Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENELITIAN

Tata Laksana Jalan Napas pada Pasien Trauma Maksilofasial, Cedera


Kepala Ringan, Fraktur Tulang Cervikal, Fraktur Depressed Terbuka dan
Fraktur Basis CRANII
Reza Widianto Sudjud, Suwarman, Meilani Patrianingrum
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran/Rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Jalan napas yang aman penting bagi pasien trauma. Kesalahan dalam mengelola jalan napas dapat berujung
pada morbiditas dan mortalitas. Pengelolaan jalan napas pada pasien trauma maksilofasial merupakan tantangan
tersendiri. Terlebih pasien ini sering kali dijumpai mengalami cedera kepala dan cedera pada tulang cervikal. Pada
laporan kasus ini dibahas laki-laki, 41 tahun, datang ke RS Dr. Hasan Sadikin dengan keluhan luka di daerah
kepala dan wajah akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien ini selain menderita trauma maksilofasialis, pula dengan
cedera kepala ringan, fraktur depressed terbuka lebih dari satu tabula, cedera cervical inkomplit dan fraktur basis
cranii.Teknik penguasaan jalan napas pada pasien ini adalah dengan spontaneous breathing yang dicapai dengan
pemberian propofol secara bertahap dan gas inhalasi Sevofluran. Sedangkan untuk mencegah gejolah hemodinamik
saat laringoskopi diberikan Fentanyl. Untuk mencegah terjadinya flexi leher saat laringoskopi intubasi, maka
dilakukan manual in-line stabilization.Waktu dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan jalan napas seringkali
membawa perbedaan yang bermakna antara hidup dan matinya pasien. Pada kasus dimana penguasaan jalan napas
sulit, teknik intubasi yang dipilih adalah yang seorang anestesi paling kuasai dan dirasakannya nyaman. Kedua
faktor ini lebih relevan ketimbang pilihan teknologi.

Kata kunci: Pengelolaan jalan napas, trauma maksilofasial

Airway Management in Patient Trauma Maxillofacialwith Mild Head Injury,


Open Fracture Depressed, and Skull Base Fracture

Abstract

Establishing a secure airway in a trauma patient is essentials. Any flaw in airway management may lead to grave
morbidity and mortality. Maxillofacial trauma presents a complex problem with regard to the patients airway.
Moreover, this patient sometimes accompanied with head injury and fracture cervical.In this case report, we
reported male, 41 years old, came to the hospital Hasan Sadikin General Hospital with complaints wounds in the
head and face as a result of traffic accidents. This patient suffered trauma maksilofasialis with addition of minor
head injuries, open fractures depressed more than one tabula, incomplete cervical injury and skull base fractures.
Management airway in this patient is spontaneous breathing that is achieved by administering propofol and gas
gradually Sevoflurane inhalation. Meanwhile, to prevent hemodynamic disturbances during laryngoscopy Fentanyl
was given. The manual in-line stabilization was performed to prevent neck flexion when laryngoscopy intubation.
In cases where airway is difficult to manage, intubation technique chosen is the one that anesthesiologist most felt
comfortable. Both of these factors are more relevant than the choice of technology.

Key words: Airway managemen, trauma maxillofacial

Korespondensi: Reza Widianto Sudjud dr., SpAn-KAKV. M. Kes, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40161, Tlp 022-
2038285, Faks 022-2038306, Mobile 08164210949, rezasudjud@yahoo.com

139
140

Reza Widianto Sudjud, Suwarman, Meilani Patrianingrum

Pendahuluan mmHg dan laju nadi 92x/menit; dan keterbatasan


(D=Disability) dengan GCS: E3M6V5=14, pupil
Kemajuan industri dan meningkatnya mobilitas bulat isokhor simetris dengan diameter 3/3 mm,
manusia telah menyebabkan peningkatan insiden dan refleks cahaya +/+.
kecelakaan lalu lintas. Sekitar 70% kecelakaan Sedangkan dari survei sekunder didapatkan:
lalu lintas disertai dengan trauma pada bagian pada regio midfrontal ditemukan luka robekan
kepala, leher, dan wajah dengan angka kejadian ukuran 2 cm yang sudah terjahit; pada regio
yang paling sering mengenai bagian maksilo- supralabialis ditemukan luka robek ukuran
fasial.1 2x1x0.5 cm dengan dasar subkutis dan tepi
Trauma maksilofasial merupakan masalah yang tidak rata; pada regio periorbita bilateral
klinis yang serius, karena memiliki keterkaitan ditemukan adanya hematom; pada regio
anatomi yang sangat penting dan spesifik dengan mandibula bilateral ditemukan adanya deformitas
otak, sistem pencernaan, dan pernapasan bagian yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri tekan
atas. Saat terjadi trauma maksilofasial maka organ- dan maloklusi. Regio thorax dan abdominal
organ tersebut diatas dapat mengalami disfungsi dalam batas normal. Hasil pemeriksaan FAST
yang serius. Fraktur maksilofasial tidak terlepas negatif.
dari cedera kepala karena letak dan strukturnya Pada pemeriksaan penunjang: hasil
yang berdekatan. Penderita fraktur maksilofasial laboratorium didapatkan Hb 12,0 g/L, Ht 35%,
sering disertai dengan cedera kepala seperti Leukosit 23.400/mm3, Trombosit 333.000/mm3,
perdarahan intrakranial, fraktur basis kranii dan PT 11,5, INR 0,94, APTT 25,2, Ureum 24 mg/dL,
penurunan kesadaran yang dapat mengakibatkan kreatinin 0,47 mg/dL, gula darah sewaktu 141
kerusakan pada sistem saraf pusat.2 Pada laporan mg/dL, serum glutamic oxaloacetic transaminase
kasus ini akan dibahas mengenai kasus cedera (SGOT) 67 u/L, serum glutamic pyruvic
kepala ringan yang disertai fraktur basis kranii transaminase (SGPT) 25 u/L, Natrium 138 meq/L
fossa anterior dan fracture depressed terbuka dan Kalium 3,9 meq/L. Hasil foto polos kepala
lebih dari 1 tabula dengan fraktur korpus vertebra didapatkan adanya fraktur depressed terbuka >
C7 inkomplit dan fraktur parasimpisis mandibula 1 tabula di regio frontal dekstra dan faktur basis
dekstra dan fraktur corpus mandibula sinistra kranii fossa anterior, serta dijumpai pula fraktur
dan angulus mandibula dekstra dengan fraktur parasimpisis mandibula dekstra dan fraktur
dentoalveolar dan fraktur clavicula 1/3 tengah corpus mandibula sinistra dan fraktur angulus
dekstra. mandibula dekstra dengan fraktur dentoalveolar.
Pada foto cervical lateral didapatkan fraktur
Laporan Kasus inkomplit korpus vertebra C7. Pada foto thorax
dijumpai adanya fraktur malunion klavicula 1/3
Laki-laki berusia 41 tahun datang ke Rumah tengah dek.
Sakit Dr. Hasan Sadikin dengan keluhan luka di Pada pasien ini penanganan yang diberikan
daerah kepala dan wajah akibat kecelakaan lalu sewaktu di ruang emergency bedah RS Hasan
lintas. Sewaktu kejadian, didapatkan riwayat Sadikin adalah sebagai berikut: dari bedah
pingsan dan perdarahan dari daerah hidung dan plastik untuk fraktur maksilofasial dilakukan
mulut. (Gambar.1) pemasangan Barthon Sling sedangkan rencana
Dari survei primer didapatkan: jalan napas pemasangan ORIF dilakukan pada operasi elektif;
(A=Airway) bebas dan terpasang collar neck; dari bagian orthopaedi dilakukan imobilisasi
pernapasan (B=Breathing) dengan frekuensi fraktur clavicula dengan armsling; sedangkan
napas 24 x/menit, bentuk dan gerak rongga dada dari bagian bedah saraf untuk fraktur depressed
simetris dengan auskultasi didapatkan vesikular terbuka lebih dari 1 tabula direncanakan operasi
pada kedua lapang paru, tidak dijumpai adanya kraniektomi debridemen yang bersifat urgensi.
bunyi suara napas tambahan, dan saturasi oksigen Permasalahan yang timbul pada pasien ini adalah
terukur 99% dengan binasal kanul 3 Lpm; sirkulasi tatalaksana untuk melakukan intubasi pada pasien
(C=Circulation) dengan tekanan darah 110/80 dengan fraktur cervikal, fraktur maksilofasial, dan

Anesthesia & Critical Care Vol. 33 No. 2, Juni 2015


141

Tata Laksana Jalan Napas pada Pasien Trauma Maksilofasial, Cedera Kepala Ringan, Fraktur Tulang Cervikal, Fraktur
Depressed Terbuka dan Fraktur Basis CRANII

Gambar 1 Trauma Maksilo-Fasialis

fraktur dentoalveolar yang disertai dengan cedera ventilation, selang endotracheal tube (ETT) no.
kepala ringan dan fraktur depressed terbuka lebih 6, 6.5 , 7, dan 7.5 polos maupun spiral, bougie,
dari 1 tabula. dan set tracheostomi, beserta lidocain ampul dan
Setelah dikonsulkan ke bagian anestesi untuk lidocain spray.
rencana tindakan kraniektomi debridemen maka Setelah pasien masuk ke kamar operasi
dilakukan penilaian pre-operatif. Dari kunjungan dilakukan pemeriksaan tanda vital yang hasilnya
pre-operatif didapatkan: GCS: E3M6V5=14, adalah sebagai berikut: GCS: E3M6V5=14
VAS: 5, tekanan darah 140/80 mmHg, laju nadi dengan masih terpasang collar neck, tekanan
118 x/menit, nadi teraba kuat, frekuensi napas darah 126/76 mmHg, laju nadi 108 x/menit,
20 x/menit, dengan saturasi oksigen terukur 99% gambaran EKG sinus takikardi, frekuensi napas
dengan kanul binasal 3 Lpm. Penilaian jalan napas 2024 x/menit, dan saturasi oksigen 9599
(Airway) didapatkan buka mulut yang terbatas (1 dengan binasal kanul 3 Lpm.. Sebelum induksi
jari sempit) yang disebabkan oleh karena nyeri, dimulai pasien diberikan preoksigenasi dengan
malampati yang sulit dinilai, gigi yang goyang menggunakan sungkup 10 Lpm dengan FiO2
dan adanya fraktur parasimpisis dan corpus 100%. Monitor tekanan darah dilakukan setiap
mandibula, dan dentoalveolar, yang disertai 1 menit. Kemudian dipastikan jalan napas
edema, nyeri tekan, maloklusi dan perdarahan. pasien dapat dikuasai dengan baik, yang ditandai
Dengan hasil pemeriksaan tersebut, maka pasien dengan balon yang dapat kembang-kempis.
dimintakan untuk tetap melanjutkan puasa dan Setelah itu dilakukan pemberian fentanyl 150 ug/
sedia darah. Selain itu, sebagai antisipasi dari iv (=3 ug/kgBB) secara perlahan-lahan, sambil
tatalaksana difficult airway, dilakukan pula diamati insuflasi balon. Propofol diberikan
informed consent kepada pasien dan keluarga secara bertahap sampai refleks bulu matanya
mengenai kemungkinan trakeostomi pre-operatif menghilang. Ternyata dengan Propofol 100 mg/
dalam lokal anestesi. Pada pasien ini untuk iv refleks bulu mata masih ada, jadi diputuskan
penguasaan jalan napas dipersiapkan selang untuk menambahkan dosis propofol 50 mg/iv.
suction, needle no. 14 dan 16 Gauge (untuk Setelah pasien tertidur, dibuka Sevofluran 2 vol%
persiapan needle cricothyrostomy), wire CVP dengan O2:air=1:1. Saat itu gerak balon masih
(persiapan retrograde intubation), set untuk jet kembang-kempis. Kemudian dilakukan in-line

Anesthesia & Critical Care Vol. 33 No. 2, Juni 2015


142

Reza Widianto Sudjud, Suwarman, Meilani Patrianingrum

Gambar 2 Foto Polos Kepala Gambar 3 Foto Thorax Gambar 4 Foto Cervical
Keterangan: Fraktur basis cranii fossa Ket.: Fraktur Ket.: Fraktur
anterior+fracture depressed terbuka>1 malunion inkomplit
tabula a.r frontal dekstra+fraktur para- clavicula corpus
simpisis mandibula dekstra et corpus tengah detra vertebra C7
mandibula sinistra et angulus mandibula
dekstra+fraktur dentoalveolar
Surgeons dalam Advanced Trauma Life Support
adalah mempertahankan jalan napas agar tetap
imobilisasi dengan penekanan pada cricoid. 30 terbuka.2,3 Dalam suatu tinjauan ilmiah, dari
detik sebelum tindakan laringoskopi diberikan 1025 pasien dengan trauma maksilofasial sebesar
dosis ulangan propofol sebanyak 50 mg/iv. 1,7% memerlukan penatalaksanaan jalan napas
Setelah tindakan direct laryngoscopy, ETT no.7 definitif akibat adanya obstruksi jalan napas.3,
spiral disambungkan ke sirkuit napas. Intubasi 4,5
Mayoritas pasien trauma maksilofasial dapat
sukses dilakukan ditandai dengan kembang- bernapas normal tanpa adanya obstruksi jalan
kempisnya balon dan terdengarnya suara napas napas dan hanya memerlukan pemantauan
di kedua lapangan paru. Setelah kedalaman ETT oksigenasi sederhana melalui pengukuran
cukup (yaitu terdengarnya suara napas yang oksimetri.2,5 Meskipun sangat jarang, namun
sama di kedua lapangan paru) diberikan obat karena sifatnya yang dapat mengancam nyawa
pelumpuh otot: vecuronium 6 mg/iv. mengharuskan adanya identifikasi awal yang
Operasi berlangsung selama 4 jam. cepat dan tepat dari pasien trauma maksilofasial,
Hemodinamik stabil selama operasi (Gambar.2) khususnya yang mempunyai tanda dan gejala
Temuan intraoperasi: ditemukan fraktur awal ancaman gagal napas, sehingga tindakan
depressed lebih dari 1 tabula yang fragmented dan pencegahan untuk mempertahankan jalan napas
interlocking dengan ukuran 5x6 cm, ditemukan dapat dengan cepat dilakukan.46
EDH cloth 5 mL, ditemukan durameter intak dan Eastern Association for the Surgery of
tidak tegang, defek tulang ukuran 3x3 cm. Trauma mengatakan bahwa pasien dengan
Pascaoperasi GCS: E4M6V5=15, tekanan trauma maksilofasial seringkali dijumpai dengan
darah 118/73 mmHg, laju nadi 92 x/menit, cedera tulang cervikal dan cedera kepala yang
frekuensi napas 18 x/menit, dan saturasi oksigen ditandai dengan penurunan kesadaran yang
99 dengan kanul binasal 3 Lpm. Analgetika dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.7
postoperative: petidin 100 mg dan metamizole 1 Protokol dari Advanced Trauma Life Support
Gram dalam RL 500 mL tiap 8 jam. Antiemetik merekomendasikan intubasi pada semua pasien
diberikan Ondancentron 2x8 mg/iv. dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 8 atau
kurang.8 Manual in-line stabilization telah
Pembahasan terbukti aman dan efektif dalam memproteksi
tulang cervikal selama tindakan laringoskopi
Langkah pertama dalam tindakan resusitasi yang intubasi.7
direkomendasikan oleh the American College of Pasien dengan trauma maksilofasial seringkali

Anesthesia & Critical Care Vol. 33 No. 2, Juni 2015


143

Tata Laksana Jalan Napas pada Pasien Trauma Maksilofasial, Cedera Kepala Ringan, Fraktur Tulang Cervikal, Fraktur
Depressed Terbuka dan Fraktur Basis CRANII

disertai dengan kesulitan ventilasi dan kesulitan Salah satu tindakan profilaksis akan risiko
intubasi. Trauma merusak anatomi normal dan aspirasi ini adalah penggunaan rapid-sequence
menyebabkan edema dan perdarahan di rongga induction. Sebagian besar pasien trauma paling
mulut.8 Ventilasi yang efektif mungkin sulit baik dilakukan rapid-sequence induction dan
dilakukan karena sungkup tidak dapat dengan intubasi. Mukosa jalan nafas yang bengkak
pas melekat pada wajah. Tantangan yang muncul dan juga perdarahan dapat menyebabkan
dari trauma jalan napas adalah kesulitan dalam visualisasi pita suara sulit. Selain itu dapat
memvisualisasikan pita suara sewaktu tindakan terjadi pendorongan benda asing masuk kedalam
laringoskopi intubasi. Rongga mulut, faring, dan endobronchial saat intubasi.7,9
laring terisi dengan darah, sekret, debris, jaringan Risiko aspirasi dapat juga dicegah dengan
lunak, dan patahan tulang yang kesemuanya memberikan penekanan pada cricoid (the Sellick
tersebut menghalangi visualisasi yang baik dari maneuver), yaitu dengan cara memberikan
pita suara.2,8 tekanan pada esofagus bagian atas yang melawan
Ketika berhadapan dengan kasus dengan laju refluks. Pada beberapa penelitian dengan
kemungkinan kesulitan dalam penguasaan jalan menggunakan magnetic resonance imaging
napas, maka perlu dipersiapkan beberapa macam didapatkan adanya variasi anatomi dari cincin
alat intubasi. Mengingat trauma maksilofasial cricoid dengan esofagus, sehingga efikasi Sellick
ini seringkali dijumpai bersama dengan trauma maneuver dianggap meragukan. Risiko aspirasi
cervikal, maka macam alat intubasi ini yang dapat juga dilakukan dengan pemberian H2
dipilih adalah yang kemungkinan manipulasi antagonis seperti cimetidine dan metaclopramide,
lehernya paling sedikit. Hasil terbaik dapat dicapai namun membutuhkan 12 jam untuk dapat
dengan menggunakan laringoskop Bullard dan bekerja.7,9
intubasi dengan stylet ringan. Penggunaan stylet Teknik penguasaan jalan napas dipengaruhi
ini memungkinkan gaya yang lebih sedikit saat oleh beberapa faktor, seperti: antisipasi kesulitan
laringoskopi. Pada kasus dimana penguasaan penguasaan jalan napas, baik itu kesulitan untuk
jalan napas sulit, teknik intubasi yang dipilih ventilasi maupun intubasi, kemampuan pasien
adalah yang seorang anestesi paling kuasai dan untuk membuka mulut, kemungkinan adanya
dirasakannya nyaman. Kedua faktor ini lebih fraktur tulang cervikal, dan kemungkinan adanya
relevan ketimbang pilihan teknologi.7 fraktur basis cranii.4
Ada beberapa teknik induksi. Pengelolaan Pada kasus ini keempat faktor tersebut diatas
jalan napas dapat dicapai dengan cara memberikan dijumpai pada pasien ini. Pasien ini kesulitan
anestesi topikal pada pasien yang sadar (awake untuk dapat membuka mulut (buka mulut hanya
intubation) atau dengan cara menidurkan pasien 1 jari sempit) yang disebabkan karena rasa sakit
(asleep), baik itu dengan ventilasi spontan akibat adanya fraktur pada parasimpisis dan
(induksi dengan gas anestesi) atau juga dengan corpus mandibula. Kemudian dalam rongga
pemberian obat-obat sedasi intravena, dan mulut pasien ini didapatkan adanya edema
juga dengan rapid-sequence induction.7 Awake jaringan lunak, perdarahan, patahan tulang,
intubation mengharuskan pasien kooperatif rontokkan gigi dan maloklusi. Pada pasien ini
penuh pada saat pemberian anestesi topikal dan ditemukan pula adanya fraktur basis cranii
intubasi. Awake intubation sendiri meningkatkan anterior yang ditandai dengan adanya hematom
risiko aspirasi pada pasien dengan lambung pada kedua mata (racoon eyes), keluarnya cairan
penuh, terutama pada saat pemberian anestesi cerebrospinal dari hidung, fraktur depressed
topikal dan visualisasi pita suara.7 terbuka lebih dari 1 tabula, dan fraktur cervikal
Pasien trauma harus dianggap memiliki inkomplit C7 yang disertai dengan cedera kepala
lambung penuh, sebab trauma berhubungan ringan (GCS: E3M6V5=14).
dengan penurunan motilitas gastrointestinal. Pengamanan jalan napas sangat penting pada
Untuk dapat meminimalkan risiko aspirasi maka kasus ini. Kecacatan dapat timbul akibat ventilasi
intubasi harus dikerjakan sesingkat mungkin yang tidak memadai, kesulitan untuk ventilasi,
(rapid-sequence induction).7 intubasi esofagus yang tidak disadari, dan

Anesthesia & Critical Care Vol. 33 No. 2, Juni 2015


144

Reza Widianto Sudjud, Suwarman, Meilani Patrianingrum

kesulitan untuk intubasi yang tidak diantisipasi kasus trauma maksilofasial bukan merupakan
sebelumnya. Persiapan dini akan adanya pilihan. Alasannya adalah karena adanya darah,
kesulitan dalam pengamanan jalan napas menjadi muntahan, ataupun sekret pada jalan napas pasien
sangat krusial.4 Pada setiap kasus kesulitan jalan menghalangi pandangan oleh instrumentasi serat
napas, personel yang terlatih dan peralatan untuk optik. Selain itu anestesi lokal yang efektif pada
intubasi sulit harus dipersiapkan dan dalam daerah trauma sulit tercapai. Intubasi dengan
keadaan siap untuk digunakan.8 Dalam algoritma menggunakan flexible fiberoptic memerlukan
kesulitan jalan napas perlu dipersiapkan laryngeal kerjasama dengan pasien, yang tidak selalu
mask airways, combitubes, fastrach (intubating mungkin diharapkan pada pasien-pasien trauma.
laryngeal mask airway), fiberoptic bronchoscope, Oleh karena alasan tersebut diatas, maka pada
cricothyroidotomy kit, tracheal tube introducer, kasus ini kami tidak memilih untuk menggunakan
Eschmann stylet gum elastic bougie, ETT teknik intubasi dengan fiberoptic.8
changer with jet ventilation capability, Sanders Laryngeal mask airway (LMA) merupakan
jet ventilator, tracheostomy tray dan kit intubasi salah satu instrumen jalan napas yang paling
retrograde.4 Pada kasus ini, kami mempersiapkan populer. Alat ini dimasukkan secara buta (tidak
selang suction, needle no. 14 dan 16 Gauge memerlukan visualisasi dari pita suara) dan tidak
(untuk persiapan needle cricothyrostomy), perlu keahlian khusus untuk memasangnya.
set untuk jet ventilation, wire CVP (persiapan Namun LMA tidak memberikan pengamanan
retrograde intubation), selang ETT no. 6, 6.5 jalan napas secara definitif, karena letaknya
, 7, dan 7.5 polos maupun spiral, bougie, dan supraglotik sehingga dapat menyebabkan distensi
set tracheostomi, beserta lidocain ampul dan perut dan alat ini mudah bergeser ketika pasien
lidocain spray. Fiberoptic bronchoscope tidak bergerak ataupun saat tindakan manipulasi. Oleh
dapat dipakai pada saat jaga malam emergency. karena itu, LMA tidak cocok pada pasien-pasien
Sebelum tindakan operasi, informed consent dari trauma, namun dapat menjembatani ventilasi saat
keluarga dan pasien terutama tentang tata-cara dan penanganan jalan napas awal sulit dicapai.8
risiko yang dapat muncul saat penguasaan jalan Melakukan cricothyrostomy ataupun
napas sangat penting untuk dilakukan, termasuk tracheotomy dengan anestesi lokal merupakan
didalamnya kemungkinan untuk pemasangan pilihan yang relatif aman dalam mengelola jalan
trakeostomi. Pada saat tindakan penguasaan jalan napas. Pendekatan ini memiliki kekurangan.
napas kami didampingi oleh seorang konsultan Prosedur ini menimbulkan rasa tidak nyaman,
anestesi yang sedang berjaga.10 bahkan rasa sakit, pada pasien yang sudah
Berbagai pilihan metode kesulitan jalan mengalami sakit parah dan stres emosional.
napas diantaranya adalah intubasi sadar dan Tindakan trakeotomi sendiri, paling sedikit
intubasi teranestesi; intubasi oral dan intubasi 5%, mengandung risiko komplikasi seperti
nasal; intubasi dengan direct laryngoscopy perdarahan dan pneumothoraks. Namun
dengan fiberoptic laryngoscopy ataupun blind demikian, jika trauma maksilofasial luas dan
nasal intubation; intubasi anterograde dengan membutuhkan fiksasi selama beberapa minggu,
intubasi retrograde; dan surgical airway seperti maka trakeotomi merupakan pilihan terbaik pada
cricothyrodotomy, transtracheal jet ventilation, kasus ini. Pendekatan bedah hanya digunakan
dan tracheostomy. Pilihan mana yang diambil sebagai prosedur penyelamatan darurat apabila
bergantung pada kondisi pasien, kemampuan pilihan lain telah gagal.8
dokter anestesi, dan peralatan yang tersedia.4, 10 Terakhir, pendekatan klasik laringoskopi
Pada beberapa kasus kesulitan jalan napas, secara langsung. Pendekatan secara sederhana
intubasi dengan menggunakan flexible fiberoptic dan langsung pada jalan napas yang tingkat
dalam anestesi lokal merupakan teknik terpilih, keberhasilannya tinggi bila dikerjakan oleh yang
terutama apabila kesulitan intubasi dan ventilasi ahli. Pada pasien yang sudah diduga memiliki
sudah diantisipasi terlebih dahulu, seperti pada kesulitan dalam penguasaan jalan napas (sulit
pasien-pasien yang menjalani pembedahan ventilasi ataupun sulit intubasi) maka intubasi
elektif. Namun penggunaan fiberoptic pada dalam keadaan sadar penuh (awake intubation)

Anesthesia & Critical Care Vol. 33 No. 2, Juni 2015


145
Tata Laksana Jalan Napas pada Pasien Trauma Maksilofasial, Cedera Kepala Ringan, Fraktur Tulang Cervikal, Fraktur
Depressed Terbuka dan Fraktur Basis CRANII

merupakan pilihan. Anestesia lokal pada jalan tingkat kesadarannya. Extubasi pada kasus ini
napas atas menjadi kunci keberhasilan intubasi dikerjakan setelah pasien sadar penuh (obey
sadar penuh, yang dicapai melalui pemberian obat command) dan sudah dipastikan jalan napas bebas
anestesi lokal via naso-oral topikal, atau dengan dari sisa darah dan sekret. Pada kasus ini, untuk
blok laringeal superior atau blok translaring. menghindari cedera lanjutan pada jalan napas
Rongga mulut, dasar lidah, dan dinding faring atas sewaktu ekstubasi, diberikan lidokain 2%
diberikan obat anestesi lidokain semprot. Blok intravena sebanyak 2 mg/kgBB 3 menit sebelum
laringeal superior dikerjakan setinggi cornu tubing ETT dilepaskan. Antiemetik diberikan
hyoid, dengan pemberian lidokain 2% sebanyak untuk mencegah muntah akibat tertelannya darah
2 mL pada tiap sisi. Sedangkan blok translaring dan sekret. Skala nyeri pada pasien dengan trauma
dilakukan dengan cara pemberian lidokain 2% maksilofasial cukup tinggi, pada pasien ini nilai
sebanyak 4 mL pada membrana cricotiroid.4 VAS=5, sehingga sebagai analgetika diberikan
Walaupun intubasi dalam keadaan sadar kombinasi antara opioid dan NSAID. Pada kasus
penuh merupakan pilihan yang paling aman, ini, analgetika postoperatif adalah petidin 100
terutama pada pasien dengan dugaan kesulitan mg dan metamizole 1 gram dalam cairan Ringer
penguasaan jalan napas, pada kasus ini tidak Lactat 500 mL tiap 8 jam. Setelah nilai Alderrete
dikerjakan. Ada beberapa pertimbangan. Yang 10 dan Nilai VAS 3 pasien diperbolehkan untuk
pertama, pada kasus ini pasien dijumpai dengan pindah dari ruang pemulihan.
fraktur cervikal inkomplit dan fraktur basis cranii
anterior, sehingga intubasi harus dikerjakan Simpulan
dalam kondisi dimana tidak menimbulkan gejolak
peningkatan tekanan intrakranial. Yang kedua, Tatalaksana jalan napas pada pasien dengan
kemungkinan kesulitan penguasaan jalan napas trauma maksilofasial sangat kompleks dan
sudah dapat diduga sejak kunjungan preoperatif; menantang. Pertimbangan klinis, keahlian dan
sehingga sebagai alternatifnya diputuskan untuk pengalaman yang tinggi sangat dibutuhkan pada
melakukan intubasi dengan cara spontaneous kasus-kasus kegawatdaruratan. Penanganan
breathing dimana pasien dalam kondisi yang trauma maksilofasial membutuhkan kerjasama
cukup dalam (Guedel sign tahap III) namun napas multidisipliner antara dokter anestesi, dokter
spontan tetap dipertahankan. Untuk mencapai bedah mulut, dokter THT, dokter bedah umum,
tingkat kedalaman anestesi tersebut, dilakukan dan dokter bedah saraf. Perlu diingat, bahwa waktu
pemberian propofol secara bertahap (23 mg/ dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan
kgBB/iv) dan gas inhalasi Sevofluran 2 vol%, jalan napas seringkali membawa perbedaan
sedangkan untuk menumpul refleks faring dan yang bermakna antara hidup dan matinya pasien
laring diberikan Fentanyl sebanyak 3 ug/kgBB/ trauma maksilofasial, juga antara yang ahli dan
iv. Untuk mencegah terjadinya flexi leher saat berpengalaman dengan yang kurang mahir.
laringoskopi intubasi, maka dilakukan manual
in-line stabilization dengan cara memposisikan Daftar Pustaka
kepala pasien pada posisi netral dan seorang
asisten memegang processus mastoideus kanan 1. Ruslin M, Arifin MZ. Hubungan Fraktur
dan kiri untuk mencegah pergerakan saat tindakan Maksilofasial dengan Perdarahan Intrakranial,
laringoskopi. Tindakan in-line stabilization Fraktur Basis Kranii serta Tingkat Kesadaran
sendiri membatasi visualisasi pita suara, yang pada Penderita Cedera Kepala. Bandung
bila berlanjut dapat menyebabkan hipoksia dan Medical Journal 2007;39(3):11519.
memperberat kondisi traumatic brain injury, 2. Kellman RM, Losquadro WD. Comprehensive
sehingga pada kasus ini dibutuhkan bantuan airway management of patients with
seorang asisten untuk melakukan penekanan maxillofacial trauma. Craniomaxillofac
pada cricoid agar pita suara lebih terlihat. Trauma Reconstruction 2008;1:3948.
Pasien dengan fraktur maksilofasial 3. Cranshaw J, Nolan J. Airway management
dibangunkan perlahan kemudian dinilai kembali after major trauma. Continuing Education

Anesthesia & Critical Care Vol. 33 No. 2, Juni 2015


146

Reza Widianto Sudjud, Suwarman, Meilani Patrianingrum

in Anaesthesia, Critical Care & Pain 103246.


2006;6(3):1247. 8. Krausz AA, el-Naaj IA, Barak M.
4. Sood J. Maxillofacial and upper airway Maxillofacial trauma patient: coping with the
injuries anaesthetic impact. Indian Journal of difficult airway. World Journal of Emergency
Anaesthesia 2008;52(Suppl 5):68898. Surgery 2009;4:17.
5. Lokesh U, Sudarshan, Jannu A, Bhattacharya 9. Wilson WC. Trauma: airway management.
D. Retromolar intubation: an alternative non ASA Difficult airway algorithm modified
invasive technique for airway management in for trauma and five common trauma
maxillofacial trauma. Arch CranOroFac Sc intubation scenarios. American Society of
2013;1(2):225. Anesthesiologists 2005;69(11):916.
6. Huang JJ, Wu J, Brandt K. Airway 10. Mayglothling J, Duane TM, Gibbs M,
management of a patient with facial McCunn M, Legome E, Eastman AL, et al.
trauma. Journal of Clinical Anesthesia Emergency tracheal intubation immediately
2002;14(4):3024. following traumatic injury: An Eastern
7. Dutton RP. Airway Trauma. In: Yao F-SF, Association for the Surgery of Trauma
editor. Anesthesiology Problem-Oriented practice management guideline. J Trauma
Patient Management. Philadelphia: Acute Care Surg 2012;73(5):S33340.
Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p.

Anesthesia & Critical Care Vol. 33 No. 2, Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai