PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronik yang sifatnya bisa dicegah
namun tidak dapat disembuhkan. Penyakit ini mengenai hampir 16 juta orang di U.S dan lebih
dari 125 juta orang di seluruh dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003)
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta adalah diabetesi.
Prevalensi diabetes melitus pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%.
Insidensi hipoglikemi yang dilaporkan bervariasi di setiap penelitian. Secara umum, pasien
dengan DMT1 yang menggunakan terapi insulin rata-rata memiliki episode hipoglikemi
asimptomatik per minggu, dan pasien yang menggunakan terapi insulin intensif rata-rata
mengalami 2 kali episode hipoglikemia per minggu. Sehingga, selama lebih dari 40 tahun
penelitian pada pasien DMT1, rata-rata mengalami 2000-4000 episode hipoglikemi
asimptomatik.
Pasien dengan diabetes tipe 2 secara umum lebih jarang mengalami episode hipoglikemi
berat dibandingkan pasien diabetes tipe 1. Studi UKPSD dan Kumamoto mendemostrasikan
insidensi hipoglikemi berat yang lebih rendah pada pasien DMT2 dengan terapi insulin
dibandingkan dengan penelitian oleh DCCT mengneai penggunaan insulin pada DMT1 dengan
control glikemik yang hampir sama. Pada UKPDS, yang meneliti 676 pasien DMT2 dengan
terapi insulin selama 3 tahun, mengalami 0.83 episode hipoglikemia per 100 pasien per tahun.
pada studi Kumamoto, meneliti 52 pasien DMT2 dengan terapi insulin selama 6 tahun, tidak
melaporkan adanya episode hipoglikemi berat. Bagaimanapun juga, sebuah studi retrospektif
yang membandingkan insidensi hipoglikemi berat pada 104 pasien DMT1 dengan terapi insulin
dengan rata-rata 104 pasien DMT1 terkontrol, menyimpulkan insidensi hipoglikemi berat yang
hampir sama (Epidemiology of Hypoglikemia, 2011).
Studi lanjut menemukan insidensi hipoglikemi kondisi gawat pada pasien DMT2 dengan
terapi insulin sama dengan pada pasien DMT1. Pada pasien DMT2 dengan terapi sulfoniurea,
angka kejadian hipoglikemi berat dilaporkan sebanyak 1.5 episode per 100 pasien. Frekuensi ini
meningkat dengan potensi dan durasi sulfonylurea, lebih besar resikonya terjadi pada
sulfonylurea generasi kedua, glimepiride, glyburide, dan glipizide rata-rata 4-6% (Epidemiology
of Hypoglikemia, 2011).
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama : Ny. S
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : Sumberrejo
MRS tanggal : IGD 17 April 2020
Ruangan : Anggrek
No. Rekam Medik : 03.01.01
II. Anamnesis
Keluhan Utama :
Badan lemas
Keadaan spesifik
KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula
serta tidak ada nyeri penekanan.
Kepala
Bentuk brachiocephali, simetris, ekspresi sakit berat, deformasi (-), moon face (-)
Mata
Eksophtalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat
(+), sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya normal, pergerakan mata ke segala
arah baik.
Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang – tulang dalam perabaan baik,
tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan.
Telinga
Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-), pendengaran baik.
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (+), atrofi papil (-), gusi berdarah (-),
stomatitis (-), rhageden (-), bau pernapasan khas (+), faring tidak ada kelainan.
Leher
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5-2) cmH 2 O, kaku kuduk (-) ,
pembesaran KGB tidak ada
Dada
Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)
Paru-paru
I : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, sela iga tidak melebar.
P : Stemfremitus kanan sama dengan kiri.
P : Sonor pada kedua lapangan paru. Batas paru-hati ICS V. Peranjakan
hati 1 sela iga.
A: Vesikuler (+) normal, ronkhi basah sedang pada lapang paru kiri, ronkhi basah
halus pada lapang paru tengah, wheezing (-).
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat.
P : Ictus codis teraba di ICS V LAA sinistra.
P : Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan LPS dextra, batas jantung
kiri LAA sinistra.
A : HR =82x/menit, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
I : Datar.
P : Lemas, hepar dan lien tidak teraba.
P : Timpani, nyeri ketok CVA (-),shifting dullness (+).
A: Bising Usus (+) normal.
Alat Kelamin
Edema skrotum (-).
Extremitas atas
Eutoni, eutrophi, gerakan bebas, kekuatan kanan +3 kiri +5, nyeri sendi (-), edema (+),
jaringan parut (-), pigmentasi normal, acral hangat, clubbing finger (-).
Extremitas bawah
Eutoni, eutrophi, gerakan extremitas inferior sinistra terbatas, kekuatan kanan+3 kiri
+5, nyeri sendi (-), edema pretibial (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, acral
hangat, clubbing finger (-).
Abdomen Datar, lemas, nyeri ketok CVA (-) bilateral, shifting dullness(+).
Genitalia Terpasang kateter, edema skrotum (-)
Ekstremitas Edema pretibia (-)/(-), edema ekstremitas superior (+)/(+)
A - DM Hipoglikemi
- Stroke
- HT
P - Istirahat
- D40 2 flash
- IVFD D5 1 Kolf
- Cek GDA
Tanggal 19 April 2020
S kaki lemas
O: Keadaan umum Tampak sakit berat
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 140/80 mmHg
Nadi 80 x/menit reguler, isi dan tegangan cukup.
Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 36,0 0C
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (+), Sklera ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran KGB (-) moon face (-)
Thorax:
Jantung HR 82 x/ menit,. murmur (-), gallop (-), thrill (-).
Paru Vesikuler (+) normal, ronkhi + di seluruh lapangan paru kiri dan
di linea aksilaris anterior ICS 5-6., wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, nyeri ketok CVA (-) bilateral, shifting dullness(+).
Genitalia Terpasang kateter, edema skrotum (-)
Ekstremitas Edema pretibia (-)/(-), edema ekstremitas superior (-)/(-)
A - DM Hipoglikemi
- Stroke
P - Istirahat
- IVFD D10 1 kolf
- Piracetam 2x1 gr
- Omeprazole 2x1 gr
Tanggal 20 April 2020
S Tidak ada keluhan
O: Keadaan umum Tampak sakit berat
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 86 x/menit reguler, isi dan tegangan cukup.
Pernapasan 24 x/ menit
Temperatur 36,0 0C
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (+), Sklera ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cmH2O, Pembesaran KGB (-) moon face (-)
Thorax:
Jantung HR 80 x/ menit,. murmur (-), gallop (-), thrill (-).
Vesikuler (+) normal, ronkhi + di seluruh lapangan paru kiri dan
Paru di linea aksilaris anterior ICS 5-6., wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, nyeri ketok CVA (+) bilateral, shifting dullness(+).
Terpasang kateter, edema skrotum (+)
Edema pretibia (+)/(+)
Genitalia
Ekstremitas
A - DM Hipoglikemi
P - Istirahat
- Omeprazole 2x1
- Aku ga jelas tulisannya huhu
V. Diagnosis
DM Hipoglikemi
VI. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi dan Klasifikasi Hipoglikemi
Definisi hipoglikemi menurut American Diabetes Association (ADA) segala episod dimana
terdapat ketidak normalan konsentrasi glukosa dalam plasma pada individu dan menyebabkan
gangguan potensial. Nilai ambang glikemik bersifat dinamis dan tidak sama dalam reaksi respon,
maka cukup sulit untuk menentukan nilai konsetrasi glukosa secara spesifik sampai dapat
memberikan gejala. Hal ini menyebabkan ADA merekomendasikan kepada pasien DM dengan
terapi yang berhubungan dengan insulin untuk memonitor dirinya akan resiko hipoglikemi
dengan konsentrasi glukosa plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L). Hal ini tidak kemudian menjadi
indikasi penderita untuk memberikan terapi pada dirinya sendiri ketika konsentrasi glukosa
plasmanya ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L), melainkan lebih waspada akan tanda dan gejala
hipoglikemia, mengukur ulang konsentrasi glukosa dalam rentang waktu tertentu serta
menghindari beberapa pekerjaan seperti menyetir, kemudian hipoglikemi dapat dicegah dengan
mengkonsumsi karbohidrat atau gula per oral (Cryer, 2011).
Pada diabetes, hipoglikemi timbul akibat penggunaan kombinasi relative atau absolut
insulin dan gangguan pertahanan fisiologis dalam mempertahankan penurunan glukosa plasma.
Pengaturan kadar glukosa yang merupakan mekanisme pertahanan yang mencegah atau
menyeimbangkan kejadian hipoglikemia mengalami gangguan pada pasien diabetes tipe 1 dan
pasien diabetes tipe 2 tahap lanjut. Dengan demikian, regulasi glukosa tersebut digunakan
sebagai respon terhadap hipoglikemia pada keadaan kekurangan insulin endogen sehingga
terwujud sebagai penurunan tingkat insulin dan meningkatkan kadar glukagon disertai dengan
penekanan peningkatan epinefrin. Gangguan respons autonomic (adrenomedullar dan neuron
simpatetik) dikaitkan dengan presentasi klinis diamati dari ketidaksadaran hipoglikemia.
Selanjutnya, hal ini menyatakan bahwa respon sympathoadrenal berkurang (konsep
hipoglikemia-terkait kegagalan otonom) yang disebabkan oleh hipoglikemia yang terakhir,
mengakibatkan gangguan glukosa kontra-regulasi dan ketidaksadaran akibat hipoglikemia yang
muncul sebagai siklus berulang hipoglikemi (Cryer, 2011).
Episode terapi hiperinsulinemi, akibat tidak teraturnya distribusi endogen (terapi insulin
secretagogue) atau eksogen (terapi insulin) insulin ke dalam sirkulasi, memulai urutan yang
mungkin, atau tidak mungkin, berujung dalam sebuah episode hipoglikemi. Kelebijhan terapi
insulin absolut menyebabkan episode hipoglikemia terisolasi meskipun pertahanan
counterregulatory glukosa utuh terhadap hipoglikemi (Gambar 2). Tapi, itu merupakan peristiwa
biasa. Hipoglikemia iatrogenik biasanya merupakan hasil dari interaksi ringan-sedang kelebihan
absolut atau relatif (ketersediaan glukosa rendah) terapi insulin dan pertahanan fisiologis dan
perilaku akibat penurunan konsentrasi plasma glukosa pada DMT1 dan T2DM. Dalam T1DM,
dikarenakan kegagalan fugsi β-sel insulin tidak menurun sebagai respon kadar glukosa turun;
pertahanan fisiologis pertama hilang. Selain itu, tingkat glukagon tidak meningkat pada
penurunan kadar glukosa, pertahanan fisiologis kedua hilang. Itu pun masuk akal sebagai
kegagalan β-sel jika terjadi penurunan sekresi β-sel, ditambah dengan konsentrasi α-sel glukosa
yang rendah, yang secara normal memberi sinyal sekresi α-sel. Akhirnya, peningkatan kadar
epinefrin sebagai akibat penurunan kadar glukosa pun ditekan, pertahanan fisiologis ketiga
dikompromikan (The Endocrine Society, 2009).
Meskipun sering disebabkan oleh kejadian hipoglikemia yg baru atau didahului dengan
latihan atau tidur, mekanisme ditekannya respon sympathoadrenal penurunan kadar glukosa
darah tidak diketahui. Meskipun demikian, penekanan respon epinefrin adalah penanda
penurunan respon saraf simpatis dan yang terakhir sebagian besar menghasilkan pengurangan
gejala hipoglikemi menyebabkan ketidaksadaran hipoglikemia (atau gangguan kesadaran
hipoglikemia) dan dengan demikian kehilangan pertahanan perilaku, konsumsi karbohidrat.
Dalam pengaturan terapi hiperinsulinemia, penurunan konsentrasi plasma glukosa, gagalnya
penurunan insulin, dan gagalnya peningkatan glukagon, penekanan peningkatan epinefrin
menyebabkan sindrom klinis cacat glukosa counterregulation glukosa dikaitkan dengan
peningkatan risiko 25 kali lipat atau lebih besar hipoglikemia iatrogenic. Penekanan
sympathoadrenal, khususnya penekanan saraf simaptik, menyebabkan sindrom klinis
ketidaksadaran hipoglikemia yang dikaitkan dengan risiko 6 kali lipat dari hipoglikemia
iatrogenic. Patofisiologi glukosa counterregulation adalah sama di T1DM dan T2DM meskipun
dengan paruh waktu, berbed. β-sel gagal, dan karena itu kehilangan respon insulin dan
konsentrasi glukagon menyebabkan penurunan kadar plasma glukosa, berkembang pada awal
T1DM tetapi lebih secara bertahap di T2DM. Dengan demikian, rusaknya pengaturan glukosa
counterregulation – gagalnya gagalnya peningkatan glukagon - berkembang pada awal T1DM
dan kemudian di T2DM dan itu dan ketidaksadaran hipoglikemia, dan dengan demikian
hipoglikemia iatrogenik, menjadi masalah umum di awal T1DM dan kemudian di T2DM.
Konsep hipoglikemia-terkait kegagalan otonom (HAAF) pada diabetes (Gambar 2) menyebutkan
bahwa hipoglikemia yang baru, begitu juga saat latihan sebelumnya atau tidur, menyebabkan
baik counterregulation glukosa rusak (dengan mengurangi kenaikan di epinefrin dalam
pengaturan kegagalan penurunan di insulin dan kegagalan peningkatan glukagon selama
hipoglikemia berikutnya) dan ketidaksadaran hipoglikemia (dengan mengurangi
sympathoadrenal dan dihasilkan respon gejala hipoglikemia neurogenik selama berikutnya) dan,
karena itu, tercipta lingkaran setan pada hipoglikemia berulang. Mungkin dukungan yang paling
menarik untuk konsep Mekanisme dari penekanan respon sympathoadrenal terhadap penurunan
kadar glukosa darah, fitur kunci dari HAAF, tidak diketahui. Ini harus melibatkan sistem saraf
pusat atau komponen aferen eferen dari sistem sympathoadrenal. Teori meliputi peningkatan
darah-ke-otak pengangkutan bahan bakar metabolisme, efek dari mediator sistemik seperti
kortisol pada otak, mekanisme hipotalamus diubah dan aktivasi dari jaringan otak penghambatan
dimediasi melalui thalamus (The Endocrine Society, 2009).
Berdasarkan Eckman&Golden, terdapat trias yang menjadi tanda dan gejala hipoglikemi
yang dikenal sebagai trias Whipple. Trias Whipple ialah gejala muncul dan konsisten dalam
keadaan hipoglikemia, nilai konsentrasi glukosa plasma rendah, dan terdapat perbaikan klinis
ketika konsentrasi glukosa plasma dinaikkan (Eckman & Golden, 2011).
Dekstrosa
Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi glukosa oral seperti pada pasien penurunan
kesadaran, kejang, atau perubahan status mental dapat diberikan cairan dekstrosa secara intra
vena baik perifer maupun sentral. Konsentrasi dekstrosa 50% pada air dapat diberikan pada
pasien dewasa, sementara dekstrosa dengan konsentrasi 25% biasa digunakan sebgai terapi pada
pasien anak. Perlu diperhatikan pada cairan dekstrosa 50% dan 25% dapat menyebabkan
nekrosis jaringan jika diberikan pada jalur intra vena yang tidak benar, oleh karena itu, cairan
tersebut harus diberikan pada jalur IV yang paten (Treatment of severe diabetic hyplogicemia
with: an underutilizes therapeutic approach, 2011).
Glukagon
Glukagon merupakan lini pertama terapi hipoglikemi pada pasien hipoglikemi dengan
terapi insulin karena glukagon merupakan hormon utama pengatur insulin. Tidak seperti
dekstrosa, glukagon diberikan melalui subkutan atau intra muskular. Hal ini menjadi penting
karena glucagon dapat dijadikan pilihan terapi selagi menunggu paramedic datang untuk
memberikan dekstrosa (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glucagon efektif dalam menyediakan kembali
glukosa darah dan dapat mengembalikan kesadaran, serta sifatnya aman dalam penanganan
hipoglikemia berat baik diberikan secara intra vena, subkutan, ataupun intra muskular. Glukagon
yang diberikan secara parenteral biasa diberikan pada pasien DM tipe 1 dengan riwayat
hipoglikemia berat. Glukagon yang diberikan secara intra vena biasa diberikan pada pasien
hipoglikemia berat dengan DM tipe 2.
Mual dan muntah sering dilaporkan sebagai efek samping terhadap penggunaan glucagon
dengan dosis >1mg, namun menurut penelitian yang pernah dilaporkan sangat jarang membahas
tentang kejadian mual dan muntah tersebut, selain itu mual dan muntah tetap akan dapat terjadi
walaupun tanpa penggunaan glukagon. Ada juga laporan mengenai reaksi alergi setelah
pemberian glukagon, namun hal ini biasanya terjadi apabila glukagon diberikan sebagai terapi
selain untuk hipoglikemia (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).
1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop atau permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula) atau gula diet atau gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara
3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
5. Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)
1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer:
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dextrose 40%
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
3. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dextrose 40%
4. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dextrose 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan
protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan mengganti infuse dengan
Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan
protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan mengganti infuse dengan
Dextrose 5% atau NaCl 0,9%14
7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam :
Diagnosis : DM Hipoglikemi
Anamnesis
Fakta Teori
Penurunan kesadaran Manifestasi klinis Hipoglikemia:
Badan lemas Aktivasi simpatoadrenal
Analisis
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien adalah wanita berusia 63 tahun. Sebelum pergi ke
kebun pasien mengkonsumsi obat anti diabetes. Hal serupa juga terjadi 1 hari sebelum masuk
rumah sakit, namun saat itu pasien masih bisa dibangunkan walaupun dalam kondisi bicara
meracau dan badan lemas. Pasien tampak berkeringat dingin dan gemetar saat memegang benda.
Sejak 1 tahun yang lalu, pasien menderita kencing manis. Hal tersebut diketahui saat
pasien memeriksakan diri di puskesmas dengan keluhan sering buang air kecil saat malam dan
penurunan berat badan. Pasien rutin memeriksaakan dirinya di puskesmas, rutin meminum obat
anti diabetes, namun tidak mengontrol pola makannya. Obat yang biasa diminum ialah
glibenklamid 2x1 tablet.
Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan nyeri ulu hati disertai mual
terkadang muntah. Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami penurunan
nafsu makan namun pasien tetap mengkonsumsi obat anti diabetesnya seperti biasa. Sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit pada perut bagian atas terdapat benjolan keras dan nyeri jika
bergerak. Buang air besar dalam batas normal, buang air kecil sedikit-sedikit namun sering.
Berdasarkan teori pada umumnya hipoglikemi terjadi pada pasien diabaetes tipe 1 atau
pasien diabetes tipe 2 lama dan pada umumnya menggunakan terpai insulin. Selain
menggunakan terapi insulin, penggunaan OAD tipe insulin secretouge juga mempunyai resiko
terjadinya hipoglikemi. Hipoglikemi juga bisa terjadi pada pasien daengan gangguan ginjal,
hepar, dan kecemasan sebagai penyerta penyakit DM nya.
Gejala yang biasa timbul ialah badan lemas disertai gemetar dan keringat dingin, gangguan
orientasi, gangguan penglihatan, penurunan kesadaran, kejang hingga koma sampai kematian.
Terdapat trias yang menggambarkan kejadian hipoglikemi, yaitu trias whipple yang terdiri atas
gejala muncul dan konsisten dalam keadaan hipoglikemia, nilai konsentrasi glukosa plasma
rendah, dan terdapat perbaikan klinis ketika konsentrasi glukosa plasma dinaikkan. Hal ini sesuai
dengan teori yang ada dimana psien merupakan penderita diabetes selama 1 tahun, dan sedang
mengkonsumsi OAD golongan sulfonylurea yaitu glibenklamid. Faktor resiko lain juga terdapat
pada pasien yaitu pendidikan yang tidak cukup tinggi sehingga memungkinakan kurangnya
pemahaman tentang efek OAD dan gejala hipoglikemi, disertai kemungkinan adanya gangguan
kecemasan tentang kondisi sosialnya.
Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Keadaan umum Trias whipple:
Awal 1. gejala muncul dan konsisten
Setelah pemberian D40% 2 flash dalam keadaan hipoglikemia
2. nilai konsentrasi glukosa
Kepala/leher/thoraks plasma rendah
Kepala/Leher 3. terdapat perbaikan klinis ketika
Konjungtiva anemis (-/-), sklera konsentrasi glukosa plasma
ikterik (-/-), edema periorbita (-/-), dinaikkan
sianosis (-), fetor hepatikum (-), fetor
uremikum (-), pembesaran KGB (-),
deviasi trakea (-), peningkatan JVP (-).
Thoraks
Pulmo:
A. Inspeksi : bentuk dan gerakan
simetris, retraksi interkosta (-),
spider nevi (-), rambut aksila (+),
venektasi (-)
B. Palpasi : fremitus raba dekstra =
sinistra
C. Perkusi : sonor di seluruh
lapangan paru
D. Auskultasi : suara nafas vesikuler,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
E. Inspeksi : ictus cordis tidak
tampak
F. Palpasi : ictus cordis tidak
teraba
G. Perkusi : batas jantung
kanan ICS IV parasternal line
dekstra
batas jantung kiri
ICS VI midclavicular line sinistra
H. Auskultasi : S1, S2 tunggal,
regular, suara tambahan (-)
Abdomen
I. Inspeksi : cembung, caput
medusae (-), vena paraumbilikalis
(-)
J. Palpasi : distensi (-), nyeri
tekan (-) pada semua kuadran,
massa (-), organomegali (-), defans
muscular (-)
K. Perkusi : timpani, shifting
dullness (-)
L. Auskultasi : bising usus (+)
normal, bruit di atas hepar (-)
Ekstremitas
Akral hangat, eritema palmaris (-),
leukonikia (-), hepatic flapping (-),
clubbing finger
(-), edema - -
+ +
Analisis
Berdasarkan pemeriksaan fisik, sesuai dengan trias whipple yaitu terdapat gejala-gejala
hipoglikemai dan dibuktikan dengan nilai glukosa darah rendah serta adanya perbaikan klinis
setelah kadar glukosa membaik.
Pada pemriksaan fisik lain, terdapat pitting edema apda ekstremitas bawah yang
dimungkinakn akibat gangguan protein dan dapat disesuaikan dengan pemeriksaan laboratorium.
C. Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
Telah dilakukan pemeriksaan Hasil laboratorium pada hipoglikemia
laboratorium berupa: pada penderita DM:
Tes Fungsi Hati: Penurunan kadar glukosa plasma
SGOT dan SGPT SGOT normal (20 dibawah 60 mg/dL.
U.I) dan SGPT normal (23 U.I) Kadar HbA1C >6,5
Kimia Darah:
1. GDS : 16
2. Ureum : 20
3. Kreatinin : 0,48
4. HbA1C 7,8 %
Darah lengkap:
Didapatkan:
5. Nilai Hb 13.0
6. Trombosit 269.000
7. Leukosit 8.400
8. Hematokrit 38.3
Analisis
Keadaan hipoglikemia pada pasien diabetes tergambar pada hasil laboratorium yaitu
penurunan kadar glukosa plasma <60 mg/dL. hal tersebut ditemukan pada pasien laporan kasus,
dimana kadar glukosa plasmaya ialah 16 mg/dL.
Diagnosis
Fakta Teori
Pada kasus ini, pasien tersebut memenuhi Trias whipple yaitu:
3 dari trias whipple yaitu: 1. Gejala muncul dan konsisten
1. Gejala muncul dan konsisten saat saat hipoglikemia
hipoglikemia 2. Penurunan kadar glukosa
2. Penurunan kadar glukosa plasma plasma
3. Terjadi perbaikan klinis setelah kadar 3. Terjadi perbaikan klinis setelah
glukosa dinaikkan Sehingga bisa kadar glukosa dinaikkan
didiagnosis sebagai hipoglikemia
Analisis
Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa
pasien memenuhi gambaran hipoglikemia pada diabetes mellitus tipe 2. Hal ini dapat dibuktikan
dari pemeriksaan fisik, laboratorium, dan disesuaikan dengan trias whipple.
E Penatalaksanaan
Fakta Teori
Analisis
Pemberian terapi pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang ada. Terapi penyakit lain
diberikan sesuai dengan tanda klinis. Pemeriksaan GDS tetap harus dilakukan secara rutin
dengan mengamati gejala klinis untuk kepentingan terapi pulang karena tidak jarang apda pasien
hipoglikemia terdapat pelonjakan nilai GDS, sehingga memerlukan terapi tambahan.
Prognosis
Prognosis pasien hipoglikemia yang disertai dengan sirosis sangat bervariasi dipengaruhi
sejumlah faktor meliputi tingkat keparahan dan kecepatan penanganan penyakit.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien ini maka diagnosanya adalah Diabetus Militus hipoglikemia
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ialah pemeriksaan laboratorium darah
lengkap dan kimia darah. Hasil pemeriksaan laboratorium mendukung diagnosis yang ada.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yang sudah sesuai.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien ditangani dengan cepat,
mendapatkan terapi yang tepat, dilakukan observasi klini hipoglikemia, dan dukungan
keluarga terhadap penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
2. Eckman, A., & Golden, S. (2011, March 2). Diabetes Guided - Trinidad and Tobago.
Dipetik January 8, 2012, dari John Hopkins Point of care Information Technology:
http://www.ttdiabetesguide.org/index.html
4. Rutecki, G. W. (2011, June 22). Recurrent Hypoglicemia: When Diabaetes IS Not the
Cause. Dipetik January 8, 2012, dari ConsultantLive: http://www.consultantlive.com/
5. The Endocrine Society. (2009). The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism.
Evaluation and Management of Adult Hypoglycemic Disorders: An Endocrine Society
Clinical Practice Guideline , 18.