Anda di halaman 1dari 5

Nama : Aditya Perkasa Putra

Nim : 1402025122
Prodi : Ilmu Pemerintahan (B)
Mata Kuliah : Kapita Selekta Pemerintahan

PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM HUBUNGANNYA


DENGAN UU NO 33 TH 2004

Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara


dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan masyarakat. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya
nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan
pembangunan, maka pemerintahan negara pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama
yakni fungsi alokasi yang meliputi antara lain, sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang
dan jasa pelayanan masyarakat, fungsi distribusi yang meliputi antara lain, pendapatan dan
kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan, dan fungsi stabilisasi yang meliputi antara
lain, pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.
Perimbangan keaungan antara Pemerintahan dan Pemerintahan Daerah adalah suatu
sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien
dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi
pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintaha Daerah. Dana Perimbangan bersumber
dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah. Dana Perimbangan terdiri dari:

A. Dana Bagi Hasil (DBH)


Bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan
angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah. Bersumber dari pajak: Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) 90%, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 80%, dan
Pajak Penghasilan (PPh) 20%. Jika bersumber dari Sumber Daya Alam: kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi.
B. Dana Alokasi Umum (DAU)
Bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah. Jumlah keseluruhan DAU
ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan
dalam APBN. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal suatu daerah,
yang merupakan selisih dari kebutuhan daerah dan potensi daerah. Secara implisit, prinsip
tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. DAU untuk
daerah propinsi dan daerah kabupaten ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari DAU.
DAU bagi masing-masing propinsi dan kabupaten dihitung berdasarkan perkalian dari jumlah
DAU bagi seluruh daerah, dengan bobot daerah yang bersangkutan dibagi dengan jumlah
masing-masing bobot seluruh daerah di seluruh Indonesia (Bratakusumah dan Solihin, 2001:
183).

1. Tahapan Penghitungan Dana Alokasi Umum


a. Tahapan Akademis
Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh Tim
Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk memperoleh kebijakan
penghitungan DAU yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristik Otonomi Daerah di
Indonesia.
b. Tahapan Administratif
Tahapan ini Departemen keuangan melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk
penyiapan data dasar penghitungan DAU termasuk didalamnya kegiatan konsolidasi dan
verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data yang akan digunakan.
c. Tahapan Teknis
Tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang akan dikonsultasikan Pemerintah kepada
DPR RI dan dilakukan berdasarkan formula DAU sebagaimana diamanatkan UU.

d. Tahapan Politis
Tahap akhir dimana pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara Pemerintah dengan
Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan
persetujuan hasil penghitungan DAU.

2. Formulasi Penghitungan Dana Lokasi Umum


a. Formula DAU
Formula DAU menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara
kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah dan
Alokasi Dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS daerah.
Rumus formula DAU

DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)


Keterangan :
AD = Gaji PNS Daerah
CF = Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal

b. Variabel Dana Alokasi Umum


Adapun komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan untuk pendekatan
perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk, luas wilayah, indeks
pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK), dan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) per kapita.Dan komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity)
yang merupakan sumber pendanaan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
Dana Bagi Hasil (DBH).
c. Metode Penghitungan DAU
- Alokasi Dasar (AD)
Besaran Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun
sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai
dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku.
- Celah Fiskal (CF)
Untuk mendapatkan alokasi berdasar celah fiskal suatu daerah dihitung dengan mengalikan
bobot celah fiskal daerah bersangkutan (CF daerah dibagi dengan total CF nasional) dengan
alokasi DAU CF nasional. Untuk CF suatu daerah dihitung berdasarkan selisih antara KbF
(Kebutuhan Fiskal) dengan KpF (Kapasitas Fiskal).
C. Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan bagian dari program yangmenjadi prioritas nasional yang menjadi urusan daerah.
Program yang menjadi prioritas nasional dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun
anggaran bersangkutan. Terkhusus untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana
pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah.

Realitas Dana Peimbangan


Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyepakati
APBN 2017. Dalam APBN tersebut, pemerintah menganggarkan dana transfer ke daerah dan
dana desa sebesar 764,9 triliun. Anggaran tersebut telah melebihi anggaran belanja
Kementerian/Lembaga yang hanya sebesar Rp763,9 triliun.
Naiknya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa ini bertujuan untuk
mewujudkan Nawacita ketiga yang dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo, yakni
membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, Kenyataannya, masih terdapat
beberapa kelemahan, yakni:
Perimbangan keuangan belum mencerminkan prinsip money follow function;
Kebijakan perimbangan keuangan yang seharusnya mengikuti pembagian urusan, dengan
proporsi saat ini belum sepenuhnya menggambarkan prinsip money follow function. Dari sisi
prosedur kelembagaan, salah satu penyebabnya adalah antara pembagian urusan dengan
perimbangan keuangan diatur dalam kedua Undang-undang terpisah
Kabupaten/Kota menggantungkan penyelenggaraan otonomi daerah pada dana
perimbangan. Pada tingkat Kabupaten di atas 80% Pendapatan menggantungkan pada dana
perimbangan untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Di tingkat Kota meskipun
ketergantungan masih relatif tinggi, namun tidak setinggi dibandingkan Kabupaten.
Sementara pada tingkat Propinsi, ketergantungan relatif lebih rendah. Hal ini
menggambarkan, kewenangan memungut pajak yang lebih leluasa pada tingkat propinsi,
menentukan tingkat ketergantungan daerah. Sedangkan di Kota, umumnya memiliki potensi
pendapatan yang lebih besar, khususnya yang bersumber dari pajak, dibandingkan
Kabupaten, sehingga memiliki ketergantungan lebih rendah
Transfer daerah tidak memperhatikan prinsip kesetaraan setiap warga negara.
Hubungan keuangan pusat dan daerah seharusnya berbasis pada kesetaraan pemenuhan hak-
hak setiap warga negara namun yang tercipta justru tingginya kesenjangan transfer per kapita
antar daerah. Pada tingkat Kabupaten, perbandingan transfer daerah yang menerima transfer
per kapita tertinggi (Kab. Tana Tidung) besarnya 127 kali lipat dibandingkan daerah yang
menerima transfer per kapita terendah (Kab. Bogor).
Jenis dana perimbangan semakin berkembang, tidak memiliki landasan aturan,
dan berpotensi memperlebar kesenjangan antar daerah. Khususnya komponen dana
penyesuaian, pada awalnya digunakan untuk menampung dana kurang bayar dana
perimbangan, namun sejak tahun 2008 dana penyesuaian juga digunakan untuk menampung
dana non hold harmless, serta program-program adhoc. Tahun 2008 dikenal istilah DISP
(Dana Infratruktur Sarana dan Prasarana), tahun 2009 menjadi Dana Penguatan Desentralisasi
Fiskal Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF PPD) dan pada tahun 2010 ditambah lagi
komponen Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD), Dana Percepatan
Infrastruktur Pendidikan (DPIP). Bahkan pada tahun 2010 dan 2011, dana penyesuaian telah
berkembang menjadi tujuh jenis. Dari sisi jumlah, dana penyesuaian terus meningkat sejak
tahun 2010. Jenis dana perimbangan dalam komponen dana penyesuaian ini sama sekali tidak
dikenal dalam UU No 33/2004, dan digunakan untuk menampung berbagai dana dari sektor
sebagai konsekuensi dari peraturan-perundang-undangan lainnya
Dana Penyesuaian infrastruktur merusak sistem dana perimbangan. Pada tahun
2011, terdapat beberapa komponen dana perimbangan yang berpotensi merusak sistem dana
perimbangan. Seperti DPID pada tahun anggaran 2011 tidak memperhatikan tingkat
kemiskinan dan kemampuan fiskal suatu daerah. Pola pengalokasian DPID tanpa adanya
kriteria tertentu, menyebabkan 76 daerah yang memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata
nasional atau indeks kemiskinan di atas 1 tidak mendapatkan alokasi ini, sementara terdapat
149 daerah yang memiliki tingkat kemiskinan dibawah rata-rata nasional atau indeks
kemiskinan dibawah satu justru mendapatkan alokasi DPID.

Kesimpulan
Dilema dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah akan selalu ada jika tidak
terdapat kejelasan mengenai ketentuan mengenai dimana posisi masing-masing di antara
keduanya, karena pelaksanaan desentralisasi fiskal ini semata-mata hanya sebagai suatu
keharusan dilakukan bukan dianggap sebagai suatu perbuatan yang mulia terutama bagi
pemerintah pusat dan provinsi, dimana selalu ada pembatasan terhadap pemerintah kabupaten
dan kota, sedangkan seharusnya kewenangan kabupaten dan kota merupakan kewenangan
yang bebas dari kewenangan pusat dan provisi. Kemudian dalam penetapan DAU seharusnya
kita tidak hanya menyalahkan pemerintah saja karen penurunan DAU yang di berikan
pemerintah, karena DAU yang di turunkan ke setiap daerah itu setelah melalui
pertimbangan mengenai potensi yang ada di daerah tersebut, apabila DAU di berikan besar
namun SDM dan kuranganya pemanfaatan yang baik serta kelebihan dana maka dana
tersebut akan ditarik kembali kepusat yang akan menyebabkan penumpukan dana yang besar
di pusat yang kemudian akan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak sewajanya
menggunakan dana tersebut yang menyebabkan adanya korupsi. Namun ini semua juga tidak
dapat kita menyalahkan siapapun, karena kita tahu bahwa proses desentralisasi fiskal ini
masih baru di negara kita jadi kita masih dalam masa proses perbaikan dari masa sentralisasi
menjadi desentralisasi murni, namun kita harus trus bersabar dan bersama-sama melakukan
perubahan yang mendasar yang kemudian akan ada perubahan yang menyentuh sendi-sendi
pemerintahan yang lebih dalam lagi.

Anda mungkin juga menyukai