nonlemak, dll dapat menambah kalori
dan protein tanpa menambah besar ukuran makanan.
Minimal 500-750 ml per hari susu atau yogurt yang dikonsumsi untuk
mencukupi asupan vitamin D dan kalsium secara adekuat.
Minimal 5-6 porsi buah dan sayuran dikonsumsi setia hari
Sumber terbaik vitamin B6 adalah jamur, terigu, liver sereal, polong, kentang,
pisang dan tepung haver.
Alcohol harus dihindarkan karena hanya mengandung kalori tinggi, tidak
memiliki vitamin juga dapat memperberat fungsi hepar.
Menjaga asupan cairan adekuat (minum minimal 6-8 gelas/hari).
Prinsipnya pada pasien TB tidak ada pantangan.
Bila pasien demam dapat diberikan obat penurun panas/demam, bila perlu
dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
lain
55
Pengobatan suportif/simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat.
Indikasi operasi :
1) Indikasi mutlak
Pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi secara konservatif
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2) Indikasi relatif
Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kavitas yang menetap
Tindakan invasif (selain pembedahan)
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan Water Sealed Drainaged (WSD)
1) Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi secara periodik
Evaluasi terhadap respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidak nya komplikasi penyakit
Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis.
56
o Sebelum pengobatan dimulai
o Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fae intensif)
o Pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaa biakan dan uji kepekaan
1) Sembuh
Pasien dengan hasil sputum BTA positif atau kultur positif sebelum
pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur pada akhir
pengobatan serta sedikitnya satu kali pemeriksaan sputum sebelumnya
negatif
Pada foto toraks, gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap
sama/perbaikan
Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
2) Pengobatan lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi tidak memiliki hasil
pemeriksaan sputum atau kultur pada akhir pengobatan
57
3) Gagal pengobatan
Pasein dengan hasil sputum atau kultur positif pada bulan ke lima atau
lebih dalam pengobatan
4) Meninggal
Pasien yang meninggal dengan apapun penyebabnya selama dalam
pengobatan
5) Lalai berobat
Pasien dengan pengobatan terputus dalam waktu dua bulan berturut turut
atau lebih
6) Pindah
Pasien yang pindah ke unit (pencatat dan pelaporan) berbeda dan hasil
akhir pengobatan belum diketahui
7) Pengobatan sukses/berhasil
Jumlah pasien yang sembuh ditambah pengobatan lengkap
2.6.11. Komplikasi
Standar 1
58
Untuk memastikan diagnosis dini, pemberi pelayanan kesehatan harus mengetahui
factor resiko tuberculosis untuk individeu dan kelompok serta melakukan evaluasi
klinis cepat dan uji diagnostic yang tepat untuk orang dengan gejala dan temuan yang
mendukung tuberkulosis.
Standar 2
Semua pasien termasuk anak-anak, dengan batuk produktif yang tidak diketahui
penyebabnya yang berlangsung dua minggu atau lebih atau dengan temuan pada foto
thoraks yang tidak diketahui penyebabnya yang mendukung ke arah tuberculosis
harus di evaluasi untuk tuberculosis.
Standar 3
Semua pasien termasuk anak-anak, yang dicurigai memiliki TB paru dan mampu
mengeluarkan dahak, harus memberikan sedikitnya dua specimen dahak untuk
pemeriksaan mikroskopis atau satu specimen dahak untuk pemeriksaan
XpertMTB/RIF* dilaboratorium yang sudah teruji kualitasnya.
Pasien dengan resiko resistensi obat, dengan HIV, atau yang sangat sakit, harus
diepriksa dengan XpertMTB/RIF sebagai pemeriksaan diagnostic awal.
Uji serologi darah dan interferon-gamma release assays tidak boleh digunakan untuk
diagnostic tuberculosis aktif.
Standar 4
Untuk semua pasien,termasuk anak-anak yang diduga memiliki TB ekstra paru,
specimen yang tepat dari bagian tubuh yang sakit harus diambil untuk pemeriksaan
mikrobiologi dan histology
Mengingat pentingnya diagnosis cepat pada terduga TB meningitis maka
pemeriksaan XpertMTB/RIF direkomendasikan sebagai uji mikrobiologi yang
diduga TB meningitis
Standar 5
Pada pasien yang diduga memiliki TBparu dengan BTA negatif, perlu dilakukan
pemeriksaan XpertMTB/RIF dan atau kultur dahak.
59
Pada pasien dengan BTA negative dan XpertMTB/RIF negative tetapi bukti-bukti
klinis mendukung kuat kearah TB, maka pengobatan dengan OAT harus dimulai
setelah dilakukkan pengumpulan specimen untuk pemeriksaan kultur.
Standar 6
Untuk semua anak-anak yang diduga menderita TB intrathorak (misalnya paru,pleura,
dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi bakteriologis perlu
dilakukan melalui pemeriksaan sekresi saluran pernafasan ( dahak ekspektorasi,
dahak hasil induksi dan bilas lambung)untuk pemeriksaan mikroskopik.
XpertMTB/RIF,dan atau kultur
Standar 7
Agar tanggung jawab kesehatan masyarakat terpenuhi dan juga tanggung jawab
kepada pasien secara individu maka penyedia layanan kesehatan harus menyediakan
rejimen yang tepat, memonitor kepatuhan pengobatan, dan jika diperlukan dapat
mengatasi factor-faktor yang dapat menyebabkan pengobatan terhenti atau terputus.
Untuk memenuhi kewajiban ini maka diperlukan koordinasi antara pemberi
pelayanan kesehatan masyarakat daerah setempat dan atau agen pelayanan kesehatan
lainnya.
Standar 8
Semua pasien yang belum pernah mendapat terapi sebelumnya dan tidak memiliki
resiko resitensi obat dapat diobati dengan rejimen terapi standar WHO yaitu
menggunakan obat yang sudah teruji kualitasnya.
Fase awal selama dua bulan diberikan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid dan
etambutol. Fase lanjutan diberikan isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan.
Dosis OAT mengikuti rekomendasi WHO. Pemberian dalam bentuk kombinasi dosis
tetap akan memberikan kemudahan dalam pemberian obat.
Standar 9
Pendekatan pengobatan dengan prinsip pengutamaan pasien sebaiknya diterapkan
untuk seluruh pasien agar terjadi kepatuhan berobat, meningkatkan kualitas hidup,
dan mengurangi penderitaan.
60
Pendekatan ini sebaiknya berdasarkan kepada apa yang dibutuhkan pasien dan juga
atas dasar saling menghormati antara pasien dan pemberi layanan kesehatan.
Standar 10
Respon pengobatan pada pasien dengan TB paru (termasuk orang-orang denga TB
didiagnosis dengan tes molekuler cepat) harus di pantau pada saat menyelesaikan
tahap awal pengobatan ( 2 bulan ) dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopi
sputu . Jika sputumnya positif pada akhir fase awal pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan sputum ulangan pada akhir bulan ketiga, dan jika masih postitif, maka
pemeriksaan sensitivitas obat secara molekuler cepat (line probe assay atau
XpertMTB/RIF) harus dilakukan.
Pada pasien denga TB ektra paru dan pada anak-anak, respon pengobatan terbaik
adalah bedasarkan klinis pasien.
Standar 11
Penilaian kemungkinan adanya resistensi obat, berdasarkan anamnesis dan riwayat
pengobatan, kasus terpajan dengan sumber yang kemungkinan memiliki resistensi
obat, dan prevalensi komunitas resistensi obat (bila diketahui), harus dilakukan pada
seluruh pasien. Tes kepekaan obat harus dilakukan pada awal pengobatan terhadap
seluruh pasien dengan resiko resistensi obat. Pasien dengan sputum masih tetap
positif pada akhir bulan ketiga pengobatan, pasien dengan gagal pengobatan, pasien
yang tidak terlacak(putus pengobatan), atau kambuh harus selalu dicurigai sebagai
resistensi obat. Pada pasien yang seperti ini, maka XpertMTB/RIF merupakan tes
diagnostic awal. Jika terdeteksi resisten rifampisin, maka kultur dan tes kepekaan
harus segera dilakukan isoniazid, florokuinolon, dan obat-obat injeksi lini kedua.
Konseling dan edukasi pasien serta pemberian terapi empiris lini kedua harus
diberikan sesegera mungkin untuk meminimalisir kemungkinan penyebaran.
Langkah-langkah pengendalian infeksi yang tepat harus diterapkan
Standar 12
Pasien dengan atau kemungkinan besar untuk memiliki tuberculosis yang disebabkan
oleh organisme yang resisten terhadap obat (terutama MDR/XDR) harus ditangani
dengan regimen khusus yang mengandung lini ke 2 OAT mutu yang terjamin. Dosis
61
harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Regimen yang dipilih dapat distandarlisasi
atau berdasarkan asumsi atau dikonfirmasi oleh pola uji sensitiviti obat. Setidaknya
lima obat, pirazinamid dan empat obat yang diketahui organisme atau diduga rentan,
termasuk yang disuntikkan harus digunakan dalam fase intensif 6-8 bulan, dan
setidaknya 3 obat yang diketahui organisme atau diduga rentan harus digunakan
dalam fase lanjutan. Pengobatan harus dilanjutkan paling sedikit 18-24 bulan di luar
konversi kultur. Tindakan yang terpusat pada pasien, termasuk pengamatan dalam
pengobatan, diperlukan untuk memastikan kepatuhan. Konsultasi dengan spesialis
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan TB MDR/XDR harus diperoleh.
Standar 13
Suatu system pencatatan yang sistematis dan mudah diakses meliputi obat-obatan
yang diberikan, respon bakteriologis, hasil akhir pengobatan, dan adanya efek
samping obat, harus dilaksanakan untuk setiap pasien.
Standar 14
Konseling dan uji HIV harus dilakukan pada seluruh pasien TB atau tersangka TB
kecuali jika terdapat konfirmasi hasil tes yang negative dalam dua bulan terakhir.
Oleh karena adanya hubungan yang kuat antara Tb dan infeksi HIV maka pendekatan
yang terintegrasi untuk pencegahan, diagnosis dan pengobatan terhadap kedua
penyakit ini di rekomendasikan pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Tes
HIV ini penting sebagai bagian dari manajemen seluruh pasien didaerah dengan
prevalensi HIV yang tinggi pada populasi umum, pada pasien dengan tanda dan
gejala yang berhubungan dengan kondisi HIV, dan pada pasien dengan riwayat
terpapar infeksi HIV.
Standar 15
Pada orang dengan infeksi HIV dan TB yang memiliki imunosupresi yang dalam
(CD4 kurang dari 50 sel/mm3), ART harus dimulai dalam waktu 2 minggu dan mulai
pengobatan untuk TB kecuali meningitis TB hadir. Untuk semua pasien lain dengan
HIV dan TB, terlepas daru jumlah CD4, ART harus dimulai dalam waktu 8 minggu
dari mulai pengobatan untuk TB. Pasien dengan TB dan infeksi HIV juga harus
menerima kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
62
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang telah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita TB
aktif seharusnya diobati sebagai infeksi laten dengan isoniazid selama 6 bulan.
Standar 17
Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh
terhadap kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respon atau hasil pengobatan
TB. Saat rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara kesehtan harus
mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang
optimal bagi semua pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada
penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit yang
mempengaruhi hasil pengobatan, seperti DM, program berhenti merokok, dan
layanan pendukung psikososial lain, atau layanan seperti perawatan selama masa
kehamilan atau setelah melahirkan.
Standar 18
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien TB seharusnya memastikan bahwa
semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien TB menulae seharusnya di
evaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional.
Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah orang dengan gejala yang mendukung
kearah tuberculosis anak usia dibawah 5 tahun, kontak dengan kondisi atau diduga
memiliki kondisi imunokopremeis, khususnya infeksi HIV, kontak dengan pasien TB
MDR/XDR
Standar 19
Anak usia <5 tahun dan orang dari semua usia dengan infeksi HIV dan merupakan
kontak erat pasien dengan TB yang menular dan stelah pemeriksaan secara cermat
tidak menderita TB aktif, harus diobati sebagai terduga infeksi TB laten dengan
isoniazid selama sekurangnya enam bulan.
Standar 20
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menangani pasien dengan TB atau di duga
menderita TB harus mennerapkan rencana pengendalian infeksi TB yang sesuai untuk
meminimalisir penularan mycobacterium Tb kepasien lain dan petugas kesehtan.
63
Standar 21
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus TB baru maupun
kasus pengobtan ulang serta hasil pengobatan nya ke kantor Dinas Kesehatan
setempat denga peraturan hukum dan kebijksanaan yang berlaku.
2.7.2. Klasifikasi
Rifampisin dan INH merupakan obat yang sangat penting pada pengobatan
TB yang diterapkan pada strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course).
Secara umum resistensi obat anti TB dibagi menjadi :
Resistensi primer
Ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau
telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.
Resistensi inisial
Ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan
OAT sebelumnya atau belum pernah.
Resistensi sekunder
Ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan.
64
3. Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan sekurang-kurangnya terhadap isoniazid
dan rifampisin.
4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah
satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
5. Total drug-resistance : resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua. Pada
kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai.
2.7.3. Etiologi
65
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan
pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama maka
penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang
daftar obat yang resisten.
Organisasi program nasional TB yang kurang baik
b. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama, lebih dari 6 bulan sehingga
membosankan pasien.
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan
gagal sampai selesai/komplit.
Obat tidak dapat diserap dengan baik missal rifampisin diminum
setelah makan, atau ada diare.
Kualitas obat kurang baik missal penggunaan obat kombinasi dosis
tetap yang mana bioavibilitas rifampisisnya berkurang.
Regimen / dosis obat yang tidak tepat
Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat terputus
c. Pasien
PMO tidak ada / kurang baik
Kurangnya informasi atau penyuluhan
Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
Efek samping obat
Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
Masalah sosial
Gangguan penyerapan obat
3. Faktor program
66
a. Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
b. Amplifier effect
c. Tidak ada program DOTS-PLUS
d. Program DOTS belum berjalan dengan baik
e. Memerlukan biaya yang besar
4. Faktor HIV-AIDS
a. Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
b. Gangguan penyerapan
c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. Faktor kuman
Kuman M. tuberculosis super strains
Sangat virulen
Daya tahan hidup lebih tinggi
Berhubungan dengan TB-MDR
67
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-
MDR.
9. TB-HIV
Diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk TB-MDR didukung
oleh:
Pengenalan faktor risiko untuk TB-MDR
Pengenalan kegagalan obat secara dini
Uji kepekaan obat di laboratorium yang sudah tersertifikasi
Uji kepekaan OAT lini 2 dilakukan bila terdapat riwayat pemakaian OAT lini
2 atau pada pasien MDR yang dalam masa pengobatan tidak terjadi konversi
atau perburukan secara klinis.
68
Kelompok 3: fluorokuinolon. Moksifloksasin (Mfx), levofloksasin (Lfx),
ofloksasin (Ofx).
Kelompok 4: bakteriostatik OAT kategori II. Etionamid (Eto), protionamid
(Pto), sikloserin (Cs), terzidone (Trd), PAS.
Kelompok 5: obat yang belum diketahui efektivitasnya. Klofazimine
(Cfz), Linezoid (lzd), Amoksiclav (Amx/clv), Tiosetazone (Thz),
Imipenem/cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi, Klaritromisin (Clr).
Strategi pengobatan :
Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan
dan frekuensi penggunaan OAT dinegara tersebut. Berikut strategi pengobatan
MDR:
Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi
pasien yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan
karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien
akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai
TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan.
Pengobatan empiris.Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan
riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan
populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah
ada hasil uji kepekaan individual.
Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
69
Lama fase intensif
Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan
adalah berdasarkan kultur konversi. Obat suntik diteruskan sekurang-
kurangnya selama 6 bulan dan minimal 4 bulansetelah hasil sputum atau
kultur yang pertama menjadi negatif. Pendekatan individual termasuk hasil
kultur, sputum, foto thorak, dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu
memutuskan menghentikan pemakaian obat suntik.
Lama pengobatan
Lamanya pengobatan berdasarkan kultur konversi. Panduan yang
direkomendasikan adalah menerusakan pengobatan minimal 18 bulan setelah
kultur konversi. Sampai saat ini belum ada data yang mendukung
pengurangan lama pengobatan. Pengobatan lebih dari 24 bulan dapat
dilakukan pada kasus kronik dengan kerusakan paru luas.
Pembedahan TB-MDR
Prosedur pengobatan yang paling sering dilakukan pada pasien TB-
MDR adalah reseksi. Dari hasil beberapa penelitian pembedahan efektif dan
relatif aman. Pembedahan tidak diindikasikan pada penderita dengan
gangguan paru luas bilateral. Pembedahan dilakukan pada kasus-kasus awal
seperti kelainan satu lobus atau paru dan setelah pemberian pengobatan
selama 2 bulan untuk menurunkan infeksi bakteri dalam paru. Setelah
pembedahan, pengobatan tetap diberikan selama 12-24 bulan.
70
menyerang dan merusak sel-sel limposit T-helper (CD4 +) sehingga sistem imun
penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan keganasan.
AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi virus HIVyang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi dipopulasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah
dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya
diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang diduga
berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan
HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru
tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronik
71
Foto toraks Reaktivasi TB, kavitas di puncak Tipikal primer TB
milier / intersisial
Adenopati hilus / Tidak ada Ada
mediastinum
Efusi pleura Tidak ada Ada
2.8.3. Pengobatan
72
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV dengan golongan
nukleotida, kecuali didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1jam
dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida.
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan
nonnukleotida dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan
bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar
nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurun kan kadar nevirapin
sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin
yang direkomendasikan.
Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian
ARV dalam 8 minggu pemberian OAT tanpa mempertimbangkan kadar
CD4. Pertimbangan pemberian ARV segera setelah diagnosis TB ialah
bahwa angka kematian pada pasien TB-HIV terjadi umumnya pada 2
bulan pertama pada pemberian OAT. Meskipun demikian pemberian
secara bersamaan membuat pasien menelan obat dalam jumlah yang
banyak sehingga dapat terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek samping,
interaksi obat dan Immune Reconstitution Inflamatory Syndrome (IRIS).
Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksazol
dengan dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.
73
Macam obat ARV yang tersedia di indonesia :
Ada 3 kelompok besar obat ARV
Nucleoside Dan Nucleotide Reverse Transciptase Inhibitor (NRTI dan
NtRTI)
Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
Protease Inhibitor
Tabel 11.
Golongan obat Dosis
Obat ARV
74
Ritonavir dipakai sebagai booster untuk PI lainnya, untuk memperkuat
efek PI lainnya.
75
Lini pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI +
EFV
2 NRTI + NVP Ganti dengan 2 NRTI +
EFV atau ganti dengan
2NRTI + LPV/r
Lini kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau teruskan (bila
sementara menggunakan)
paduan mengandung LPV/r
76
DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi. Jakarta: IDI.
Mason, Robert J; et. al. 2010. Murray and Nadels Texbook of Respiratory Medicine
5th Ed. Sauders Elsevier.
77