Anda di halaman 1dari 6

Nama. : Cahyo haldoko P.

NIM :14.11.015359
Fakultas : Fisip
Prodi. : Ilmu Administrasi Negara
Semester : IV (Empat) Akhir Pekan

Tugas :
Mencari bahan Judulnya "Perspektif Dakwah Muhammadiyah dalam Integrasi Ilmu dan Agama"
- diketik
- minimal 2 halaman
- dikirim ke email pak asep (asep.solikin@yahoo.com)
- PALING LAMBAT HARI SELASA 26 APRIL 2016!!!

Jawab :

Dalam perkembangan zaman dari sejak dulu sampai sekarang, banyak sekali hal-hal yang
dilakukan umat manusia, khususnya umat islam yang mulai melenceng dari agama. Seperti yang
kita semua kenal, sesajen merupakan hal yang lumrah yang sering kita dengar, yang sering
dilakukan orang-orang untuk menyembah dan meminta apa yang diharapkannya.

Maka dari itu, banyak hal yang dilakukan oleh sosok KH.Ahmad Dahlan, antara lain
factorintern (factor dalam) dan extern (factor luar). Factor dalam umat dan masyarakat kita yang
diliputi bidah, khurafat, tahayul, jumud, dan taasub; factor luar adanya penjajahan dan usaha-
usaha kristenisasi, yang akibatnya kemerosotan dan kemunduran total bangsa Indonesia.

Dengan Pemikirannya yang sangat luas KH.Ahmad Dahlan membentuk sebuah organisasi yaitu
bernama Muhammadiyah. Persyerikatan Muhammadiyah yang didirikan pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M di Kauman Yogyakarta Menurut asal katanya
diambil dari bahasa arab yang berarti Muhammad adalah nama rasul terakhir Muhammad saw,
iyah berarti pengikut, jadi muhammadiyah adalah pengikut Nabi Muhammad saw. Dengan kata
lain Muhammadiyah itu adalah umat islam yang hidup dan kehidupannya mengikuti, mencintai
dan menghidupkan sunnah, tuntunan dan pelajaran serta melangsungkan usaha Dawah
Islam Amar Maruf Nahi Munkar.

Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, maka muhammadiyah berhadapan dengan


tantangan cultural. Suatu hal tak perlu ditanyakan lagi , bahwa tantangan itu berasal dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pesat yang banyak membawa
perubahan, boleh dikata dalam semua lapangan kehidupan.

Muhammadiyah dikenal sebagai Gerakan Dakah Islam, Amar Maruf Nahi


Munkar(memerintahkan kebajikan/kebaikan dan mencegah kemungkaran atau apa saja yang
diingkari dan ditolak oleh islam). Penegasan seperti ini jelas menggambarkan komitmen
Muhammadiyah terhadap Surat Al-Imran ayat 104, suatu ayat yang menjadi factor utama yang
melatar belakangi berdirinya perjuangan Muhammadiyah. Berdasarkan ayat tersebut
Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar perjuangannya, yaitu Dakwah (menyeru,
mengajak) Islam Amar Maruf Nahi Munkar dengan masyarakat sebagai medan/kancah
perjuangannya.

Muhammadiyah berkiprah ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun


berbagai amal usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak semacam berbagai
ragam lembaga pendidikan dari sejak Taman Kanak-kanak, hingga Perguruan Tinggi, membangun
sekian banyak Rumah Sakit, Panti Asuhan, dsb. Seluruh amal usaha diadakan dengan niat dan
tujuan yang tunggal, yaitu dijadikan sarana dan wahana dakwah islam sebagaimana yang diajrkan
oleh Al-Quran dan As-sunnah Shahihah.

Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari
Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh
Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk
pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apalah lagi bila dikaitkan dengan upaya
mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan.

Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama
masalah pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan
orientasi filosofis ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara ilmu-ilmu
keagamaan dan ilmu umum, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang
berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan "musuh" dalam
selimut.

Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan
munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru
pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki
rumusan filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar
nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah
mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A.
Syafii Maarif yang berjudul "Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis".

Sesuai dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah
(aspek normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar
Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur'an yang ditulis oleh
tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-
Qur'an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya
terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis
Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam ideologi ilmiah
yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.
Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka
sebagai konsekuensinya logik, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat
pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat
pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan.
Dalam kaitan ini filsafat pendidikan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari filsafat
pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah prinsip-
prinsip Islam yang menurut Muhammadiyah menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia
Muslim. Oleh karena itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah perlu
menelusuri konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir maupun
praktisi pendidikan Islam.

Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang berisi
perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-
usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-
Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat
pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang
berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran
Islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat
pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis,
radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan
Islam.

Al-Syaibany menandaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan
syarat-syarat sebagai berikut: (1) dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai
dengan ruh (spirit) Islam; (2) berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem
sosial, ekonomi, dan politiknya; (3) bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik
(hikmah); (4) pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan
aspek-aspek yang melingkungi; (5) bersifat universal dengan standar keilmuan; (6) selektif, dipilih
yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam; (7) bebas dari pertentangan dan persanggahan
antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan (8) proses percobaan yang
sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas.

Objek kajian filsafat pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi
dua jenis yaitu obyek material dan obyekformal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah
bahan dasar yang dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau
sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material filsafat
pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara sadar untuk
menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan
kepribadian atau akhlak peserta didik melalui pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah
aspek khusus daripada usaha manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi
peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian sehingga peserta didik memiliki
kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan
Islam sebagai hudan dan furqan. Sebagaimana dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam
merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disiplin
keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat pendidikan Islam masih dalam
proses penataan yang akan menjadi kompas bagi teorisasi pendidikan Islam. Kalau demikian,
apabila filsafat pendidikan Muhammadiyah mengacu atau sama dengan filsafat pendidikan Islam
sebenarnya masih memunculkan masalah, sebab ia masih rentan dan belum kukuh untuk disebut
sebagai sebuah disiplin ilmu baru. Pada titik ini, orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah itu
dapat memperkaya dan memperkukuh kedudukan filsafat pendidikan Islam.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu
pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak
umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah
menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di
bidang pendidikan.

Dalam pendidikan modern kita mengenal adanya pendidikan integralistik. Yakni pendidikan yang
mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, dimana sistem pendidikan dan pengajaran agama
Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok
pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran
mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah
bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik.

Pendidikan Islam yang bercorak integralistik adalah suatu sistem pendidikan yang melatih
perasaan murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan
dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai
spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Meski ide ini telah klasik namun tetap menarik
perhatian, sebab merealisasikan ke tataran praksis selalu tidak mudah oleh karena itu munculah
sekolah syariah sebagai solusinya.

Perbedaan antara pengertian pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Pendidikan
secara umum merupakan proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam
pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-
Quran, Sunah dan Ijtihad.

Jadi, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-
ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-
ukuran Islam.

Merujuk kepada informasi al-Quran pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan
hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang
Maha Agung. Konsep pendidikan al-Quran sejalan dengan konsep pendidikan Islam yang
dipresentasikan melalui kata tarbiyah, talim dan tadib.

Tarbiyah berasal dari kata Robba, pada hakikatnya merujuk kepada Allah selaku Murabby
(pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata
seperti termuat dalam ayat al-Quran:


Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. Al-Israa:24).

Menurut Syed Naquib Al-Attas, al-tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara


menjaga dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang dan tumbuhan (Jalaluddin,
2003: 115). Sedangkan Samsul Nizar menjelaskan kata al-tarbiyah mengandung arti mengasuh,
bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,
menumbuhkan dan memproduksi baik yang mencakup kepada aspek jasmaniah maupun rohaniah
(Samsul Nizar, 2001, 87).

Kata Rabb di dalam Al-Quran diulang sebanyak 169 kali dan dihubungkan pada obyek-obyek
yang sangat banyak. Kata Rabb ini juga sering dikaitkan dengan kata alam, sesuatu selain Tuhan.
Pengkaitan kata Rabb dengan kata alam tersebut seperti pada surat Al-Araf ayat 61:

Nuh menjawab: Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan
Tuhan semesta alam.

Pendidikan diistilahkan dengan tadib, yang berasal dari kata kerja addaba . Kata al-tadib
diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak
atau budi pekerti peserta didik (Samsul Nizar, 2001: 90). Kata tadib tidak dijumpai langsung
dalam al-Quran, tetapi pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktek yang
dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam,
sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan
akhlak (Jalaluddin, 2003: 125). Allah juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya Rasul adalah
sebaik-baik contoh teladan bagi kamu sekalian.

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.(Q.S. Al-Ahzab, 21).

Selanjutnya Rasulullah Saw meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut kepada kedua
orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian status orang tua sebagai pendidik didasarkan
atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang tua terhadap anak,
mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan pendidikan akhlak kepada
keluarga dan anak-anak.

Pendidikan disebut dengan talim yang berasal dari kata alama berkonotasi pembelajaran yaitu
semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan pendidikan talim dipahami sebagai
sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta
didik (Jalaluddin, 2003: 133). Proses pembelajaran talim secara simbolis dinyatakan dalam
informasi al-Quran ketika penciptaan Adam As oleh Allah Swt. Adam As sebagai cikal bakal
dari makhluk berperadaban (manusia) menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan
langsung dari Allah Swt, sedang dirinya (Adam As) sama sekali kosong. Sebagaimana tertulis
dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 32:

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian


mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-
benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.

Mereka menjawab, Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.

Dari ketiga konsep diatas, terlihat hubungan antara tarbiyah, talim dan tadib. Ketiga konsep
tersebut menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan
Islam sesuai al-Quran yaitu membentuk akhlak al-karimah.

Anda mungkin juga menyukai