Anda di halaman 1dari 72

PEMBERANTASAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG

Penyakit bersumber binatang adalah penyakit yang ditimbulkan melalui binatang


sebagai perantaranya, namun tidak semua binatang menjadi perantara suatu penyakit,
penyakit bersumber binatang berkaitan dengan penyakit-penyakit infeksi yakni kondisi
yang disebabkan oleh organisme hidup yang berlipat ganda dalam tubuh dan
mengacaukan fungsi tubuh.1

Dalam upaya pencegahan suatu penyakit bersumber binatang, pola operasional


pencegahan harus dilandasi pemahaman tentang sumber dan vektornya, sesuai dengan
kondisi waktu dan strategi startegi yang tepat. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan
yang harus betul-betul dipahami tentang prinsip dasar terjadinya penyakit dan bagaimana
cara penularannya.1

Pemberantasan penyakit bersumber binatang yang telah dilaksanakan selama ini


telah menunjukkan keberhasilannya. Namun diberbagai tempat penyakit bersumber
binatang masih tinggi, bahkan di beberapa tempat telah terjadi kecenderungan kenaikan
kasus yang berakibat pada terjadinya KLB/wabah. Sejumlah penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan perubahan iklim global seperti siklus El Nino yang terjadi pada
tahun 1997-1998 berpengaruh terhadap perubahan resiko penularan penyakit tular vektor
terutama nyamuk seperti malaria, DBD dan penyakit-penyakit arbovirus lainnya.1

Penyakit bersumber binatang dan penyakit tular vektor masih merupakan momok
yang menakutkan di negara indonesia karena belum dapat ditanggulangi secara optimal,
bahkan beberapa penyakit timbul kembali dan muncul pula penyakit baru (re-
emerging and new emerging disease). Untuk itu diperlukan langkah yang selaras melalui
jejaring antara departemen yang mempunyai keterkaitan langsung dengan binatang sebagai
vektornya. Baik dari surveilans, data dan monitoring, serta informasi yang tersedia secara
terus menerus. Langkah dan strategi kesehatan antar lain dengan meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas terutama di wilayah atau daerah
terpencil yang jauh dari pusat layanan kesehatan.1

Sebelum melakukan pencegahan kita perlu mengetahui penyebab atau sumber serta
cara penularannya dari penyakit tersebut, Penyakit yang bersumber dari binatang antara
lain :.

1. DEMAM BERDARAH DENGUE

I. DEFINISI
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu
penyakit demam akut yang merupakan manifestasi klinis dari infeksi virus
dengue dengan gejala demam, nyeri otot, nyeri sendi yang disertai lekopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Penyebaran
penyakit ini diperantarai oleh nyamuk yang sangat mudah sekali menyebar.2

1
II. EPIDEMIOLOGI
Kejadian infeksi dengue meningkat 30 kali lipat dengan ekspansi geografis
ke negara baru dan penyebaran dari kota ke desa. Lebih dari 70% populasi
dunia yang berisiko terkena infeksi dengue tinggal di wilayah Asia Tenggara
dan Pasifik Barat. Sampai dengan saat ini, Indonesia masih masuk kedalam
negara dengan angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD yang
tinggi, khususnya pada anak. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia
menempati urutan kedua setelah Thailand. Sampai saat ini DBD telah
ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Pola berjangkitnya infeksi virus
dengue dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas dan
kelembaban tinggi (28 32C) nyamuk Aedes dapat bertahan hidup untuk
waktu yang lama. Di pulau Jawa umumnya infeksi virus dengue dimulai dari
bulan Januari dan meningkat sampai sekitar bulan April Mei tiap tahun.3

Gambar Penyebaran global Demam Berdarah Dengue.

III. ETIOLOGI
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) disebabkan oleh virus dengue. Jenis
virus golongan arbovirus (Artropod-Borne Viruses) yang artinya virus yang
ditularkan melalui gigitan artropoda yaitu nyamuk misalnya nyamuk Aedes
aegypty betina. Virus dengue termasuk kedalam genus Flavivirus, famili
flaviviridae dan mempunyai empat serotype yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dapat terinfeksi oleh ke-3
atau 4 serotipe tersebut. Serotipe DEN-3 adalah yang paling banyak ditemukan
dan diketahui menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Nyamuk Aedes dapat

2
mengandung virus dengue ketika menghisap darah orang dengan viremia,
kemudian berkembang selama 8 10 hari (extrinsic incubation period)
kemudian dapat ditularkan kembali ketika menggigit manusia yang lain.
Nyamuk akan menjadi infektif sepanjang hidupnya ketika virus dengue sudah
berkembang biak dalam tubuh nyamuk.4
Gambar Struktur Dengue Virus.

IV. PATOGENESIS8

Dua teori yang paling banyak dianut sampai dengan saat ini mengenai
patogenesis DBD adalah secondary heterologous infection hypothesis dan
sequential infectious hypothesis yang menyatakan bahwa seseorang setelah
terinfeksi virus dengue pertama kali, mendapatkan infeksi kedua dengan virus
serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun5. Hipotesis ini
menerangkan bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan
serotipe berbeda akan menimbulkan manifestasi klinis yang lebih berat
(immune inhancement). Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi yang
berikatan dengan Fc reseptor membran sel makrofag. Antibodi heterolog virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag. Hipotesis mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), proses
yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dalam sel mononuklear,
menyebabkan sekresi mediator vasoaktif yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia
dan syok.4
Akibat infeksi sekunder oleh virus dengue yang berlainan, respons antibodi
akan mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan
titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Kemudian, replikasi virus terjadi juga

3
dalam limfosit. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-
antibodi virus yang akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan
anafilatoksin menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
dan perembesan plasma dari intravaskular ke ekstravaskular. Perembesan
plasma ini ditandai peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium,
dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).4
Gambar Patogenesis Demam Berdara Dengue.

V. MANIFESTASI KLINIS
Infeksi dengue merupakan penyakit yang bersifat sistemik dan dinamis.
Infeksi dengue mempunyai spektrum klinis yang luas meliputi manifestasi
klinis yang berat dan tidak berat. Setelah massa inkubasi, infeksi dengue dibagi
menjadi tiga fase yaitu: (1) fase demam, (2) fase kritis dan (3) fase
penyembuhan.5

1. Fase Demam
Pasien biasanya demam tinggi secara tiba-tiba. Fase demam akut ini
biasanya terjadi selama 2-7 hari dan sering disertai dengan muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh badan, myalgia, arthtalgia dan nyeri
kepala. Beberapa pasien mengalami nyeri tenggorokan, penurunan nafsu
makan, mual dan muntah. Cukup sulit untuk membedakan dengan infeksi
virus lainnya. Tes tourniquet positif pada fase ini memperbesar kecurigaan
infeksi dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan
perdarahan mukosa dapat terjadi. Perdarahan vagina yang masif dan

4
perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada fase ini namun jarang terjadi.
Dapat pula terjadi pembesaran hepar.

2. Fase Kritis
Pada hari ke 3-7, ketika suhu menurun pada 37,5-38oC, peningkatan
permeabilitas kapiler yang secara peralel terhadap kenaikan hematokrit
dapat terjadi. Hal ini menandakan dimulainya fase kritis. Biasanya
kebocoran plasma secara klinik terjadi selama 24-48 jam. Leukopeni yang
progresif diikuti dengan penurunan angka trombosit biasanya mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Dalam keadaan seperti ini pasien yang tidak
mengalami peningkatan permeabilitas kapiler keadaan umumnya akan
membaik, sedangkan pasien yang mengalami peningkatan permeabilitas
kapiler justru akan memburuk keadaannya karena kebocoran plasma.
Derajat kebocoran plasma bervariasi mulai dari kebocoran plasma minimal
sampai terjadi efusi pleura dan ascites. Peningkatan kadar hematokrit dari
nilai awal dapat digunakan untuk melihat keparahan dari kebocoran plasma.
Bila terjadi kebocoran plasma plasma yang berat dapat terjadi syok
hipovolemik. Bila syok terjadi berkepanjangan maka organ tubuh akan
mengalami hipoperfusi sehingga dapat menyebabkan kegagalan organ,
acidosis metabolik dan disseminated intravascular coagulation. Selain syok
dapat pula terjadi gangguan organ berat yang lain misalnya hepatitis berat,
encephalitis atau myocarditis serta perdarahan berat.

3. Fase Penyembuhan
Bila pasien dapat bertahan pada masa kritis maka akan terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular secara bertahap selama 48-72 jam.
Keadaan umum akan membaik, nafsu makan kembali baik, gejala
gastrointestinal mereda, hemodinamik stabil.

Gambar Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue.

5
VI. DIAGNOSIS

Anamnesis6:
1. Demam sebagai tanda utama terjadi mendadak tinggi selama 2 7 hari
disertai lesu, tidak mau makan dan muntah, nyeri kepala nyeri otot dan
nyeri perut.
2. Diare kadang ditemukan
3. Perdarahan paling sering dijumpai yaitu perdarahan kulit dan mimisan

Pemeriksaan Fisis6:
1. Gejala klinis diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah nyeri
kepala, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis,
nyeri dibawah lengkung costa kanan. Gejala lebih mencolok pada DD
daripada DBD
2. Hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD
3. Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan
permeabilitas apiler sehingga menyebabkan perembesan plasma,
hipovolemia dan syok. Perembesan plasma menyebabkan eksttravasasi
cairan ke dalam rongga pleuro dan rongga peritoneal selama 24 48 jam.

6
4. Fase kritis sekitar hari ke -3 dan ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini
suhu turun, dan merupakan tanda awal syok
5. Perdarahan dapat berupa ptekia, epistaksis, melena atau hematuria

Tanda tanda syok:


1. Anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis
2. Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tak teraba
3. Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
4. Akral dingin, CRT menurun
5. Diuresis menurun sampai anuria.

Pemeriksaan penunjang6:
1. Laboratorium
a. Darah perifer, kadar Hb, leukosit & hitung jenis, hematokrit,
trombosiit, limfosit plasma biru meningkat 15%
2. Uji Serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase
konvalesens
3. Pemeriksaan radiologis:
a. Pemeriksaan foto dada untuk mengetahui perembesan plasma pada
rongga pleura dengan posisi RLD (Right Lateral Decubitus)
b. USG: efusi pleura, ascites.

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila


terdapat 2 kriteria klinis disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi
terpenuhi6:
1. Klinis
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya
bifasik.
b. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa;
hematemesis dan melena
c. Hepatomegali
d. Renjatan
2. Laboratorium
a. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
b. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:

7
i. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar
sesuai umur dan jenis kelamin.
ii. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi
cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit
sebelumnya.
iii. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu5:


1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdaran lain.
3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium5
Pemeriksaan darah yang dilakukan untuk screening infeksi dengue
adalah pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, angka trombosit dan apusan
darah tepiuntuk melihat adanya limfositosis relatif disertai dengan limfosit
plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ataupun
deteksiantigen virus RNA dengue. Namun karena prosedur yang rumit maka
tes serologis yang mendeteksi antibodi spesifik terhadap dengue berupa
antibodi total, IgM atau IgG lebih banyak digunakan.

8
Parameter laboratorium yang dimonitor antara lain:
a. Leukosit; dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui
limfositosis relatif disertai adanya limfosit plasma biru.
b. Trombosit; umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke-3-8.
c. Hematokrit; kebocoran plasma dibuktikan dengan adanya peningkatan
hematokrit >20% dari nilai awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
d. Hemostasis; dilakukan pemeriksaan PTT, APTT, fibrinogen, D-Dimer
pada keadaan yang dicurigai adanya perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
e. Protein/albumin; dapat ditemukan hipoalbuminuria apabila terjadi
kebocoran plasma.
f. SGOT/SGPT; dapat ditemukan peningkatan.
g. Urea/kreatinin; bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
h. Elektrolit; sebagai parameter pemberian cairan.
i. Golongan darah; bila dibutuhkan tranfusi darah atau komponen darah.
j. Imunoserologi; IgM dideteksi mulai pada hari ke 3-5, meningkat pada
minggu ke 3 dan hilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer
mulai dideteksi pada hari ke 14 sedangkan pada infeksi sekunder mulai
dideteksi pada hari ke 2.
2. Radiologis
Pada foto dada bisa didapatkan efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan. Pemeriksaan foto rontgen sebaiknya dalam posisi
dekubitus lateral kanan (RLD) Ascites dan efusi pleura dapat dideteksi
dengan pemeriksaan USG.

3. Tes Diagnostik
Diagnosis infeksi dengue yang tepat dan efisien merupakan elemen
yang penting dalam penatalaksanaan infeksi dengue. Metode diagnosis
laboratorium untuk mengkonfirmasi infeksi dengue dapat dilakukan dengan
mendeteksi adanya virus, asam nukleat virus,antigen, maupun antibodi.
Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi pada serum, plasma, sel darah,
dan jaringan lain selama 4-5 hari. Selama fase awal penyakit, isolasi virus,
deteksi asam nukleat atau antigen dapat dilakukan untuk mendiagnosis

9
infeksi dengue. Pada akhir fase akut infeksi, metode serologi merupakan
pilihan utama.
Respon antibodi terhadap adanya infeksi sangat bervariasi antar
individu. Antibodi IgM merupakan imunoglobulin yang paling awal
muncul. Antibodi ini dapat dideteksi pada 50% pasien 3-5 hari setelah onset
penyakit, meningkat menjadi 80% pada hari ke 5 dan menjadi 99% pada
hari ke 10. Puncak IgM adalah 2 minggu setelah onset penyakit kemudian
menurun sampai pada kadar yang tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Anti
dengue srum IgG secara umum dapat dideteksi pada kadar kecil pada kahir
minggu pertama kemudian meningkat perlahan. Serum IgG dapat dideteksi
setelah beberapa bulan bahkan seumur hidup.
Pada infeksi sekunder, titer antibodi akan meningkat lebih cepat.
Imunoglobulin yang dominan adalah IgG yang terdeteksi dalam kadar yang
tinggi bahkan dalam fase akut.

Gambar Pemeriksaan Penunjang Diagnosis DBD.

10
VIII. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma
dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6
sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang,
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya
efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi
nonfarmakologis yang diberikan meliputi: Tirah baring (pada trombositopenia
yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak
dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai
terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat
simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun
obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya
perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol
pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa
mengikuti 5 protokol,mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam
5 kategori, sebagai berikut5:
1. Tatalaksana penderita tersangka Demam Berdarah Dengue (gambar 6).
2. Tatalaksana kasus tersangka Demam Berdarah Dengue (gambar 7).
3. Tatalaksana kasus Demam Berdarah Dengue (gambar 8).
4. Tatalaksana kasus sindroma syok dengue (gambar 9).

Gambar Penanganan tersangka DBD tanpa syok5

11
Gambar Tatalaksana kasus tersangka Demam Berdarah Dengue 5

12
Gambar Tatalaksana kasus Demam Berdarah Dengue 6.

13
Gambar Tatalaksana kasus sindroma syok dengue5.

14
15
2. MALARIA

I. DEFINISI

Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang


disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa
demam, anemia dan pembesaran limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria
merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebakan
oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan
ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam,
menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.7
I. ETIOLOGI

Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke


dalam genus Plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat
intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium vivax,
Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale.
Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles
ataupun ditularkan langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik
yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya.9
Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut juga
sebagai malaria tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria
malariae atau malaria kuartana. P. ovale merupakan penyebab malaria
ovale, sedangkan P. falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau
malaria tropika. Spesies terakhir ini paling berbahaya, karena malaria yang
ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat
menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai
komplikasi di dalam organ-organ tubuh.9
II. PATOFISIOLOGI

Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung


parasit. Gejala yang paling mencolok adalah demam yang diduga
disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat
demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh
terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa
eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan
leukosit neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan resiko
terjadinya ruptur limpa.

16
Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan
difagositosis oleh sistem retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis tergantung
dari jenis Plasmodium dan status imunitas pejamu. Anemia juga
disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuestrasi oleh limpa pada
eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal, dan gangguan eritropoiesis.
Pada hemolisis berat dapat terjadi hemoglobinuria dan hemoglobinemia.
Hiperkalemia dan hiperbilirubinemia juga sering ditemukan.
Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika,
disebabkan karena sel darah merah yang terinfeksi menjadi kaku dan
lengket, sehingga perjalanannya dalam kapiler terganggu dan mudah
melekat pada endotel kapiler karena adanya penonjolan membran
eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan pecahan sel, maka aliran
kapiler terhambat dan timbul hipoksi jaringan, terjadi gangguan pada
integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bahkan perdarahan
ke jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan patologis ini dapat
menimbulkan manifestasi klinis sebagai malaria serebral, edema paru, gagal
ginjal dan malabsorpsi usus.
Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor
yang diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria
terutama penting untuk melindungi anak kecil atau bayi karena sifat
khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang-
biaknya parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi
antara organel spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan
eritrosit.
Imunitas humoral dan seluler tehadap malaria didapat sejalan
dengan infeksi ulangan. Namun imunitas ini tidak mutlak dapat
mengurangi gambaran klinis infeksi ataupun dapat menyebabkan
asimptomatik dalam periode panjang. Pada individu dengan malaria dapat
dijumpai hipergamaglobulinemia poliklonal, yang merupakan suatu antibodi
spesifik yang diproduksi untuk melengkapibeberapa aktivitas opsonin
terhadap eritrosit yang terinfeksi,tetapi proteksi ini tidak lengkap dan hanya
bersifat sementara bilamana tanpa disertai infeksi ulangan. Tendensi malaria
untuk menginduksi imunosupresi, dapat diterangkan sebagian oleh tidak
adekuatnya respon ini. Antigen yang heterogen terhadap Plasmodium
mungkin juga merupakan salah satu faktor. Monosit/ makrofag
merupakan partisipan selular yang terpenting dalam fagositosis eritrosit
yang terinfeksi.7

III. KLASIFIKASI

17
Menurut Harijanto (2000) pembagian jenis-jenis malaria
berdasarkan jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut :9
Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum)

Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan bentuk


yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia,
splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi.
Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk
eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini
berupa Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal
dan merupakan satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti
(Double Chromatin).
Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika:
Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur
hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel
darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan
untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat
obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat
dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral,
gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).
Malaria Kwartana (Plasmoduim Malariae)

Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan


Plasmoduim vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih
biru. Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan
kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon
Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti
kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan
Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala
lain nyeri pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan
malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi
seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada
pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria,
hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.
Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)

Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip


Plasmodium malariae, skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan
masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk

18
identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Ovale
biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan
bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh
Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walau pun periode laten
sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih
dari 10 kali walau pun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)

Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi


eritrosit muda yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal.
Bentuknya mirip dengan plasmodium Falcifarum, namun seiring dengan
maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24
merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval
hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen
kuning. Gejala malaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan gejala
klasik trias malaria dan mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali
dengan puncak demam setiap 72 jam.
Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang
system tubuh, malaria tropika merupakan malaria yang paling berat di
tandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemis
yang banyak, dan sering terjadinya komplikasi.

IV. MANIFESTASI KLINIS

Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasienn non-


imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu
(paroksisme), yang diselingi oleh suatu periode (periode laten) bebas
demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemah, nyeri kepala,
tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi
majemuk/ campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau satu jenis
Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka
serangan demam terus- menerus (tanpa interval), sedangkan pada
pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium yang
berurutan yakni stadium dingin (cold stage), stadium demam (hot stage)
dan stadium berkeringat (sweating stage). Paroksisme ini biasanya
terlihat jelas pada orang dewasa namun jarang dijiumpai pada usia muda.
Pada anak di bawah umur lima tahun, stadium dingin seringkali
bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam yang pertama
didahului oleh masa iinkubasi (intrinsik). Masa inkubasi bervariasi
antara 9- 30 hari t ergantung pada spesies parasit. Masa inkubasi ini juga

19
tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat
sebelumnya, dan derajat imunitas pejamu. Pada malaria akibat transfusi
darah, masa inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10 hari,
Plasmodium vivax 16 hari, dan Plasmodium malariae 40 hari atau
lebih setelah transfusi. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi
masing- masing spesies parasit, untuk Plasmodium falciparum 12 hari,
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13- 17 hari, dan Plasmodium
malariae 28- 30 hari. Setelah lewat masa inkubasi, pada anak besar dan
orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi dalam tiga stadium atau
trias malaria (malaria proxym), yaitu :
Stadium dingin

Diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang


sangat dingin. Gigi gemeretak, nadi cepat tetapi lemah, bibir dan
jari- jari pucatatau sianosis, kulit kering dan pucat, pasien mungkin
muntah pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung
antara 15 menit sampai 1 jam.
Stadium demam

Pada stadium ini pasien merasa kepanasan. Muka merah, kulit


kering dan terasa sangat panas seperti terbakar, nyeri kepala, mual dan
muntah, nadi menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat
haus dan suhu badan dapat meningkat sampai 410 C atau lebih.
Stadium ini berlangsung antara 2- 12 jam. Demam disebabkan oleh
karena pecahnya skizon dalam sel darah merah yang telah matang
dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah.
Stadium berkeringat

Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali,


kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadang- kadang
sampai di bawah normal. Black water fever yang merupakan
komplikasi berat, adalah munculnya hemoglobin pada urin sehingga
menyebabkan warna urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari
black water fever adalah ikterus dan muntah berwarna seperti
empedu. Black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang
menderita infeksi Plasmodium falciparum berulang dengan infeksi
yang cukup berat.7
Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi
malaria, dan lebih sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan

20
pada limpa akan terjadi setelah 3 hari dari serangan akut dimana
limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis8
Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P.
falciparum. Pada infeksi P. falciparum dapat menimbulkan malaria
berat dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat
yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. falciparum stadium
aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut:8
o Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari
11.
o Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan
hitung parasit >10.000/l.
o Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang
dewasa atau <12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan
rehidrasi, diserta kelainan kreatinin >3mg%.
o Edema paru.
o Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.
o Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg diserta
keringat dingin atau perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC.
o Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau
disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi
intravaskuler.
o Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan
pada hipertermis.
o Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat
<15mmol/L).
o Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut
bukan karena obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6
Phospat Dehidrogenase.
o Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat
pada pembuluh kapiler jaringan otak.

V. DIAGNOSIS

Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis pasti infeksi malaria ditegakkan dengan
pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostic cepat.9
Anamnesis9

21
Keluhan utama, yaitu demam, menggigil, berkeringat dan
dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-
pegal. Riwayat berkunjung dan bermalam lebih kurang 1-4 minggu yang
lalu ke daerah endemik malaria. Riwayat tinggal di daerah endemik
malaria. Riwayat sakit malaria. Riwayat minum obat malaria satu bulan
terakhir. Riwayat mendapat transfusi darah.Selain hal-hal tersebut di
atas, pada tersangka penderita malaria berat, dapat ditemukan keadaan
di bawah ini:
Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
Keadaan umum yang lemah.
Kejang-kejang.
Panas sangat tinggi.
Mata dan tubuh kuning.
Perdarahan hidung, gusi, tau saluran cerna.
Nafas cepat (sesak napas).
Muntah terus menerus dan tidak dapat makan minum.
Warna air seni seperti the pekat dan dapat sampai kehitaman.
Jumlah air seni kurang bahkan sampai tidak ada.
Telapak tangan sangat pucat.
Pemeriksaan Fisik
Demam (37,5oC)
Konjunctiva atau telapak tangan pucat
Pembesaran limpa
Pembesaran hati

Pada penderita tersangaka malaria berat ditemukan tanda-tanda


klinis sebagai berikut:
Temperature rectal 40oC.
Nadi capat dan lemah.
Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan <50
mmHg pada anak-anak.
Frekuensi napas >35 kali permenit pada orang dewasa atau >40 kali
permenit pada balita, dan >50 kali permenit pada anak dibawah 1
tahun.
Penurunan kesadaran.
Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
Tanda-tanda dehidrasi.
Tanda-tanda anemia berat.
Sklera mata kuning.
Pembesaran limpa dan atau hepar.
Gagal ginjal ditandai dengan oligouria sampai anuria.
Gejala neurologik: kaku kuduk, refleks patologis positif.

22
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dengan mikroskopik
Sebagai standar emas pemeriksaan laboratoris demam malaria pada
penderita adalah mikroskopik untuk menemukan parasit di dalam
darah tepi(13). Pemeriksaan darah tebal dan tipis untuk menentukan:
o Ada/tidaknya parasit malaria.
o Spesies dan stadium Plasmodium
o Kepadatan parasite
o Semi kuantitatif:

(-) : tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB


(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB
(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB
(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB
(++++): ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB
Kuantitatif
- Jumlah parasit dihitung permikroliter darah pada sediaan
darah tebal atau sediaan darah tipis.
- Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic
Test)
- Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit
malaria, dengan menggunakan metoda immunokromatografi
dalam bentuk dipstik.
Tes serologi

Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik


terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal.
Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostic sebab antibodi
baru terbentuk setelah beberapa hari parasitemia. Titer >1:200
dianggap sebagai infeksi baru, dan tes >1:20 dinyatakan positif.

VI. PENATALAKSANAAN

Obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain


klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivate
artemisin. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk
profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal malaria
tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria, sulfadoksin-
pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria
falciparum tanpa komplikasi. Kina merupakan obat anti malaria pilihan

23
untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain
itu kina juga digunakan untuk pengobatan malaria berat atau malaria
dengan komplikasi. Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria
pelengkap pada malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan
malaria berat. Artemisin digunakan untuk pengobatan malaria tanpa atau
dengan komplikasi yang resisten multidrugs.8
Beberapa obat antibiotika dapat bersifat sebagai antimalaria.
Khusus di Rumah Sakit, obat tersebut dapat digunakan dengan
kombinasi obat antimalaria lain, untuk mengobati penderita resisten
multidrugs. Obat antibiotika yang sudah diujicoba sebagai profilaksis dan
pengobatan malaria diantaranya adalah derivate tetrasiklin, kloramfenikol,
eritromisin, sulfametoksazol-trimetoprim dan siprofloksasin. Obat-obat
tersebut digunakan bersama obat anti malaria yang bekerja cepat dan
menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina.8
Pengobatan malaria falciparum10
Lini pertama

Artesunat+Amodiakuin+Primakuin
Dosis artesunat 4 mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin 10
mg/kgBB (dosis tunggal), primakuin 0,75 mg/kgBB (dosis
tunggal).
Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan
berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan
berdasarkan golongan umur. Dosis makasimal penderita dewasa
yan dapat diberikan untuk artesunat dan amodiakuin masing-
masing 4 tablet, 3 tablet untuk primakuin.
Tabel Pengobatan Lini Pertama Untuk Malaria falciparum
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
Hari Jenis obat
Artesunat 1 2 3 4
Amodiakuin 1 2 3 4
I Primakuin - - 1 2 2-3
Artesunat 1 2 3 4
Amodiakuin 1 2 3 4
II
Artesunat 1 2 3 4
Amodiakuin 1 2 3 4
III

24
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk
pengobatan malaria falciparum. Pemakaian artesunat dan
amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit stadium
aseksual, sedangkan primakuin bertujuan untuk membunuh
gametosit yang berada di dalam darah.10
Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan bila
pengobatan lini pertama tidak efektif.
Lini kedua10

Kina+Doksisiklin/Tetrasiklin+Primakuin
Dosis kina 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari),
doksisiklin 4 mg/kgBB/hr (dewasa, 2x/hr selama 7 hari), 2
mg/kgBB/hr (8-14 th, 2x/hr selama 7 hari), tetrasiklin 4-5
mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan
berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan
berdasarkan golongan umur.

Tabel Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falciparum


Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-11 bln 1-4 th 5- 9 th 10-14 th 15 th
*
Kina 3x 3x1 3x 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
I Primakuin - 1 2 2-2
*
Kina 3x 3x1 3x 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
II-VII
* : dosis diberikan per kgBB
** : 2x50 mg doksisiklin
*** : 2x100 mg doksisiklin
Pengobatan malaria vivax dan malaria ovale10
Lini pertama

Klorokuin+Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai piliha utama untuk
pengobatan malaria vivax dan ovale. Pemakaian klorokuin
bertujuan membunuh parasit stadium aseksual dan seksual.

25
Pemberian primakuin selain bertujuan untuk membunuh hipnozoit
di sel hati, juga dapat membunuh parasit aseksual di eritrosit(3).
Dosis total klorokuin 25 mg/kgBB (1x/hr selama 3
hari), primakuin 0,25 mg/kgBB/hr (selama 14 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan
berdasarkan berat badan penderita obat dapat diberikan berdasarkan
golongan umur, sesuai dengan tabel.

Tabel Pengobatan Lini Kedua Untuk malaria vivax dan malaria


ovale
Hari Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
Klorokuin 1 2 3 3-4
Primakuin - - 1
I

Klorokuin 1 2 3 3-4
Primakuin - - 1
II

Klorokuin 1/8 1 1 2
Primakuin - - 1
III

IV- Primakuin - - 1
XIV

Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke 28


setelah pemberian obat, ditemukan keadaan sebagai berikut: klinis
sembuh (sejak hari keempat) dan tidak ditemukan parasit stadium
aseksual sejak hari ketujuh.Pengobatan tidak efektif apabila dalam
28 hari setelah pemberian obat:
Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau
gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak
berkurang atau timbul kembali setelah hari ke-14. Gejala klinis
membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari ke-15
sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).

26
Lini kedua (pengobatan malaria vivax resisten klorokuin)

Kina+Primakuin
Dosis kina 10 mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari),
primakuin 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari).
Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel
dosis berdasarkan golongan umur sebagai berikut:
Tabel Pengobatan Malaria vivax Resisten Klorokuin
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
Hari Jenis obat
* *
1-7 Kina 3x 3x1 3x2 3x3
1-14 Primakuin - - 1
*: dosis diberikan per kgBB

Pengobatan malaria vivax yang relaps


Sama dengan regimensebelumnya hanya dosis primakuin
yang ditingkatkan. Dosis klorokuin diberikan 1 kali perhari selama
3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB dan primakuin diberikan
selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Dosis obat juga
dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan
golongan umur3
Tabel Pengobatan Malaria vivax yang Relaps
Hari Jenis obat Jenis obat menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th 15 th
1 Klorokuin 1 2 3 3-4
Primakuin - - 1 1 2
2 Klorokuin - 2 3 3-4
Primakuin - - 1 1 2
3 Klorokuin 1/8 1 1 2
Primakuin - - 1 1 2
4-14 Primakuin - - 1 1 2

27
Pengobatan malaria malariae10

Klorokuin 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total


25 mg/kgBB. Klorokuin dapat membunuh parasit bentuk aseksual
dan seksual P. malariae. Pengobatan dapat juga diberikan berdasarkan
golongan umur penderita(3).

Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur


0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 15 th

I Klorokuin 1 2 3 3-4
II Klorokuin 1 2 3 3-4

III Klorokuin 1/8 1 1 2


Tabel pengobatan malaria malariae

Kemoprokfilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko


terinfeksi malaria sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak
berat. Kemoprofilaksis ini ditujukan kepada orang yang bepergian ke
daerah endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama, seperti
turis, peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain. Untuk kelompok atau
individu yang akan bepergian atau tugas dalam jangka waktu yang lama,
sebaiknya menggunakan personal protection seperti pemakaian kelambu,
kawat kassa, dan lain-lain. Oleh karena P. falciparum merupakan spesies
yang virulensinya cukup tinggi maka kemoprofilaksisnya terutama
ditujukan pada infeksi spesies ini. Sehubungan dengan laporan tingginya
tingkat resistensi P. falciparum terhadap klorokuin, maka doksisiklin
menjadi pilihan. Doksisiklin diberikan setiap hari dengan dosis 2 mg/kgBB
selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Kemoprofilaksis untuk P. vivax
dapat diberikan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB setiap minggu. Obat
tersebut diminum 1 minggu sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4
minggu setelah kembali.
Tabel Dosis Pengobatan Pencegahan Dengan Klorokuin
Golongan umur (thn) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal, 1x/minggu)
<1
1-4
5-9 1
10-14 1
>14 2

28
3. RABIES
I. DEFINISI

Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya
saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang
terinfeksi, tapi kadang transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai
proses penyakit.11
Nama lain untuk rabies, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia
(Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama
penyakit Anjing Gila.12
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23
Sebelum Masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita
rabies pada tahun 500 SM. Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan
gejala hydrophobia dilaporkan pada abad pertama oleh Celsus dan gejala klinis
rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro, seorang dokter Italia. Pada
tahun 1880 Louis Pasteur mendemostrasikan adanya infeksi pada susunan saraf
pusat. Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya
vaksin oleh Louis Pasteur pada tahun 1885. Pertumbuhan virus rabies pada
jaringan ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan
mikroskop elektron pada tahun 1960.12

II. EPIDEMIOLOGI

Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara


yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris,
Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia
Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies
tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies adalah Bali,
NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001
menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa
timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir pada
tahun 2004, di Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies
tercatat 21 orang. Sedangkan di Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan
pada tanggal 29 November 2008 terdapat beberapa anjing mati dan dinyatakan
positif Rabies. Hal ini membuat Provinsi Bali dengan status bebas rabies perlu
ditinjau kembali.

29
Gambar Penyebaran Dan Distribusi Rabies Di Dunia

III. ETIOLOGI

Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal,


beramplop, berbentuk peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk
anggota kelompok rhabdovirus. Glikoprotein virus terikat pada reseptor
asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody
neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas
sel T.11

Gambar Rhabdovirus

Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56C waktu


paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37C

30
dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun,
etanol 45%, solusi jodium.12

IV. PATOGENESIS

Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau ke dalam


membran mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di
daerah inokulasi. Sistem saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus
kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat,
mungkin melalui aksoplasma saraf perifer. Saat virus mencapai sistem saraf
pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam substansia kelabu dan
kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom untuk mencapai
jaringan jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal, paru-
paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar pada air susu dan
urine.12
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih
dari 1 tahun (rata rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung
pada jumlah virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme
pertahanan penderita dan perjalanan virus dari daerah inokulasi ke sistem saraf
pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang ( 2 sampai
dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi.12

Gambar Perjalanan Virus Rabies Pada Hewan

31
V. MANIFESTASI KLINIK

Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa
bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7
tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat
kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek
daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan
besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat),
derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala
inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.12
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal
non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3)
disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran
klasik ensefalitis rabies, dan (4) koma rabies yang mendalam.11
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan
ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah
(fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang
tidak produktif.

32
Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia
dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin
berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris
yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80%
pasien.1
Stadium prodormal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian
penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa
furious atau paralitik. 12
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik
yang berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi,
combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot,
meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode
penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi bersama dengan
berkembangnya penyakit, periode lucid menjadi lebih pendek sampai pasien
akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan
terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan rangsangan oleh udara
sering terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6C.
abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler,
lakrimasi meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih. Juga terdapat tanda
paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks
tendo profunda, dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa
terjadi.11
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase
ensefalitis. Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan
menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan
menimbulkan gambaran tradisional foaming at the mouth. Hidrofobia,
tampak pada sekitar 50% kasus. Pasien menjadi koma dengan terkenanya pusat
respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya
disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya.
Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan
maksimum 20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.11

Tabel Perjalanan Penyakit Penderita Rabies


Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis
Inkubasi < 30 hari (25%) Tidak ada
30-90 hari (50%)

33
90 hari 1 tahun (20%)
>1 tahun (5%)
Prodromal 2-10 hari Parestesi, nyeri pada luka
gigitan, demam, malaise,
anoreksia, mual & muntah,
nyeri kepala, lethargi, agitasi,
anxietas, depresi

Neurologik akut
Halusinasi, bingung, delirium,
Furious (80%) 2-7 hari tingkah laku aneh, agitasi,
menggigit, hidropobia,
hipersalivasi, disfagia, afasia,
inkoordinasi, hiperaktif,
spasme faring, aerofobia,
hiperventilasi, disfungsi saraf
otonom, sindroma
abnormalitas ADH
Paralisis flaksid

Paralitik 2-7 hari


Autonomic instability,
hipoventilasi, apnea, henti
Koma 0-14 hari nafas, hipotermia/hipertermia,
hipotensi, disfungsi pituitari,
rhabdomiolisis, aritmia dan
henti jantung

Gambar Rabies Secara Umum

34
VI. KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya


timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan
tekanan intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus,
sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang
menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti
jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan
aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi
komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi
dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi
karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik.12

VII. DIAGNOSIS BANDING

Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita


dengan gejala neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa

35
dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang yang
mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.12
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu
reaksi psikologik orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga
mengidap rabies. Penderita dengan rabies histerik akan menolak jika diberikan
minum (pseudohidropobia) sedangkan pada penderita rabies sering merasa
haus.12
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang
pendek, adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status
mental normal, cairan serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat
hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan dengan metode pemeriksaan virus dan
tidak dijumpai hidropobia.12
Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre
transverse myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis,
poliomielitis atau ensefalitis post vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul
gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak ada gangguan sensorik.
Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 1:1600 pada vaksinasi
nerve tissue rabies vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat,
dalam 2 minggu setelah dosis pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan
pemeriksaan laboratorium berupa isolasi virus akan membantu diagnosis.12
Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak
penyebab dari ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus
seperti herpesvirus, enterovirus, dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk
dijadikan diagnosa banding adalah herpes simpleks tipe 1, varicella-zooster.
Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geografi, umur pasien, riwayat
perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat membantu
menolong penegakan diagnosa.11
VIII. PENATALAKSANAAN

Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies;
penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung
dan gagal nafas. Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan,
hasilnya tidak menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk
memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan
mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi
penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari
rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah
penularan. Staf rumah sakit perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus
dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan yang paling berbahaya adalah kontak
dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat gigitan dengan

36
universal precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus tidak
menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita
rabies adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan
edema serebri.12
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara
adekuat untuk memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-
obat anti serum, anti virus, interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya
tidak terbukti efektif.12
Tabel : Fitur Profilaksis Pasca Pajatan Untuk Infeksi Rabies Oleh WHO

Kategori Pajanan Terhadap Tindakan Pasca Pajanan


Binatang Kelinci Dengan Rabies
Kategori I Menyentuh atau Tak perlu tindakan
memberi makan hewan, menjilat
pada kulit utuh (tidak ada paparan)
Kategori II Gigitan pada kulit, Segera lakukan tindakan
goresan kecil atau lecet tanpa vaksinasi dan pengobatan
pendarahan lokal terhadap luka
Kategori III Gigitan atau Segera lakukan vaksinasi
goresan transdermal yang tunggal dan pemberian
atau multipel, menjilat pada kulit imunoglobulin rabies,
yang rusak, Kontaminasi selaput pengobatan lokal terhadap
lendir dengan air liur dari jilatan, luka
pajatan oleh kelelawar

IX. PENCEGAHAN

Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai


profilaksis rabies pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus
memberikan profilaksis rabies, digunakan pertimbangan berikut: (1) apakah
individu mengalami kontak fisis dengan saliva atau bahan lain yang mungkin
mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui atau diduga pada spesies
dan area yang dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua individu
dalam kepulauan Amerika yang digigit kelelawar yang membawa virus,
sebaiknya menerima profilaksis pasca-pemajanan), (3) keadaan sekitar
pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif dan komplikasi. 11
Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang
terlibat pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap jika mungkin.

37
Binatang buas atau yang sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau
yang berkeliaran yang dapat terlibat dalam pemajanan rabies, menunjukkan
tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya dibunuh secara penuh
perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium yang sesuai
untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika pemeriksaan otak dengan
teknik fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa
saliva tidak mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati.11
Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu
ditangkap, diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau
tingkah laku yang abnormal pada binatang itu selama periode observasi,
binatang itu dibunuh untuk pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti
percobaan dan epidemiologik menunjukkan bahwa binatang yang tetap sehat
selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan virus rabies rabies pada
waktu menggigit.
Profilaksis pasca paparan
Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah dengan
neutralizing antibody terhadap virus rabies agar antibodi terhadap rabies dapat
segera terbentuk dalam serum setelah masuknya virus kedalam tubuh dan
antibodi sebaiknya terdapat dalam titer yang cukup tinggi selama setahun
sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing antibody
tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara
aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.11
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve
Tissue Vaccine (NTV); b). Non Nerve Tissue Vaccine (Duck Embryo Vaccine =
DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid
Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero Cell Rabies Vaccine (PVRV).12
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi
pada semua kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang
biasanya menjadi vektor rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR)
adalah yang paling ideal dan memberikan proteksi yang jauh lebih baik
dibandingkan dengan vaksin saja.12
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan
berupa pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau
anterolateral paha dengan dosis 0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen
Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0.5 mL pada hari 0, 7, 21
(regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Pada orang yang sudah mendapat
vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka
rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan
dikategorikan berat, vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah,
gigitan leher ke atas, pada jari tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU per

38
kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah setengah
dosis infiltrasi pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada tempat
yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan
dosis pertama SAR.12
Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi seperti dokter
hewan, penyelidik gua (arkeolog), pekerja laboratorium dan pelatih binatang,
sebaiknya mendapat profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies.
Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-daerah endemis seperti Meksiko,
Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan mendapatkan pencegahan pre-
exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL secara intramuskuler
pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.12
Efek samping/komplikasi vaksinasi
Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies
juga dapat memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia
yaitu reaksi lokal, berupa udem, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat
suntikan serta reaksi umum berupa panas, malaise, mual muntah, diare dan
mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian kompres lokal pada
tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.12
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis
dengan gejala sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis,
parestesia, kaku kuduk, ataksia dan kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi
pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan protein myelin yang
bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan saraf.
Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dilaporkan lagi komplikasi
ensefalomielitis.12
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan
serum sickness. Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan
serum sickness diatasi dengan pemberian kortikosteroid dan antihistamin.12
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi
pada sekitar 20% resipien. Reaksi-reaksi ini akan sembuh dengan sendirinya.11

X. PROGNOSIS

Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus
sudah mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari
kepustakaan dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun
1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup.
Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu

39
kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung
ataupun paralisis generalisata.12
Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih
dari 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera
mendapat perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka
survival 100%.12

4. LEPTOSPIROSIS
I. DEFINISI 13

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme Leptospirosis interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh Weil pada tahun 1886
yang membedakan penyakit yang disertai ikterus ini dengan penyakit lain yang
juga mnyebabkan ikterus. Bentuk beratnya dikenal sebagai Weils disease.
Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slamp fever,
swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, dan lain-lain.13
Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak
spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium.
Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara
telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk
emerging infectious disease.

II. EPIDEMIOLOGI13

Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang


diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun
1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita
yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan
gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang
pada tahun 1916. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian
besar berusia antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki
usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit
occupational ini.
Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian
besar kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim
panas atau awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis.
Angka kejadian penyakit Leptospirosis sebenarnya sulit diketahui.
Penemuan kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed,

40
unrreported dan underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala
asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis dan nonfatal.
Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus
leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di
Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa
Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali.
Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang
juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospirosis juga banyak
berkembang biak di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan
Kalimantan.
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%.
Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam
kategori ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita immunocompromised
mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian.
Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa
mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang
ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus.
Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan,
penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang
batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi
yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti
berenang atau rafting.
Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospirosis
lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi
terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah
saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan
antibodi positif pada rentang 8-29%.
Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata
dilaporkan peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko
meliputi perjalanan rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki,
memancing, selancar air, berenang, ski air, berkendara roda dua melalui
genangan, dan kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang
tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan
resiko
III. ETIOLOGI13

Gambar leptospirosis

41
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospirosis, famili
treponemataceae, suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme
ini yakni berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang
sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung organisme sering
membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi
tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga
dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus
kecil-kecil. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa
morfologi leptospirosis secara umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih
jelas gerakan leptospirosis digunakan mikroskop lapangan gelap.
Leptospirosis membutuhkan membutuhkan media dan kondisi yang khusus
untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk
membuatkultur yang positif. Dengan medium Fletchers dapat tumbuh
dengan baik sebagai obligat aerob.
Secara sederhana, genus leptospirosis terdiri atas dua spesies; L.
interrogans yang patogen dan L. biflexa yang non paogen/saprofit. L.
interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi
menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Beberapa serovar
L. interrogans yang dapat menginfeksi manusia diantaranya adalah L.
icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L. javanica, dan lain-lain.
Menurut bebrapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia
adalah L. icterohaemorrhagica dengan reservoar tikus, L. canicola dengan
reservoar anjing, dan L. pomona dengan reservoar sapi dan babi.

IV. PATOGENESIS 14

Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan tanah, air, atau lumpur
yang telah terkontaminasi oleh urine binatang yang telah terinfeksi
leptospirosis. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka/erosi pada kulit ataupun
selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine

42
binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan
air yang deras pun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat
gigitan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospirosis, atau kontak dengan
kultur leptospirosis di laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang
terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospirosis.
Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi mendapat penyakit ini adalah
pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang,
pekerja di rumah potong hewan, atau orang-orang yang mengadakan
perkemahan di hutan, dokter hewan.
Gambar patogenesis leptospirosis

Leptospirosis masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput


lendir, memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas
ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologi baik secara selular
maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi
spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada
daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal dimana
sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan di
sana dan dilepaskan melalui urin. Leptospirosis dapat dijumpai dalam air
kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospirosis dapat
dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan
cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam
jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu.

43
Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis; invasi
bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi.

V. PATOLOGI 14

Gambar patologi leptospirosis

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospirosis melepaskan


toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada
bebrapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan
endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan anatara derajat
gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada
leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati
pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ.
Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit, dan
sel plasma. Pada kasus yang erat terjadi kerusakan kapiler dengan
pedarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bile. Selain
di ginjal, leptospirosis juga dapat bertahan pada otak dan mata.
Leptospirosis dapat masuk ke dalam cairan serebrospinalis pada fase
leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan
gangguan neurologi terbanyak yang terjadi akibat komplikasi leptospirosis.
Organ-organ yang sering dikenai leptospirosis adalah ginjal, hati, otot, dan
pembuluh darah.

44
Kelainan spesifik pada organ:14
Ginjal

Interstisial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan


bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi
ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan
nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis, dan invasi
langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
Hati

Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi


sel limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dan kolestasis. Pada kasus-
kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospirosis dalam hepar.
Biasnya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
Jantung

Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat.


Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa interstisiil edema
dengan infiltrasi sel mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokardium da endokarditis.
Otot rangka

Pada otot rangka terfadi perubahan-perubahan berupa lokal


nekrotis, vakuolisasi, dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi
pada leptospirosis disebabkan invasi langsung leptospirosis. Dapat juga
ditemukan antigen leptospirosis pada otot.
Mata

Leptospirosis dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase


leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang
terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis.

Pembuluh darah

Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya


vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan

45
perdarahan/ptekie pada mukosa, permukaan serosa, dan alat-alat visera
dan perdarahan dibawah kulit.
Susunan saraf pusat

Leptospirosis mudah masuk ke dalam CSF dan dikaitkan dengan


terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibodi, tidak pada saat memasuki CSF. Diduga bahwa terjadinya
meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan
meningens dengan sedikit peningkatan sel mononuklear arakhnoid,
Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya paling
sering disebabkan oleh L. canicola.
Weil Disease13

Weil Disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan


ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan
kesadaran, demam tipe kontinua, dan berkurangnya kemampuan darah
untuk membeku sehingga terjadi perdarahan dalam jaringan. Gejala
awal dari sindroma Weil lebih ringan dari leptospirosis.
Pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia. Pada kari ke-3
sampai hari ke-6, muncul tanda-tanda kerusakan ginjal dan hati.
Penderita akan merasakan sakit saat berkemih atau air kemihnya
berdarah. Kerusakan hati biasanya ringan dan akan sembuh total.
Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan
leptospirosis. Penyebab weil disease adalah serotipe icterohaemorragica,
pernah juga dilaporkan oleh seotipe copenhageni dan bataviae.
Gambaran klinis berupa gangguan renal, hepatik atau disfungsi vaskular.

VI. MANIFESTASI KLINIK 13

Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosos mempunyai 2 fase penyakit khas yaitu fase leptospiremia dan
fase imun.
Manifestasi klinis yang sering terjadi ialah demam, menggigil, sakit
kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjungtival suffusion, mual, muntah,
nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotofobia. Sedangkan
manifestasi klinis yang jarang terjadi ialah pneumonitis, hemoptoe, delirim,
perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, neuritis,
pankreatitis, parotitis, epididimitis, hematemesis, asites, miokarditis.

46
Fase Leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospirosis di dalam darah dan
cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit
kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada
paha, betis dan pinggang diserai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan
hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual
dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus
disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat,
bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai
adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash
yang berbentuk makular, makulopapular, atau urtikaria. Kadang-kadang
dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini
berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan
kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya
kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih
berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari,
setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase
imun.

Fase Imun

47
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul
demam yang mencapai suhu 40C disertai menggigil dan kelemahan umum.
Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki
terutama otot betis. Terdapat perdarahn berupa epistaksis, gejala kerusakan
pada ginjal dan hati, uremia dan ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat
pada fase ikterik, purpura, ptekie, epistaksis, perdarahan gusi merupakan
manifestasi perdarahan paling sering. Conjungtiva injection dan
conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomonis
untuk leptospirosis.
Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun
hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleiositosos pada CSS
dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam
beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini
leptospirosis dijumpai didalam urin.
VII. DIAGNOSIS14

Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit karena pasien biasanya


datang meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma syok
toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatesis hemoragik, bahkan
beberapa kasus datang dengan pankreatitis. Pada anamnesis penting diketahui
tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok risiko tinggi.
Gejala atau keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala
terutama di bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot,
hepatomegali, dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa
dijumpai leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran
neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria,
leukosituria, dan cast. Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa
peningkatan transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila
terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus.
Diagnosa pasti dengan isolasi leptospirosis dari cairan tubuh dan serologi.
Kultur: dengan mengambil spesimen dari darah atau CCS segera pada
awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil
spesimen pada fase leptospiremia serta sebelum diberi antibiotik. Kultur urine
diambil setelah 2-4 minggu setelah onset penyakit. Pada spesimen yang
terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan.
Serologi: pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospirosis dengan
cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver
stain, fluoroscent antibody stain, danmikroskop lapangan gelap.

48
VIII. PENATALAKSANAAN13

Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan


mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat
penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan
akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa
pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya
pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotik
pilihan, seperti
Tabel pengobatan leptospirosis
Pengobatan dan kemoprofilaksis Leptospirosis
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis Doksisiklin 2 x 100 mg
ringan
Ampisilin 4 x 500-750 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg

Penisilin G 1,5 juta unit/ 6 jam (i.v)


Leptospirosis
Ampisilin 1 gram / 6 jam (i.v)
sedang/berat
Amoksisilin 1 gram / 6 jam (i.v)

Doksisiklin 200 mg/ minggu

Kemoprofilaksi
s

Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penicillin G,


amoxiciliin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk
kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin,
ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosporin.
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan
utama, namun perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospirosis
masih di dalam darah (fase leptospirosisemia). Pada pemberian penisilin,

49
dapat muncul reaksi Jarisch- Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian
intra vena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti-leptospirosis. Tindakan
suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang
timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa diatur sebagaimana
pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalu terjadi
azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialysis

IX. KOMPLIKASI14

Komplikasi meliputi meningitis, fatigue berlebihan, gangguan pendengaran,


distress respirasi, azotemia, dan renal interstitial tubular necrosis yang akhirnya
menyebabkan gagal ginjal dan kadang juga gagal hati. Bentuk berat dari
penyakit ini disebut Weils disease. Masalah kardiovascular juga dapat terjadi
- Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6.
- Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.
- Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung membengkak dan gagal
jantung yang dapat mengikabatkan kematian mendadak.
- Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
- Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari saluran
pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran genitalia, dan mata
(konjungtiva).
- Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir mati.

X. PENCEGAHAN 13

Pencegahan leptospirosis khususnya didaerah tropis sangat sulit. Banyaknya


hospes perantara dan jenis serotype sulit untuk dihapuskan. Bagi mereka yang
mempunyai risiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan
berupa pakaian khusus yang dapat melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan
yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang reservoir. Pemberian doksisiklin
200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis
bagi mereka yang memiliki risiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat.
Penelitian terhadap tentara Amerika di hutan Punama selama 3 minggu, ternyata
dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4-2% menjadi 0,2% san efikasi
pencegahan 95%.
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoir sudah lama
direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan,
masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

50
5. FILARIASIS

I. DEFINISI

Filariasis adalah Infestasi dari filarial, dimana filarial adalah cacing


nematode dari superfamilia filariodea. Familia yang penting dalam superfamilia ini
adalah Dipetalonematidae yang meliputi berbagai spesies yang hidup dalam
jaringan limfoid, jaringan dan juga rongga tubuh. Spesies yang hidup dalam
jaringan limfoid adalah Wuchereria bancrofti, Brugia Malayi, Brugia timor,
sedangkan yang hidup dalam jaringan adalah Loa loa, dan Onchocerca volvulus,
dan yang hidup dalam rongga badan adalah Mansonella ozzardi, Mansonella
perstans, dan Mansonella streptocerca (hidup di kulit atau subkutan).15
II. EPIDEMIOLOGI

Umumnya penyakit filariasis yang sering terjadi adalah yang diakibatkan


oleh Wuchereria bancrofti. Yang memiliki prevalensi di afrika bagian ekuator,
subbenua india, Asia Tenggara dan Amerika Tengah dan Selatan.16
Prevalensi dari mikrofilaria meningkat bersama dengan umur pada anak-
anak dan meningkat antara usia 20-30 tahun. Pada saat usia pertumbuhan, serta
lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.17
III. ETIOLOGI15

Penyakit ini disebabkan oleh superfamilia filariodea, berikut daftar nama


dan penyakit yang ditimbulkan oleh parasite tersebut:
- Wuchereria bancrofti, adalah penyebab dari Bancroftian filariasis yang
menimbulkan kelainan limfopatologik seperti elephantiasis. Cacing ini
ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp, Culex sp dan Aedes sp.
- Brugia Malayi,merupakan penyebab Malayan filariasis yang menimbulkan
penyakit dengan gejala menyerupai Bancroftian filariasis. Cacing ini ditularkan
melalui Mansonia sp, Aedes sp dan Anopheles sp.
- Brugia timor adalah penyebab Timorian filariasis yang ditularkan melalui
Anopheles sp. Gejala menyerupai Bancroftian filariasis.
- Loa loa, yang ditularkan melalui Chrysops atau deerfly menyebabkan penyakit
khas yang dinamakan loasis atau Calabar swelling. Gejala yang ditimbulkan
berupa bengkak pada kulit, lesi pada mata, manifestasi alergi lainnya.
- Onchocerca volvulus, sering dinamakan Blinding filariaI, yang menyebabkan
kebutaan, cacing ini juga dapat menimbulkan kelainan kulit yang menyebabkan
perubahan bentuk wajah penderita. Cacing ini ditularkan terutama oleh
Simulium sp atau Blackflies.

51
- Mansonella ozzardi, menyebabkan penyakit yang dinamakan ,mansonellosis
yang dianggap ada kaitannya dengan adanya perdangan sendi( arthritis). Cacing
ini ditularkan melalui Simulium sp atau Culicoides.
- Mansonella perstans, ditularkan melalui Culicoides dapat menimbulkan
sindrom alergi yang khas
- Mansonella streptocerca, penyebab streptocerciasis yang menimbulkan
kelainan kulit tetapi tanpa menimbulkan kebutaan atau elephantiasis

IV. PATOGENESIS17

Lingkaran hidup filarial meliputi, (1) pengisapan mikrofilaria dari darah


atau jaringan oleh seranggap penghisap darah, (2) Metamorfosis mikrofilaria di
dalam hospes perantara serangga, dimana mula-mula membentuk larva
rabditiform lalu membentuk larva filariform yang aktif, (3) penularan larva
infektif ke dalam kulit hospes baru, melalui probosis serangga yang menggigit,
dan kemudian pertumbuhan larva setelah masuk ke dalam luka gigitan sehingga
menjadi cacing dewasa.
Parasit filaria adalah suatu nematoda yang berbentuk panjang seperti
benang yang hidup di dalam jaringan untuk waktu yang lama dan secara teratur
menghasilkan mikrofilaria. Manifestasi klinis biasanya terjadi bertahun-tahun
setelah terinfeksi, sehingga penyakit ini jarang ditemukan pada anak.
Mikrofilaria adalah larva imatur yang ditemukan di darah atau kulit dan
mencapai tingkat infektif di dalam tubuh nyamuk. Meskipun diketahui lebih
dari 200 spesies parasit filarial, hanya sedikit yang menginfeksi manusia.
Dari parasit filarial yang diketahui pada manusia, empat diantaranya
yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, dan Onchocerca
volvulus, merupakan penyebab infeksi yang paling sering dan menimbulkan
gejala sisa patologis. Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi hidup didaerah
tropis seperti Indonesia, sedangkan Onchocerca volvulus hidup di Afrika
Semua parasit filarial yang hidup dalam tubuh manusia mempunyai
siklus hidup yang sama yaitu 5 tingkat perkembangan larva, tiga pada hospes
perantara yaitu nyamuk dan dua pada manusia. Masing masing tingkat
perkembangan ditandai dengan adanya pertumbuhan dan pertukaran kulit.
Cacing betina dewasa dapat menghasilkan 50.000 mikrofilaria setiap hari.
Apabila mikrofilaria termakan oleh nyamuk yang cocok, mereka dengan cepat
mencapai sel akan menembus dinding lambung nyamuk dan berpindah melalui
jaringan sehingga yang cocok untuk perkembangannya. Seperti larva W.
bancrofti, hanya akan berkembang pada otot dada nyamuk. Dalam waktu 12
hari, terbentuk mikrofilaria yang halus dengan panjang 250 m, kemudian
berubah menjadi larva tingkat tiga yang infektif dengan panjang 1500 m. Pada

52
saat ini nyamuk menjadi infektif dan bila menggigit manusia, larva yang
infeksius secara aktif akan menembus kulit ditempat gigitan dan dengan cepat
akan sampai ke saluran limfe, dalam beberapa bulan akan mengalami dua kali
penggantian kulit sebelum menjadi dewasa.
Hal ini berbeda dengan malaria, sporozoit masuk kedalam tubuh
manusia secara pasif yaitu sewaktu nyamuk menggigit manusia, sporozoit
disemprotkan bersama ludah nyamuk ke dalam pembuluh darah. Tidak ada
multiplikasi cacing filarial pada manusia, sehingga banyaknya cacing dan
beratnya infeksi secara proporsional bergantung kepada banyaknya larva yang
infektif, Keadaan ini biasanya terjadi dalam waktu yang lama. Jadi kronisitas
dan komplikasi elephantiasis pada lymphatic filariasis dan kebutaan pada
onchocerciasis hanya terlihat pada orang yang tinggal di daerah endemic dalam
waktu yang lama.
Gambar siklus hidup wuchereria bankrofti

V. MANIFESTASI KLINIK 15

Tanda dan gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah
endemik dengan daerah endemic lainnya. Perbedaan ini kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan intensitas paparan terhadap vektor yang infektif
diantara daerah endemic tersebut.

53
Asymptomatic amicrofilaremia, adalah suatu keadaan yang terjadi
apabila seseorang yang terinfeksi mengandung cacing dewasa, namun tidak
ditemukan mikriofilaria didalam darah, atau karena microfilaremia sangat
rendah sehingga tidak terdeteksi dengan prosedur laboratorium yang biasa.
Asymptomatic microfilaremia, pasien mengandung microfilaremia yang berat
tetapi tanpa gejala sama sekali.
Manifestasi akut, berupa demam tinggi (demam filarial atau elefantoid),
menggigil dan lesu, limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3-15 hari,
dan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun. Pada banyak kasus, demam
filarial tidak menunjukan microfilaremia. Limfangitis akan meluas kedaerah
distal dari kelenjar yang terkena tempat cacing ini tinggal. Limfangitis dan
limfadenitis berkembang lebih sering di ekstremitas bawah dari pada atas.
Selain pada tungkai, dapat mengenai alat kelamin, (tanda khas infeksi
W.bancrofti) dan payudara.
Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran limfe
terjadi beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. Gejala klinis
bervariasi mulai dari ringan sampai berat yang diikuti dengan perjalanan
penyakit obstruksi yang kronis. Tanda klinis utama yaitu
hydrocele,limfedema,elefantiasis dan chyluria, meningkat sesuai bertambahnya
usia.
Manifestasi genital, di banyak daerah, gambaran kronis yang terjadi
adalah hydrocele. Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis, funikulitis,
edem karena penebalan kulit skrotum, sedangkan pada perempuan bisa
dijumpai limfedema vulva. Limfedema dan elefantiasis ekstremitas, episode
limfedema pada ekstremitas akan menyebabkan elefantiasis di daerah saluran
limfe yang terkena dalam waktu bertahun-tahun. Lebih sering terkena
ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti, infeksi didaerah paha dan ekstremitas
bawah sama seringnya, berbeda dengan B.malayi yang hanya mengenai
ekstremitas bawah saja..

Progresivitas filarial limfedema dibagi atas 3 derajat (WHO) :


Derajat 1 : Limfedema umumnya bersifat edem pitting, hilang dengan spontan
bila kaki dinaikkan.
Derajat 2 : Limfedema umumnya edem non pitting, tidak secara spontan
hilang dengan menaikan kaki.
Derajat 3 : Limfedema (elefantiasis),volume edem non fitting bertambah
dengan dermatosclerosis dan lesi papillomatous.

54
Gambar Elephantiasis pada tungkai bawah seorang pria akibat infeksi Wuchereria
bancrofti

Gambar Hydrocele bilateral, pembesaran testis dan limfadenopati inguinal pada seorang
pria yang terinfeksi Wuchereria bancrofti dengan mikrofilaremik

55
Tropical Pulmonary Eosinophilia

Keberadaan dari mikrofilaria di dalam tubuh manusia dapat


menyebabkan terjadinya tropical pulmonary eosinophilia, yaitu suatu sindroma
yang disebabkan mikrofilaria yang berada di dalam paru-paru dan kelenjar limfe
dengan gejala-gejala seperti paroxysmal nocturnal cough dengan disertai sesak
nafas, demam, penurunan berat badan dan lemas. Ronki dan rales didapatkan
pada auskultasi dinding dada. Pada pemeriksaan radiologi di dapatkan corakan
bronkovaskular yang bertambah. Episode yang berulang-ulang dapat
menyebabkan fibrosis interstitial dan gangguan pernafasan kronik.
Hepatosplenomegali dan limfadenopati generalisata sering ditemukan pada
anak-anak.
Diagnosis ditegakkan melalui riwayat tinggal di daerah endemik,
eosinophilia (>2000/L), gejala klinik yang khas, peningkatan serum IgE
(>1000IU/Ml) dan peningkatan titer dari antibodi antimikrofilarial. Walaupun
mikrofilaria dapat ditemukan pada jaringan paru dan kelenjar limfe, biopsi dari
jaringan tidak dilakukan. Respon klinik terhadap pemberian dietilkarbamazin
(5mg/Kg/hari P.O)
VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM 15

Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia


sampai 10-30%. Cacing filaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah
tebal atau tipis pada waktu malam hari antara jam 10 malam sampai 2 pagi yang
dipulas dengan pewarnaan Giems atau Wright.
Gambar Mikrofilaria dari Wuchereria bancrofti pada pemeriksaan darah perifer

56
VII. DIAGNOSIS16

Diagnosis filariasis didasarkan atas anamnesis yang berhubungan


dengan nyamuk di daerah endemik, disertai dengan pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan darah pada waktu malam hari.
Biopsi kelenjar dilakukan bila mikrofilaria tidak ditemukan di dalam
darah, hal tersebut hanya dilakukan pada kelenjar limfe ekstrimitas, dan di sini
mungkin akan ditemukan cacing dewasa. Biopsi ini dapat pula menimbulkan
gangguan drainase saluran limfe. Suntikan intradermal dengan antigen filaria,
reaksi ikatan komlemen, hemaglutinasi dan flokulasi penting untuk diagnosis
bila mikrofilaria tidak dapat ditemukan dalam darah.
Dengan pemeriksaan antigen filaria dapat ditemukan adanya antigen
filarial di dalam darah perifer, dengan atau tanpa mikrofilaria. Pemeriksaan ini
sekarang dipertimbangkan sebagai diagnosis yang paten infeksi filarial dan
dipakai untuk memonitor efektivitas pengobatan.
Jika dicurigai filariasis limfatik, urine harus diperiksa secara
macroskopis untuk menemukan adanya chyluria. Pada pemeriksaan
Immunoglobulin serum, kadar IgE serum yang meningkat ditemukan pada
pasien dengan penyakit filaria aktif.
Tes provokasi DEC bermanfaat untuk menemukan adanya mikrofilaria
pada darah tepi yang diambil pada waktu siang hari, dimana sebenarnya
mikrofilaria bersifat nokturnal. Diberikan DEC 2 mg/kgBB dan darah diambil
45-50 menit setelah pemberian obat.

57
Selain itu dapat pula dilakukan penghitungan jumlah mikrofilaria.
Mikrofilaria dihitung dengan mengambil 0,25 ml darah yang diencerkan dengan
asetat 3% sampai menjadi 0,5 cc dan dilihat dibawah mikroskop dengan
menggunakan Sedgwick Refler counting Cell, dimana didapatkan :
- Densitas tinggi : 50mf/ml darah
- Densitas rendah : 1-49mf/ml darah
- Densitas sangat rendah : 1-10 mf/ml darah
Pemeriksaan limfografi dengan gambaran adanya obstruksi, atresia atau
dilatasi disertai bentuk saluran yang berliku-liku dan adanya aliran balik ke
kulit dapat membantu diagnosis penyakit ini.

VIII. DIAGNOSIS BANDING 16

Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma dapat mengacaukan Filarial


Adeno limfadenitis Akut, Tuberkolosis, Lepra, Sarkoidosis dan penyakit
sistemik granulomatous lainnya seringkali dikacaukan dengan filariasis
IX. PENATALAKSANAAN17

Perawatan umum :
Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah dingin akan mengurangi
derajat serangan akut.
Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses
Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema

Pengobatan Spesifik
Penggunaan obat antifilarial pada penangan limfadenitis akut dan
limfangitis masih kontroversial. Tidak ada penelitian lebih lanjut yang
menunjukkan pemberian dietilkarbamazin (DEC), suatu derivat piperazin.
Dietilkarbamazin (Hetrazan, Banoside, Notezine, Filarizan) dapat berguna
untuk terapi limfangitis akut. Dietilkarbamazin dapat diberikan pada
mikrofilaremik yang asimptomatik untuk mengurangi jumlah parasit di dalam
darah. Obat ini juga dapat membunuh cacing dewasa. Dosis pemberian
dietilkarbamazin ditingkatkan secara bertahap.
Anak-anak :
1 mg/KgBB P.O. dosis tunggal untuk hari I

58
1 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari II
1-2 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari III
6 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari IV-XIV

Dewasa :
50 mg P.O. dosis tunggal hari I
50 mg P.O. 3x/hari pada hari II
100mg P.O. 3x/hari pada hari III
6 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari IV-XIV

Pada penderita yang tidak ditemukan mikrofilaria di dalam darah


diberikan dosis 6 mg/KgBB 3x/hari langsung pada hari I. Wuchereria
bancrofti lebih sensitif daripada Brugia malayi pada pemberian terapi
dietilkarbamazin.
Efek samping seperti demam, nyeri kepala, mialgia, muntah, lemah
dan asma, biasanya disebabkan oleh karena destruksi mikrofilaria dan
kadang-kadang oleh cacing dewasa, terutama pada infeksi berat. Gejala ini
berkembang dalam 2 hari pertama, kadang kadang dalam 12 jam setelah
pemberian obat dan bertahan 3 4 hari. Pernah dilaporkan terjadinya abses
di scrotum dan sela paha setelah pengobatan, diperkirakan sebagai reaksi
matinya cacing. Dietilkarbamaasin tidak dianjurkan pada perempuan hamil.
Obat lain yang juga aktif terhadap mikrofilaria adalah ivermectin
( Mectizan ) dan albendazol. Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria,
tetapi dapat di berikan dengan dosis tunggal 400 g / kgBB.
Bila ivermectin dosis tunggal digabung dengan DEC, menyebabkan
hilangnya mikrofilaria lebih cepat. Akhir akhir ini diketahui bahwa
albendazol 400 mg dosis tunggal lebih efektif daripada ivermectin.
Dapat juga diberikan Furapyrimidone yang mempunyai efek yang
sama dengan DEC dalam hal mikrofilarisidal. Dosis yang dianjurkan untuk
Brugia malayi adlah 15-20 mg/kgBB/hari selama 6 hari. Sedangkan untuk
Wuchereria banrofti 20 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Efek samping ringan
hanya berupa iritasi gastrointestinal dan panas

Pengobatan Pembedahan
Pembedahan untuk melenyapkan elephantiasis skrotum, vulva dan
mammae mudah dilakukan dengan hasil yang memuaskan. Perbaikan
tungkai yang membesar dengan anastomosis antara saluran limfe yang
letaknya dalam dengan yang perifer tidak terlalu memuaskan.

59
X. PROGNOSIS17

Prognosis penyakit ini tergantung dari jumlah cacing dewasa dan


mikrofilaria dalam tubuh penderita, potensi cacing untuk berkembang biak,
kesempatan untuk infeksi ulang dan aktivitas RES.
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien
pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat
dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-
kasus lanjut terutama dengan edema pada tungkai, prognosis lebih buruk.
XI. PENCEGAHAN17

WHO telah merencanakan eradikasi filariasis didunia pada 10 tahun


mendatang. Pengobatan masal pada populasi yang menderita filariasis dengan
DEC atau pengulangan ivermectin sekali pertahun, secara nyata mereduksi
mikrofilaremia. Secara teoritis pengobatan sekali setahun efektif bila diberikan
minimal 5 tahun.
DEC tidak bersifat toksik oleh karena itu dapat ditambahkan ke dalam
garam atau bahan makanan lainnya. Keberhasilan tergantung dari kerja sama
yang baik, sosioekonomi dan kebiasaan. Dosis yang dianjurkan adalah 6
mg/kgBB/bulan selama 12 bulan. Sedangkan pada penduduk yang tidak
kooperatif diberikan 6 mg/kgBB/minggu dengan total dosis 36 mg/kgBB.

6. AVIAN INFLUENZA
I. DEFINISI

Penyakit flu burung atau flu unggas (bird Flu, Avian influenza) adalah
suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan
ditularkan oleh unggas.17
II. EPIDEMIOLOGI18

Seperti halnya SARS, epidemiologi dari flu burung ini sangat kompleks
dan tidak sepenuhnya dimengerti. Virus influenza A dapat menginfeksi manusia
dan juga pada hewan lainnya seperti bebek, ayam, babi, paus, kuda dan anjing
laut, sedangkanvirus influenza B dan C beredar secara luas hanya pada
manusia.
Burung liar adalah sumber primer semua subtipe dari virus influenza A
dan juga merupakan sumber penularan pada hewan lain, tetapi tidak pada
manusia. Kebanyakan virus influenza menyebabkan infeksi yang asimptomatik
atau infeksi ringan pada burung dan gejala yang timbul pada unggas tergantung
pada strain dari virus. Infeksi dengan beberapa virus Avian influenza A

60
(contohnya pada strain H5 dan H7) dapat menyebabkan penyebaran penyakit
yang luas dan kematian pada beberapa spesies burung liar dan burung
peliharaan seperti ayam dan kalkun. Babi dapat terinfeksi oleh virus flu burung
dan virus flu pada manusia selain virus flu pada babi sendiri, maka babi
mungkin terinfeksi oleh virus dari spesies yang berbeda pada saat yang
bersamaan.Apabila ini terjadi, maka gen-gen dari virus yang menginfeksi dapat
bercampur sehingga akan menciptakan gen virus yang baru. Contoh: apabila
seeokor babi terinfeksi oleh virus flu burung dan flu manusia pada saat yang
bersamaan virus tersebut dapat bercampur dan menghasilkan virus baru yang
memiliki gen yang mirip dengan virus dari manusia, namun memiliki
Hemaglutinin / Neuramidase dari virus flu burung. Maka virus tersebut akan
dapat menginfeksi dan menyebar diantara manusia, namun memiliki protein
permukaan yang belum pernah ditemukan sebelumnya pada virus influenza
yang menginfeksi manusia. Perubahan semacam ini disebut antigenic shift.
Antigenic shiftakan menghasilkan subtipe virus influenza A baru, sehingga
manusia hanya akan memiliki sedikit kekebalan atau bahkan tidak ada
kekebalan sama sekali terhadap virus tersebut. Jika virus ini menyebabkan sakit
pada orang dan dapat ditularkan pada orang dengan mudah dari manusia ke
manusia maka akan timbul pandemi. Epidemiologi yang tepat dan mekanisme
yang pasti dari penyebaran virus ini ke manusia masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Perubahan antigenik itu sendiri terdiri dari dua jenis, yang pertama
adalahantigenic drift atau penyimpangan antigen atau disebut dengan
perubahan antigenik minor dimana hanya terjadi perubahan kecil komposisi
antigen dan tidak mengalami perubahan subtipe, proses ini biasanya berjalan
lama. Sedangkan antigenic shift atau pergeseran antigen atau juga disebut
perubahan antigenik mayor menyebabkan perubahan drastis pada rangkaian
protein permukaan virus. Mekanisme yang mungkin untuk kejadian ini adalah
percampuran kembali genetika antara virus influenza manusia dan non manusia,
khususnya yang berasal dari burung. Virus influenza tipe B dan C tidak
menunjukan proses ini, hal ini dikarenakan hanya sedikit virus yang terkait
dengan hewan.
Apabila virus influenza terdapat pada peternakan domestik, virus ini
mempunyai sifat yang sangat menular, dan burung liar tidak lagi menjadi faktor
penting dalam penyebaran. Burung yang terinfeksi mengeluarkan virus dengan
konsentrasi yang besar pada feses burung dan sekret hidung dan mata. Apabila
mengenai kumpulan burung, maka virus akan menyebar dari satu kelompok ke
kelompok lain dengan melibatkan burung yang terinfeksi, peralatan yang
terkontaminasi, telur, truk makanan dan kru pelayanan. Penyakit ini secara
umum menyebar pada kelompok dengan kontak langsung.
Infeksi Avian Influenza pada manusia19

61
Infeksi pada manusia pertama kali ditemukan di Hongkong pada
tahun 1997, dimana virus H5N1 menyebabkan penyakit pernafasan yang
berat pada 18 orang, 6 orang diantaranya meninggal. Infeksi yang terjadi
pada manusia bersamaan dengan terjadinya epidemi pada virus influenza
yang mempunyai patogenitas yang tinggi, yang disebabkan oleh strain yang
sama pada peternakan di Hongkong.
Pada penelitian lebih lanjut pada kejadian ini, tergantung dari kontak
langsung dengan unggas hidup yang terinfeksi (sumber infeksi). Pada
penelitian genetika, ditemukan virus berpindah secara langsung dari burung
ke manusia.
Dengan adanya pemusnahan yang dilakukan secara cepat dalam
waktu 3 hari terhadap sekitar 5.000.000 burung pada peternakan di
Hongkong, mengurangi kesempatan lebih jauh infeksi ke manusia dan
mencegah terjadinya pandemi.

Tabel Daftar kasus flu burung pada manusia sejak tahun 1997-2004
Tahun Negara Jumlah kasus Jumlah Kematian Tipe Virus Influenza A
1997 Hongkong 18 6 H5N1
1999 Hongkong 2 0 H9N2
1999 Cina 2 0 H9N2
2003 Hongkong 2 1 H5N1
2003 Belanda 89 1 H7N7
2003 Hongkong 1 1 H9N2
2003 NewYork 1 0 H7N2
2004 Thailand 12 8 H5N1
2004 Vietnam 23 15 H5N1
2004 Canada 1 0 H7N3

Kepentingan dari subtipe virus influensa tipe A H5N1

Dari 15 subtipe dari virus influenza, H5N1 merupakan subtipe yang


mendapat perhatian khusus. H5N1 bermutasi dengan cepat dan telah
terbukti bahwa subtipe ini mendapatkan gen dari virus yang menginfeksi

62
hewan spesies lain dan memiliki virulensi yang tinggi pada manusia
terutama pada anak. Burung yang bertahan hidup dari infeksi akan tetap
mengekskresikan virus dalam 10 hari, baik secara peroral maupun melalui
feses yang kemudian akan menginfeksi hewan lain maupun pada burung
yang bermigrasi.
Pada penelitian terbaru WHO didapatkan bahwa virus H5N1 ini
tidak memperlihatkan tanda-tanda adanya transmisi virus dari manusia ke
manusia. Hal ini diteliti pada satu kelurga di Vietnam, dimana ditemukan 2
anggota kelurga yang terkena virus ini. Bahan materi dari dari genetik virus
ini diambil dari sampel kakak beradik masing berumur 23 tahun dan 30
tahun. Ternyata kedua virus tersebut berasal dari unggas dan tidak
mengandung gen dari virus influenza manusia. Penemuan ini
memperlihatkan bahwa virus tidak berubah menjadi bentuk yang dapat
menular dari satu orang ke orang lain. Dilaporkan juga tidak ada anggota
keluarga lain yang sakit, orang disekitarnya ataupun pekerja medis yang
terlibat dalam perawatan pasien ini.

Penularan

Flu burung menular dari unggas ke unggas, dari unggas ke manusia,


melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari air liur, sekret
hidung dan feses yang menderita flu burung. Penularan juga dapat terjadi
jika bersinggungan langsung atau kontak dengan unggas yang terinfeksi flu
burung. Kelompok resiko tinggi tertular penyakit ini, yaitu : pekerja
dipeternakan unggas, pemotong unggas dan penjamah produk unggas
lainnya. Sampai saat ini belum ada bukti yang menyatakan bahwa virus flu
burung dapat menular dari manusia ke manusia atau menular melalui
makanan.
Masa Inkubasi

Pada unggas masa inkubasi berlangsung kurang lebih 1 minggu,


sedangkan pada manusia berkisar 1-3 hari. Masa infeksi 1 hari sebelum
timbul gejala sampai 3-5 hari timbul gejala. Pada anak-anak berlangsung
sampai 21 hari.
III. ETIOLOGI 20

Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza


termasuk famili Orthomyxoviridae, yang terbagi atas (1) Virus influenza tipe A
yang secara antigenik sangat bervariasi dan dapat berubah-rubah bentuk (Drift,
Shift) dan merupakan penyebab dari sebagian besar kasus epidemi dan
pandemi. (2) Virusinfluenza tipe B dapat juga memperlihatkan perubahan

63
antigenik dan kadang-kadang menyebabkan epidemi. (3) Virus influenza tipe C
yang secara antigenik bersifat stabil dan hanya menyebabkan penyakit ringan.
Perbedaan antigenik diperlihatkan oleh protein struktural internal,
nukloeprotein (NP), dan protein matriks (M), digunakan untuk membagi virus
influenza menjadi tipe A, B dan C. Sedangkan variasi antigenik pada
glikoprotein permukaan yang terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase
(N), digunakan untuk menentukan subtipenya.
Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2,
H1N2, H7N7. Sedangkan pada hewan terdapat jenis H1-H5 dan N1-N9. Strain
yang sangat virulen adalah dari subtipe A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan
hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 C dan lebih dari 30 hari pada 0 C.
Virus akan mati pada pemanasan 60 C selama 30 menit atau 56 C selama 3
jam, dengan detergen dan dengan desinfektan misalnya formalin, serta cairan
yang mengandung iodine.

IV. MANIFESTASI KLINIK21

Gejala flu burung dapat dibedakan pada unggas dan manusia


Gejala Pada Unggas Gejala Pada Manusia
Jengger berwarna biru Demam (suhu badan diatas 38 C)
Borok dikaki Batuk dan nyeri tenggorokan
Kematian mendadak Batuk
Bulu mengkerut Pilek
Kepala bengkak Mialgia
Bersin Infeksi mata
Diare Radang saluran pernafasan atas
Bertingkah seperti depresi Pneumonia
Respiratori distres

V. DIAGNOSIS22

I.Kasus Observasi II. Kasus Tersangka


Panas badan diatas 38 C disertai lebih Panas badan diatas 38 C disertai lebih
dari 1 gejala berikut : dari 1 gejala berikut :

64
Batuk Batuk
Radang Tenggorokan Radang tenggorokan
Sesak Napas Sesak nafas
Disertai tanda dibawah ini:
III. Kasus Probable Hasil tes laboratorium positif untuk virus
influenza A tanpa mengetahuisubtipe
Kasus tersangka
Kontak 1 minggu sebelum timbul gejala
Hasil laboratorium tertentu positif untuk
dengan penderita yang tergolong kasus
virus influenza A (H5) seperti tes antibodi
pasti
spesifik pada 1 spesimen serum
Kontak 1 minggu sebelum timbul gejala
dengan unggas yang mati karena sakit
Bekerja di laboratorim yang memproses
IV. Kasus Pasti sample dari orang atau binatang yang
disangka terinfeksi Higly Pathogenic
Hasil biakan virus influnza A (H5N1) Avian Influenza 1 minggu sebelum timbul
positif atau gejala
Hasil dengan pemeriksaan PCR untuk H5
positif
Peningkatan titer antibodi spesifik H5
sebesar >4x
Hasil dengan IFA untuk antigen H5 positif

Pemeriksaan Laboratorium21

Spesimen darah (EDTA, beku/serum) dapat diambil di triage


instalasi rawat darurat atau ruang perawatan. Spesimen darah, apus
tenggorokan dikirim oleh petugas laboratorim ke badan LIDBANKES
untuk konfirmasi diagnosis.
Pemeriksaan rutin:
- Darah lengkap (Hb, leukosit, hitung jenis leukosit dan LED)
- Albumin / Globulin
- SGOT / SGPT
- Ureum, kreatinin
- Analisis gas darah
- Mikrobiologi
- Pemeriksaan gram dan basil tahan asam
- Kultur sputum / usap tenggorokan

65
Pemeriksaan Serologi:

Dapat dilakukan rapid test terhadap virus influenza walaupun


mungkin hasilnya tidak terlalu tepat, dan deteksi antibodi (ELISA) serta
deteksi antigen (HI, IF).
Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan akan dilakukan dalam 24 jam dengan menggunakan 2


pesawat radiologi, 1 pada ruang instalasi radiologi dan satu lagi adalah
pesawat radiologi yang bergerak dan berada didalam ruang perawatan.
Pemeriksaan foto thoraks dengan gambaran pnemonia berupa
infiltrat yang tersebar di paru

Diagnosis Tes Spesifik23

PCR dan isolasi virus dapat dilakukan di CDC, permintaan untuk


test melalui pusat-pusat kesehatan. CDC akan menerima spesimen dari
pasien yang memiliki kriteria diagnosa. Spesimen yang diambil yaitu
bilasan hidung atau usapan tenggorokan, ini merupakan bahan terbaik untuk
isolasi virus dan harus didapatkan dalam 3 hari setelah timbul gejala.
VI. DIAGNOSIS BANDING

Acute Respiratory Distress Syndrome


Adenoviruses
Arenaviruses
Cytomegalovirus
Dengue Fever
Echoviruses
Hantavirus Pulmonary Syndrome
HIV Disease
Legionnaires Disease
Parainfluenza Virus

VII. PENATALAKSANAAN

Triage Instalasi Rawat Darurat24


Rawat darurat (emergency) adalah suatu keadaan dimana
penderita memerlukan pemeriksaan dan tindakan medis segera dan
apabila tidak segera dilakukan, dapat berakibat fatal bagi penderita.

66
Triage adalah ruangan yang mempunyai fungsi untuk
melakukan seleksi terhadap penderita flu burung, dimana semua
petugas telah melakukan Standard Universal Precaution.
Seleksi pertama dilakukan oleh perawat yang telah dilatih
dengan berpedoman pada gejala-gejala flu burung dan faktor
resikonya, sekaligus melakukan pemeriksaan awal sebelum dokter
yang bertugas melakukan pemeriksaan lanjutan.
Seleksi kedua adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh
dokter triage, yang melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
sesuai standard pelayanan medik mengenai flu burung yang ada.Jika
diperlukan pemeriksaan penunjang, maka dokter segera melakukan
pemeriksaan laboratorium sederhana dan foto thoraks pada penderita
dengan bantuan petugas khusus.
Dari hasil pemeriksaan diagnostik fisik dan penunjang tersebut,
dokter dapat memulangkan atau segera merawat penderita tersebut
sesuai indikasi.
Untuk penderita yang akan dirawat, maka dokter triage segera
melaporkan hal rencana perawatan penderita tersebut pada dokter
konsulen jaga pada hari itu, dan dokter triage harus mencatat kasus
tersebut dalam formulir khusus.
Penanganan Pertama

Penderita dirawat diruang isolasi selama 7 hari (masa penularan),


karena ditakutkan adanya transmisi melalui udara.
Oksigenasi, jika terdapat sesak nafas dan apabila terdapat
kecendrungan adanya gagal nafas, dengan cara mempertahankan saturasi
02 > 90%
Hidrasi, yaitu pemberian cairan parenteral (infus) atau minum yang
banyak.Terapi simptomatis untuk gejala flu, seperti analgetik, antipiretik,
dekongestan dan antitusif
Amantadine / Rimantadine yang berfungsi menghambat
hemaglutinin diberikan pada awal infeksi, sedapat mungkin dalam 48 jam
pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
dosis. Bila BB > 45kg diberikan 100 mg dua kali sehari. Pada orang lanjut
usia dan penderita dengan penurunan fungsi hari atau ginjal, dosis harus
diturunkan.
Oseltamivir yang berfungsi menghambat neuramidase diberikan
untuk anak sebanyak 45 mg dua kali sehari; BB 23-40 kg sebanyak 60 mg
dua kali sehari; BB > 40 kg sebanyak 75 mg dua kali sehari. Dosis pada
penderita dengan usia > 13 tahun sebanyak 75 mg dua kali sehari. Harus

67
diberikan dalam waktu 36 jam setelah onset influenza. Pemberian dilakukan
selama 5 hari,
Pada kasus dengan respiratori distress, maka dilakukan pengobatan
sesuai prosedur RDS sebagaimana lasimnya, dan penderita dimasukan ke
ruang perawatan intensif (ICU).
Selanjutnya dapat dirawat di ruang perawatan biasa, jika hasil apus
tenggorokan negatif dengan PCR atau biakan.Setelah 7 hari demam, kecuali
demam berlanjut, atau sesuaipertimbangan dokter yang merawat atau
penanganan adalah kasus demi kasus.
Apabila kita berhadapan dengan seorang yang terkena gejala seperti
flu, kemoprofilaksis efektif untuk mencegah penularan influenza
dibutuhkan. Profilaksis dengan amatadine efektif untuk mencegah sebagian
besar tipe flu (Influenza A). Bagi yang tidak toleran terhadap amatadine
dapat menggunakan Oseltamivir (tamiflu) sebagai obat alternatif. Jika sudah
mendapatkan vaksinasi, maka kemoprofilaksis tidak dibutuhkan.
Direkomendasikan durasi pemberian profilaksis adalah 7-10 hari.
Pasien-pasien yang memiliki resiko tinggi penularan influenza,
maka sebaiknya diberikan obat antiviral, jika disekitarnya ada yang terkena
influenza maka harus diberikan kemoprofilaksis.
Obat antiviral efektif untuk treatment dari influenza jika dipakai
setelah muncul gejala-gejala awal. Sebab pemakaian antiviral ini terbatas,
penggunaan obat antiviral dipergunakan hanya pada masyarakat yang
memiliki resiko terjadinya komplikasi yang berat dari influenza yakni mulai
dari hari ke-2 onset penyakit tersebut.24
Dalam keadaan apapun, pengobatan juga harus diberikan kepada
orang yang mengunjungi pasien yang didiagnosis mengidap influenza.
Pengobatan yang disarankan untuk influenza yaitu oseltamivir (tamiflu)
yang sesuai dengan dosis harian serta usia untuk penyembuhan influenza.
Lamanya pengobatan direkomendasikan selama 5 hari. Untuk mengontrol
infeksi tersebut dilakukan monitoring oleh lembaga kesehatan seperti rumah
sakit.
Indikasi Rawat Inap
Penderita menginap sedikitnya 1 hari berdasarkan rujukan dari triage
instalasi rawat darurat
Petugas perawatan telah melakukan Standard Universal Precaution.
Semua penderita yang telah memenuhi kriteria flu burung dan telah
dilakukan seleksi pada triage instalasi darurat tersebut.
Perawatan dilakukan paling sedikit 1 minggu diruang isolasi.

68
Indikasi Perawatan di ICU
Frekuensi nafas lebih dari 30x/menit atau mengalami dyspnoe
Foto thoraks: penambahan infiltrat > 50% atau mengenai banyak lobus
paru
Membutuhkan ventilator mekanik
Syok septik
Membutuhkan vasopressor (dopamin / dobutamin) > 4 jam
Fungsi ginjal memburuk (serum kreatin > 4 mg/dL)

Indikasi Pemulangan Penderita Rawat Inap dan Follow-Up


Indikasi Pemulangan
o Penderita bebas demam selama 72 jam
o Tidak batuk
o Perbaikan foto thoraks
o Laboratorium normal
Follow-up (tindak lanjut)
o Penderita yang telah dipulangkan diwajibkan untuk melakukan
follow-up di poliklinik penyakit paru atau penyakit dalam atau
penyakit anak.
o Pemerikasaan ulang dilakukan 1 minggu setelah pulang, dan
pada saat kontrol dilakukan foto thorak dan tes lainnya yang
masih abnormal.

VIII. PENCEGAHAN24

Penanganan Jenazah
Seluruh petugas pemulasaran jenasah, harus mempersiapkan dan
melakukannya sesuai standard universal precaution, untuk memandikan
jenasah atau perlakuan khusus. Jenasah tersebut ditutup dengan bahan yang
terbuat dari plastik yang tidak dapat ditembus oleh air atau oleh bahan dari kayu
lainnya yang tidak mudah tercemar. Jenasah tidak boleh disemayamkan lebih
dari 4 jam didalam pemulasaran jenasah. Jenasah sebaiknya dikremasi atau peti
jenasah diisolasi.
Pada unggas :
- Pemusnahan unggas atau burung yang terinfeksi flu burung
- Vaksinasi pada unggas atau burung yang sehat

Pada manusia kelompok beresiko tinggi (pekerja peternakan dan pedagang)


- Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja
- Hindari kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi

69
- Gunakan alat pelindung seperti masker dan pakaian kerja
- Meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja
- Membersihkan kotoran unggas setiap hari

Pada Masyarakat Umum


- Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi dan istirahat
yang cukup
- Mengolah unggas dengan cara yang benar yaitu: pilih unggas yang sehat
(tidak terdapat gejala-gejala penyakit dalam tubuhnya)
- Memasak daging unggas sampai suhu 80 C selama 1 menit dan pada telur
sampai suhu 64 C selama 4.5 menit

Kewaspadaan Universal Standard


- Cuci tangan dilakukan dibawah air mengalir dengan menggunakan sabun
dan sikat selam kurang lebih 5 menit, yaitu dengan menyikat seluruh
permukaan telapak tangan maupun punggung tangan. Hal ini dilakukan
sebelum dan sesudah memeriksa penderita.
- Pakaian yang digunakan adalah pakaian bedah atau pakaian sekali pakai.
- Memakai masker N95 atau minimal masker bedah.
- Menggunakan pelindung wajah/ kaca mata goegle (bila diperlukan)
- Menggunakan pakaian pelindung
- Menggunakan sarung tangan
- Menggunakan sepatu bot pelindung kaki

70
71
72

Anda mungkin juga menyukai