Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit yang disebabkan oleh kelainan sistem imun dan hematologi
tentunya sangat banyak salah satunya adalah penyakit Diskoid Lupus
Eritematosus (DLE).
Prevalensi penyakit ini di seluruh dunia yang cukup tinggi yaitu berkisar
antara 17-48 kasus dalam populasi 100.000, dimana tertinggi terjadi pada
pasien berusia 40-60 tahun. Pasien wanita berjumlah sepuluh kali lipat dari
pasien laki-laki. Rasio pria berbanding wanita dalam DLE adalah 1:2.
Cutaneous lupus erythematosus (CLE) terjadi 2-3 kali lebih sering pada
wanita. DLE dalam hal ini berperan dalam 50-85% kasus CLE, dimana
insidensi CLE dalam studi Durusaro (2009) sebanding dengan SLE (Durusaro,
2009).
DLE lebih sering terjadi pada pasien dengan ras Afro-Amerika
dibandingkan mereka yang berkulit putih maupun pasien Asia (Callen, 2011).
Mengingat prevalensinya yang cukup tinggi, cukup berbahaya karena
merupakan salah satu kelainan sistem imun, maka perlu adanya pemahaman
yang lebih mendalam terkait penyakit ini mulai dari epidemiologi sampai
dengan prognosis.

B. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas referat pada blok hematoimunologi.
2. Untuk mengetahui definisi dan epidemiologi pada penyakit Diskoid
Lupus Eritematosus.
3. Untuk mengetahui etiologi dan patomekanisme pada penyakit Diskoid
Lupus Eritematosus.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dan penegkan diagnosis pada penyakit
Diskoid Lupus Eritematosus.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan dan
prognosis pada penyakit Diskoid Lupus Eritematosus.

1
BAB II
ISI

A. Definisi
Discoid lupus eritematosus (DLE) merupakan dermatosis kronis yang
meninggalkan luka parut, menyebabkan atrofi jaringan, dan bersifat
fotosensitif. DLE dapat muncul pada pasien sistemik lupus eritematosus
(SLE). Beberapa pasien memiliki lesi subakut kutan lupus eritematosus
(SCLE), beberapa pasien lainnya memiliki ruam yang berkelanjutan.Penyakit
DLE hanya mempengaruhi kulit dan tidak menyebabkan penyakit sistemik
(British Association of Dermatologist, 2011).
Diskoid lupus eritematosus adalah penyakit dermatologi kronis yang dapat
menyebabkan jaringan parut, rambut rontok, dan prubahan hiperpigmentasi
pada kulit. Lupus Eritematosus Diskoid memiliki efek berkepanjangan dan
berpengaruh besar pada kualitas hidup. Deteksi dan penanganan dini dapat
memperbaiki prognosis pasien Lupus Eritematosus Diskoid. Diagnosis
biasanya berdasarkan pemeriksaan klinis. Dalam beberapa kasus, pemeriksaan
histologi mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Lesi dapat
disebabkan atau diperburuk oleh paparan ultraviolet, oleh karena itu, tindakan
melindungi dari sinar ultraviolet sangatlah penting. Pengobatan yang paling
andalan saat ini adalah dengan steroid topikal kuat dan antimalaria. Beberapa
kasus lupus eritematosus diskoid sulit disembuhkan dengan terapi standar,
dalam kasus ini, retinoid, thalidomide, dan tacrolimus topical dapat menjadi
alternatif, seperti halnya immunosupresif seperti azathioprine, siklosporin,
mycophenolate mofetil, dan methotrexate. (Panjwani, 2009)

2
Gambar 1.Contoh ruam yang ada pada
pasien DLE.

B. Epidemiologi
Prevalensi DLE di seluruh dunia berkisar antara 17-48 kasus dalam
populasi 100.000, dimana prevalensi tertinggi terjadi pada pasien berusia 40-
60 tahun. Pasien wanita berjumlah sepuluh kali lipat dari pasien laki-laki.
Cutaneous lupus erythematosus (CLE) terjadi 2-3 kali lebih sering pada
wanita. DLE dalam hal ini berperan dalam 50-85% kasus CLE, dimana
insidensi CLE dalam studi Durusaro (2009) sebanding dengan SLE (Durusaro,
2009).
DLE lebih sering terjadi pada pasien dengan ras Afro-Amerika
dibandingkan mereka yang berkulit putih maupun pasien Asia. Rasio pria
berbanding wanita dalam DLE adalah 1:2. DLE lebih sering terjadi pada
pasien berusia 20-40 tahun, dengan rata-rata usia pasien kurang lebih 38 tahun
(Callen, 2011).

C. Etiologi
DLE terjadi pada pasien dengan kerentanan genetik, namun hingga saat ini
belum diketahui secara pasti mengenai gen yang mengekspresikan
DLE.Sebuah penelitian dari Lehmann menyatakan adanya protein heat-shock
dalam keratinosit yang dapat terinduksi oleh paparan sinar ultraviolet (UV).
Jika terinduksi, protein tersebut akan berperan sebagai target untuk sinar
gamma (delta) yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel epidermis. Kerja
protein tersebut diinduksi oleh sel T dengan toll like receptors (TLR) (Callen,
2011).

3
Penjelasan atas DLE yang sering dipaparkan adalah adanya kelainan
sistem imun tubuh yang menyerang jaringan tubuh sendiri, yaitu penyakit
auto-imun. Antibodi dalam tubuh akan menyerang sel-sel pada kulit sehingga
terbentuk ruam yang akhirnya diperparah oleh paparan sinar matahari. Perlu
diketahui bahwa DLE bukan penyakit infeksius dan tidak terkait alergi
makanan (British Association of Dermatologist, 2011).

D. Patomekanisme
Pada pasien DLE, ditemukan sitokin dan kemokin yang berperan dalam
patogenesis. Adanya ekspresi mRNA dalam TNF-, INF-, TGF-, IL-6, IL-
10, IL-12p40, CXCL9, dan CXCL10 berperan dalam proses ini walaupun
kadarnya tidak sebanyak pasien SLE. CXCL9 and CXCL10 secara signifikan
berhubungan dengan ekspresi mRNA INF- . Secara umum, sitokin dan
kemokin sel T helper 1 dan sel T helper 2 diekspresikan dalam proses
patogenesis DLE (Gambichler, 2012).
Jika dibandingkan kadar kemokin dan sitokin dengan penyakit lupus
lainnya yaitu SLE dan Lupus Erythematosus Lumidus (LET), DLE memiliki
kadar ligand sitokin dan kemokin yang paling rendah, hal ini
berkesinambungan dengan ringannya gejala DLE dibanding dua penyakit
lupus lainnya (Gambichler, 2012).
Setelah terjadi trigger (salah satunya adalah paparan sinar ultraviolet),
terjadi proses respon imun dimana terdeteksi IgG dan C3 di sepanjang
membran basalis epidermis. Membran ini merupakan perbatasan dermis-
epidermis.Sel yang menjadi mediator inflamasi pada kasus DLE adalah sel T
di dermis.Setelah sel-sel inflamasi memadat, mereka berinfiltrasi menuju
dermis dan berekstensi hingga subkutan dan retikular dermis yang lebih
dalam.Setelah itu muncullah luka parut dan lesi yang khas pada DLE.Suatu
hal yang dapat membedakan DLE dengan Lupus Eritematosus spesifik kulit
(cutan lupus erythematosus / CLE) lainnya adalah CLE memiliki lebih sedikit
sel inflamasi yang berinfiltrasi. Lesi yang muncul diinisiasi oleh proses
apoptosis keratinosit. Lapisan berinti dari epidermis tidak menebal, namun
mengalami atrofi hingga akhirnya terjadi hiperkeratosis dan penyumbatan
folikel.Perlu diketahui bahwa terdapat protein heat-shock dalam keratinosit

4
yang dapat terinduksi oleh paparan sinar ultraviolet (UV).Saat UV
menginduksi, protein tersebut akan berperan sebagai target untuk sinar gamma
(delta) yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel epidermis. Kerja protein
tersebut diinduksi oleh sel T dengan toll like receptors (TLR) (Callen, 2011).

E. Patofisiologi
Orang tertentu dilahirkan dengan membawa DNA Lupus Erytematosus
(Williams, 2005). Semula Lupus Erytematosus digambarkan sebagai suatu
gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat
ruamnya yang berbentuk kupu-kupu, melintasi tonjolan hidung da meluas
pada kedua pipi yang menyerupai gigtan serigala (lupus adalah kata dalam
bahasa latin yang berarti serigala). Lupus diskoid adalah nama yang sekarang
diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya terbatas pada gangguan kulit
(Price, 2003). Discoid Lupus Erytematosus adalah keadaan kronik lupus
kutaneus dengan angka keterlibatan sistemik yang rendah (Williams, 2005).
Secara etiologis hingga saat ini masih dinyatakan sebagai kelainan yang
menyangkut genetik, gender, usia, hereditas, dan aktivitas hormonal (Mansjoer
dkk, 2000). Meski belum dapat dipastikan, faktor lingkungan, infeksi, dan
pengunaan obat-obat tertentu (drug-induced Lupus Erytematosus) mendukung
induksi Lupus Erytematosus (Anonim, 2008). Selain terinduksi secara
herediter, peningkatan hormonal yang fisiologis, misal pada wanita yang
mengalami menstruasi, kadar estrogen meningkat drastis dari kondisi normal
dan diperkirakan melalui suatu mekanisme tertentu mempengaruhi respon
imun HLA (human leukocyte antigen) pada kromosom 6. Keberadaan agen
infeksius yang menginvasi tubuh juga dapat menginduksi hal yang sama.
Aktivasi HLA pada pengidap Lupus Erytematosus menyebabkan hiperaktivitas
sel B dalam memproduksi self dan non-self antigen dan intoleransi sel T
(Williams, 2005).
Hiperaktivitas pada sel B memicu respon imu yang abnormal serta aktivasi
autoreaksi sel T sitotoksik yang berdampak pada inflamasi sistem yang
bersangkutan. Hiperproduksi dari ANA (anti-nulear antibody), anti-fosfolipid,
dan antibodi lainnya yang diikuti oleh aktivasi antibodi anti-eritrosit, antibodi

5
limfositotoksik, dan antibodi anti-fosfolipid lain. Rekognisi antibodi dengan
antigen menginduksi formasi kompleks imun defektif. Sistem komplemen juga
teraktifasi sehingga meningkatkan treshold inflamasi dan rekruitmen agen
inflamasi yang berdampak pada kerusakan jaringan yang aku dan nekrosis
jaringan (Anonim, 2008).
Dampak dari formasi kompleks imun defektif pada komponen hematologi
lainnya adalah hemolisis eritrosit, akibatnya pengidap Lupus Erytematosus
kerap pula mengidap anemia hemolitik. Disamping itu formasi kompleks imun
efektif juga menyebabkan lisis pada beberapa populasi sel darah putih. Hal ini
dibuktikan oleh leukositopenia yang diperoleh dari hasil pemeriksaan hitung
jumlah leukosit pada pengidap Lupus Erytematosus. Destruksi dan reduksi
platelet (trombositopenia) juga dijumpai pada pemeriksaan trombosit pengidap
Lupus Erytematosus (Anonim, 2008).
Pengidap Lupus Erytematosus akan menjadi fotosensitif pada ultraviolet
B. Bercak malar pada pengidap Lupus Erytematosus sering kali disertai bercak
discoid. Kemunculan bercak-bercak pada kulit tersebut disebabkan oleh
inflamasi vaskular yang berdampak pada kerusakan jaringan pada level akut,
sub akut, dan kronik (Anonim, 2008).
Pada pengidap Discoid Lupus Erytematosus mumnya terdapat papula
merah cerah yang termarginasi, bercak-bercak berlbentuk bulat atau oval,
annular atau polisiklik, dengan batas iregular pada. Bercak seringkali menyebar
ke perifer dan menyebabkan lesi, atrofi, bahkan parut. Lesi aktif akan berwarna
merah, sedangkan lesi yang terbakar akan berwarna merah muda atau putih,
halus, atrofi, dan berparut. Orang dengan warna kulit gelap lebih berpotensi
untuk mengalami hiperpigmentasi yang lebih lanjut, lesi atrofik, dan parut.
Discoid bisa muncul di bagian tubuh manapun, namun pada umumnya
terlokalisasi di kulit kepala, wajah, dan telinga. Keterlibatan membran mukus
G kurang dari 5% (Williams, 2005).
Hal ini dimulai secara asimtomatis dan menjadi parah dalam hitungan
tahun bahkan bulan. Lesi yang terbentuk pada permukaan kuliat biasanya akan

6
mengalami regresi disertai atrofi dan parut yang mengahncurkan folikel rambut
dan alopesia ireversibel (Wiliiams, 2005).
Komplikasi dari Discoid Lupus Erytematosus dapat berupa internalisasi
terhadap organ-organ tertenu. Sepertiga pasien akan mengalami kelainan
ginjal, mulai dari proteinuria ringan dengan fungsi ginjal yang normal hingga
sindrom nefrotik lanjut atau gagal ginjal (Price, 2003). Pada keadaan yang
lebih kronik, kelainan dapat bermetastasis dan menyebabkan komplikasi
sistemik yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi
dari yang ringan sampai berat (Sistemik Lupus Erytematosus).

Gambar 2. Bagan Patofisiologi DLE

F. Penegakkan Diagnosis
Diskoid Lupus Eritematosus umumnya berupa bercak eritem berbentuk
kupu-kupu pada muka, kulit kepala, dahi, atau telinga. Ruam bisa terjadi di
tempat lain, mungkin agak gatal atau tanpa gejala. Pasien yang datang

7
seringkali mengeluhkan bercak kemerahan berbentuk kupu-kupu tersebut
umumnya pada muka, namun tidak disertai rasa gatal ataupun nyeri, jika pun
ada sifatnya hilang timbul. sebanyak < 5% pasien DLE mengalami
keterlibatan secara sistemik, hal tersebut diketahui dari hasil anamnesis
keluhan pasien yang mengarah pada gejala pleuritis, pericarditis, keterlibatan
saraf, dan keterlibatan ginjal. (Harahap, 2000).
Ruam melebar perlahan-lahan, pada permukaannya lebih cepat meluas.
Ruam yang umumnya terdiri dari plak dengan eritem yang terang, edema
menonjol dan pada daerah tengah terdapat atrofi dan cekung (Harahap, 2000).
Selagi plak melebar, begian tengah memucat, dan menjadi atrofi,
sedangkan pada bagian pinggir masih edema dan kemerahan dengan batas
tidak teratur. Pada ruam yang aktif didapati telangiektasi, apabila fase akut
mereda, terbentuk sisik folikuler dengan sumbat folikuler (follicular plug).
Atrofi berkembang dari tengah ke daerah pinggir (Harahap, 2000).
Jadi tiga hal, eritema, hiperatosis, dan atrofi sering terjadi berurutan. Ruam
biasanya konsentrik dengan eritem di bagian pinggir dan atrofi di tengah, dan
sering sekali satu proses lebih menonjol dari yang lain. Setelah semua proses
selesai, maka tinggal plak atrofi disertai hipopigmentasi atau hiperpigmentasi
(Harahap, 2000).
Leukoderma mungkin lebih ekstensif pada penderita kulit hitam. Daerah
yang sering terkena adalah daerah pipi, hidung, kulit kepala, telinga bagian
luar, mukosa mulut terutama langit-langit, dengan adanya bercak merah
berbatas tegas dengan pelebaran pembuluh darah. Kelopak mata bagian tepi
dan ruam pada bibir karakteristik dengan adanya sisik berwarna putih perak
pada daerah tepi (Harahap, 2000).
Diskoid lupus eritematosus di dalam mulut, mungkin terasa sakit dan
diragukan dengan liken planus. Cara membedakannya dengan imunohistologi.
Telapak tangan dan kaki jarang terkena; bila terkena akan didapatkan adanya
hiperkeratosis dan jari-jari tidak bisa digerakan (Harahap, 2000).
Apabila penyakitnya meluas akan mengenai dada bagian atas, punggung,
lengan dan sangat jarang mengenai anggota gerak bawah, dengan papula dan
plak sebagai gambaran yang karakteristik (Harahap, 2000).
Karakteristik lesi DLE (James, 2007) :

8
Lesi cenderung terjadi pada kulit yang sering terpapar cahaya matahari.
Contoh : Kulit kepala (menyebabkan alopecia permanen).

Lesi primer berupa papul kemerahan atau plak dengan pengelupasan


ringan.

Perubahan pigmentasi pada tepi aktif lesi berupa hiperpigmentasi,


sedangkan bagian tengah yang inaktif menunjukkan hipopigmentasi.

Lesi menyebar secara sentrifugal dan dapat menyatu.

Ketika lesi yang aktif sembuh, kulit terlihat atrofi dan terbentuk jaringan
parut.

Gambar 3.
Plak
DLE
pada kulit
kepala Gambar 4. Alopecia kulit
kepala

9
Gambar 5. Plak pasien DLE

G. Pemeriksaan Penunjang
Kelainan laboratorik dan imunologik pada lupus eritematosus diskoid
jarang terdapat, misalnya leukopenia, laju endap darah meninggi, serum
globulin naik, reaksi wassermann positif atau percobaan Coombs positif. Pada
kurang lebih sepertiga penderita terdapat ANA (antibodi antinuklear), yakni
yang mempunyai pola homogen dan berbintik-bintik. (Djuanda, 2010)
Hingga 28% dari pasien dengan Discoid Lupus Erythematosus (DLE)
yang rentan terhadap berkembang menjadi Systemic Lupus Erythematosus
(SLE). Untuk lebih mencirikan pasien dengan DLE yang memiliki potensi
lebih tinggi terkena SLE, kami meninjau studi kontras, pertama, pasien
dengan DLE tanpa SLE dan pasien SLE dengan DLE (yaitu pasien yang
didiagnosis dengan SLE dan DLE secara bersamaan), dan pasien dengan SLE
yang kemudian berkembang menjadi DLE, dan pasien dengan DLE yang
dapat berkembang untuk menjadi SLE. Studi-studi telah umum
mengidentifikasi indikator klinis dan berbagai laboratorium, seperti luas Lesi
DLE, arthralgia / arthritis, perubahan kuku, anemia, leukopenia, tingginya
erythrocyte sedimentation rates (ESRs) dan terdapatnya antinuclear
antibodies (ANAs), yang terkait dengan pengembangan SLE pada pasien
dengan DLE, dan SLE pasien dengan DLE. Keterbatasan studi ini meliputi
memadai tindak lanjut waktu, kecil jumlah pasien dengan DLE mengkonversi
ke SLE, kriteria lama untuk diagnosis SLE dan desain penelitian retrospektif.
Namun, karena risiko pasien DLE dapat berkembang menjadi pasien
SLE, pemeriksaan kulit lengkap, penilaian bersama dan tes laboratorium
termasuk ANA, ESR, dan jumlah darah lengkap harus dilakukan secara
teratur untuk pasien dengan DLE. (Chong, 2011).

Gambar 6. Tabel ringkasan dari studi yang membandingkan pasien dengan lupus
eritematosus diskoid (DLE) dan pasien lupus eritematosus sistemik (SLE) pasien
dengan DLE.

10
Gambar 7. Tabel ringkasan dari studi yang membandingkan pasien hanya
lupus eritematosus diskoid (DLE) dan pasien dengan DLE yang berkembang
menjadi systemic lupus eritematosus (SLE).

11
H. Penatalaksanaan
Pada umumnya pengobatan DLE sama halnya dengan pengobatan SLE,
mengingat DLE merupakan bagian dari SLE. Remisi sempurna jarang terjadi.
Dengan demikian, pasien dan dokter harus merencanakan (1) untuk
mengontrol kekambuhan penyakit dan (2) menciptakan strategi pemeliharaan
dengan menekan gejala sampai tingkat yang dapat diterima, biasanya
menimbulkan adanya efek samping obat (Isselbacher, 2000).
Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak
pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya
obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih
serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid
dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan
sistem imunitas (Helmi, 2008).
Pasien lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian
melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan

12
dalam menyebabkan kelelahan pada pasien. Laporan ini memperkuat
pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama
periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan
dari persendian (Helmi, 2008).
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan:
1. Terapi obat-obatan
Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan.
Bila diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID
membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan
lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac.
Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting untuk mencoba
NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek
samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak enak
perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping.
Kadang-kadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan,
seperti misoprostol (Helmi, 2008).
Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan
dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih
berguna terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa
diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya,
atau diberikan intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek
samping yang serius bila diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang
lama, dan harus dimonitor aktivitas dari penyakitnya untuk menurunkan
dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari kortikosteroid adalah
penurunan berat badan, penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah
membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar
(Helmi, 2008).
Dermatosis dan terkadang artritis lupus mungkin menunjukkan
respons terhadap obat antimalaria. Hydroxychloroquine dengan dosis
harian 400 mg dapat memperbaiki lesi kulit dalam beberapa minggu. Efek
samping jarang terjadi dan mencakup toksisitas retina, ruam, miopati, dan
neuropati. Pemeriksaan oftalmologik harus dilakukan teratur paling sedikit

13
setiap tahun, karena toksisitas pada retina berkaitan dengan dosis kumulatif
(Isselbacher, 2000).
Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan
efektif dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping
termasuk diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan
pigmen mata jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama
pemberian obat ini. Peneliti menemukan bahwa obat ini mengurangi
frekuensi bekuan darah yang abnormal. Jadi, obat ini tidak hanya
mengurangi kemungkinan serangan, tetapi juga berguna untuk
menipiskan darah untuk mencegah pembekuan darah abnormal yang luas
(Helmi, 2008).
Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti
chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan
dengan hydroxychloroquine. Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit
adalah dapsone dan asam retinoat (Retin-A). Untuk penyakit pada kulit
yang lebih berat, dibutuhkan immunosupresif. Pengobatan yang menekan
sistem imun disebut juga obat yang sitotoksik. Pengobatan
immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi berat dan
kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine,
cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua
immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun dan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek samping
lainnya berbeda pada tiap obat. Methotrexate menyebabkan keracunan hati,
cyclosporine bisa mengganggu fungsi ginjal (Helmi, 2008).
Sebagian manifestasi penyakit ini tidak berespons terhadap
imunosupresan, termasuk gangguan pembekuan darah, beberapa gangguan
perilaku, dan glomerulonefritis stadium akhir. Antikoagulasi merupakan
terapi pilihan untuk mencegah pembekuan darah. Terapi warfari jangka
panjang efektif untuk mencegah pembekuan di dalam vena dan mungkin
mengurangi pembekuan di dalam arteri. Efek aspirin dan heparin atas
trombosis arteri masih belum jelas. Obat-obat psikoaktif sebaiknya
diberikan bila memang diperlukan (Isselbacher, 2000).

14
Penggunaan obat sitotoksik (azatioprin, klorambusil, siklofosfamid)
mungkin bermanfaat untuk mengontrol penyakit aktif, menurunkan angka
kekambuhan penyakit, dan menurunkan kebutuhan steroid. Pasien nefritis
lupus lebih jarang mengalami gagal ginjal bila diterapi dengan kombinasi
glukokortikoid plus siklofosfamid; azatioprin sebagai obat kedua
manfaatnya lebih rendah tetapi tetap efektif. Namun, kesintasan
keseluruhan tidak berbeda, mugkin karena gagal ginjal biasanya
menyebabkan keharusan dialisis atau transplantasi bukan langsung
menyebabkan kematian. Efek samping obat obat sitotoksik adalah
penekanan sumsum tulang, peningkatan infeksi oleh organisme oportunis
misalnya herpes zoster, gagal ovarium ireversibel, hepatotoksisitas
(azatioprin), toksisitas kandung kemih (siklofosfamid), alopesia, dan
peningkatan risiko keganasan. Azatioprin mungkin obat yang paling
kurang toksik; dosis yang dianjurkan adalah 2 sampai 3 mg/kg per hari
secara oral. Siklofosfamid merupakan obat yang paling efektif dan paling
toksik. Dosis denyut intravena (10 sampai 15 mg/kg) sekali tiap 4 minggu
lebih jarang menimbulkan toksistas pada kandung kemih dibandingkan
dosis oral harian, tetapi dapat terjadi penekanan hebat pada sumsum tulang.
Siklofosfamid juga dapat digunakan dalam dosis oral harian (1,5 sampai
2,5 mg/kg). Setelah aktivitas penyakit terkontrol selama beberapa bulan,
sebaiknya dilakukan penurunan bertahap obat sitotoksik lalu dihentikan
(Isselbacher, 2000).
Manifestasi yang parah dan mengancam nyawa dan responsif terhadap
imunoresponsi harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi (1 sampai
2 mg/kg per hari). Saat penyakit aktif, glukokortikoid harus diberikan
dalam dosis yang terbagi setiap 8 sampai 12 jam. Setekah penyakit
terkontrol, terapi harus diarahkan terhadap dosis tunggal pagi hari; lalu,
dosis harian harus dikurangi secepat yang dimungkinkan oleh respons
klinis. Secara ideal, terapi pasien harus secara perlahan-lahan diubah
menjadi terapi selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari glukokortikoid
kerja singkat (prednison, prednisolon, metilprednisolon) untuk

15
memperkecil efek samping. Namun, penyakit dapat kambuh pada hari
tanpa steroid. Pada hal ini pasien harus kembali diberi dosis harian tunggal
terendah yang masih dapat menekan penyakit. Efek terapi glukokortikoid
kronik yang tidak diinginkan adalah habitus cushingoid, penambahan
berat, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, ake, hirsustisme, percepatan
osteoporosis, nekrosis iskemik tulang, katarak, glaukoma, diabetes
mellitus, miopati, hipokalemia, haid ireguler, iritabilitas, insomnia, dan
psikosis. Dosis prednison 15 mg perhari (atau kurang) yang diberikan
sebelum tengah hari biasanya tidak menekan aksis hipotalamus hipofisis.
Sebagian efek samping dapat diperkecil; hiperglikemia, hipertensi, edema,
dan hipokalemia harus diobati. Infeksi harus dikenal dan diobati secara
dini. Imunsasi dengan vaksin influenza dan pneumokokus dapat diberikan
dengan aman dan harus diberikan bila penyakit stabil. Untuk mengurangi
osteoporosis, kalsium suplemen (1000 mg per hari) harus diberikan pada
sebagian besar pasien; pada pasien dengan ekskresi kalsium urin 24
jam<120 mg, dapat ditambahkan vitamin D 50.000 unit satu sampai tiga
kali sehari (monitor hiperkalsemia), dan pada menopause pemberian terapi
penggantian estrogen dapat dipertimbangkan. Kalsitonin dan bisfosfonat
juga berguna. Pasien lupus yang sakit akut, dapat diterapi dengan metil-
prednisolon intravena dosis denyut 1000 mg selama 3 sampai 5 hari,
diikuti oleh dosis pemaliharaan glukokortikoid setiap hari atau selang
sehari. Penyakit mungkin lebih cepat dikontrol dengan pendekatan ini,
tetapi masih belum jelas apakah perjalanan penyakit jangka panjang
dipengaruhi (Isselbacher, 2000).
Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab
dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena memasukkan antibodi yang
menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya
dalam sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam
aktifitas lupus, dan bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi
(Helmi, 2008).

2. Perubahan pola hidup

16
Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang
melindungi dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang
disebabkan fotosensitif. Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar
matahari, lingkungan yang sangat dingin, dan stress emosional (Djuanda,
2011). Daerah-daerah kulit yang terpapar sinar matahari hendaknya
dilindungi dengan tabir surya yang mempunyai SPF tinggi. Bila kelainan
pada kulit wajah sangat luas, mungkin ada gunanya digunakan kamuflase
kosmetik (Brown, 2003). Penurunan berat badan juga disarankan pada
pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi
beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan
persendian (Helmi, 2008).
Terapi lain untuk ruam adalah tabir surya (dianjurkan dengan tingkat
SPF 15 atau lebih), glukokortikoid topikal atau intralesi, kuinakrin,
retinoid, dan dapson. Glukokortikoid sistemik sebaiknya dicadangkan
untuk pasien dengan lesi berat yang tidak berespons terhadap terapi lain
(Isselbacher, 2000).
Beberapa terapi eksperimental sedang dalam penelitian, termasuk
plasmaferesis desertai siklofosfamid intravena, siklosporin, globulin gama
intravena, iradiasi kelenjar limfe total, minyak ikan, dan antibodi terhadap
limfosit T (Isselbacher, 2000).

I. Prognosis
Prognosis tidak mengarah menuju kematian, namun lesi yang ada dapat
meninggalkan rasa nyeri, kehilangan estetika penampilan, dan atrofi.
Eksaserbasi mungkin muncul, terutama pada musim semi dan musim panas.
Terapi pada lesi secara dini dapat mencegah kemungkinan buruk.Alopecia
yang meninggalkan luka parut dapat cukup mengganggu pasien.Penyakit
sistemik yang serius jarang terjadi, namun jika terjadi nyawa pasien dapat
terancam.Degenerasi malignant jarang terjadi (Callen, 2011).

17
BAB III
KESIMPULAN

1. Discoid lupus eritematosus (DLE) merupakan dermatosis kronis yang


meninggalkan luka parut, menyebabkan atrofi jaringan, dan bersifat
fotosensitif.
2. Pasien wanita pada Diskoid Lupus Eritematosus berjumlah sepuluh kali lipat
dari pasien laki-laki.
3. Diskoid Lupus Eritematosus umumnya terjadi pada pasien dengan kerentanan
genetic dan kelainan sistem imunitas.
4. Dalam patogenesis sitokin dan kemokin yang dikeluarkan dalam sistem imun
menentukan dalam terjadinya penyakit Diskoid Lupus Eritematosus.
5. Diskoid Lupus Eritematosus umumnya berupa bercak eritem berbentuk kupu-
kupu pada muka, kulit kepala, dahi, atau telinga.
6. Pemerikasaan penunjang pada Diskoid Lupus Eritematosus adalah
pemeriksaan ANA (antibodi anitinuklear).
7. Penatalaksanannya meliputi terapi obat-obatan dan pengubahan pola hidup.
8. Prognosis tidak mengarah menuju kematian, namun lesi yang ada dapat
meninggalkan rasa nyeri, kehilangan estetika penampilan, dan atrofi.

18
DAFTAR PUSTAKA

________. 2008. Systemic Lupus Erythematosus Patophysiology. Dapat diunduh


di: http://www.scribd.com/doc/26885504/Systemic-Lupus-Erythematosus-
Pathophysiology Diakses terakhir pada 16 September 2012.

________. 2011. Discoid Lupus Erythematosus. Lousville: University of


Louisville School of Medicine Dermatology Department.

British Association of Dermatologists. 2011. Leaflet of Discoid Lupus


Erythematosus. London: Fitzroy Square.

Brown, Robin Graham, Tony Burns. 2003. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta:
Erlangga.

Callen JP. 2006. Cutaneous lupus erythematosus: a personal approach to


management. Australas J Dermatol. Feb 2006;47(1):13-27.

Chang AY dkk. 2011. Response to antimalarial agents in cutaneous lupus


erythematosus: a prospective analysis. Arch Dermatol. Nov
2011;147(11):1261-7.

Chong, B.F, dkk. 2011. Review Article : Determining risk factors for developing
systemic lupus erythematosus in patients with discoid lupus erythematosus.
British Journal of Dermatology pp29-35. U.S.A : University of Texas
Southwestern.
Djuanda, Suria. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Penyakit Jaringan
Konektif Edisi ke 6. Hal 264-266. Jakarta: FKUI

Durosaro O dkk. 2009. Incidence of cutaneous lupus erythematosus, 1965-2005: a


population-based study. Arch Dermatol. Mar 2009;145(3):249-53.

Gambichler, T. 2012. Chytokine and chemokine ligand expression in cutaneous

19
lupus erythematosus.Eur J Dermatol. 2012 May-Jun;22(3):319-23.

Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Hipokrates

Helmi, Luthfi. 2008. Manifestasi Systematic Lupus Erythematosus Pada Paru,


Majalah Kedokteran Nusantara, Vol. 41: 68-69.
Isselbacher, Kurt J., dkk. 2000. Harison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Vol. 4 Ed. 13. (Alih Bahasa: Prof. Dr. Ahmad H. Asdie, Sp. PD-KE).
Jakarta: EGC.

James JA dkk. 2007. Hydroxychloroquine sulfate treatment is associated with


later onset of systemic lupus erythematosus. Lupus. 2007;16(6):401-9.

James, William D & Timothy G Berger, et al. 2007. Andrews Diseases of the Skin,
4th edition. California : Lippincott William & Wilkins.

Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 3. Jilid 1. Jakarta:


Media Aesculapius.

Panjwani, Suresh. 2009. Early Diagnosis and Treatment of Discoid Lupus


Erythematosus. Journal of the American Board of Family Medicine, Vol 22
No. 2, pp. 207-208.

Tlacuilo-Parra A dkk. 2005.Pimecrolimus 1% cream for the treatment of discoid


lupus erythematosus. Rheumatology (Oxford). Dec 2005;44(12):1564-8.

Williams, David. 2005. Journal of Insurance Medicine: Chronic Cutaneous


(Discoid) Lupus Erythematosus. Dapat diunduh di:
http://www.unboundmedicine.com/medline/ebm/research/Dermatology/Di
scoid_lupus_erythematosus Diakses terakhir pada 24 September 2012.

20
21

Anda mungkin juga menyukai